Showing posts with label Cuaca. Show all posts
Showing posts with label Cuaca. Show all posts

Thursday, October 14, 2010

Pengaruh La Nina hingga Juni 2011

Fenomena La Nina yang menjadi faktor dominan terjadinya musim hujan berkepanjangan tahun 2010 akan berlanjut hingga Juni 2011.

"Hujan yang terus menerus saat ini karena faktor La Nina, pengaruhnya akan terjadi hingga  Juni 2011 mendatang. Musim kemarau 2011 diprediksi juga pendek, sekitar dua bulan," kata Koordinator Peningkatan Kapasitas Riset Dewan Nasional Perubahan Iklim, Agus Supangkat di Kampus ITB Bandung, Jumat (24/9).
Menurut Agus, fenomena La Nina yang terjadi saat ini mengakibatkan hujan terus menerus pada bulan-bulan yang seharusnya musim kemarau yakni dari Mei hingga September 2010.

Padahal, pada September dalam musim yang normal merupakan musim transisi dari kemarau ke penghujan. Sehingga diperkirakan pengaruhnya cukup besar bagi curah hujan dalam beberapa bulan ke depan.

"Pada 2011 juga La Nina masih kuat, musim kemarau hanya akan terjadi pada Juli dan Agustus, setelah itu hujan lagi. Pengaruhnya merata di kawasan tropis, terutama di wilayah Asia," kata Agus.

Ia menyebutkan, pengaruh La Nina merata di seluruh Indonesia. Hujan turun di mana-mana di Indonesia, termasuk di beberapa negara di Asia lainnya.

Siklus La Nina biasanya muncul 7-10 tahun sekali, namun dalam beberapa tahun terakhir muncul lebih awal. Fenomena itu, kata Agus, dipengaruhi oleh aliran sistem air dari Samudera Pasifik.

"Indonesia kebetulan terlewati aliran sistem air (arlindo) dari Pasifik ke Samudera Hindia, jadi itu sangat berpengaruh terhadap musim di Indonesia," kata Agus Supangkat.

Sementara itu fenomena La Nina jelas membuat curah hujan cukup tinggi  sehingga bagi kawasan rawan bencana banjir untuk tetap siaga. (Ant/OL-2)

24 Sep 2010
Source:http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/24/170644/89/14/Pengaruh-La-Nina-hingga-Juni-2011

Wednesday, September 30, 2009

Kemarau Baru Selesai November 2009

Petani Memilih Tak Olah Lahan

Musim kemarau di wilayah Cirebon dan sekitarnya tahun ini diperkirakan baru berakhir bulan November. Kemarau yang memicu suhu udara tinggi, kekeringan, dan potensi kebakaran hutan itu menimbulkan konsekuensi mundurnya musim tanam padi di pantura Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Sawah di sejumlah daerah itu baru bisa ditanami akhir 2009 atau malah awal 2010.

Kepala Badan Meteorologi Jatiwangi, Majalengka, Eko Sunaryo, Senin (28/9), mengungkapkan, suhu udara di Wilayah III Cirebon rata-rata 37 derajat celsius. Suhu itu diprediksi tidak akan banyak berubah hingga musim hujan tiba pertengahan November 2009. "Dalam kondisi suhu tinggi, kebakaran hutan atau puting beliung berpotensi terjadi, bahkan kebakaran permukiman sekalipun," katanya.

Angin puting beliung berpotensi muncul di daerah dengan hamparan tanah datar luas, seperti Kabupaten Indramayu, Cirebon, dan Majalengka. Kedatangannya juga tidak bisa diprediksi. Sementara kebakaran hutan hampir selalu terjadi di Gunung Ciremai yang masuk wilayah Kuningan dan Majalengka serta hutan jati di Indramayu. Potensi kebakaran makin besar karena kemarau tahun ini kerap disertai tiupan angin kencang.

Berdasarkan data tahun 2006, kemarau panjang waktu itu menyebabkan kebakaran besar di Ciremai dan menghanguskan 1.450 hektar hutan. Adapun kebakaran pada 2008 terjadi di Desa Pasawahan, Kuningan, dan menyebabkan tidak kurang dari 150 hektar hutan hangus. Kebakaran itu juga menghanguskan sebagian tanaman pelindung yang baru berumur setahun.

Di Indramayu, kebakaran hutan biasanya melanda hutan jati dan kayu putih milik Perum Perhutani di wilayah Kesatuan Pemangku Hutan Indramayu. Sepanjang musim kemarau tahun ini tercatat luas hutan yang terbakar sedikitnya 180,51 hektar.

Lahan tidur

Sejumlah petani di Cirebon hingga kini membiarkan lahan mereka tidur karena tidak bisa ditanami palawija, apalagi padi, akibat kekurangan air. Mereka memilih menunggu datangnya musim hujan pada akhir tahun.

Casmadi (39), petani dari Desa Kedongdong, Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon, mengaku tidak ada air meskipun daerahnya termasuk daerah beririgasi. Sudah menjadi kebiasaan setiap tahun, ia hanya bisa panen setahun dua kali. Bahkan, jika sedang benar-benar tidak beruntung, panen hanya setahun sekali. Meski demikian, kondisi tahun ini sedikit lebih baik karena musim hujan mundur hingga Juni. Tak pelak ada tanaman musim kemarau yang bisa dipanen.

