Showing posts with label Telekomunikasi. Show all posts
Showing posts with label Telekomunikasi. Show all posts

Wednesday, February 2, 2011

Sistem Transaksi Menggunakan Handphone dengan Teknologi Near Field Communications (NFC): Keluar ke Pasar Tahun 2011

Kalau kita lihat sejarah transaksi pembayaran, awalnya dulu sebelum ada kemudahan elektronika seseorang harus mengambil uang dahulu ke bank dengan mengantri di loket sehingga sebaiknya mengambil uang untuk pemakaian selama jangka waktu tertentu mengingat usaha yang lumayan untuk mengambil sejumlah uang. Dengan adanya anjungan tunai mandiri (ATM) dimana-mana usaha untuk mengambil uang menjadi ringan sehingga seseorang cukup mengambil uang untuk jangka waktu pendek. Selain itu ATM mengurangi resiko pemegang uang dari kejahatan pencurian/perampokan/dan lain-lain karena uang yang diambil biasanya lebih sedikit jika dibandingkan dengan mengambil uang di loket bank.

Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), munculah alat pembayaran baru elektronika yang menjadi popular di Indonesia seperti kartu kredit dan kartu debit. Kedua jenis pembayaran tersebut menggunakan kartu pintar yang digosokkan ke terminal pembayaran di toko-toko ketika membayar. Kartu pintar dapat menggantikan uang fisik yang biasanya disimpan di dompet sehingga pengguna kartu pintar dapat terhindar dari tindak kejahatan dan juga pengguna mendapatkan kemudahan, yaitu tidak perlu mengambil uang ke bank atau ATM dan menyimpan di dompet. Tentunya sistem pembayaran dengan kartu pintar tersebut harus memiliki sistem keamanan yang menjamin uang pengguna tidak diambil oleh pihak yang tidak berhak dan juga tidak ada pihak yang mengklaim pembayaran yang tidak pernah dilakukan pengguna. Tanpa adanya penjaminan sistem keamanan pada sistem pembayaran dengan kartu pintar, pengguna tidak akan berminat untuk menggunakannya.

Pada saat ini, selain dompet wajib hukumnya membawa handphone dalam berpergian. Ini memberikan ide bagi inovator untuk menggabungkan dompet dan handphone. Sudah ada layanan inovatif dari mobile provider untuk melakukan pembayaran menggunakan sms maupun mobile Web. Sebuah konsorsium dari produsen-produsen raksasa handphone di dunia akhirnya bekerja sama untuk membuat produk baru untuk menggabungkan dompet dengan handphone dengan nama Near Field Communications (NFC).

Sebenarnya NFC adalah pengembangan dari teknologi kartu Radio Frequency IDentification (RFID). RFID ini memiliki bentuk dan fungsi yang sama seperti kartu ATM bedanya adalah kartu RFID tidak perlu digosok (contactless) sehingga kartu RFID tidak perlu dikeluarkan dari dompet dalam proses pembayaran, pengguna cukup mendekatkan dompetnya ke terminal pembayaran (atau disebut reader). Di Indonesia kartu RFID sudah banyak digunakan, contohnya: e-Toll untuk pembayaran otomatis gerbang toll, gelang (RFID tag, bukan berbentuk kartu) yang digunakan sebagai pengganti tiket di taman-taman hiburan.

Teknologi NFC pada handphone selangkah lebih maju daripada teknologi RFID dimana pada handphone ditanamkan NFC chip yang dapat bertindak sebagai kartu RFID dan juga sebagai reader sekaligus dengan radius jangkauan pendek (kurang dari 10cm). Teknologi NFC pada handphone betul-betul dapat menggantikan dompet dimana dapat mengeluarkan uang dan juga menerima uang dari dan ke sesama pengguna NFC. Selain untuk pembayaran teknologi NFC dapat digunakan sebagai pengganti KTP, SIM, kartu mahasiswa, dan lain-lain, kartu absen, dan lain-lain.

Direncanakan tahun 2011 ini akan muncul berbagai produk handphone ternama yang dilengkapi teknologi NFC. Produk handphone pertama dengan teknologi NFC yang sudah dipasarkan di Eropa dan Amerika adalah Samsung Nexus S, dilengkai NFC controller chip produk NXP (Philips) yaitu PN544. Dimana Philips adalah produsen ternama untuk kartu RFID. Samsung Nexus S menggunakan operating system Android versi Gingerbread yang didukung oleh Google. Google sendiri sudah mempersiapkan berbagai aplikasi untuk teknologi NFC pada handphone.

Banyak lelucon tentang mesin cetak yang bekerja keras 24 jam penuh untuk memproduksi jumlah uang yang sangat banyak untuk mendanai pengeluaran yang sangat besar. Namun di sisi lain, penggunaan uang tunai secara fisik sedang menurun di seluruh dunia, karena pembayaran non-tunai sedang meningkat popularitasnya. Meskipun menurut para ekonom jumlah uang meningkat, jumlah uang kertas yang disimpan orang di dompet, cenderung menurun. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah transaksi kartu kredit dan debit di seluruh dunia. Para analis meramalkan bahwa tiga wilayah teratas dalam pembayaran mobile adalah Timur Jauh termasuk Cina, Eropa Barat dan Amerika Serikat, yang secara keseluruhan akan menguasai lebih dari 70 persen pangsa pasar pembayaran mobile dalam basis transaksi kotor di tahun 2013.

Kami dari NFC research group di School of Electrical Engineering & Informatics, Institut Teknologi Bandung sedang giat-giatnya melakukan penelitian untuk membangun Sistem Transaksi Menggunakan Mobile Phone dan Teknologi NFC dengan bantuan dana dari Program Insentif, Kementrian Negara Riset dan Teknologi. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan sistem transaksi dengan teknologi NFC pada handphone untuk micropayment (pembayaran dengan jumlah kecil, contohnya: angkot, warung, kantin, dan lain-lain) dan macropayment (pembayaran dengan jumlah lebih besar, contohnya: supermarket, minimarket, restoran, berbagai toko, dan lain-lain). Sistem transaksi ini haruslah sangat aman untuk pengguna, penjual, dan industri keuangan sehingga uang pengguna tidak dapat berkurang/bertambah tidak semestinya; penjual mendapatkan uang pembayarannya yang seharusnya; dan industri keuangan tidak kehilangan uangnya dan tidak harus membayar yang tidak semestinya.

Penulis: Emir Husni, Dosen School of Electrical Engineering & Informatics, Institut Teknologi Bandung


Source:http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2011/01/27/sistem-transaksi-menggunakan-handphone-dengan-teknologi-near-field-communications-nfc-keluar-ke-pasar-tahun-2011/

Sodok Indosat, XL Bayangi Telkomsel

Kinerja PT XL Axiata Tbk (XL) tampil kinclong tahun lalu. Perusahaan telekomunikasi asal Malaysia ini berhasil meraup laba bersih pada 2010 lalu sebesar Rp 2,9 triliun. Keuntungan tersebut meningkat 69% dibanding 2009.

Keterangan resmi XL, Senin (31/1/2011) menjelaskan pendapatan usaha meningkat sebesar 27% menjadi Rp 17,6 triliun dan EBITDA mencapai Rp 9,3 triliun naik 50% dengan EBITDA marjin yang meningkat menjadi 53% pada akhir 2010.

Dari sisi jumlah pelanggan, kinerja XL juga lumayan memukau. Pelanggan XL tumbuh 28% tahun lalu, dari 31,4 juta pelanggan pada 2009 menjadi 40,4 juta pelanggan di akhir tahun 2010.

Presiden Direktur XL, Hasnul Suhaimi bilang, pada 2010 XL berhasil memantapkan posisi sebagai operator nomor dua di Indonesia. Nomor satu masih dipegang Telkomsel dan ketiga kini Indosat. "Hal ini tidak terlepas dari upaya dan strategi yang telah diterapkan XL sejak tahun 2007," kata Hasnul.

Sepanjang tahun 2010, XL terus mengeluarkan produk dan layanan yang inovatif. Akhir tahun lalu, misalnya, untuk meningkatkan layanan bicara, XL meluncurkan paket baru Rp 0, dimana XL memberikan gratis bicara selama 30 detik pertama di waktu tertentu.

Dan sebagai wujud apresiasi kepada pelanggan, XL memberikan gratis roaming internasional untuk layanan data, dan diskon tariff hingga 90% untuk layanan bicara dan diskon hingga 50% untuk layanan SMS di 7 negara (Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Kamboja, Bangladesh, Hong Kong dan Jepang).

“Kami tidak tertarik untuk berkompetisi dalam masalah harga,tetapi kami lebih memperhatikan pengalaman pelanggan dalam menggunakan layanan kami dan bagaimana kami dapat meningkatkan kepuasan pelanggan secara berkesinambungan,” ujarnya.

Sepanjang tahun 2010, XL telah melunasi sebagian pinjaman sehingga pada akhir tahun 2010, total pinjaman XL berkurang dari Rp 13,5 triliun menjadi Rp 10,2 triliun dengan rasio Hutang Bersih (Hutang berbunga dikurangi Kas)/EBITDA sebesar 1,1x.(Kontan/Havid Vebri)

01 Februari 2011
Source:http://tekno.kompas.com/read/2011/02/01/15563143/Sodok.Indosat..XL.Bayangi.Telkomsel

Friday, December 31, 2010

Eropa Segera Pakai Charger Universal

Komisi Eropa (European Commission/EC) telah menyetujui standar charger universal. Itu artinya, para pengguna ponsel di Eropa bisa segera membeli dan menggunakan produk tersebut dalam waktu dekat.

