Showing posts with label Air. Show all posts
Showing posts with label Air. Show all posts

Wednesday, May 4, 2011

70 Persen Sumur di Indonesia Tercemar Bakteri E-Coli

Pemerintah belum mampu memenuhi kebutuhan sarana sanitasi secara layak dan sehat. Sebab 70% sumur dangkal yang digunakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih tercemar bakteri Escherichia coli (E-coli). Bahkan sebagian besar sungai-sungai di Indonesia juga tercemar bakteri penyebab penyakit diare itu.

"Sarana sanitasi (secara nasional) lebih buruk dari pemenuhan air bersih (layak)," tegas Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas Nugroho Tri Utomo menjawab pertanyaan Media Indonesia seusai acara program hibah air minum di Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (4/5).

Kualitas Air Ibukota Makin Buruk & Kotor

Kuantitas dan kualitas air Jakarta terus turun. Selain cadangan air tanah makin terkuras. Sebagian air sumur juga tercemar bahan-bahan organik dan anorganik.

Masalah air di Jakarta kian hari kian gawat. Penduduk makin sulit memperoleh air bersih dan sehat. Selain air tanahnya yang ter­cemar, Jakarta yang dihuni seki­tar 9,5 juta jiwa ini juga punya masalah serius. Yakni, terbatasya keterse­di­aan air tanah di beberapa wila­yah. Sedangkan pelayanan air ber­sih da­ri Perusahaan Daerah Air Mi­num (PDAM) Jaya belum maksimal.

Thursday, December 3, 2009

Kecukupan Air Di Pulau Jawa Tinggal Separuh

Kecukupan air untuk berbagai keperluan penduduk di Pulau Jawa pada tahun 2025 diperkirakan hanya mencapai 320 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah ini hanya separuh dari yang dibutuhkan sehingga akan terjadi tingkat kerawanan yang sangat parah.

Hal ini dikemukakan M Ikhwanuddin Mawardi dalam orasi pengukuhan sebagai profesor riset bidang hidrologi dan konservasi tanah pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Rabu (2/12) di Jakarta.

Selain itu, Netty Widyastuti juga dikukuhkan sebagai profesor riset BPPT untuk bidang bioteknologi umum dan Kardono sebagai profesor riset untuk bidang teknologi lingkungan.

”Penanganan krisis air perlu komprehensif,” kata Mawardi.

Dia mengemukakan, setidaknya ada delapan pokok pikiran sebagai langkah komprehensif untuk menangani persoalan krisis kebutuhan pokok masyarakat tersebut, di antaranya meliputi pelaksanaan dan pengawalan kebijakan nasional, seperti menetapkan tutupan vegetasi seluas 30 persen di setiap wilayah provinsi dan kabupaten.

Juga disarankan pengaturan jumlah dan distribusi penduduk di Jawa sebab pada tahun 2007 tingkat kepadatan penduduk di Jawa mencapai 864 orang per kilometer persegi atau 0,12 hektar per kapita, di bawah standar dunia yang disarankan 4,18 hektar per kapita.

”Sebanyak 81,1 juta penduduk pada tahun 2007 harus dikeluarkan dari Jawa kalau ingin memenuhi standar hidup nyaman,” kata Mawardi.

Tinggal 4 persen

Mawardi mengatakan, luas kawasan hutan atau tertutup vegetasi untuk setiap wilayah pemerintahan saat ini mencapai 18 persen, jauh dari ketentuan nasional 30 persen. Bahkan, Mawardi mengutip data Badan Planologi Departemen Kehutanan yang menyebutkan, berdasarkan hasil pengolahan citra satelit luas yang tertutup hutan di Jawa hanya tinggal 4 persen. Hal itu memengaruhi keberlanjutan sumber daya air.

”Menurunnya daya dukung sumber daya air harus diatasi dengan efisiensi penggunaan air,” kata Mawardi.

Beberapa contoh efisiensi penggunaan air adalah pola tanam pertanian tidak dengan pengairan sepanjang musim dan dengan daur ulang air irigasi pertanian. Penggunaan biotoilet atau toilet kering di tingkat rumah tangga bisa juga mengurangi jumlah penggunaan air.

Dalam pengukuhan sebagai profesor riset BPPT itu, Kardono menyampaikan orasi berjudul, ”Arah Pengembangan Teknologi Mitigasi Polusi Udara dan Gas Rumah Kaca di Indonesia”.

”Salah satu teknologinya, dengan menyimpan gas karbon dioksida bercampur air ke dalam tanah dengan tekanan tinggi, sekaligus menekan minyak agar keluar dari batuan. Upaya ini untuk memerangkap karbon dioksida,” kata Kardono.

