Showing posts with label lingkungan. Show all posts
Showing posts with label lingkungan. Show all posts

Thursday, October 28, 2010

Membongkar Penipuan Seputar Tambang

Banda Aceh, Good Mining Practices atau juga disebut praktek-praktek pertambangan yang baik tidak pernah ada di Aceh bahkan di Indonesia hingga saat ini. Kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan akan subur di daerah yang tingkat korupsi dan pelanggaran HAM-nya tinggi. Pertambangan adalah kegiatan untuk mendapatkan logam dan mineral dengan cara menghancurkan gunung, hutan, sungai, laut dan kampung.

Mantan Direktur Eksekutif Nasional Walhi, yang juga saat ini menjabat sebagai Ketua Institute Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, dalam sebuah seminar “Dampak tambang bagi Keberlangsungan Sumber Kehidupan Dan Penyelamatan Lingkungan Hidup di Aceh”, di Banda Aceh beberapa waktu lalu mengatakan, pertambangan adalah kegiatan yang paling merusak alam dan kehidupan sosial, yang dimiliki orang kaya dan hanya menguntungkan orang kaya pula.

“Banyak mitos menyesatkan yang dimunculkan dalam tambang misalnya tambang merupakan industri padat modal dan resiko tinggi, padahal itu semua bohong,” ujar Chalid.

Menurutnya padahal ada juga tambang yang dikerjakan oleh masyarakat biasa dengan teknologi sederhana. Mitos ini sengaja dikembangkan agar hanya perusahaan besar dan orang kaya saja yang bisa menambang.

Mitos lain yang menyesatkan adalah disebutkan, pertambangan adalah industri yang menyejahterakan rakyat.

“Tambang tidak memiliki relasi yang menyejahterakan rakyat, hanya sebagian rakyat yang elit. Saya contohkan di Freeport di Papua, kisah seorang anak kepala suku. Ketika kecil dia berteman dengan anak Direksi Freeport. Selesai kuliah di Amerika, anak direksi tersebut menjadi manajer sedangkan anak kepala suku hanya menjadi tukang potong rumput,” ceritanya.

Hasil tambangnya sangat besar tetapi angka kemiskinan tertinggi justru di Papua. Hal serupa juga terjadi di Aceh Utara, dengan kekayaan gasnya yang melimpah ruah ternyata kabupaten tersebut masuk dalam jajaran daerah termiskin di Aceh.

Mitos selanjutnya yang disampaikan Chalid adalah pertambangan menyumbang devisa bagi negara.

”Itu mitos salah, padahal hanya 1-3 % yang menjadi devisa. Jauh lebih besar TKI dalam menyumbang devisa namun tidak diperdulikan. Hasil tambang jauh lebih rendah dari hasil pertanian dan perikanan, karena tambang dimiliki oleh orang kaya,” jelas Chalid.

Tambang adalah kegiatan yang bertanggung jawab, ini juga mitos yang sengaja dikembangkan. Faktanya, setelah menambang, perusahaan hanya mereklamasi paling lama 5 tahun saja. Bahkan menurut hasil sebuah penelitian, sampai hari abad ini masih ada pertambangan dari zaman Romawi yang sampai sekarang masih menghasilkan limbah asam. Ini menunjukkan perusahaan pertambangan tidak mau memulihkan kawasan yang telah dirusaknya, sebut Chalid.

Aceh adalah sebuah wilayah yang terkenal sejak dahulu, zaman kesultanan, merupakan sebuah wilayah yang kaya-raya. Makmurnya Aceh saat itu bukan karena pertambangan. Namun karena hasil kegiatan yang lain seperti perdagangan, pertanian, perikanan dan sebagainya. Maka sudah selayaknya kita belajar dari sejarah untuk menyejahterakan Aceh.

Aceh sudah merasakan dampak buruk pertambangan dari perusahaan yang beroperasi seperti PT Lhoong Setia Mining (LSM) di Lhoong, Aceh Besar. Perusahaan ini tidak mempunyai Instalasi Akhir Pembuangan Limbah (IPAL). Limbah dibuang begitu saja ke Pantai Samudera Hindia. Debu yang mencemari udara, sudah jauh memasuki pemukiman masyarakat di sekitarnya. Hancurnya sumber air akibat pengerukan bukit, padahal di bawahnya terdapat sawah masyarakat dan bukit itu sumber air untuk sawah.

Masyarakat Lhoong sendiri yang tergabung dalam Komite Masyarakat Lhoong (KML) berusaha keras meminta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Aceh Besar Bukhari Daud mencabut izin dan menutup PT LSM karena alasan dampak yang telah dikemukakan di atas.