Vice President EC untuk bidang industri, Antonio Tajani mengatakan, ini adalah saatnya bagi vendor smartphone menunjukkan komitmennya menjual ponsel untuk charger baru.   

"Charger universal akan memudahkan konsumen, mengurangi sampah dan menguntungkan bisnis. Ini benar-benar situasi yang sama-sama menguntungkan," kata Tajani.

Dilansir Afterdawn dan dikutip detikINET, Jumat (31/12/2010), EC memberikan catatan bahwa langkah ini akan berdampak baik, tak hanya bagi konsumen dan industri tetapi juga lingkungan. 

Seperti diketahui, selama ini charger lama menjadi tak terpakai dan akhirnya dibuang saat konsumen membeli ponsel baru, bahkan meski charger itu sebenarnya masih berfungsi dengan baik. Ya, tentu saja hal itu dikarenakan charger lama tidak kompatibel dengan ponsel yang baru. 

Adopsi standar charger ini memang sudah sepakat akan dilakukan oleh 14 vendor smartphone sejak Juni tahun lalu. Adapun 14 vendor itu diantaranya Apple, Nokia, Motorola, LG, Samsung, Sony Ericsson, Research in Motion, Emblaze Mobile, Huawei Technologies, NEC, Qualcomm, TCT Mobile, Texas Instruments dan Atmel.
( rns / ash ) 


31 Desember 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/12/31/123522/1536655/317/eropa-segera-pakai-charger-universal/?i991101105

Tahun Depan, Pelanggan Seluler Masih Tumbuh

Industri telekomunikasi di Indonesia pada tahun ini terus mengalami pertumbuhan. Ini ditandai dengan pesatnya pertumbuhan pesat sejumlah opereator telekomunikasi. Jumlah pelanggan PT XL Axiata Tbk, misalnya, hingga kuartal III-2010 sudah mencapai 38,5 juta. Jumlah ini meningkat 44% di banding periode sama tahun lalu. Jumlah pelanggan XL itu tidak terpaut jauh dari Indosat yang pada periode sama mencatat pelanggan sebanyak 39,7 juta.
Stasiun pemancar yang dimiliki XL malah sudah melebihi pemancar yang dimiliki Indosat. Hingga kuartal III-2010, XL memiliki 21.623 pemancar, sedangkan Indosat yang hanya memiliki 17.372 pemancar. Sementara di posisi puncak, posisi Telkomsel belum tergeser di urutan pertama dengan jumlah pelanggan sebanyak 94 juta dari tahun sebelumnya 82 juta.
Sekjen Masyarakat Telematika (Mastel) Mas Wigrantoro Setiadji menilai, pesatnya pertumbuhan pelanggan XL sejalan dengan perluasan jaringan yang dilakukan operator seluler asal Malaysia itu. Namun, dia mengatakan pada suatu saat pertumbuhan itu juga akan berhenti. "Hal itu sedang terjadi pada Indosat yang pertumbuhannya mulai stagnan," ungkap Mas Wigrantoro.
Namun Teguh Prasetya Mukti, Group Head Brand Marketing Indosat mengatakan, pertumbuhan pelanggan Indosat sebenarnya sudah melampaui target awal tahun. Sebelumnya hingga akhir tahun 2010, Indosat menargetkan jumlah pelanggan mencapai 40 juta, tapi target itu sudah lebih dulu tercapai pada akhir Oktober 2010. "Secara nasional pertumbuhan jumlah pelanggan juga melebihi ekspektasi karena pertumbuhannya lebih dari 30 juta," ungkap Teguh.
Selain pertumbuhan pelanggan, menurut Teguh, pendapatan Indosat juga melebihi ekpektasi. Pada kuartal III-2010, pertumbuhannya mengalami mencapai 16% dari tahun sebelumnya. Padahal target pertumbuhan pendapatan Indosat tahun ini hanya 12%.
Sementara dalam hal pendapatan, layanan voice dan pesan singkat (SMS) juga masih memberi kontribusi besar bagi operator. Sebagai contoh, layanan suara di XL memberi kontribusi terbesar yakni sebesar 50%. Setelah itu di susul layanan SMS sebesar 20%, dan layanan data sebesar 10%. Hingga kuartal III-2010, jumlah pemakaian layanan suara XL sebanyak 59,1 miliar menit. Sedangkan jumlah penggunaan layanan SMS sebanyak 125 miliar SMS.
Kondisi serupa juga dialami PT Natrindo Telepon seluler Menara Axis. Syakieb A. Sungkar, VP Sales & Distribution Axis mengaku, layanan suara masih menjadi andalan sumber pendapatan Axis dengan kontribusi sekitar 40%. Sedangkan SMS memberi kontribusi sekitar 30%-35%. "Tapi persentase pertumbuhan layanan suara dan SMS tidak akan terlalu besar," ungkap Syakieb.
Meski masih didominasi suara dan SMS, layanan data juga tumbuh tak kalah pesat. Di Axis, misalnya, kontribusi pendapatan layanan data tahun 2009 sekitar 10%, tahun 2010 menjadi sekitar 25% dan tahun depan diperkirakan bisa mencapai 30%. Pertumbuhan layanan data juga terlihat pada XL. Pada 2009, kontribusi layanan data terhadap total pendapatan XL hanya sekitar 4%. Tapi tahun ini kontribusinya naik menjadi 10%.
Teguh memprediksi, pertumbuhan industri telekomunikasi pada 2011 masih bagus. Ia memperkirakan, jumlah pelanggan seluler tahun depan masih akan bertambah sekitar 30 juta pelanggan. "Tapi akan terjadi penurunan di tahun 2012," kata Teguh.(Kontan/Sofyan Nur Hidayat)
27 Desember 2010

Saturday, December 18, 2010

Indonesia Kehilangan Potensi Bisnis "Broadband" Rp 40 Triliun

Indonesia diperkirakan kehilangan potensi sekitar Rp 40 triliun dalam lima tahun terakhir karena lambat menggelar jaringan internet pita lebar (broadband). Kerugian khususnya terlambatnya pembangunan jaringan serat optik ke rumah-rumah dan perkantoran bisnis.
"Setidaknya ada opportunity lost (potensi kerugian) sekitar Rp 40 triliun dari bisnisbroadband di Indonesia," kata Executive Chairman Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sumitro Roestam pada acara Indonesia Broadband Award 2010 di FX Plaza, Jakarta, Kamis (17/12/2010) kemarin.
Menurut Sumitro, jika akses broadband tersedia merata di Tanah Air, potensi bisnis dapat dihitung dari pertumbuhan ekonomi dikalikan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional setiap tahunnya.
Sementara itu, GM Business Development Indosat Mega Media (IM2) Hermanudin mengatakan, infrastruktur broadband saat ini baru tergarap sekitar 30 persen. "Ini yang benar-benar sudah digunakan pelanggan," kata Hermanuddin.
Senada dengan itu, Group Head Product Development Mobile-8 Telecom Sukaca Purwokardjono menyatakan, potensi pertumbuhan layanan broadband sangat menjanjikan. Karena itu, sangat disayangkan jika pemerintah belum sepenuhnya memberi perhatian pembangunan broadband tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
"Kami tidak bisa sendirian, perlu dukungan penuh dari pemerintah. Industri membutuhkan kemitraan pemerintah," katanya. Menurut catatan, Mobile-8 dan Smart Telecom memiliki 350.000 pelanggan broadband dengan nilai pendapatan rata-rata per pelanggan (ARPU) sebesar Rp 80.000 per bulan.
Pada acara yang diselenggarakan Majalah Broadband tersebut juga diberikan "Broadband Award 2010" kepada sejumlah perusahaan. Operator telekomunikasi PT Telkomsel meraih penghargaan kategori "Best Broadband Network Serives" dan "Best BlackBerry Service", Indosat meraih "Best CSR Program Operator of The Year", IM2 meraih "Best Product Broadband Services", SmartFren meraih "Best CDMA Broadband Operator", dan SpeedUp meraih "Best USB Modem Broadband Services". Sementara "Best People Achievement Broadband" diberikan kepada Dirut Telkomsel Sarwoto Atmosutarno, Dirut Smart Sutikno Wijaya, dan Dirut IM2 Indar Atmanto.
17 Desember 2010

Monday, November 29, 2010

K-TOUCH H800: Sebarkan Lagu Lewat Gelombang Radio

Ponsel K-Touch H800 menambahkan satu fungsi untuk mem-broadcast lagu lewat gelombang radio FM.
Penciptaan produk ponsel sekurangnya harus memiliki satu keunikan. Meskipun kelak konsumen pula yang memastikan, apakah ponsel dengan fitur unik tersebut bisa diterima atau tidak. Langkah yang ditempuh oleh K-Touch, brand asal negeri China yang sanggup survive menghadapi persaingan di bursa ponsel lokal, merilis sebuah ponsel dengan kesanggupan mengirimkan lagu melalui gelombang radio FM.

Fitur seperti ini sebenarnya sudah dikenalkan oleh Nokia melalui apa yang disebut Transmitter FM. Pengguna dapat "menyiarkan" lagu favorit ke ponsel lain (yang memiliki fasilitas serupa) dengan menggunakan salah satu band dari gelombang FM. Memang agak sulit menentukanband, apalagi seperti di Jakarta yang hampir smeua gelombang FM penuh oleh stasiun radio. Namun K-Touch menyebutnya dengan fitur Radio FM Broadcast.