Netty Widyastuti menyampaikan orasi berjudul ”Pengembangan Teknologi Bioproses Jamur Tiram (Pleirotus ostreatus) dan Jamur Shitake (Lentinus edodes) sebagai Sumber Gizi dan Bahan Pangan Fungsional. (NAW)

Sunday, October 11, 2009

PERUBAHAN IKLIM: Aksi Prioritas untuk Air dan Energi

Aksi berbagai pihak untuk menanggapi persoalan lingkungan terkait air dan energi menjadi prioritas utama. Air dan energi merupakan dua isu perubahan iklim yang perannya cukup vital dalam kehidupan manusia.

Demikian terungkap dalam forum bertajuk ”Berubahnya Iklim dan Agama-agama di Indonesia” yang berlangsung di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hingga Kamis (8/10) malam. Hadir dalam forum tersebut, perwakilan dari sejumlah institusi perguruan tinggi, media, dan institusi agama, seperti Uskup Semarang Mgr I Suharyo, Rektor Universitas Sanata Dharma Wiryono Priyotamtama, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga M Amin Abdullah, Lhatiful Kuluq, Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Basis GP Sindhunata, Pendeta F Borrong, dan sekitar 20 orang lain.

Dalam kesepakatan yang diambil melalui pleno setelah diskusi kelompok, semua peserta sepakat bahwa air dan energi harus diprioritaskan dan perlu ditanggapi oleh lembaga asal setiap peserta forum. Disepakati bahwa langkah jangka pendek pertama adalah melakukan penyadaran profetik tentang air dan energi.

Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sony Keraf dalam forum itu mengatakan, ”Apakah kita akan membiarkan orang-orang pada akhirnya harus mati karena krisis iklim? Kita harus menyadarkan masyarakat betapa kritisnya kondisi saat ini sehingga sudah mengancam keselamatan umat manusia.”

Penyadaran yang dilakukan perlu bersifat profetik karena krisis iklim akibat proses perubahan iklim yang sekarang berlangsung sudah menjadi ancaman terhadap kehidupan manusia, ”Menjadi persoalan hidup-mati,” lanjut Sony.

Air dalam arti luas

Persoalan air, menurut Rama Kirjito, salah seorang peserta yang dikenal luas akan perjuangannya menentang penambangan pasir di lereng Merapi, ”Air yang dimaksud di sini adalah air dalam arti luas, bukan hanya air bersih, melainkan juga udara yang sebenarnya juga mengandung uap air dan juga awan sebagai salah satu unsur cuaca yang akan menjadi hujan. Ini semuanya harus mendapat perhatian.” ujarnya.

Peserta forum datang dari lembaga-lembaga yang bidang aktivitasnya beragam. Misalnya, para peserta dari Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma memiliki kegiatan mengembangkan biogas di sebuah desa atau Prof Dr Ir Y Budi Widianarko dari Universitas Soegijapranata yang aktif dalam Yayasan Obor Tani yang mengembangkan perkebunan dengan membangun embung sendiri.

Dalam kata pengantarnya yang dibacakan Wakil Rektor I Universitas Sanata Dharma Dr Fr Ninik Yudianti, ditegaskan forum tersebut bukan semata-mata arena curah gagasan, tetapi bagaimana peserta forum dapat mengambil langkah konkret secara bersama.

”Melalui langkah konkret, suatu koalisi benar-benar akan terwujud. Komitmen bersama sangatlah diperlukan,” katanya.(ISW)

Thursday, September 24, 2009

Kiat Menghemat Air di Rumah

Menghemat air adalah langkah bijak dan sangat berarti bagi kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Ada beberapa cara mudah yang dapat Anda lakukan di rumah untuk menghemat sumber kehidupan ini.

Di Kamar Mandi
- Matikan keran saat sedang menggosok gigi. Membiarkan keran terbuka 1 menit sama saja dengan membiarkan 9 liter air terbuang percuma.
- Jika mungkin, mandilah dengan menggunakan shower. Mandi dengan gayung menghabiskan 3 kali air lebih banyak daripada mandi dengan shower.
- Segera perbaiki keran yang bocor. Keran bocor bisa membuang air bersih hingga 13 liter air per hari.

Di Dalam Rumah
- Gunakan kloset yang mengunakan dua sistem pembilasan air. Setiap sistem pembilasan bekerja sesuai dengan volume air yang dikeluarkan. Bila kloset hanya digunakan untuk buang air kecil, gunakan pembilasan dengan volume kecil.
- Pilihlah mesin cuci yang hanya membutuhkan sedikit air.

Di Taman dan Luar Rumah
- Gunakan air bekas cucian sayuran dan buah untuk menyiram tanaman. Selain menghemat, air bekas cucian sayur, buah dan daging ternyata bisa menyuburkan tanaman.
- Jika mungkin, hindari penggunaan selang. Gunakan kaleng penyiram tanaman atau ember untuk mencuci mobil.
Siramlah tanaman di sore atau pagi hari agar air mudah meresap ke dalam akar. Penyiraman pada siang hari hanya membuat air menguap percuma. (Tabloid Rumah)

Sunday, August 16, 2009

182 Mata Air di DIY Kritis

Perlengkapan Irigasi Banyak Dicuri Orang

Sebanyak 182 dari total 760 mata air yang tersebar di empat kabupaten di DI Yogyakarta dalam kondisi kritis atau bahkan telah mati. Hal tersebut disebabkan semakin berkurangnya vegetasi dan maraknya pembangunan fisik yang tak terkendali sehingga mengurangi wilayah resapan air.