Hasil penelitian menunjukkan, 10 persen tambang dunia dan 30 persen wilayah eksplorasi tambang berada di daerah konservasi bernilai tinggi. Hampir 30 persen tambang aktif di dunia berada di daerah sumber air bersih. (*)



20 Okt 2010
Source:http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20101020080240

Saturday, June 26, 2010

Indeks Radiasi Ultraviolet Indonesia Sangat Tinggi

KONDISI LINGKUNGAN

Indeks radiasi ultraviolet di Indonesia pada Kamis (24/6) mencapai 10,1. Standar Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengategorikan indeks radiasi ultraviolet 11 atau lebih sebagai radiasi ultraviolet yang ekstrem sehingga membahayakan kesehatan. Radiasi ultraviolet itu bisa terus meningkat seiring terus menipisnya ketebalan lapisan ozon di atas Indonesia.

Data Tropospheric Emission Monitoring Internet Service (TEMIS) dari Royal Netherlands Meteorological Institute menyatakan, indeks radiasi ultraviolet (UV) Jakarta, Kamis, mencapai 10,1. Hingga 30 Juni mendatang, indeks UV Jakarta diprakirakan berkisar 9,9 hingga 10,2.

Situs yang sama memublikasikan data indeks UV Singapura, yang pada Kamis mencapai 11,4. Adapun indeks UV Kuala Lumpur pada Kamis mencapai 11,5 dan indeks radiasi UV Darwin, Australia, mencapai 8.

Kepala Bidang Perlindungan Atmosfer Kementerian Lingkungan Hidup Tri Widayati mengatakan, Indonesia secara alamiah terkena radiasi ultraviolet lebih tinggi dibandingkan negara nontropis. ”Secara alamiah daerah tropis memiliki indeks UV kategori tinggi jika didasarkan standar WHO. Indeks UV sejumlah kota di Indonesia berkisar 7–10. Itu bergantung pada cuaca, juga posisi Matahari. Seiring penipisan lapisan ozon, indeks UV di Indonesia akan semakin tinggi,” kata Tri di Jakarta, Kamis (22/6).

Data Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) yang dikutip Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2009 menyatakan, nilai total ozon di atas Indonesia antara 17 Agustus 2004–11 September 2009 berkisar 230–270 dobson unit (DU). Sementara TEMIS memprakirakan nilai total ozon di atas Jakarta antara 25 Juni dan 30 Juni mendatang berkisar 244–248 DU.

Lapisan ozon di atas sebuah wilayah dinyatakan berlubang jika total ozonnya tidak lebih dari 220 DU. Total ozon 230–270 DU dinilai Lapan masih cukup baik menangkal radiasi ozon. Namun, dengan kecenderungan semakin tingginya indeks UV di Indonesia, Tri menganjurkan masyarakat mengenakan pelindung kulit dari paparan sinar matahari jika beraktivitas di luar ruang pada pukul 11.00–14.00.

Sejumlah situs internet setiap hari memublikasikan prakiraan indeks UV yang akan terjadi di sejumlah kota di Indonesia. Salah satu situs dengan informasi indeks UV kota-kota Indonesia terlengkap adalah www.weatheronline.co.uk. Situs itu dapat diakses dengan cuma-cuma dan, antara lain, menyediakan indeks UV Kota Medan, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Denpasar, Bau-Bau, Ambon, Jayapura, dan puluhan kota lainnya.

Ozon adalah bagian atmosfer yang berada di lapisan stratosfer, pada ketinggian 18–50 km. Ozon berperan penting untuk mencegah radiasi ultraviolet yang dipancarkan matahari. Lapisan ozon menipis akibat senyawa kimia buatan manusia yang mengandung klorin yang digunakan di mesin pendingin, lemari es, dan sebagainya. (ROW)

Saturday, March 20, 2010

LINGKUNGAN: Perusakan Alam Kalimantan Sistematis


Perusakan tanaman dan kehidupan di Pulau Kalimantan ternyata berlangsung sistematis selama hampir 50 tahun terakhir. Hal ini terlihat dari eksploitasi hutan yang dilakukan habis-habisan dan pengerukan tambang besar-besaran.

Sampai tahun 80-an, jutaan hektar hutan Kalimantan dibabat oleh pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Setelah era itu berakhir, kini sekitar 200 juta ton batu bara dikeruk tiap tahunnya. Akibatnya, warga Kalimantan hidup dalam krisis air, krisis pangan, dan krisis energi.

Peneliti pada Sekolah Ekonomika Demokratik, Hendro Sangkoyo, mengemukakan itu saat kuliah umum di Universitas Mulawarman, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (10/3).

Hendro mengatakan, perusakan sistematis bermula dari kebijakan tata guna lahan guna pemanfaatan sumber daya alam, yang disebutnya instrumen regulasi atau protokol yang tidak beres, dari hasil persekongkolan penguasa dan pengusaha.

”Kebijakan melahirkan bentang alam dikapling-kapling oleh pengurus publik (penguasa) untuk kepentingan pengusaha,” kata Hendro. Pengaplingan lahan dilakukan sejak awal Orde Baru.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Kaltim Kahar Albahri menambahkan, setelah hutan habis, perusakan berlanjut dengan eksploitasi pertambangan. Untuk batu bara, di Kaltim terdapat 1.212 kuasa pertambangan (KP) yang diterbitkan pemerintah kabupaten/kota dan 33 izin dari pusat. Sekitar 120 juta ton batu bara dikeruk dari bumi Kaltim setiap tahun.