Selain itu, ponsel dengan julukan H800 ini tetaplah menempatkan fitur-fitur social network,chatting, dan mikroblog di atas segalanya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut peran tombol keyboard QWERTY tetaplah diperlukan demi kenyamanan.

Akan halnya ponsel bikinan China, fasilitas mendasar macam dual SIM GSM, kamera VGA, serta aplikasi penting macam adzan, penolakan SMS dan voice, fasilitas bluetooth menjadi standar baku.

K-Touch memang terus bergeliat menunjukkan penjualan terbaiknya. Menurut Andy Tanudjaja, Marketing Manager K-Touch Indonesia, yang penting adalah kualitas. "Sudah menjadi komitmen kami untuk mempertanggungjawabkan segi kualitas produk kami terhadap konsumen," ujarnya. (ANDRA/FORSEL)

26 Nov 2010

Friday, November 26, 2010

Spectrum Harmonisation for Mobile Crucial for Socio-Economic Development across Asia Pacific, says GSMA

New research highlights how mobile could add $729 billion to the GDP of Asia Pacific nations by 2020

The GSMA today unveiled new independent research that highlights the positive impact harmonised spectrum allocation for mobile could have on the Asia Pacific region. The report*, released by the GSMA and The Boston Consulting Group (BCG), states that if governments allocate the 700 MHz band for Mobile Broadband deployment, it would bring much greater economic and social benefits to Asia Pacific than if allocated for services such as broadcasting. These benefits include a $729 billion increase in GDP for Asia Pacific countries by 2020, more than two million newly-created jobs across the region, and a $131 billion increase in tax revenues.

"Asia Pacific is a leading mobile market capable of driving large economies of scale and now has the opportunity to play a pivotal role in setting the standards for spectrum harmonisation," said Tom Phillips, Chief Government & Regulatory Affairs Officer, GSMA. "By allocating the 700 MHz band to mobile, Asia Pacific countries could enjoy significant socio-economic benefits and provide millions of people with low-cost mobile services essential for their needs, such as Internet connectivity, especially in rural areas, and much needed access to education, financial and health services. Non-harmonisation of the 700 MHz band will significantly reduce these benefits for the entire region, so it's imperative that governments and regulators take a coordinated approach to spectrum allocation."

"The unprecedented amount of spectrum freed up in the switchover from analogue to digital terrestrial television, known as the 'digital dividend', is a once-in-a-lifetime opportunity," said Vaishali Rastogi, Partner and Managing Director at The Boston Consulting Group. "The evidence from our research in Asia Pacific overwhelmingly suggests that the socio-economic benefits of allocating the 700 MHZ band to mobile will far outweigh alternatives such as broadcasting."

Harmonisation of the 700 MHz band will ensure that Asia Pacific countries use the same frequency to deploy Long-Term Evolution (LTE), the next-generation Mobile Broadband technology. Deploying LTE in this band will drive large economies of scale and reduce capital and equipment costs for providers, accelerating the roll out of networks and lowering costs for consumers. It will also provide significant social benefits, particularly in rural areas not served by fixed broadband, such as improved access to education, the availability of new financial and health services, the wider use of e-government tools and improved interactions between governments, businesses and consumers. LTE in the 700 MHz band will also improve indoor availability of Mobile Broadband in urban areas.

The report states, however, there are two conditions that are essential for fulfilling the unique opportunity Mobile Broadband could provide the Asia Pacific region. These are:
All Asia Pacific countries should allocate the 700 MHz band to Mobile Broadband deployment and services.

All Asia Pacific countries should implement the same technical specifications (the Asia Pacific Telecommunity's (ATP) 2 x 45 MHz band plan for the 700 MHz band) to achieve harmonisation and ensure that every country and its consumers benefit from economies of scale and lower equipment and handset costs.

Given the size and diversity of Asia Pacific, four countries representing the range of social and economic development and current Internet adoption – Korea, India, Indonesia and Malaysia – were studied in detail and the data was used to build up a picture for the entire region. The research found that there would be a large incremental adoption of Internet connectivity, particularly in rural areas, as a result of allocating the 700 MHz band for LTE, including a 14% increase in Internet subscriptions in Korea, 21% in India, 22% in Indonesia and 23% in Malaysia – an increase of more than 25 million extra rural Internet users in these four countries alone. These increases, when extrapolated across the region, would have a considerable economic impact. Highlights from each country include:

Korea
The economic opportunities created by improved access to Mobile Broadband would account for a $75.5bn increase in GDP and deliver increased tax revenues of $7.2 billion between 2014 and 2020.

India
India's GDP is among the fastest growing in the world but allocating the 700 MHz band for Mobile Broadband would generate a $71 billion incremental increase in by 2020, mostly from increased productivity across all sectors.

Indonesia
Allocating the 700 MHz band to Mobile Broadband would make a significant difference to take up in rural areas, generating 9.7 million more Internet subscriptions by 2020.

Malaysia
It is estimated that increased Internet adoption resulting from widespread Mobile Broadband deployment would create more than 44,000 new jobs by 2020, with many in rural areas.

"Reaping the rewards that Mobile Broadband is proven to provide is heavily dependent on governments and their regulators harmonising spectrum for mobile and implementing supportive policy," concluded Phillips. "Not only will governments lose out on the considerable economic opportunity, but failure to harmonise spectrum in the 700 MHz band will also have a huge impact on millions of people, such as higher prices, limited access to critical services and significantly reduced Internet connectivity – especially in rural areas where it's needed most."

To download the full report and for the individual research on Korea, India, Indonesia and Malaysia, please use the following link: www.gsmworld.com/bcgreport2010.

Notes to editors
* Socio-economic impact of allocating 700MHz band to mobile in Asia Pacific, The Boston Consulting Group

About the GSMA

The GSMA represents the interests of the worldwide mobile communications industry. Spanning 219 countries, the GSMA unites nearly 800 of the world's mobile operators, as well as more than 200 companies in the broader mobile ecosystem, including handset makers, software companies, equipment providers, Internet companies, and media and entertainment organisations. The GSMA is focused on innovating, incubating and creating new opportunities for its membership, all with the end goal of driving the growth of the mobile communications industry.

For more information, please visit Mobile World Live, the new online portal for the mobile communications industry, at www.mobileworldlive.com or the GSMA corporate website atwww.gsmworld.com.

Press contacts:
Brian Paterson/Tracy Cheung
Tel: +852 9755 3310/+852 9366 7761
16 Nov 2010

Wednesday, November 24, 2010

Empat Model Bisnis Yang Sustainable Pada Industri Telekomunikasi Selular

(Tema Khusus: Industri Telekomunikasi Selular di Indonesia Pada Saat ini dan Bisnis Model Yang Tepat)

Oleh Leonard Tiopan Panjaitan *)

I.                   Perkembangan Industri Selular di Indonesia dari Masa ke Masa

            Tak bisa dipungkiri bahwa industri selular telah berkembang dengan begitu pesatnya di Indonesia. Perkembangan industri selular yang pesat tersebut sangat menggembirakan mengingat Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state). Hal ini didasari bahwa tantangan pada infrastruktur telekomunikasi tentunya lebih besar pada negara yang bercirikan kepulauan daripada negara yang bersifat kontinental. Perkembangan dan dinamika sektor telekomunikasi di negara-negara seperti AS, Eropa dan Amerika Latin tentu tidak bisa dibandingkan secara head to head dengan Indonesia dimana terdiri dari pulau-pulau yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Dapat kita membayangkan bahwa ketika era 1960-an hingga 1980-an dimana populasi Indonesia belum berkembang secara pesat, ketersediaan jaringan telepon pada masa-masa itu sangat rendah sekali. Namun kini di era tahun 2000-an hingga tahun 2010 ketika jumlah penduduk mencapai 236,7 Juta (Sensus Penduduk BPS;2010) maka teledensitas semakin bertambah pula. 

 
            Meskipun Indonesia negara kepulauan dengan garis pantai terbesar kedua setelah Kanada, Indonesia berhasil membangun industri telekomunikasi secara bertahap dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini dibuktikan bahwa Industri seluler di Indonesia telah melewati fase seperti ditunjukkan pada diagram-1. berikut ini:

                                               Diagram.1 : Periode ICT di Indonesia (Dr.Iwan Krisnadi, MBA; 2010)


                Diagram.1 di atas dan berdasarkan informasi wikipedia maka teknologi selular di Indonesia telah berkembang sejak era 80-an yang pada saat itu dimulai oleh PT Telkom untuk menyelenggarakan layanan komunikasi seluler dengan mengusung teknologi NMT-450 (Nordic Mobile Telephone yang menggunakan frekuensi 450 MHz). Pada tahun 1985, teknologi AMPS (Advanced Mobile Phone System) masuk ke Indonesia dengan menggunakan frekuensi 800 MHz. Teknologi ini  merupakan cikal bakal CDMA saat ini. Pada saat itu, telepon seluler yang beredar di Indonesia masih belum bisa dimasukkan ke dalam saku celana karena ukurannya yang besar dan berat, rata-rata 430 gram. Harganya pun masih mahal, sekitar Rp10 juta-an saat itu.