"Banyaknya mata air yang mati terjadi sejak era reformasi ketika pembangunan gencar dilakukan," ujar Kepala Seksi Program Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo Ayu Dewi Utari, dalam seminar peringatan Hari Air Dunia ke-17 di Embung Tambakboyo, Sleman, Selasa (5/5).

Lebih jauh, Ayu mengatakan dari data tahun 2007 itu wilayah paling banyak kehilangan mata air adalah Kabupaten Bantul sebanyak 103 mata air, Gunung Kidul (44), dan Sleman (32). Jumlah itu belum termasuk 273 mata air yang berkategori masih berfungsi, tetapi debetnya mengecil.

Mata air yang masih dalam kondisi baik di DIY dan bisa digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hanya berjumlah 305 buah. Akibat banyaknya mata air yang mati itu, kebutuhan air bersih masyarakat jadi tidak tercukupi, khususnya menjelang musim kemarau nanti.

"Warga terpaksa membeli atau mendatangkan air dari tempat yang jauh untuk kebutuhan sehari-hari dan mengairi sawah," kata Ayu. Jika perusakan vegetasi dan pembangunan fisik yang mengurangi resapan air tidak dikendalikan, ia khawatir hal ini akan memicu krisis air bersih di DIY pada tahun 2020 nanti.

Ayu menambahkan sebenarnya hal itu bisa dicegah jika dalam setiap pembangunan fisik di DIY mengikuti ketentuan peraturan daerah yang ada, yakni menyediakan satu sumur resapan atau membuat biopori yang dapat membantu penyerapan air ke dalam tanah. "Namun, dalam praktiknya hal itu masih belum dilakukan," ucapnya.

Rusak

Ketua Center for Environmental Studies Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Widodo Brontowijoyo mengatakan matinya mata air tersebut akibat model pembangunan nasional yang terlalu mementingkan aspek sipil-struktural semata, selain dipicu pesatnya laju pertumbuhan penduduk. Dari catatannya, setiap tahun terjadi perubahan fungsi lahan hingga 1,14 persen di Kabupaten Sleman dan Bantul.

Kerusakan juga menimpa sekitar 20 persen dari total 2.094 bendung irigasi di Kabupaten Sleman tercatat dalam kondisi rusak. Hal ini dikhawatirkan akan menyulitkan pengairan sawah petani saat musim kemarau nanti.

"Mayoritas kerusakan karena faktor usia dan perlengkapan saluran irigasi banyak dicuri orang," kata Kepala Bidang Pengairan Dinas Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana Sleman JB Widiyoko.

Meski demikian, Widiyoko mengatakan pihaknya masih berupaya memperbaiki bendung tersebut dengan skala prioritas. "Kami akan lebih dahulukan perbaikan bendung-bendung besar yang banyak dipakai petani," ucapnya. (ENG)

Sleman, Kompas - Kamis, 7 Mei 2009 | 15:33 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/07/15332999/182.mata.air.di.diy.kritis.

Friday, July 31, 2009

RESAPKAN AIR HUJAN KE TANAH SEBANYAKNYA

Musibah banjir makin kerap terjadi, kini saatnya warga berkontribusi agar air hujan tetap tinggal di dalam tanah. Itulah prinsip ideal merancang rumah untuk berkontribusi kepada kota seperti Jakarta yang makin kerap dilanda banjir, seperti dikatakan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Jakarta Ahmad Djuhara, Kamis (13/3).



Bagaimana mewujudkannya? Djuhara menunjuk pengalamannya saat merancang rumah perkotaan dengan ukuran 6 meter x 15 meter atau seluas 90 meter persegi. Djuhara merancangnya dengan menyisihkan celah 60 sentimeter di sekeliling tembok. “Tembok rumah tidak dibuat berimpit dengan tembok rumah tetangga. Ada ce1ah 60 sentimeter untuk mendapat intensitas cahaya matahari serta sirkulasi udara yang cukup,” katanya.



Lantai rumah juga dibuat tidak menyatu dengan permukaan tanah.Ketika air hujan datang, hamparan tanah itu siap menyerapnya. “Ada perkiraan hitungan daya tampungnya, sebidang tanah seluas 90 meter persegi. harus dibuat mampu menampung genangan air minimal 4-5 sentimeter,” kata Djuhara. Sayang, rancangannya tidak disetujui pemilik rumah. Akhirnya rumah itu dibangun seperti lazimnya rumah-rumah yang ada di setiap kapling perumahan sederhana. ”Kini saatnya masyarakat memberi kontribusi yang makin kerap dilanda banjir, ”katanya.