Padahal, eksploitasi hutan dan mineral telah mengubah fungsi bentang alam yang semula sebagai ekosistem pelindung kehidupan di dalamnya. Kerusakan hutan mengakibatkan manusia kehilangan sumber air. Pembukaan lahan untuk tambang membuat warga petani kehilangan sumber-sumber pangan. Yang ironis, sebagian besar hasil hutan dan mineral ternyata diekspor.

”Tidak mengherankan kalau sepuluh tahun mendatang Kalimantan benar-benar menghadapi krisis air, pangan, dan energi,” kata Hendro.

Untuk itu, masyarakat dan pemerintah perlu sadar dan secepatnya mengubah persepsi atau rasionalitas terhadap pemanfaatan sumber daya alam. Harus dibuat neraca produksi dan konsumsi air, pangan, dan energi yang jelas guna menjamin kehidupan warga pada masa mendatang.

Dia menyarankan, semua peraturan ditelisik dan yang merugikan diganti. Namun, aturan yang baru harus cerdas dan kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat. ”Kearifan-kearifan lokal perlu dipertahankan. Apa yang bisa dikerjakan untuk menyelamatkan Kalimantan segera dikerjakan,” katanya.

Di Jambi, muncul desakan kepada kalangan pembeli dan kreditor untuk menghentikan sementara penggunaan produk kertas dan bubur kertas dari produsen dalam negeri. Penghentian sementara itu berlaku hingga para produsen melaksanakan komitmen tidak menebang kayu dalam hutan alam dan hutan gambut, serta menyelesaikan konflik dengan masyarakat adat dalam hutan.

Menurut Rivani Noor, Direktur Community Alliance for Pulp Paper Advocacy (Cappa), industri kertas dan bubur kertas masih mengandalkan pembukaan lahan hutan hujan tropis di Sumatera dan Kalimantan. ”Sektor industri ini berencana mengeringkan lahan g
ambut untuk perkebunan industri seluas sembilan juta hektar,” ujarnya kemarin.(BRO/ITA)

Friday, December 4, 2009

Penegakan Hukum Lingkungan di Jateng Lemah

Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi karena ulah industri menunjukkan kelemahan penegakan hukum. Aspek lingkungan sering terabaikan demi peningkatan pendapatan asli daerah berorientasi mekanisme pasar.

"Sejauh ini, penegakan hukum masih tataran konsep, belum riil," ujar pengajar Hukum Lingkungan Universitas Diponegoro FX Adji Samekto dalam Seminar Dampak Industri Unggulan terhadap Kerusakan dan Perubahan Lingkungan di Unika Soegijapranata, Kota Semarang, Kamis (3/12).

Menurut Adji, industri yang sudah terbukti merusak lingkungan seharusnya diperlakukan represif secara hukum. Adapun perusahaan yang sudah memiliki kesadaran untuk memperbaiki lingkungannya cukup mendapat perlakuan responsif. Kelemahan penegakan hukum membuat kerusakan oleh kalangan industri tidak teratasi. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi seharusnya berjalan tanpa harus merusak lingkungan.

Mengutip data Badan Lingkungan Hidup Jateng tahun 2008, peneliti pengembangan industri dari Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata Vincent Didiek AW menuturkan, terdapat 644.955 industri di Jateng yang terdiri atas 1.062 industri besar, 2.773 industri menengah, dan 641.120 industri kecil. Padahal, instalasi pengolahan air limbah (IPAL) tercatat baru 296 unit.

Vincent menambahkan, hal ini menunjukkan sebagian besar industri belum mempunyai IPAL sehingga limbah akan dibuang melalui sungai, udara, dan tempat sampah. Kondisi ini akan menimbulkan biaya sosial berupa kerusakan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Tak heran, jika terdapat 3.029.991 meter kubik limbah cair yang dibuang di sungai pada tahun yang sama. (ilo)

Jumat, 4 Desember 2009 | 17:51 WIB

SEMARANG, KOMPAS -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/17512133/penegakan.hukum.lingkungan.lemah

Sunday, October 11, 2009

Suburnya Industri Rokok, Sehari Rp 330 Miliar "Dibakar"

Prevalensi perokok di Indonesia semakin hari semakin meningkat dan memprihatinkan. Menurut data yang diperoleh Kompas.com dari panitia acara Deklarasi Generasi Muda Bangsa Indonesia Tanpa Rokok, Minggu (11/10) di Gedung Kebangkitan Nasional Stovia, peningkatan tertinggi perokok di Indonesia terjadi pada kelompok remaja umur 15-19 tahun, yaitu dari 7,1 persen pada 1995 menjadi 17,3 persen pada 2004, atau naik 144 persen selama sembilan tahun.