            Masuk ke era 90-an, sekitar tahun 1993 PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) muncul sebagai operator GSM pertama di Indonesia. Pada periode ini, teknologi NMT dan AMPS mulai ditinggalkan, ditandai dengan tren melonjaknya jumlah pelanggan GSM di Indonesia. Beberapa faktor penyebab lonjakan tersebut antara lain, karena GSM menggunakan SIM card yang memungkinkan pelanggan untuk berganti handset tanpa mengganti nomor. Selain itu, ukuran handset tidak lagi besar tetapi sudah jauh mengecil. Menginjak tahun 1997, Setelah GSM berkembang dengan frekuensi GSM 1800 MHz Telkomsel memperkenalkan SimPATI sebagai produk prabayar pertama. Lalu disusul Pro-XL yang diluncurkan oleh PT Excelcom dengan roaming-nya sebagai servis unggulan di tahun 1998. Seolah tidak mau ketinggalan dengan kompetitornya, Satelindo lalu membuat produk Mentari dengan keunggulan perhitungan tarif per detik. Inilah embrio munculnya tren pemakaian voucher gesek dengan basis pelanggan pra bayar. 

            Merambah ke era 2000-an, Indosat mendirikan PT. Indosat Multi Media Mobile (IM3), yang kemudian menjadi pelopor layanan GPRS (General Packet Radio Service) dan MMS (Multimedia Messaging Service) di Indonesia. Pada 8 Oktober 2002, Telkomsel menjadi operator kedua yang menyajikan layanan tersebut yang kemudian dikenal sebagai layanan 2G atau (Second Generation). Pada Desember 2002, TelkomFlexi hadir sebagai operator CDMA pertama di Indonesia, di bawah pengawasan PT. Telekomunikasi Indonesia, menggunakan frekuensi 1.900 MHz dengan lisensi FWA (Fixed Wireless Access). Kemudian mulai muncul teknologi 3G , dimana setelah melalui proses tender pada tanggal 08 Februari 2006 tiga operator telepon seluler ditetapkan sebagai pemenang oleh Pemerintah untuk memperoleh lisensi layanan 3G. Ketiga perusahaan tersebut adalah yakni PT. Telkomsel, PT Indosat, dan PT. Excelcomindo Pratama (XL). Dan demikianlah selanjutnya sejak tahun 2006 teknologi 3G sudah meluncur secara komersial di masyarakat.

            Di era tahun 2010 ke atas, muncul teknologi 4G diantaranya Wimax, LTE dan Konvergensi ICT yang akan menjadi tren dan servis unggulan pelanggan. Saat ini regulasi dan standarisasi ke teknologi konvergensi sedang dioptimalkan oleh para pemangku kepentingan.

II.                Profil Perkembangan TIK di Indonesia

Seiring pesatnya teknologi selular di Indonesia maka turut membawa manfaat yang sangat besar dalam sektor telekomunikasi di negeri ini. Intinya dunia TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau ICT tumbuh karena kontribusi industri selular yang signifikan. Hal ini dibuktikan dengan informasi dari ITU (International Telecommunication Union) sbb:

                      Diagram-2. ICT Development Index (IDI - Sumber: ITU-D 2010)

Diagram-2 menunjukkan bahwa menurut ICT Development Index yang tertera dalam kajiannya yang berjudul “Measuring the Information Society” bahwa Indonesia berada pada ranking 19 di kawasan Asia Pasific dan peringkat 107 di dunia. Indeks tersebut menunjukkan bahwa kemajuan ICT telah meningkat dari Indeks sebsar 1,57 di tahun 2001 menjadi 2,15 di tahun 2007. Untuk level dunia, peringkat Indonesia meningkat dari 109 di tahun 2002 menjadi 107 di tahun 2008. Memang secara rangking terlihat pergerakannya sangat kecil namun tak bisa dipungkiri Indonesia sudah mengalami kemajuan yang berarti.

Indeks IDI di atas sebagai akibat dari penetrasi industri selular bergerak sebesar 61,72% dengan total pelanggan sebesar 140,578 juta nomor (Dr. Iwan Krisnadi;2010). Pada kwartal ketiga (Q-3) tahun 2009, pelanggan selular telah mencapai 159,247 juta nomor. Jumlah ini sudah termasuk 155,337 juta pelanggan prabayar dan 3,872 juta pelanggan pascabayar. Besarnya jumlah pelanggar prabayar 98% vs pascabayar 2% menunjukkan bahwa pelanggan lebih menyukai pemakaian ponsel yang dapat dikontrol melalui prabayar. Sementara pihak operator lebih banyak melepas produk prabayar karena dapat menurunkan risiko tagihan macet dan meningkatkan cash flow perusahaan operator secara signifikan.

Di lain pihak, akses wireless broadband di Indonesia juga didominasi oleh empat operator (Telkom, Telkomsel, XL dan Indosat). Pelanggan prabayar untuk akses nirkabel ini berjumlah 24,728 juta nomor dan pascabayar sebesar 807,509 ribu nomor. Jadi secara keseluruhan, gabungan industri selular dan wireless broadband menjadi sebesar 184,783 pelanggan, yang mana 180,103 juta merupakan pelanggan prabayar (97%) dan 4,679 juta pelanggan pascabayar (3%). 

            Di sisi teledensitas maka industri selular dan wireless keduanya mencapai teledensitas sebesar 78 sambungan telepon per 100 orang penduduk. Jadi total teledensitas di Indonesia tahun 2009 adalah 82 sambungan telepon, sudah termasuk sambungan telepon tetap (Lihat Diagram-3).          

                      Diagram-3.Teledensitas Wireless, Wireline dan Selular di Indonesia (Sumber:BRTI)

Sampai dengan kuartal ketiga 2009, teledensitas di Indonesia hanya mencapai 3,83 atau 4 untuk sambungan telepon tetap per 100 orang penduduk. Angka ini memang sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara-negara di ASEN namun penetrasi selular dan wireless access di Indonesia cukup tinggi sebesar 61,72% dengan tingkat pemakaian kedua-duanya mencapai 66,82% (Dr.Iwan Krisnadi;2010).

Perkembangan ICT khususnya industri selular di Indonesia sangat berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita penduduk di negeri ini. Diagram-4 di bawah ini menunjukkan pendapatan per kapita penduduk di propinsi di Indonesia.
                     
                            Diagram-4. Teledensitas per Propinsi di Indonesia (Sumber:BRTI)

           Diagram-4 di atas menerangkan bahwa teledensitas tertinggi diraih oleh Propinsi DKI Jakarta dengan nilai 15. Hal ini juga mengartikan bahwa semakin tinggi teledensitas propinsi maka semakin tinggi pula pendapatan per kapita penduduk propinsi tersebut.  Menurut Bappenas, berdasarkan pendapatan per kapita di mana pendapatan per kapita Jakarta pada tahun 2007 kurang lebih sebesar Rp. 64,24 juta per jiwa sementara rata-rata nasional Rp. 20 juta per jiwa. Lebih jauh lagi ITU mengatakan bahwa pertambahan penetrasi mobile 1% dinegara berkembang berkorelasi dengan pertambahan Income per Capita 4,7%. Pertambahan penetrasi internet 1% di negara berkembang akan berkorelasi dengan pertambahan Income per Capita 10,5%.

            Dari sisi makro ekonomi dimana dalam laporan nota keuangan RI 2010 yang disampaikan Presiden tanggal 16 Agustus 2010, tercantum sektor telekomunikasi menempati peringkat pertama di tahun 2009, sebagai sektor yang mengalami pertumbuhan signifikan. Tingkat pertumbuhan sektor telekomunikasi mencapai 13,60%. Hal ini membuktikan bahwa kontribusi sektor telekomunikasi ternyata sangat besar dalam membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Dari sisi ekonomi mikro (ekonomi perusahaan) khususnya pendapatan operator telekomunikasi maka bisnis selular dan wireless telah memberikan dampak finansial baik positif maupun negatif. Kinerja Operator dilihat dari 3 (tiga) rasio penilaian yakni: Operating Revenue, EBITDA dan ARPU.

Untuk Operating Revenue operator dapat dibuktikan dari kinerja sbb:

                                      Diagram-5.a. Pertumbuhan Operating Revenue Operator Selular di Indonesia 


            Diagram-5.a menunjukkan bahwa kinerja kelima operator mengalami penurunan operating revenue (pendapatan operasional) dari 2007 ke 2008. Angka penurunan ini dapat dilihat dari diagram-5.b berikut:

Operator
2007
2008
Telkom Group
15,90%
2,10%
Indosat
34,70%
13,20%
Excelkomindo
38,00%
51,20%
Bakrie
112,00%
70,70%
Mobile 8
49,90%
-17,10%
Diagram-5.b. Operator Operating Revenue

Penurunan ini disebabkan pasar yang jenuh dan kompetisi yang sangat ketat antar operator. Sehingga tidak hanya mengakibatkan terjadinya penurunan pelanggan pada operator namun berakibat pada pendapatan operasional yang menurun.
Untuk kinerja EBITDA (Earning before Interest, Taxes, Depreciation and Appreciation) dapat dilihat dari diagram-6 berikut ini:
                   Diagram-6.a EBITDA Growth per operator
                   
                    Diagram-6.b EBITDA Growth per operator

Operator
2007
2008
Telkom Group
16,90%
-6,60%
Indosat
23,60%
7,00%
Excelkomindo
37,40%
46,30%
Bakrie
87,10%
50,70%
Mobile 8
-39,80%
5,40%
                                       
Diagram-6.b menggambarkan penurunan EBITDA, meskipun masih bernilai positif kecuali Telkom Group. Khusus XL mengalami peningkatan dari 37,40% menjadi 46,30%.
Untuk kinerja ARPU (Average Revenue Per User) dapat dilihat dari diagram-7 berikut ini:

Diagram-7. ARPU Growth per Operator


Diagram-7 menunjukkan bahwa semakin besar jumlah pelanggan yang dimiliki oleh operator maka semakin menurun jumlah ARPU operator. Menurut BRTI, penurunan ARPU disebabkan adanya perubahan rezim interkoneksi dengan menggunakan pendekatan cost base di tahun 2007. Dengan perubahan rezim ini maka terjadilah perang harga antar operator untuk mendapatkan pelanggan sehingga berakibat pada penurunan tingkat ARPU masing-masing operator. Pasar yang sudah jenuh pun turut berkontribusi pada penurunan ARPU mengingat pelanggan selular di Indonesia sudah mencapai lebih dari jumlah penduduk.