Daur ulang



Meresapkan air hujan ke dalam tanah sebanyak-banyaknya sangat dianjurkan untuk mengembalikan kuantitas dan kualitas cadangan air bawah tanah.



Selama ini pemanfaatan air bawah tanah masih menjadi tumpuan pemenuhan air bersih sebagian masyarakat. Bahkan, masyarakat perkotaan yang seharusnya disuplai air bersih oleh PerusahaanDaerah Air Minum (PDAM) juga memanfaatkan cadangan air tanah tersebut. Bangunan komersial seperti hotel dan mal juga memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan meyedot air tanah karena kebutuhannya tak terpenuhi oleh PDAM setempat. Tindakan seperti itu seharusnya menjadi pilihan terakhir.



Menurut Sudaryati Cahyaningsih, peneliti bidang teknologi lingkungan pada Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kuantitas maupun kualitas air bawah tanah serta air bersih PDAM memililki kecenderungan menurun. Ini disebabkan eksploitasi cadangan air bawah tanah, khususnya di wilayah perkotaan, tidak sebanding dengan jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah. Ketersediaan air baku PDAM makin lama makin menyusut akibat perebutan dengan sektor pertanian. Kualitas air bakti air minum PDAM kian lama kian terbebani polutan. Polutan itu bisa berasal dari limbah industri, bisa dari limbah domestik atau rumah tangga. “Sejauh ini komposisi limbah domestik lebih tinggi, sekitar 60 persen dari tingkat pencemaran air,” kata Sudaryati.



Oleh karena itu perlu dipikirkan pemrosesan daur ulang air limbah di tingkat domestik atau komunal. “Prinsip pengolahan air limbah domestik itu diendapkan secara anaerob atau tidak terkontaminasi dengan oksigen di lokasi yang dipersiapkan;” ujarnya.



Kondisi air yang relatif jernih kemudian dialirkan ke sungai dan menjadikan air sungai tetap jernih. Tetapi ini telah menjadi menjadi kisah usang. Kini segala limbah masuk ke sungai. Manakala kerepotan pemenuhan air bersih sungguh-sungguh menjelma, baik Djuhara maupun Sudaryati menyarankan saatnya untuk menerapkan efisiensi air.



Ada prinsip reuse atau pemanfaatan kembali air yang sudah digunakan yang biasanya menjadi limbah terbuang, “Pemanfaatan ulang seperti dilakukan di negara-negara maju itu untuk gardening (menyiram tanaman) dan flushing (mengguyur toilet),” kata Sudaryati.



Dia menyarankan, teknik pemanfaatan ulang air pada skala domestik dan komunal sebaiknya dengan cara biologis. Tanaman-tanaman yang mampu menyerap polutan dianjurkan ditanam di sekeliling penampungan air limbah domestik. Air yang kembali jernih bisa untuk gardening. Djuhara menjelaskan pentingnya pemanfaatan ulang air yang biasanya terbuang di skala domestik. Menurut dia, air hujan bisa ditampung melalui saluran air hujan dan genteng ke sebuah bak atau tangki. “Atau menjadikan bagian atap sekaligus menjadi bak penampung air hujan 1angsung,” katanya.



Penampungan air hujan secara langsung lebih bersih dibandingkan dengan pengaliran melalui genteng. Namun, beban air harus diperhitungkan. Untuk volume 1 meter kubik, atap rumah itu menanggung beban 1 ton.



NAWA TUNGGAL KOMPAS,JUMAT, 14 MARET 2008 Hlm. 14 GREEN FEST

Thursday, July 30, 2009

AIR UNTUK SEMUA

”Hujan membasahi permukaan Bumi. Apakah semua warga Bumi dapat menikmati air yang berasal dari hujan tersebut?” bunyi pertanyaan No. 31 dalam Ramsar Game, papan permainan yang dibuat untuk memperkenalkan pengetahuan tentang sumber, siklus, penggunaan dan perlindungan air. Ramsar sendiri diambil dari nama kota di Iran yang menjadi tuan rumah konvensi internasional tentang lahan basah pada 1971, dan sejauh ini telah ditandatangani 140 negara, termasuk Indonesia.

Papan permainan ini dikembangkan organisasi Ramsar, badan PBB untuk pendidikan UNESCO dan Danone-AQUA, disebarkan sejak 2006 ke 1.000 sekolah di Jawa, Bali dan Sumatra. Omong-omong, apa jawaban Anda untuk pertanyaan di atas? “Tidak?’ Tepat. Tanah pasir bebatuan tak bisa “menahan” air hujan.