Tak hanya itu, konsumsi rokok di Indonesia pada 2008 mencapai 240 miliar batang atau setara dengan 658 juta batang rokok per harinya, yang berarti uang senilai Rp 330 miliar "dibakar" oleh para perokok di Indonesia dalam satu harinya.

Dengan sumber daya ekonomi yang sudah terbatas, 63 persen laki-laki dewasa dari 20 persen penduduk termiskin di Indonesia, melalui konsumsi rokoknya, telah menyumbang 12 persen penghasilan bulanannya kepada industri rokok.

Bahkan, menurut data Susenas 2006 menunjukan bahwa pengeluaran untuk membeli rokok adalah 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu (2,3 persen), 2 kali lipat pengeluaran untuk ikan (6,8 persen), dan 17 kali lipat pengeluaran membeli daging (0,7 persen).

Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau FA Moeloek mengingatkan pemerintah bahwa usaha mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil dilakukan oleh apabila permasalahan rokok dan tembakau tersebut tidak diselesaikan.

Menurutnya, pemerintah harus segera mengatur masalah tersebut, salah satunya melalui UU pengaturan tembakau. "Pengentasan kemiskinan tidak mungkin terjadi kalau masalah tembakau ini belum diselesaikan. Kalau pemerintah mau entaskan kemiskinan atur rokok ini secara baik melalui undang-undang atau yang lainnya," katanya saat jumpa pers di Gedung Kebangkitan Nasional Stovia, Jakarta, Minggu.

Monday, October 5, 2009

Kepunahan Massal Semakin Dekat

Para ahli biologi memperkirakan dunia tengah menghadapi ancaman kepunahan keanekaragaman hayati secara massal. Dugaan ini muncul dari krisis keanekaragaman hayati yang semakin parah. Diperkirakan, saat ini sebanyak 50-150 spesies bumi punah setiap harinya.

Perkiraan ini berdasarkan atas proyeksi laju kepunahan yang terjadi saat ini. Proyeksi tersebut menyebutkan, sekitar 50 persen dari sekitar 10 juta spesies yang ada saat ini diprediksi akan punah dalam kurun waktu 100 tahun ke depan. ”Laju kepunahan beragam spesies saat ini mencapai 40-400 kali lipat dari laju kepunahan 500 tahun yang lalu,” kata Ign Pramana Yuda, peneliti Teknobiologi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dalam pidato ilmiah Dies Natalis Ke-44 universitas tersebut di Yogyakarta, Jumat (2/10).

Laju kepunahan burung dan binatang menyusui antara tahun 1600 dan 1975, misalnya, telah diperkirakan mencapai 5-50 kali lipat dari laju kepunahan sebelumnya. Tidak hanya spesies, kepunahan juga mengancam gen dan ekosistem tempat spesies tersebut tinggal.

Menurut Pramana, Indonesia adalah salah satu kawasan yang memiliki ancaman kepunahan terbesar. Ekosistem hutan tropis berkurang 10 juta-20 juta hektar setiap tahunnya. Sebanyak 70 persen terumbu karang di Indonesia juga mengalami kerusakan sedang hingga berat. Kerusakan juga terjadi di sejumlah ekosistem khas di Indonesia lainnya, seperti hutan bakau, sungai, danau, dan kawasan pertanian.

Pramana mengatakan bahwa kepunahan massal kali ini terjadi dalam skala yang jauh lebih luas dan lebih cepat lajunya dibandingkan dengan lima kepunahan massal yang pernah terjadi di Bumi sebelumnya. Kepunahan massal terbaru terjadi sekitar 65 juta tahun lalu.

Luasnya skala kepunahan massal kali ini bisa dilihat dari banyaknya spesies yang punah dan makin pendeknya usia kelestarian satu spesies. Saat ini usia spesies kurang dari 35.000 tahun, padahal jutaan tahun yang lalu satu spesies bisa berusia 10 juta tahun.

Solidaritas lintas spesies

Besarnya skala kepunahan ini perlu diredam karena bisa berakibat berdampak buruk pada kelangsungan kehidupan di Bumi. Salah satu upaya peredaman itu adalah dengan menumbuhkan solidaritas lintas spesies yang saat ini masih sangat minim. Selama ini pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih berorientasi pada kesejahteraan umat manusia.

Menurut Pramana, sektor pendidikan berperan sangat penting dalam hal ini. Komunitas akademis perlu mulai mengembangkan program dan kurikulum pendidikan serta pelestarian yang mengacu pada konservasi keanekaragaman hayati.

Peneliti Keanekaragaman Hayati dari Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Djoko Raharjo, berpendapat, kepunahan yang terjadi saat ini tidak bisa disebut alami karena dipicu oleh berbagai sebab buatan, antara lain polusi, eksploitasi berlebihan pada sumber daya alam, dan industrialisasi.

”Meskipun sudah sangat parah, sebenarnya masih banyak yang bisa kita lakukan untuk meredamnya pada laju yang alami,” ujarnya.