Menginjak tahun 2010, perkembangan manis dirasakan oleh operator kita. XL kini menjadi pemimpin pasar di sektor telekomunikasi di negeri kepulauan ini. Pada laporan keuangan XL triwulan III 2010, pendapatan usaha perseroan mencapai Rp.13 triliun, melonjak 32% dibandingkan periode sama 2009. Pada saat yang sama, XL secara fantastis mampu meraup laba bersih hingga Rp. 2,1 triliun. Sementara jumlah pelanggan XL, hingga September 2010 tercatat sebanyak 38,5 juta nomor, melonjak 44% dibandingkan periode sama tahun 2009. Padahal angka 38 juta nomor merupakan target yang dipatok perseroan untuk satu tahun penuh 2010.
Kinerja keuangan XL pada kuartal III 2010 ini, menurut penulis merupakan yang  yang terbaik dibandingkan pencapaian dua kompetitor lainnya, yakni Indosat dan Telkomsel. Berdasarkan laporan keuangan operator yang dipublikasikan ke Bursa Efek Indonesia, pada kuartal III 2010 pertumbuhan pendapatan Indosat hanya 16,6%, sedangkan pendapatan Telkomsel hanya mampu tumbuh 2,6%. Angka pertumbuhan pendapatan kedua operator ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang diraih oleh XL. Pendapatan seluler Indosat mencapai Rp. 11,914 triliun, sementara XL memperoleh pendapatan sebesar Rp. 13 triliun. Pada pos laba bersih, XL mampu membukukan kenaikan 73% menjadi Rp. 2,1 triliun. Pada saat yang sama, Indosat hanya mencatat laba Rp. 530,9 miliar. Bahkan dari sisi kapitalisasi pasar, Indosat mencatat Rp.32,6 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan XL dengan kapitalisasi pasar Rp. 48,5 triliun. Prestasi luar biasa XL!!!
III.             Model Bisnis Telekomunikasi Selular Saat ini

Selain profil ICT yang telah diterangkan di atas termasuk kinerja operator, maka tak kalah pentingnya adalah mengelaborasi business model atau model bisnis selular yang perkembangannya demikian progresifnya. Secara garis besar model bisnis selular terbagi menjadi sbb:
1.      Bisnis melalui pendekatan voice-centric dan data-centric baik untuk level corporate maupun retail. Hal ini tercermin dari makin maraknya perang tarif percakapan dan sms gratis diantara sejumlah operator. Model bisnis seperti ini bertitik tolak pada kemampuan operator untuk merebut volume pasar yang besar dan strategi yang apik untuk mengelola bisnis seluler dengan mengedepankan pada bisnis layanan paket data secara prima. Model bisnis ini membutuhkan investasi puluhan hingga ratusan juta dollar AS sehingga hanya operator yang memiliki modal besar dan corporate strategy yang kreatif dan handal saja yang akan mampu bertahan. Margin keuntungan pada model bisnis ini cukup tipis dan oleh karenanya dibutuhkan basis pelanggan yang sangat masif untuk meraup keuntungan sekaligus bertahan di tengah ketatnya kompetisi selular di tanah air. Sebagai gambaran, Indonesia adalah negara terbanyak memiliki operator hingga 11 perusahaan. Model bisnis ini antara lain bisnis konten dan aplikasi untuk selular, sms-banking, mobile banking, layanan wireless broadband untuk internet, paket layanan akses BlackBerry dan lain-lain.

2.      Model bisnis pada infrastruktur backbone baik domestic backbone maupun international backbone. Domestic backbone menggunakan jaringan fiber optic, microwave link dan satelit. Pemain disektor ini diantaranya adalah Telkom, Telkomsel, Indosat dan XL. Sementara International backbone menggunakan jaringan international satellite dan international submarine cable network.  Hal ini juga termasuk bisnis pada layanan IPTV (Internet Protocol TV), metropolitan network dan layanan penyiaran digital seperti siaran televisi kabel (direct to home).
Kelemahan pada model bisnis saat ini adalah dengan semakin besarnya penetrasi selular dan internet disertai dengan menjamurnya ponsel-ponsel pintar (smart phones) maka akan mempengaruhi lalu-lintas komunikasi dan alokasi spektrum frekuensi. 

Seperti kita ketahui bahwa dalam dunia telekomunikasi, spektrum frekuensi merupakan sumber daya terbatas (scarce resource) layaknya sumber daya alam seperti minyak bumi. Oleh karena itu dengan semakin variatifnya layanan selular yang ditunjang oleh layanan 3G dan 3,5G seperti halnya modem-modem wireless broadband dan smart phones maka akan berakibat pada gangguan frekuensi di masa mendatang. Ponsel pintar banyak melahap data! Jaringan komunikasi yang masuk melalui ponsel pintar telah melebihi kapasitasnya karena sibuk menerima dan mengirimkan web pages, email, dan video streaming, 24 jam sehari tanpa henti. Tidak tertutup kemungkinan jika penggunaan perangkat-perangkat canggih seperti itu kian meluas, maka jaringan selular di Indonesia (bahkan dunia) akan mengalami gangguan serius atau mungkin macet.
Inilah sebenarnya tantangan dan sekaligus peluang bisnis selular di nusantara untuk mengelola telekomunikasi secara komprehensif baik dari sisi regulasi, bisnis maupun kemajuan teknologi.
IV.             Model Bisnis Telekomunikasi Selular Yang Tepat dan Sustainable
Agar perusahaan operator selular tetap eksis dan bisnis mereka tetap berkelanjutan (sustainable) maka harus dilakukan terobosan-terobosan secara kreatif dan serius. Untuk itu model bisnis yang tepat, kreatif dan sustainable harus segera diimplementasikan sbb:
1.      Bisnis Managed Service. Model bisnis ini sungguh sangat tepat dilakukan dalam rangka upaya efisiensi dan efektivitas kerja operator selular. Bisnis Managed Service lazimnya dalam praktek internasional dilakukan secara outsourcing (alih daya) dengan mitra-mitra operator selular. Melalui managed service kewajiban operator dalam rangka pemenuhan pembangunan jaringan (network) dan kinerja operasi termasuk QoS (Quality of service) dapat dijalankan secara optimal. Alih daya managed service ini merupakan salah satu solusi yang penting bagi operator yang ingin memiliki daya saing di industri yang sangat kompetitif ini. Hal ini dilatarbelakangi bahwa operator harus dituntut fokus pada penyediaan layanan pelanggan yang prima sekaligus juga mengelola jaringan. Oleh karena itu, kedua fokus ini tentunya membutuhkan biaya besar termasuk untuk akuisisi pelanggan. Managed service hadir sebagai a way out yang  memberikan nilai tambah kepada industri dan pelanggan serta menjadi diferensiasi strategi sehingga membuat operator kian kompetitif. Contoh bisnis ini adalah pendirian dan pengelolaan menara BTS oleh pihak outsourcing.
Analogi managed service dengan dunia perbankan, adalah pemeliharaan ATM, disaster recovery management, deliveri surat-surat ke nasabah, jasa penagihan termasuk akuisisi nasabah dilakukan oleh perusahaan outsourcing.

2.      Bisnis Mobile-Internet. Melalui teknologi 4 G seperti teknologi DC (Dual Carrier) HSPA+, WIMAX dan LTE akan menjadi salah satu layanan unggulan  operator pada masa-masa mendatang. Di sisi pelanggan, seiring dengan banyaknya smart-device atau smart phone (iPhone, iPad, Galaxy Tab dan lain-lain) yang kaya konten dan bersifat konvergen maka dibutuhkan akses data dan jaringan yang super cepat. Pada saatnya perangkat laptop dan smart phone akan menyatu. Dengan demikian Mobile-internet akan menjadi tren yang populer.

3.      Bisnis Cloud Computing. Meskipun model bisnis ini dijalankan oleh ISP (Internet Service Provider) non operator telekomunikasi selular namun operator selular perlu terjun mengingat bisnis ini sangat prospektif dan dapat mengurangi kompleksitas dan beban operasional infrastruktur jaringan (network) yang dihadapi oleh pelanggan atau pun klien korporasi. Sifat cloud computing ini mirip dengan ketersediaan jaringan listrik PLN. Berlangganan internet atau pun leased line seperti halnya berlangganan listrik. Kastemer korporasi tidak perlu lagi menyediakan perangkat jaringan, server untuk melakukan koneksi internet namun cukup berlangganan dengan provider cloud computing secara periodik. Bisnis ini dapat mengurangi jejak karbon (carbon footprint) dari korporasi yang membutuhkan konsumsi energi listrik 24 jam penuh untuk keperluan peralatan pendingin ruang server, switcher, router dan data center. Bisnis cloud computing akan menjadi tren dari business solution yang ramah lingkungan karena hemat energi dan hemat biaya.

4.      Bisnis e-Money (uang elektronik). Mengapa operator selular perlu terjun ke bisnis e-money? Karena uang elektronik akan menjadi trend populer menuju cashless society (masyarakat tanpa uang tunai). Dari sisi regulator (Bank Indonesia), e-money dapat mengurangi biaya BI untuk mencetak uang pecahan kecil. Selain itu e-money merupakan tren global dalam  aspek payment service khususnya dalam transaksi elektronik maupun alat pembayaran menggunakan kartu (APMK).