Bekerja sama dengan LSM internasional, Action Contre La Faim, Danone-AQUA selama Maret 2007 — Juni 2008 membangun infrastruktur yang memperpendek jarak titik pengambilan air bagi penduduk setempat. Bersama ilmuwan setempat, penduduk dilibatkan untuk pemeliharaan, agar sarana ini terus tersedia. Jangan melulu menggantungkan pada proyek dadakan

Hal serupa dilakukan di tujuh desa di Pulau Buton dan Muna, Sulawesi Tenggara dengan sungai tadah hujan dan tanah bebatuan, sejak 2004. Air bersih dikelola oleh dan untuk masyarakat sendiri, walau awalnya dimotori LSM Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, untuk menjembatani pengungsi Maluku yang sebenarnya merupakan perantau dari kedua pulau itu, dengan penduduk setempat.

Kaum ibu dan bapak bahu-membahu, kaum ibu menanam bibit pohon besar di sekitar sumber air di perbukitan - masih ingat, satu pohon besar bisa menahan 10 liter air? Kaum bapak membangun distribusi dari sumber air dengan pipa besi ke desa (disponsori program), dan dari rumah ke rumah dengan paralon (biaya sendiri). Ada iuran bulanan untuk perawatan Rp 2.000,-/bulan untuk keluarga dengan anggota lebih dari 5 orang, dan Rp 1.000,-/bulan untuk keluarga kurang dan 5 orang.

Di Pulau Kelapa-Harapan, Kepeluan Seribu, Jakarta, penduduk harus menyediakan tangki besar air dengan corong kecil untuk menampung hujan yang turun sewaktu- waktu. Untungnya, sejak 2003, penduduk bisa menikmati air bersih lebih mudah. Dengan dana dari pengurangan subsidi BBM, Bina Marga buat instalasi penyulingan air laut dengan sistem Reverse Osmosis yang dikembangkan sejak l970-an. “Air RO,” kata orang pulau.

Prinsip kerjanya, pelarut pekat (air laut) dialirkan melalui sebuah membran (selaput penyaring) ke daerah lebih encer, dengan tekanan melebihi tekanan osmosis (mengalir dan pelarut encer ke pelarut pekat). Jadi, RO mendorong cairan pekat lewat selaput yang menangkap kepekatannya (garam) dan satu sisi, dan membiarkan air murni lewat. Hasilnya: air yang bisa langsung diminum tanpa dimasak! Untuk satu jerigen berisi 20 liter air, penduduk hanya membayar Rp 500,-. Bandingkan dengan harga air mineral botolan.

Hal-hal di atas membuat saya tersadar. Walau tak pernah benar-benar mengalami kesulitan air, kini saya kian berhemat. Misalnya, membiasakan diri mandi di atas baskom besar (untuk menampung sisa guyuran air, yang kelak digunakan untuk “minum” tanaman). O ya, siramlah tanaman di malam hari, untuk mengurangi penguapan.

Bagaimana dengan Anda?

Christantiowati HALAMAN HIJAU – INTISARI NO.530 / SEPTEMBER 2007 Hlm 110-111

AIR UNTUK SEMUA

”Hujan membasahi permukaan Bumi. Apakah semua warga Bumi dapat menikmati air yang berasal dari hujan tersebut?” bunyi pertanyaan No. 31 dalam Ramsar Game, papan permainan yang dibuat untuk memperkenalkan pengetahuan tentang sumber, siklus, penggunaan dan perlindungan air. Ramsar sendiri diambil dari nama kota di Iran yang menjadi tuan rumah konvensi internasional tentang lahan basah pada 1971, dan sejauh ini telah ditandatangani 140 negara, termasuk Indonesia.



Papan permainan ini dikembangkan organisasi Ramsar, badan PBB untuk pendidikan UNESCO dan Danone-AQUA, disebarkan sejak 2006 ke 1.000 sekolah di Jawa, Bali dan Sumatra. Omong-omong, apa jawaban Anda untuk pertanyaan di atas? “Tidak?’ Tepat. Tanah pasir bebatuan tak bisa “menahan” air hujan.



Bekerja sama dengan LSM internasional, Action Contre La Faim, Danone-AQUA selama Maret 2007 — Juni 2008 membangun infrastruktur yang memperpendek jarak titik pengambilan air bagi penduduk setempat. Bersama ilmuwan setempat, penduduk dilibatkan untuk pemeliharaan, agar sarana ini terus tersedia. Jangan melulu menggantungkan pada proyek dadakan



Hal serupa dilakukan di tujuh desa di Pulau Buton dan Muna, Sulawesi Tenggara dengan sungai tadah hujan dan tanah bebatuan, sejak 2004. Air bersih dikelola oleh dan untuk masyarakat sendiri, walau awalnya dimotori LSM Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, untuk menjembatani pengungsi Maluku yang sebenarnya merupakan perantau dari kedua pulau itu, dengan penduduk setempat.



Kaum ibu dan bapak bahu-membahu, kaum ibu menanam bibit pohon besar di sekitar sumber air di perbukitan - masih ingat, satu pohon besar bisa menahan 10 liter air? Kaum bapak membangun distribusi dari sumber air dengan pipa besi ke desa (disponsori program), dan dari rumah ke rumah dengan paralon (biaya sendiri). Ada iuran bulanan untuk perawatan Rp 2.000,-/bulan untuk keluarga dengan anggota lebih dari 5 orang, dan Rp 1.000,-/bulan untuk keluarga kurang dan 5 orang.