Berbagai penemuan di bidang konservasi memberikan harapan baru di bidang pelestarian
alam. Masyarakat juga bisa berkontribusi dengan menekan penggunaan energi dari bahan tambang serta mengurangi konsumsi yang bisa menyebabkan polusi serta eksploitasi alam berlebihan. (IRE)

Senin, 5 Oktober 2009 | 04:08 WIB

Yogyakarta, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/04084611/kepunahan.massal.semakin.dekat

Saturday, October 3, 2009

EVALUASI LINGKUNGAN: Kerusakan Lingkungan Tak Teratasi

Selama lima tahun terakhir aktivitas ramah lingkungan dinilai meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, tingkat kerusakan ekologi terus berlangsung dengan intensitas tinggi.

”Kami akui bahwa kerusakan lingkungan masih terus terjadi dengan intensitas tinggi,” kata Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup Arief Yuwono dalam Evaluasi Lima Tahun Pengelolaan Lingkungan Hidup ”Mengubah Krisis Menjadi Peluang” di Jakarta, Jumat (2/10). Ada pendapat yang menuding, faktor otonomi daerah mempercepat kehancuran ekologis, terutama terkait nafsu mengejar pendapatan daerah.

Tidak hanya daerah, lemahnya perhatian terhadap peran lingkungan juga melanda pemerintah pusat. Bahkan, sudah terjadi sejak era Orde Baru.

”Politik dan ekonomi begitu kuat sehingga lingkungan berada di pinggiran. Masalah lingkungan pun kolaps di era otonomi daerah,” kata guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Surna T Djajadiningrat.

Ia mencontohkan kerusakan lingkungan di Bandung. Fungsi dan jasa lingkungan hancur akibat pembangunan yang mengarusutamakan kepentingan ekonomi semata.

Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni mengakui, persoalan lingkungan belum menjadi prioritas pembangunan saat ini. Pertumbuhan ekonomi masih lebih menarik dijadikan prioritas utama negara.

Namun, ia sepakat bahwa belum ada kata terlambat untuk mengubah cara pandang dunia terhadap lingkungan. Apalagi, di tengah fenomena pemanasan global seperti sekarang.

Bukan soal teknis

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Berry N Furqan menyatakan, persoalan lingkungan bukan soal teknis semata. Buktinya, hutan terus digunduli di tengah teknologi yang mampu menghasilkan bibit pohon kayu
usia pendek untuk dipanen. Sampah perkotaan juga terus menumpuk tanpa ada solusi yang jitu.

Oleh karena itu, tanpa kehendak dan kemampuan merekonstruksi tatanan politik dan ekonomi yang korup dan rakus, kehancuran ekologis akan terus marak. ”Kehancuran tersebut ditambah lemahnya kewenangan lembaga lingkungan,” kata Berry.

Data Walhi menunjukkan, bencana ekologis di Indonesia tercatat 205 kali (tahun 2007) dan naik menjadi 359 kali (2008). Angka itu tidak termasuk gempa bumi dan gunung meletus.

Angka kasus bencana lingkungan dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya, terutama apabila tidak ada terobosan penanganan lingkungan di Indonesia. (GSA)

Saturday, September 5, 2009

Daya Dukung dan Daya Tampung Jadi Harapan

Kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi salah satu harapan bagi masa depan lingkungan.

Kalau tidak ada tentangan keras, RUU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang disetujui Badan Musyawarah DPR pada Kamis (3/9) itu akan disahkan dalam rapat paripurna, Selasa, 8 September 2009.

Pasal daya dukung dan daya tampung lingkungan tidak termuat dalam undang-undang sebelumnya, UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. ”Perhatian terhadap daya dukung lingkungan selama ini simbolis saja. Faktanya tidak dikerjakan,” kata pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), sekaligus peneliti daya dukung lingkungan Pulau Jawa, Hariadi Kartodihardjo, ketika dihubungi di Bogor, Jawa Barat, kemarin.

Akibatnya, bencana ekologis terjadi beruntun dan menyebar di seluruh pulau besar di Indonesia. Dampaknya pun kian dahsyat.

Kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan pada RUU PPLH diamanatkan untuk dikerjakan pemerintah daerah demi masa depan masyarakat. Eksploitasi sumber daya alam tidak lagi dilihat sebagai faktor utama pengambilan keputusan.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi VII DPR (salah satunya membidangi lingkungan) Sonny Keraf menyatakan, keberpihakan terhadap masa depan lingkungan menjadi perhatian penting tim pembahas. Daya dukung dan daya tampung hanya sedikit dari faktor perlindungan lingkungan.

Masih ada faktor pencadangan sumber daya alam, pemberlakuan instrumen ekonomi, dan kajian lingkungan hidup strategis yang wajib dilakukan untuk kelengkapan izin lingkungan sebagai syarat keluarnya izin usaha.