Di Indonesia, lembaga selain bank, dalam hal in operator telekomunikasi juga diizinkan oleh BI untuk menjadi penerbit e-money (Regulasi BI Nomor: 11/12/PBI/2009). Sampai saat ini baru dua operator yakni Telkomsel (dengan produk T-Cash) dan Indosat (Dompetku) yang terjun ke dunia cashless money ini. Menurut data BI, pertumbuhan e-money sangat spektakuler. Hal ini dapat dilihat dari diagram-8 dan 9, sbb:

        
Diagram-8 menerangkan bahwa pertumbuhan volume transaksi e-money meningkat 581% dari 2008 (2,56 juta transaksi) ke 2009 (17,44 juta transaksi).
Sementara itu Diagram-9 di bawah ini menggambarkan nilai transaksi e-money meningkat sebesar 577,2% dari Rp.80 Milyar di 2008 menjadi Rp.520 Milyar di tahun 2009.
Manfaat bagi operator untuk berbisnis e-money adalah untuk meningkatkan fee base income (FBI) perusahaan melalui jasa pengiriman uang dan merchant discount rate (MDR), meningkatkan usage dan loyalitas pelanggan operator serta strategi untuk mengakuisisi pelanggan melalui bundling layanan selular dengan micro payment services. Meskipun pelanggan T-Cash (lebih dari 3 juta nomor di 2010) dan Dompetku (lebih dari 2.500 nomor di 2009) belum mencapai target dari yang diharapkan kedua operator tersebut namun prospeknya tetap cerah. Hal ini mengingat bisnis inti selular semakin jenuh dan perlu kreasi produk dan layanan di sektor lain dengan memanfaatkan basis pelanggan operator yang sangat masif itu.
Keempat model bisnis di atas niscaya merupakan model bisnis yang berkelanjutan (sustainable) baik dilihat dari sisi CRM (Customer Relationship Management) dengan database pelanggan yang besar, efisiensi operasi, QoS maupun kebutuhan yang variatif dan kompleks. Selain itu, peran operator selular dapat menjadi jembatan penghubung antara pelanggan dengan masyarakat non tunai yang sama-sama berada pada jalur kebutuhan transaksi elektronik. Inilah uniknya model bisnis ini dalam era masyarakat telematika.
Sebagai penutup, perlu disampaikan bahwa regulator dan operator perlu duduk bersama bagaimana mengatasi masalah penomoran (numbering) yang merupakan sumber daya terbatas. Layanan MNP (mobile number portability) seperti yang diterapkan di negara ASEAN dan negara-negara lainnya dapat menjadi solusi untuk mengatasi efisiensi nomor pelanggan yang sering berganti-ganti. Satu nomor untuk semua operator.
Demikian tulisan ini dibuat. Semoga bermanfaat.
*) Penulis: Leonard Tiopan Panjaitan, karyawan Bank BUMN di Jakarta dan Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Teknik (Konsentrasi Manajemen Telekomunikasi) Universitas Mercu Buana. email: leonardpanjaitan@gmail.com

Empat Model Bisnis Yang Sustainable Pada Industri Telekomunikasi Selular

(Tema Khusus: Industri Telekomunikasi Selular di Indonesia Pada Saat ini dan Bisnis Model Yang Tepat)

Oleh Leonard Tiopan Panjaitan *)

I.                   Perkembangan Industri Selular di Indonesia dari Masa ke Masa

            Tak bisa dipungkiri bahwa industri selular telah berkembang dengan begitu pesatnya di Indonesia. Perkembangan industri selular yang pesat tersebut sangat menggembirakan mengingat Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state). Hal ini didasari bahwa tantangan pada infrastruktur telekomunikasi tentunya lebih besar pada negara yang bercirikan kepulauan daripada negara yang bersifat kontinental. Perkembangan dan dinamika sektor telekomunikasi di negara-negara seperti AS, Eropa dan Amerika Latin tentu tidak bisa dibandingkan secara head to head dengan Indonesia dimana terdiri dari pulau-pulau yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Dapat kita membayangkan bahwa ketika era 1960-an hingga 1980-an dimana populasi Indonesia belum berkembang secara pesat, ketersediaan jaringan telepon pada masa-masa itu sangat rendah sekali. Namun kini di era tahun 2000-an hingga tahun 2010 ketika jumlah penduduk mencapai 236,7 Juta (Sensus Penduduk BPS;2010) maka teledensitas semakin bertambah pula. 
            Meskipun Indonesia negara kepulauan dengan garis pantai terbesar kedua setelah Kanada, Indonesia berhasil membangun industri telekomunikasi secara bertahap dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini dibuktikan bahwa Industri seluler di Indonesia telah melewati fase seperti ditunjukkan pada diagram-1. berikut ini:

                                Diagram.1 : Periode ICT di Indonesia (Dr.Iwan Krisnadi, MBA; 2010)


                Diagram.1 di atas dan berdasarkan informasi wikipedia maka teknologi selular di Indonesia telah berkembang sejak era 80-an yang pada saat itu dimulai oleh PT Telkom untuk menyelenggarakan layanan komunikasi seluler dengan mengusung teknologi NMT-450 (Nordic Mobile Telephone yang menggunakan frekuensi 450 MHz). Pada tahun 1985, teknologi AMPS (Advanced Mobile Phone System) masuk ke Indonesia dengan menggunakan frekuensi 800 MHz. Teknologi ini  merupakan cikal bakal CDMA saat ini. Pada saat itu, telepon seluler yang beredar di Indonesia masih belum bisa dimasukkan ke dalam saku celana karena ukurannya yang besar dan berat, rata-rata 430 gram. Harganya pun masih mahal, sekitar Rp10 juta-an saat itu.

            Masuk ke era 90-an, sekitar tahun 1993 PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) muncul sebagai operator GSM pertama di Indonesia. Pada periode ini, teknologi NMT dan AMPS mulai ditinggalkan, ditandai dengan tren melonjaknya jumlah pelanggan GSM di Indonesia. Beberapa faktor penyebab lonjakan tersebut antara lain, karena GSM menggunakan SIM card yang memungkinkan pelanggan untuk berganti handset tanpa mengganti nomor. Selain itu, ukuran handset tidak lagi besar tetapi sudah jauh mengecil. Menginjak tahun 1997, Setelah GSM berkembang dengan frekuensi GSM 1800 MHz Telkomsel memperkenalkan SimPATI sebagai produk prabayar pertama. Lalu disusul Pro-XL yang diluncurkan oleh PT Excelcom dengan roaming-nya sebagai servis unggulan di tahun 1998. Seolah tidak mau ketinggalan dengan kompetitornya, Satelindo lalu membuat produk Mentari dengan keunggulan perhitungan tarif per detik. Inilah embrio munculnya tren pemakaian voucher gesek dengan basis pelanggan pra bayar. 

            Merambah ke era 2000-an, Indosat mendirikan PT. Indosat Multi Media Mobile (IM3), yang kemudian menjadi pelopor layanan GPRS (General Packet Radio Service) dan MMS (Multimedia Messaging Service) di Indonesia. Pada 8 Oktober 2002, Telkomsel menjadi operator kedua yang menyajikan layanan tersebut yang kemudian dikenal sebagai layanan 2G atau (Second Generation). Pada Desember 2002, TelkomFlexi hadir sebagai operator CDMA pertama di Indonesia, di bawah pengawasan PT. Telekomunikasi Indonesia, menggunakan frekuensi 1.900 MHz dengan lisensi FWA (Fixed Wireless Access). Kemudian mulai muncul teknologi 3G , dimana setelah melalui proses tender pada tanggal 08 Februari 2006 tiga operator telepon seluler ditetapkan sebagai pemenang oleh Pemerintah untuk memperoleh lisensi layanan 3G. Ketiga perusahaan tersebut adalah yakni PT. Telkomsel, PT Indosat, dan PT. Excelcomindo Pratama (XL). Dan demikianlah selanjutnya sejak tahun 2006 teknologi 3G sudah meluncur secara komersial di masyarakat.

            Di era tahun 2010 ke atas, muncul teknologi 4G diantaranya Wimax, LTE dan Konvergensi ICT yang akan menjadi tren dan servis unggulan pelanggan. Saat ini regulasi dan standarisasi ke teknologi konvergensi sedang dioptimalkan oleh para pemangku kepentingan.

II.                Profil Perkembangan TIK di Indonesia

Seiring pesatnya teknologi selular di Indonesia maka turut membawa manfaat yang sangat besar dalam sektor telekomunikasi di negeri ini. Intinya dunia TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau ICT tumbuh karena kontribusi industri selular yang signifikan. Hal ini dibuktikan dengan informasi dari ITU (International Telecommunication Union) sbb:

       Diagram-2. ICT Development Index (IDI - Sumber: ITU-D 2010)

Diagram-2 menunjukkan bahwa menurut ICT Development Index yang tertera dalam kajiannya yang berjudul “Measuring the Information Society” bahwa Indonesia berada pada ranking 19 di kawasan Asia Pasific dan peringkat 107 di dunia. Indeks tersebut menunjukkan bahwa kemajuan ICT telah meningkat dari Indeks sebsar 1,57 di tahun 2001 menjadi 2,15 di tahun 2007. Untuk level dunia, peringkat Indonesia meningkat dari 109 di tahun 2002 menjadi 107 di tahun 2008. Memang secara rangking terlihat pergerakannya sangat kecil namun tak bisa dipungkiri Indonesia sudah mengalami kemajuan yang berarti.