Di Pulau Kelapa-Harapan, Kepeluan Seribu, Jakarta, penduduk harus menyediakan tangki besar air dengan corong kecil untuk menampung hujan yang turun sewaktu- waktu. Untungnya, sejak 2003, penduduk bisa menikmati air bersih lebih mudah. Dengan dana dari pengurangan subsidi BBM, Bina Marga buat instalasi penyulingan air laut dengan sistem Reverse Osmosis yang dikembangkan sejak l970-an. “Air RO,” kata orang pulau.



Prinsip kerjanya, pelarut pekat (air laut) dialirkan melalui sebuah membran (selaput penyaring) ke daerah lebih encer, dengan tekanan melebihi tekanan osmosis (mengalir dan pelarut encer ke pelarut pekat). Jadi, RO mendorong cairan pekat lewat selaput yang menangkap kepekatannya (garam) dan satu sisi, dan membiarkan air murni lewat. Hasilnya: air yang bisa langsung diminum tanpa dimasak! Untuk satu jerigen berisi 20 liter air, penduduk hanya membayar Rp 500,-. Bandingkan dengan harga air mineral botolan.



Hal-hal di atas membuat saya tersadar. Walau tak pernah benar-benar mengalami kesulitan air, kini saya kian berhemat. Misalnya, membiasakan diri mandi di atas baskom besar (untuk menampung sisa guyuran air, yang kelak digunakan untuk “minum” tanaman). O ya, siramlah tanaman di malam hari, untuk mengurangi penguapan.



Bagaimana dengan Anda?



Christantiowati HALAMAN HIJAU – INTISARI NO.530 / SEPTEMBER 2007 Hlm 110-111

Saturday, July 25, 2009

Mata Air Brantas Mati

Puluhan sumber mata air di Sungai Brantas, Jawa Timur, mengering, bahkan mati, akibat perusakan hutan secara besar-besaran. Kondisi itu mengancam kelangsungan kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia, beserta kegiatan perekonomian di sepanjang aliran sungai.

Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat Ecoton Prigi, Arisandi, di Kediri, Kamis (23/7), menyebutkan, dari 111 sumber mata air Sungai Brantas, saat ini tinggal 50 sumber mata air. ”Data itu kami dapatkan dari hasil penelitian tahun 1998. Kondisi saat ini semakin parah. Kami perkirakan sumber mata air yang mati jumlahnya semakin banyak,” katanya di sela-sela acara sosialisasi lingkungan kepada pelajar di Kediri.

Prigi mengatakan, sumber mata air Sungai Brantas berasal dari Gunung Kelud di Kediri, Gunung Wilis, Gunung Welirang, Gunung Arjuna, dan Gunung Liman di Nganjuk. Sumber-sumber mata air itu mengering seiring maraknya perusakan hutan dan pengalihan fungsi kawasan konservasi menjadi lahan pertanian.

Sebagai contoh, hampir di seluruh lereng Gunung Wilis di wilayah Kabupaten Kediri, Tulungagung, dan Nganjuk saat ini telah berubah dari hutan menjadi lahan pertanian produktif dengan tanaman utama jagung, ketela, dan sayur-sayuran. Tanaman hutan produksi, seperti jati dan pinus, habis dijarah.

”Jika terus dibiarkan, tak menutup kemungkinan Sungai Brantas mengering 15 tahun ke depan. Padahal, kita tahu, Sungai Brantas adalah urat nadi kehidupan 60 persen lebih masyarakat di Jawa Timur,” ujarnya.

Air Sungai Brantas tak hanya digunakan sebagai sumber air perusahaan daerah air minum, tetapi juga sumber pengairan lahan pertanian di Malang, Blitar, Kediri, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, serta sumber air bagi sejumlah industri manufaktur.

Kerusakan Sungai Brantas diperparah dengan adanya pembuangan limbah cair dari rumah tangga dan industri serta penambangan pasir besar-besaran.

Tinggi muka air Waduk Bade di Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada musim kemarau ini juga menurun drastis hingga mendekati ambang batas minimum. Elevasi waduk turun dari 239,50 meter di atas permukaan laut (dpl) menjadi 237,42 meter dpl. Akibatnya, aliran air untuk ribuan hektar sawah terpaksa dibatasi.

Para petani di Desa Lagadar, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terpaksa mengandalkan saluran drainase warga untuk mengairi sawah dan kebun mereka. Padahal, air yang mereka gunakan tercemar berat limbah pabrik.

Produksi melati turun

Musim kemarau sekarang ini juga menyebabkan produksi melati di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, turun karena stok air pada musim kemarau tidak memadai. Penurunan produksi juga mengakibatkan melonjaknya harga melati dari Rp 10.000 menjadi Rp 19.000 per kilogram.