Mengutip hasil penelitian Kajian Daya Dukung dan Kebijakan Pembangunan Pulau Jawa tahun 2007, yang di antaranya dikerjakan Hariadi, disebutkan, daya dukung Pulau Jawa sudah terlampaui. Ketersediaan sumber air di sebagian besar kota di Jawa tidak mencukupi lagi.

Salah satu penyebabnya adalah tutupan lahan di Jawa tidak memenuhi syarat bagi ketersediaan air. Alih fungsi lahan terus meningkat untuk permukiman, tambak, dan kegiatan usaha lainnya. Ada persoalan tata ruang terkait pemenuhan kebutuhan ledakan populasi.

Pasal pencemaran

Selain pasal-pasal di atas, RUU PPLH juga mengatur pidana. Sanksi pidana pencemaran ditetapkan dengan ancaman hukuman minimal tiga tahun dan denda Rp 3 miliar.

”Diterapkan sanksi minimal agar tidak ada lagi vonis bebas dan ringan bagi pencemar,” kata Deputi V Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Penataan Ilyas Asaad.

Sementara itu, ancaman pidana bagi pelanggar lingkungan di atas baku mutu lingkungan ditetapkan di bawah pencemaran. Begitu pula soal kelalaian.

Soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), sanksi dapat diberikan kepada pejabat pemerintah yang mengeluarkan izin bermasalah, tidak hanya kepada penyusun dan pemrakarsa amdal. (GSA)

Jumat, 04 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/02590066/daya.dukung.dan.daya.tampung.jadi.harapan

Saturday, August 22, 2009

Indramayu Bakal Tenggelam Tidak Lama Lagi

Tanjung Indramayu telah tenggelam akibat abrasi yang tidak bisa dikendalikan, baik oleh masyarakat sekitar maupun Pemerintah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.


"Pengikisan pantai terus terjadi setiap tahunnya dari peta tahun 2004 masih terlihat ada Tanjung Indramayu. Di tanjung tersebut terdapat dua daratan yaitu Pancar Payung dan Pancar Belah, tetapi pada tahun 2009 sudah tidak tampak, semua berubah jadi lautan," kata Kepala Pelabuhan Indramayu, Sukiman, di Indramayu.

"Tanjung Indramayu memiliki panjang sekitar 3.600 meter dan lebar 1.800 meter telah berubah menjadi lautan, peristiwa tersebut sangat mengkhawatirkan daratan yang masih ada, kalau pihak terkait tidak berupaya mempertahankannya maka semua bibir pantai akan hilang," katanya.

"Untuk lima tahun ke depan bisa terjadi lebih parah, maka dari masyarakat serta pemerintah harus segera melakukan pencegahan lebih awal, supaya daratan yang ada bisa dipertahankan," katanya.

"Saat ini masyarakat di kawasan pantai utara Indramayu belum menyadari serta tidak pernah peduli terhadap pantai dan lingkungan di sekitarnya, maka dalam hitungan waktu yang singkat telah terjadi kerusakan pantai," katanya.

"Solusi untuk mengantisipasinya antara lain, menanam pohon bakau, mangrove, juga menghindari pengerukan bibir pantai yang sering terjadi di kawasan pantai Indramayu, dalam permasalahan ini masyarakat dan pemerintah harus bersama-sama untuk mempertahankan daratan tersebut," katanya.

"Dalam mempertahankan daratan masyarakat harus peduli terhadap lingkungan juga harus bisa memeliharanya, apabila hal tersebut tidak diperhatikan maka Indramayu akan tenggelam dalam waktu yang tidak lama lagi," katanya.

"Tanjung sangat diperlukan untuk sebuah pelabuhan karena fungsi dan manfaatnya sangat banyak seperti bisa menahan apabila terjadi angin dari timur, lahan bongkar muat kapal juga sebagai penahan gelombang," katanya.

"Selain Tanjung Indramayu, masih banyak daratan yang akan mengalami hal serupa seperti bibir pantai di daerah Sukra yaitu Sumur Adem di mana lahan tersebut dijadikan proyek pembangkit listrik tenaga uap," katanya.

"Yang paling jelas terlihat yaitu kawasan wisata bahari Tirtamaya yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Indramayu, pada tahun 1997 masih ada daratan untuk sarana pengunjung, tapi untuk saat ini daratan tersebut berubah menjadi lautan," katanya.

RABU, 5 AGUSTUS 2009 | 10:29 WIB

Source: http://www.wargahijau.org/index.php?option=com_content&view=article&id=624:indramayu-bakal-tenggelam-tidak-lama-lagi&catid=11:green-activities&Itemid=16

Tuesday, July 28, 2009

Izin Lingkungan Diadopsi

Komisi VII DPR dan pemerintah akhirnya sepakat untuk mengadopsi izin lingkungan dalam Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Izin itu menjadi instrumen baru syarat terbitnya izin kegiatan usaha dari departemen sektor.

”Kami benar-benar ingin melindungi daya dukung lingkungan,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf, yang juga Ketua Panitia Khusus RUU PLH, di Jakarta, Senin (27/7).