Indeks IDI di atas sebagai akibat dari penetrasi industri selular bergerak sebesar 61,72% dengan total pelanggan sebesar 140,578 juta nomor (Dr. Iwan Krisnadi;2010). Pada kwartal ketiga (Q-3) tahun 2009, pelanggan selular telah mencapai 159,247 juta nomor. Jumlah ini sudah termasuk 155,337 juta pelanggan prabayar dan 3,872 juta pelanggan pascabayar. Besarnya jumlah pelanggar prabayar 98% vs pascabayar 2% menunjukkan bahwa pelanggan lebih menyukai pemakaian ponsel yang dapat dikontrol melalui prabayar. Sementara pihak operator lebih banyak melepas produk prabayar karena dapat menurunkan risiko tagihan macet dan meningkatkan cash flow perusahaan operator secara signifikan.

Di lain pihak, akses wireless broadband di Indonesia juga didominasi oleh empat operator (Telkom, Telkomsel, XL dan Indosat). Pelanggan prabayar untuk akses nirkabel ini berjumlah 24,728 juta nomor dan pascabayar sebesar 807,509 ribu nomor. Jadi secara keseluruhan, gabungan industri selular dan wireless broadband menjadi sebesar 184,783 pelanggan, yang mana 180,103 juta merupakan pelanggan prabayar (97%) dan 4,679 juta pelanggan pascabayar (3%). 

            Di sisi teledensitas maka industri selular dan wireless keduanya mencapai teledensitas sebesar 78 sambungan telepon per 100 orang penduduk. Jadi total teledensitas di Indonesia tahun 2009 adalah 82 sambungan telepon, sudah termasuk sambungan telepon tetap (Lihat Diagram-3).          

       Diagram-3.Teledensitas Wireless, Wireline dan Selular di Indonesia (Sumber:BRTI)

Sampai dengan kuartal ketiga 2009, teledensitas di Indonesia hanya mencapai 3,83 atau 4 untuk sambungan telepon tetap per 100 orang penduduk. Angka ini memang sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara-negara di ASEN namun penetrasi selular dan wireless access di Indonesia cukup tinggi sebesar 61,72% dengan tingkat pemakaian kedua-duanya mencapai 66,82% (Dr.Iwan Krisnadi;2010).

Perkembangan ICT khususnya industri selular di Indonesia sangat berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita penduduk di negeri ini. Diagram-4 di bawah ini menunjukkan pendapatan per kapita penduduk di propinsi di Indonesia.
                     
             Diagram-4. Teledensitas per Propinsi di Indonesia (Sumber:BRTI)

           Diagram-4 di atas menerangkan bahwa teledensitas tertinggi diraih oleh Propinsi DKI Jakarta dengan nilai 15. Hal ini juga mengartikan bahwa semakin tinggi teledensitas propinsi maka semakin tinggi pula pendapatan per kapita penduduk propinsi tersebut.  Menurut Bappenas, berdasarkan pendapatan per kapita di mana pendapatan per kapita Jakarta pada tahun 2007 kurang lebih sebesar Rp. 64,24 juta per jiwa sementara rata-rata nasional Rp. 20 juta per jiwa. Lebih jauh lagi ITU mengatakan bahwa pertambahan penetrasi mobile 1% dinegara berkembang berkorelasi dengan pertambahan Income per Capita 4,7%. Pertambahan penetrasi internet 1% di negara berkembang akan berkorelasi dengan pertambahan Income per Capita 10,5%.

            Dari sisi makro ekonomi dimana dalam laporan nota keuangan RI 2010 yang disampaikan Presiden tanggal 16 Agustus 2010, tercantum sektor telekomunikasi menempati peringkat pertama di tahun 2009, sebagai sektor yang mengalami pertumbuhan signifikan. Tingkat pertumbuhan sektor telekomunikasi mencapai 13,60%. Hal ini membuktikan bahwa kontribusi sektor telekomunikasi ternyata sangat besar dalam membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Dari sisi ekonomi mikro (ekonomi perusahaan) khususnya pendapatan operator telekomunikasi maka bisnis selular dan wireless telah memberikan dampak finansial baik positif maupun negatif. Kinerja Operator dilihat dari 3 (tiga) rasio penilaian yakni: Operating Revenue, EBITDA dan ARPU.

Untuk Operating Revenue operator dapat dibuktikan dari kinerja sbb:

                       Diagram-5.a. Pertumbuhan Operating Revenue Operator Selular di Indonesia 


            Diagram-5.a menunjukkan bahwa kinerja kelima operator mengalami penurunan operating revenue (pendapatan operasional) dari 2007 ke 2008. Angka penurunan ini dapat dilihat dari diagram-5.b berikut:
                                                Diagram-5.b. Operator Operating Revenue
Operator
2007
2008
Telkom Group
15,90%
2,10%
Indosat
34,70%
13,20%
Excelkomindo
38,00%
51,20%
Bakrie
112,00%
70,70%
Mobile 8
49,90%
-17,10%


Penurunan ini disebabkan pasar yang jenuh dan kompetisi yang sangat ketat antar operator. Sehingga tidak hanya mengakibatkan terjadinya penurunan pelanggan pada operator namun berakibat pada pendapatan operasional yang menurun.
Untuk kinerja EBITDA (Earning before Interest, Taxes, Depreciation and Appreciation) dapat dilihat dari diagram-6 berikut ini:
    Diagram-6.a EBITDA Growth per operator
                   
     Diagram-6.b EBITDA Growth per operator

Operator
2007
2008
Telkom Group
16,90%
-6,60%
Indosat
23,60%
7,00%
Excelkomindo
37,40%
46,30%
Bakrie
87,10%
50,70%
Mobile 8
-39,80%
5,40%
                                       
Diagram-6.b menggambarkan penurunan EBITDA, meskipun masih bernilai positif kecuali Telkom Group. Khusus XL mengalami peningkatan dari 37,40% menjadi 46,30%.
Untuk kinerja ARPU (Average Revenue Per User) dapat dilihat dari diagram-7 berikut ini:

Diagram-7. ARPU Growth per Operator


Diagram-7 menunjukkan bahwa semakin besar jumlah pelanggan yang dimiliki oleh operator maka semakin menurun jumlah ARPU operator. Menurut BRTI, penurunan ARPU disebabkan adanya perubahan rezim interkoneksi dengan menggunakan pendekatan cost base di tahun 2007. Dengan perubahan rezim ini maka terjadilah perang harga antar operator untuk mendapatkan pelanggan sehingga berakibat pada penurunan tingkat ARPU masing-masing operator. Pasar yang sudah jenuh pun turut berkontribusi pada penurunan ARPU mengingat pelanggan selular di Indonesia sudah mencapai lebih dari jumlah penduduk.

Menginjak tahun 2010, perkembangan manis dirasakan oleh operator kita. XL kini menjadi pemimpin pasar di sektor telekomunikasi di negeri kepulauan ini. Pada laporan keuangan XL triwulan III 2010, pendapatan usaha perseroan mencapai Rp.13 triliun, melonjak 32% dibandingkan periode sama 2009. Pada saat yang sama, XL secara fantastis mampu meraup laba bersih hingga Rp. 2,1 triliun. Sementara jumlah pelanggan XL, hingga September 2010 tercatat sebanyak 38,5 juta nomor, melonjak 44% dibandingkan periode sama tahun 2009. Padahal angka 38 juta nomor merupakan target yang dipatok perseroan untuk satu tahun penuh 2010.
Kinerja keuangan XL pada kuartal III 2010 ini, menurut penulis merupakan yang  yang terbaik dibandingkan pencapaian dua kompetitor lainnya, yakni Indosat dan Telkomsel. Berdasarkan laporan keuangan operator yang dipublikasikan ke Bursa Efek Indonesia, pada kuartal III 2010 pertumbuhan pendapatan Indosat hanya 16,6%, sedangkan pendapatan Telkomsel hanya mampu tumbuh 2,6%. Angka pertumbuhan pendapatan kedua operator ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang diraih oleh XL. Pendapatan seluler Indosat mencapai Rp. 11,914 triliun, sementara XL memperoleh pendapatan sebesar Rp. 13 triliun. Pada pos laba bersih, XL mampu membukukan kenaikan 73% menjadi Rp. 2,1 triliun. Pada saat yang sama, Indosat hanya mencatat laba Rp. 530,9 miliar. Bahkan dari sisi kapitalisasi pasar, Indosat mencatat Rp.32,6 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan XL dengan kapitalisasi pasar Rp. 48,5 triliun. Prestasi luar biasa XL!!!
III.             Model Bisnis Telekomunikasi Selular Saat ini

Selain profil ICT yang telah diterangkan di atas termasuk kinerja operator, maka tak kalah pentingnya adalah mengelaborasi business model atau model bisnis selular yang perkembangannya demikian progresifnya. Secara garis besar model bisnis selular terbagi menjadi sbb:
1.      Bisnis melalui pendekatan voice-centric dan data-centric baik untuk level corporate maupun retail. Hal ini tercermin dari makin maraknya perang tarif percakapan dan sms gratis diantara sejumlah operator. Model bisnis seperti ini bertitik tolak pada kemampuan operator untuk merebut volume pasar yang besar dan strategi yang apik untuk mengelola bisnis seluler dengan mengedepankan pada bisnis layanan paket data secara prima. Model bisnis ini membutuhkan investasi puluhan hingga ratusan juta dollar AS sehingga hanya operator yang memiliki modal besar dan corporate strategy yang kreatif dan handal saja yang akan mampu bertahan. Margin keuntungan pada model bisnis ini cukup tipis dan oleh karenanya dibutuhkan basis pelanggan yang sangat masif untuk meraup keuntungan sekaligus bertahan di tengah ketatnya kompetisi selular di tanah air. Sebagai gambaran, Indonesia adalah negara terbanyak memiliki operator hingga 11 perusahaan. Model bisnis ini antara lain bisnis konten dan aplikasi untuk selular, sms-banking, mobile banking, layanan wireless broadband untuk internet, paket layanan akses BlackBerry dan lain-lain.