Ahmad (70), petani melati di Desa Slamaran, Kecamatan Pekalongan Utara, Kamis, menyatakan, penurunan produksi melati terjadi sejak satu bulan lalu. Sebelumnya, dari lahan seluas 2.000 meter persegi ia bisa memperoleh sekitar dua kilogram melati per hari. Saat ini hanya 1-2 ons melati per hari. Anjloknya produksi juga membuat pasokan ke sejumlah pabrik teh di Tegal dan Pekalongan turun.

Juri (65), petani melati lain, mengatakan, penurunan produksi melati terjadi karena tanaman kekurangan air. Selama ini, tanaman melati hanya mengandalkan air hujan dan air saluran irigasi kecil, yang berada di pinggir lahan itu. ”Daun kering dan rontok,” ujarnya. Menurut Juri, penurunan produksi melati juga disebabkan serangga ulat.

Pada musim kemarau ini, sawah seluas 173 hektar di Desa Pilangrejo, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, juga dibiarkan telantar oleh petani karena tak ada air untuk mengolahnya. Di Jabar, 193 hektar tanaman dilanda kekeringan.

Jumat, 24 Juli 2009 | 04:00 WIB

Kediri, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/24/04004220/mata.air.brantas.mati

Monday, July 20, 2009

Menyelamatkan Sungai, Bukan Cuma Pasar Terapung

Dengan sebatang paring (bambu) sepanjang enam meter, Imis (40), warga Kelayan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, berusaha mengeluarkan jukung klotok (perahu bermesin) dari Sungai Antasan Segera menuju Sungai Pekapuran. Ia tidak bisa menghidupkan mesin jukung klotok miliknya karena kandas di sungai tersebut.

Hari Rabu di awal Juli lalu itu terpaksa dilaluinya dengan berpeluh. Sebab, untuk bisa keluar sungai itu hanya dengan mendorong perahu itu memakai tongkat bambu sebagai tuas. Lima tahun terakhir beberapa sungai di sini tak bisa dilewati klotok. "Yang bisa cuma jukung yang didayung," kata Imis, motoris klotok.

Sungai Kelayan, Antasan Segera, dan Pekapuran hanyalah sebagian dari puluhan sungai di Kota Banjarmasin. Sekadar gambaran, hingga tahun 2004, ada 71 sungai, yakni dua sungai besar, tujuh sungai sedang, 30 sungai kecil, dan 32 anak sungai. Total panjangnya 120.235 meter dengan lebar sungai berkisar enam hingga 1.200 meter. Namun, sebagian kondisinya rusak parah, bahkan nyaris mati.

Kepala Dinas Sungai dan Drainase Kota Banjarmasin Muryanta menyebutkan, tidak kurang 30 sungai kehilangan fungsi karena banyak yang tersumbat akibat rapatnya bangunan, pengurukan tanah, pendangkalan, menjadi buangan sampah, pencemaran limbah rumah tangga dan kegiatan berbagai usaha masyarakat.

Hal ini berbeda dengan cerita sekitar 80-an tahun lalu. Sebuah film dokumenter Belanda dibuat tahun 1925-1928 yang dihibahkan Sekolah Indonesia di Kedutaan Besar RI di Den Haag kepada Pemerintah Kota Banjarmasin, menggambarkan kehidupan masyarakat kota yang berjulukan Venesia di Hindia Belanda ini. Saat itu sungai menjadi jalan utama di Banjarmasin seperti di Venesia. Orang-orang bepergian menggunakan berbagai jenis jukung. Hingga akhir 70-an, denyut kehidupan sungai itu masih terasa.

Begitu wilayah darat Kota Banjarmasin terhubung dengan jalan mulai tahun 80-an, kehidupan masyarakatnya pun berubah. Sungai-sungai bukan lagi halaman depan rumah mereka. Rumah-rumah menghadap ke jalan. Pasar Terapung yang berada di sungai satu per satu lenyap. Yang tersisa kini hanya ada di muara Sungai Kuin. Sedangkan beberapa pasar tradisional di bantaran sungai kondisinya kumuh.

Sejumlah kawasan rawa juga menjadi permukiman dengan diuruk tanah terlebih dahulu. Ini karena Banjarmasin secara geografis berada 0,16 meter di bawah permukaan laut rata-rata. Kota seluas 72 kilometer persegi dengan jumlah penduduk tahun 2008 ada 627.245 jiwa ini sesak karena kepadatannya 8.712 jiwa per kilometer persegi.

Sungai Alalak misalnya menyempit karena limbah kayu dari industri penggergajian kayu dan penumpukan batu bara di penampungan terakhir sebelum dikapalkan di Sungai Barito. "Kalau terus dibiarkan, apa yang bisa dibanggakan Banjarmasin yang berjulukan kota seribu sungai," kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Banjarmasin Fajar Desira.