Pada Rapat Dengar Pendapat Komisi VII dengan sejumlah asosiasi usaha, muncul kekhawatiran pengetatan izin mengganggu investasi. Pasalnya, proses birokrasi bertambah rumit.

Izin lingkungan didahului beberapa langkah, yakni data daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam proses kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), serta analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Jika KLHS mengkaji kawasan ekosistem, amdal disusun per rencana kegiatan pada sebuah lokasi yang dinilai telah memenuhi syarat.

”Izin lingkungan jadi syarat keluarnya izin kegiatan dari departemen teknis,” kata Sonny. Tanpa izin lingkungan, rencana kegiatan, seperti pertambangan, industri, atau kegiatan lain yang berpotensi berdampak bagi lingkungan, tak bisa dijalankan.

Sekretaris Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) Arief Yuwono menyatakan, izin lingkungan tidak untuk menghambat investasi, tetapi menjaga keseimbangan pembangunan di tengah cepatnya laju kerusakan lingkungan.

Pasal-pasal dalam RUU PLH dinilai terobosan. ”Yang lebih penting, bagaimana benar-benar dapat dioperasikan,” katanya.

Pekan lalu KNLH membahas detail pasal RUU PLH. Rencananya, pembahasan bersama Komisi VII dilanjutkan pekan ini.

Hingga sekarang rencana kegiatan yang mengubah rona awal lingkungan dijalankan tanpa izin lingkungan, tetapi mengandalkan dokumen amdal yang penyusunannya sering bermasalah.

Sebagai contoh, kegiatan di lapangan sudah berlangsung sebelum dokumen amdal disetujui. Berbagai koreksi dalam pembahasan dokumen amdal pun hanya menjadi catatan yang tidak disusul perbaikan kegiatan.

Akibatnya, kerusakan lingkungan terus terjadi sekalipun sebuah kegiatan sudah didahului kajian amdal.

Kejar waktu

Pembahasan RUU ditargetkan selesai awal September 2009 sebelum masa bakti DPR berakhir.

Hingga pekan ini pembahasan telah menyelesaikan 301 inventarisasi masalah dari total 585 buah. Pembahasan akan dilanjutkan pekan depan.

Untuk kualitas, sejumlah pihak menawarkan pendampingan, termasuk menyiapkan para ahli, selama dibutuhkan. Tawaran di antaranya datang dari koalisi LSM, Institut Pertanian Bogor, dan kemitraan. (GSA)

Selasa, 28 Juli 2009 | 03:54 WIB

Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/28/03541643/izin.lingkungan.diadopsi

Saturday, July 18, 2009

Industri Pertambangan Sumbang Kerusakan Lingkungan

Industri pertambangan kerap membuat kerusakan lingkungan. Dari mulai hilangnya kawasan hutan hingga menyebab pencemaran.

Hal itu diungkapkan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Indonesia (Jatam) Siti Maimunah.

Apalagi, kata Maimunah, industri tambang sangat rakus terhadap lahan dan air. Perusahaan pertambangan tergolong perusahaan jangka pendek yang tidak terbarukan. Kerusakan lingkungan akibat pertambangan tidak bisa dihindari.

"Misalnya, perusahaan tambang dibangun di sebuah pulau kecil. Selain mengganggu daerah resapa air, proses penambangan perusahaan itu menyumbang limbah (tailing) B3 (bahan beracun dan berbahaya) bagi lingkungan sekitarnya," jelasnya saat dihubungi Media Indonesia, Sabtu (20/6).

Menurutnya, terdapat tiga jenis pembuangan dari yang primitif hingga yang dikatakan modern. Pertama, pembuangan limbah langsung ke sungai, kedua, pembungan limbang ke laut (submarine tailing disposal), dan pembuangan dalam kolam (tailing dam).

"Untuk mendapat satu gram emas, industri membutuhkan 100 liter air untuk proses ekstraksi. Belum lagi untuk kebutuhan industri dan karyawannya," katanya.

Besarnya kebutuhan air dalam proses penambangan, ia menilai pertambangan dapat memicu krisis air. Tak hanya itu, tambang yang membuka kawasan hutan dapat mengganggu kehidupan keanekaragaman hayati. (Drd/OL-06)

JAKARTA--MI:20 Juni 2009 19:19 WIB

RUU LINGKUNGAN Pengelolaan Lingkungan Masih Terkotak-kotak Daerah

Dorongan mewujudkan pengelolaan lingkungan kewilayahan muncul dalam rapat Komisi VII DPR dengan sejumlah tokoh lingkungan, Kamis (16/7). Model pengelolaan itu didasarkan atas kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Dengan mengetahui daya dukung dan daya tampungnya, aktivitas berdampak buruk bagi lingkungan dapat dicegah sejak perencanaan pembangunan. Syaratnya, dibutuhkan lembaga yang kuat untuk menerapkan di lapangan.

”Apabila terlaksana, keberlanjutan lingkungan akan lebih terjamin,” kata pemerhati lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodihardjo, kemarin.