2.      Model bisnis pada infrastruktur backbone baik domestic backbone maupun international backbone. Domestic backbone menggunakan jaringan fiber optic, microwave link dan satelit. Pemain disektor ini diantaranya adalah Telkom, Telkomsel, Indosat dan XL. Sementara International backbone menggunakan jaringan international satellite dan international submarine cable network.  Hal ini juga termasuk bisnis pada layanan IPTV (Internet Protocol TV), metropolitan network dan layanan penyiaran digital seperti siaran televisi kabel (direct to home).
Kelemahan pada model bisnis saat ini adalah dengan semakin besarnya penetrasi selular dan internet disertai dengan menjamurnya ponsel-ponsel pintar (smart phones) maka akan mempengaruhi lalu-lintas komunikasi dan alokasi spektrum frekuensi. 

Seperti kita ketahui bahwa dalam dunia telekomunikasi, spektrum frekuensi merupakan sumber daya terbatas (scarce resource) layaknya sumber daya alam seperti minyak bumi. Oleh karena itu dengan semakin variatifnya layanan selular yang ditunjang oleh layanan 3G dan 3,5G seperti halnya modem-modem wireless broadband dan smart phones maka akan berakibat pada gangguan frekuensi di masa mendatang. Ponsel pintar banyak melahap data! Jaringan komunikasi yang masuk melalui ponsel pintar telah melebihi kapasitasnya karena sibuk menerima dan mengirimkan web pages, email, dan video streaming, 24 jam sehari tanpa henti. Tidak tertutup kemungkinan jika penggunaan perangkat-perangkat canggih seperti itu kian meluas, maka jaringan selular di Indonesia (bahkan dunia) akan mengalami gangguan serius atau mungkin macet.
Inilah sebenarnya tantangan dan sekaligus peluang bisnis selular di nusantara untuk mengelola telekomunikasi secara komprehensif baik dari sisi regulasi, bisnis maupun kemajuan teknologi.
IV.             Model Bisnis Telekomunikasi Selular Yang Tepat dan Sustainable
Agar perusahaan operator selular tetap eksis dan bisnis mereka tetap berkelanjutan (sustainable) maka harus dilakukan terobosan-terobosan secara kreatif dan serius. Untuk itu ada 4 model bisnis yang tepat, kreatif dan sustainable harus segera diimplementasikan sbb:
1.      Bisnis Managed Service. Model bisnis ini sungguh sangat tepat dilakukan dalam rangka upaya efisiensi dan efektivitas kerja operator selular. Bisnis Managed Service lazimnya dalam praktek internasional dilakukan secara outsourcing (alih daya) dengan mitra-mitra operator selular. Melalui managed service kewajiban operator dalam rangka pemenuhan pembangunan jaringan (network) dan kinerja operasi termasuk QoS (Quality of service) dapat dijalankan secara optimal. Alih daya managed service ini merupakan salah satu solusi yang penting bagi operator yang ingin memiliki daya saing di industri yang sangat kompetitif ini. Hal ini dilatarbelakangi bahwa operator harus dituntut fokus pada penyediaan layanan pelanggan yang prima sekaligus juga mengelola jaringan. Oleh karena itu, kedua fokus ini tentunya membutuhkan biaya besar termasuk untuk akuisisi pelanggan. Managed service hadir sebagai a way out yang  memberikan nilai tambah kepada industri dan pelanggan serta menjadi diferensiasi strategi sehingga membuat operator kian kompetitif. Contoh bisnis ini adalah pendirian dan pengelolaan menara BTS oleh pihak outsourcing.
Analogi managed service dengan dunia perbankan, adalah pemeliharaan ATM, disaster recovery management, deliveri surat-surat ke nasabah, jasa penagihan termasuk akuisisi nasabah dilakukan oleh perusahaan outsourcing.

2.      Bisnis Mobile-Internet. Melalui teknologi 4 G seperti teknologi DC (Dual Carrier) HSPA+, WIMAX dan LTE akan menjadi salah satu layanan unggulan  operator pada masa-masa mendatang. Di sisi pelanggan, seiring dengan banyaknya smart-device atau smart phone (iPhone, iPad, Galaxy Tab dan lain-lain) yang kaya konten dan bersifat konvergen maka dibutuhkan akses data dan jaringan yang super cepat. Pada saatnya perangkat laptop dan smart phone akan menyatu. Dengan demikian Mobile-internet akan menjadi tren yang populer.

3.      Bisnis Cloud Computing. Meskipun model bisnis ini dijalankan oleh ISP (Internet Service Provider) non operator telekomunikasi selular namun operator selular perlu terjun mengingat bisnis ini sangat prospektif dan dapat mengurangi kompleksitas dan beban operasional infrastruktur jaringan (network) yang dihadapi oleh pelanggan atau pun klien korporasi. Sifat cloud computing ini mirip dengan ketersediaan jaringan listrik PLN. Berlangganan internet atau pun leased line seperti halnya berlangganan listrik. Kastemer korporasi tidak perlu lagi menyediakan perangkat jaringan, server untuk melakukan koneksi internet namun cukup berlangganan dengan provider cloud computing secara periodik. Bisnis ini dapat mengurangi jejak karbon (carbon footprint) dari korporasi yang membutuhkan konsumsi energi listrik 24 jam penuh untuk keperluan peralatan pendingin ruang server, switcher, router dan data center. Bisnis cloud computing akan menjadi tren dari business solution yang ramah lingkungan karena hemat energi dan hemat biaya.

4.      Bisnis e-Money (uang elektronik). Mengapa operator selular perlu terjun ke bisnis e-money? Karena uang elektronik akan menjadi trend populer menuju cashless society (masyarakat tanpa uang tunai). Dari sisi regulator (Bank Indonesia), e-money dapat mengurangi biaya BI untuk mencetak uang pecahan kecil. Selain itu e-money merupakan tren global dalam  aspek payment service khususnya dalam transaksi elektronik maupun alat pembayaran menggunakan kartu (APMK).

Di Indonesia, lembaga selain bank, dalam hal in operator telekomunikasi juga diizinkan oleh BI untuk menjadi penerbit e-money (Regulasi BI Nomor: 11/12/PBI/2009). Sampai saat ini baru dua operator yakni Telkomsel (dengan produk T-Cash) dan Indosat (Dompetku) yang terjun ke dunia cashless money ini. Menurut data BI, pertumbuhan e-money sangat spektakuler. Hal ini dapat dilihat dari diagram-8 dan 9, sbb:

        
Diagram-8 menerangkan bahwa pertumbuhan volume transaksi e-money meningkat 581% dari 2008 (2,56 juta transaksi) ke 2009 (17,44 juta transaksi).
Sementara itu Diagram-9 di bawah ini menggambarkan nilai transaksi e-money meningkat sebesar 577,2% dari Rp.80 Milyar di 2008 menjadi Rp.520 Milyar di tahun 2009.
Manfaat bagi operator untuk berbisnis e-money adalah untuk meningkatkan fee base income (FBI) perusahaan melalui jasa pengiriman uang dan merchant discount rate (MDR), meningkatkan usage dan loyalitas pelanggan operator serta strategi untuk mengakuisisi pelanggan melalui bundling layanan selular dengan micro payment services. Meskipun pelanggan T-Cash (lebih dari 3 juta nomor di 2010) dan Dompetku (lebih dari 2.500 nomor di 2009) belum mencapai target dari yang diharapkan kedua operator tersebut namun prospeknya tetap cerah. Hal ini mengingat bisnis inti selular semakin jenuh dan perlu kreasi produk dan layanan di sektor lain dengan memanfaatkan basis pelanggan operator yang sangat masif itu.
Keempat model bisnis di atas niscaya merupakan model bisnis yang berkelanjutan (sustainable) baik dilihat dari sisi CRM (Customer Relationship Management) dengan database pelanggan yang besar, efisiensi operasi, QoS maupun kebutuhan yang variatif dan kompleks. Selain itu, peran operator selular dapat menjadi jembatan penghubung antara pelanggan dengan masyarakat non tunai yang sama-sama berada pada jalur kebutuhan transaksi elektronik. Inilah uniknya model bisnis ini dalam era masyarakat telematika.
Sebagai penutup, perlu disampaikan bahwa regulator dan operator perlu duduk bersama bagaimana mengatasi masalah penomoran (numbering) yang merupakan sumber daya terbatas. Layanan MNP (mobile number portability) seperti yang diterapkan di negara ASEAN dan negara-negara lainnya dapat menjadi solusi untuk mengatasi efisiensi nomor pelanggan yang sering berganti-ganti. Satu nomor untuk semua operator.
Demikian tulisan ini dibuat. Semoga bermanfaat.
*) Penulis: Leonard Tiopan Panjaitan, karyawan Bank BUMN di Jakarta dan Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Teknik (Konsentrasi Manajemen Telekomunikasi) Universitas Mercu Buana. email: leonardpanjaitan@gmail.com




Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...