Karena itu, katanya, sungai-sungai itu ditata ulang dan dibangun sehingga Banjarmasin menjadi kota modern berbasis sungai. Fokus awal untuk itu penataan Sungai Martapura, yang membelah Banjarmasin sejauh 17.000 meter ini. "Bantaran sungai ini bakal menjadi ruang terbuka seluas-luasnya untuk kegiatan masyarakat," katanya.

Pekerjaan ini, ujarnya, berat dan tak bisa cepat. Karena itu, berbagai pihak bisa menyumbangkan pemikirannya membuat desain Banjarmasin sebagai kota sungai. "Caranya, dalam waktu dekat akan ada lomba berskala internasional untuk ini," katanya.

Penataan sungai itu sebenarnya sudah dimulai. Salah satunya adanya peraturan daerah tentang sungai di mana rumah atau bangunan dibuat harus bangunan panggung. Beberapa sungai yang mati juga dihidupkan kembali seperti di Jalan Veteran. Di Jalan Tendean, dilakukan pembebasan lahan dari permukiman. Jika ini berjalan baik, beberapa tahun mendatang, Banjarmasin bukan lagi seperti kampung besar yang semrawut, tetapi menjadi kota sungai yang paling menarik untuk dikunjungi.

KOMPAS.com — MINGGU, 19 JULI 2009 | 09:20 WIB
Laporan wartawan KOMPAS M Syaifullah
Source:http://sains.kompas.com/read/xml/2009/07/19/09205991/menyelamatkan.sungai.bukan.cuma.pasar.terapung

Sunday, July 19, 2009

Sumur Injeksi Kurangi Banjir Hindari Kekeringan


SUMBER DAYA AIR

Air bersih menjadi sumber daya yang mulai langka di banyak daerah di Indonesia akibat konversi hutan di hulu dan perubahan areal vegetasi menjadi hutan beton di hilir.

Berbagai cara ditempuh untuk menghadapi krisis air, di antaranya dengan menggali air tanah dalam, tetapi air itu harus ditampung kembali agar suplainya berkelanjutan.

Nyatanya eksploitasi air tanah dalam yang berlebih telah mengancam keberlanjutannya dan keselamatan warga di perkotaan. Di Jakarta, misalnya, penyedotan air tanah dalam tanpa upaya pengisian kembali telah menyebabkan intrusi air laut hingga beberapa kilometer dari garis pantai.

Dampak negatif yang terjadi adalah amblesnya permukaan tanah dan korosi pada fondasi atau tiang panjang gedung-gedung tinggi. Ini harus diatasi dengan menerapkan aturan pembatasan penyedotan air tanah dalam dan membuat resapan buatan atau artificial recharge.

Seperti dikemukakan Kepala Bidang Kebutuhan Masyarakat Kementerian Negara Riset dan Teknologi Teddy W Sudinda, resapan buatan dilakukan dengan membangun sumur injeksi. Upaya ini akan dirintis di kantor pemerintahan di perkotaan.

Sebagai proyek percontohan dipilih kawasan Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berlokasi di Jalan Thamrin, yang tahun lalu mengalami penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah. Hal serupa juga terjadi di Gedung Sarinah Jaya.

Pada survei terdahulu menggunakan geolistrik, diketahui struktur tanah di kawasan Thamrin terdapat lapisan akuifer atau penampung air sedalam sekitar 100 meter.

Untuk itu akan dilakukan pengeboran tanah hingga mencapai lapisan akuifer tersebut. Setelah dipasang casing kemudian dimasukkan pipa setebal 8 inci. ”Pembangunan sumur injeksi ini akan dilaksanakan pada Agustus mendatang,” ujar Teddy, yang juga menjabat sebagai Koordinator Pelaksanaan Pengembangan Teknologi Resapan Buatan.

Air limpasan

Dengan terbangunnya sumur injeksi ini, kelebihan air limpasan selama musim hujan dapat ditanggulangi dengan menampungnya di dalam sumur setelah melalui pengolahan sehingga kualitas air dapat memenuhi baku mutu air. Di sekitar sumur dibangun bak penampung dan pengolah air.

Pembangunan sumur injeksi ini oleh BPPT akan memakan waktu satu bulan dan masih dalam skala riset. Jika uji coba ini berhasil, akan dilanjutkan oleh Departemen Pekerjaan Umum untuk penerapannya di gedung pemerintah lainnya.

Namun, diakui bahwa biaya sumur injeksi ke akuifer air tanah dalam tidaklah murah. Untuk setiap 1 meter kedalaman pengeboran harus dikeluarkan dana hingga Rp 1,5 juta.

Penerapan teknologi ini juga perlu dukungan peraturan daerah dan petunjuk teknis pembangunan dan pengelolaannya.

Jumat, 17 Juli 2009 | 05:25 WIB

Penulis:Yuni Ikawati

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/17/05253214/sumur.injeksi.kurangi.banjir.hindari.kekeringan

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...