”Selama ini model pengelolaan lingkungan masih terkotak-kotak batas administrasi daerah,” kata Hariadi. Bahkan, bisa dibagi-bagi lagi sesuai dengan izin pengelolaan daerah ataupun pusat.

Satu-satunya pengendalian dampak merusak dari aktivitas usaha dilakukan melalui analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Sayangnya, selain tahapan itu terbilang terlambat, juga minim pemantauan dan sanksi atas pelanggaran.

Menurut Hariadi, inventarisasi sumber daya alam (SDA) kewilayahan sebenarnya sudah diterapkan. Namun, lebih diarahkan untuk pemanfaatan komoditas (misalnya bahan tambang dan kayu) dan bukan sebagai dasar penetapan daya dukung lingkungan.

Lingkungan masih dilihat sebagai obyek yang dapat disisihkan mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi. Kondisi itu diperparah model pengotakan pengelolaan lingkungan.

”Pada prinsipnya, lingkungan tidak menganut batas wilayah,” kata guru besar ITB, Surna T Djajadiningrat. Pengelolaan yang tepat mengacu kesatuan ekosistem, bukan batas administrasi kota/kabupaten atau provinsi.

Saking pentingnya mengatur pengelolaan secara kewilayahan, muncul usul agar diatur dalam bab khusus. ”Isu ini sangat penting diperkuat. Selama ini masih kurang disentuh dalam undang-undang yang ada,” kata pengajar lingkungan Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Setyo Moersidik.

Pengakuan dalam teks pun dinilai belum menjamin operasional di lapangan. Ada belasan undang-undang yang mengatur sumber daya alam, tetapi perusakan sumber daya alam terus terjadi.

Menurut pemerhati hukum lingkungan, Mas Achmad Santosa, paling penting dari RUU yang sedang dibahas adalah sifat yang dapat diaplikasikan.

Tata ruang

Mengenai ide penguatan kelembagaan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH), pengamat dan praktisi lingkungan mendukung. Salah satunya, memasukkan kewenangan konsep tata ruang ke dalam KNLH.

Tanpa kewenangan tersebut, penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan kewilayahan tidak akan efektif. ”Di bawah lembaga lingkungan, pengalokasian tata ruang dapat mencakup cadangan ketersediaan SDA,” kata Hariadi.

Memasukkan kewenangan tata ruang ke KNLH, dinilai Achmad Santosa, tidak bertentangan dengan UU Tata Ruang. (GSA)

Jakarta, Kompas - Sabtu, 18 Juli 2009 | 05:01 WIB

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/05013922/pengelolaan.lingkungan.masih.terkotak-kotak.daerah

Friday, July 17, 2009

RUU LINGKUNGAN PPNS Boleh Menahan Pelanggar Lingkungan

Jakarta, Kompas - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup salah satunya memberi kewenangan kuat kepada penyidik pegawai negeri sipil. Wewenangnya mulai dari memeriksa kebenaran laporan, dokumen, hingga menangkap dan menahan pelanggar lingkungan.

Namun, permulaan dan hasil penyidikan harus dilaporkan kepada penyidik kepolisian. ”Kami tidak mengambil kewenangan polisi. Hanya koordinasinya diperkuat,” kata Sekretaris Meneg LH Arief Yuwono di Jakarta, Selasa (14/7). Sebelumnya, Meneg LH Rachmat Witoelar juga mengungkapkan harapannya tentang penambahan wewenang PPNS.

Pada Bab XV tentang Penyidikan, terdapat sembilan kewenangan PPNS, seperti memeriksa kebenaran laporan, memeriksa orang/badan hukum, meminta keterangan dan bukti, serta memeriksa pembukuan, catatan, dan dokumen.

Lainnya, menyita bahan dan barang hasil pelanggaran, meminta bantuan ahli terkait penyidikan, memasuki lokasi untuk memotret, dan membuat rekaman video. Terakhir, wewenang menangkap dan menahan tersangka pelanggar lingkungan.

”Kami memberi wewenang besar atas dasar lemahnya penegakan hukum selama ini. Namun, draf ini masih butuh masukan dari banyak pihak,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf, yang juga memimpin pembahasan RUU PLH itu. Mengenai nama RUU, koalisi organisasi nonpemerintah memberi usulan nama RUU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sonny mengatakan, konsekuensi penambahan wewenang itu adalah peningkatan profesionalitas PPNS. Potensi penyalahgunaan wewenang tetap disadari.

Usulan lain terkait keberadaan Komisi Nasional Perlindungan Lingkungan. Komisi tersebut dibutuhkan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan terorganisasi. Bila keberadaannya disetujui, peran PPNS kembali seperti semula. ”Komisi akan membentuk penyidik sendiri yang profesional,” kata Sonny. (GSA)

Rabu, 15 Juli 2009 | 04:30 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/15/04302214/ppns.boleh.menahan.pelanggar.lingkungan.

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...