Kepala Dinas Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perkebunan Kabupaten Cirebon Ali Efendi mengatakan, selama lima tahun ini telah terjadi pergeseran musim. Lima tahun lalu musim kemarau berakhir Oktober, tetapi kini November. Senada dengan Eko, Ali juga memprediksi masa tanam 2009 baru berlangsung pada akhir 2009 atau awal 2010. Menurut Ali, kondisi tersebut masih relatif baik karena kemarau tidak sampai akhir tahun atau awal 2010 akibat El Nino.

Soal kondisi lahan, ia menambahkan, hanya lahan di daerah tertentu yang bisa tanam tiga kali setahun karena dekat dengan mata air. Selain itu, petani biasanya menanam palawija pada musim seperti ini. (nit)

Selasa, 29 September 2009 | 12:00 WIB

Cirebon, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/29/12004517/kemarau.baru.selesai.november.

Thursday, August 27, 2009

El Nino Berdampak Positif pada Perikanan

Gejala El Nino yang sedang berlangsung tidak hanya mendatangkan kerugian akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Namun, di perairan, seperti di selatan Pulau Sumatera, Jawa, hingga Nusa Tenggara, dapat menguntungkan atau berdampak positif karena biota ikan dari kedalaman akan berenang lebih dekat ke permukaan laut.

”Pengaruh El Nino memang bisa mengakibatkan musim penangkapan ikan menjadi lebih banyak. Namun, nelayan juga harus dipersiapkan untuk menghadapi musim paceklik setelah itu,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada konferensi pers, Rabu (26/7) di Jakarta.

Freddy di dalam konferensi pers menekankan perlunya program kelautan dan perikanan menjadi bidang pembangunan tersendiri. Dia menyampaikan capaian kinerja pembangunan kelautan dan perikanan selama lima tahun terakhir, termasuk keberhasilan penyelenggaraan kegiatan bertaraf internasional Konferensi Kelautan Dunia (WOC) dan Sail Bunaken di Sulawesi Utara pada Agustus ini.

Tak bisa dilawan

Secara terpisah, dampak positif El Nino juga dipaparkan Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian. ”Selama ini publik disuguhi informasi dampak El Nino masih dari sisi yang tidak menguntungkan saja,” kata Edvin.

Menurut dia, alam, termasuk fenomena El Nino, tak bisa dilawan. Tindakan adaptif atau memanfaatkan nilai keuntungan yang ditimbulkannya menjadi sangat penting.

Pada sektor perikanan, fenomena El Nino mengakibatkan suhu laut menjadi lebih dingin. Biota laut, termasuk ikan-ikan bernilai ekonomis, seperti ikan tuna dari kedalaman, akan berenang mendekati permukaan
laut.

Dengan kondisi air laut seperti itu, industri rumput laut juga lebih diuntungkan. Termasuk pula industri garam karena mendapatkan penyinaran matahari yang lebih lama sehingga produksi juga akan lebih menguntungkan petani.

Perburuan sirip hiu

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi juga menyinggung perburuan sirip ikan hiu di wilayah perairan Indonesia timur bagian selatan. Pihak Australia pun sering melayangkan protes atas tindakan yang merusak keseimbangan ekosistem kelautan tersebut.

”Nelayan-nelayan tradisional penangkap ikan hiu, yang hanya mengambil siripnya, itu hanya dimanfaatkan oleh ’mafia’ saja,” kata Freddy.

Freddy mengatakan bahwa ”mafia” yang dimaksudkan tersebut adalah para pedagang yang mengambil keuntungan dari perolehan sirip ikan hiu. Ia menyebutkan, ”mafia” itu berperan hingga membelikan kapal nelayan untuk menangkap ikan hiu dan hanya mengambil siripnya saja.

”Satu kapal yang diberikan ke nelayan tradisional harganya paling-paling hanya Rp 30 juta. Namun, pendapatan ’mafia’ dari hasil sirip ikan hiu bisa mencapai Rp 5 miliar,” kata Freddy.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik menyatakan, untuk masalah perburuan sirip ikan hiu ini, pemerintah dituntut lebih tegas menerapkan kebijakannya dalam hal konservasi atau penyelamatan lingkungan.(NAW)

Monday, August 24, 2009

Anomali Cuaca: El Nino Modoki Fenomena Baru

Fenomena El Nino atau menghangatnya suhu muka laut di Samudra Pasifik mulai menggejala akhir Mei lalu dan cenderung menguat bulan ini. Namun, melihat pola dan lokasi ”kolam panas”—areal permukaan laut yang menghangat—ada kecenderungan versi baru El Nino yang disebut El Nino Modoki.

Hal ini diungkapkan pakar cuaca dari Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (TISDA-BPPT), Fadli Syamsuddin, Jumat (21/8) melalui SMS. ”Ada kecenderungan anomali mengarah ke El Nino Modoki. Untuk memastikan, harus melihat kondisi terakhir,” ujarnya.

El Nino yang umumnya ditandai terjadinya anomali suhu muka laut di kawasan khatulistiwa di Samudra Pasifik disebut kolam panas. Hal ini mengakibatkan suplai uap air tinggi di kawasan Peru sehingga mengakibatkan banyak hujan di wilayah itu, sebaliknya kekeringan di wilayah Asia, terutama Indonesia.

Berbeda dengan El Nino, munculnya Modoki, bahasa Jepang, yang berarti ”serupa tapi berbeda”, ditunjukkan oleh adanya ”kolam panas” yang terkonsentrasi hanya di bagian tengah Samudra Pasifik. Bagian timur dan barat Pasifik tetap dingin.

Kondisi ini menyebabkan rendahnya suplai uap air atau terbentuknya awan hujan di Peru dan di timur Indonesia. Sejauh ini dari riset yang dilakukan peneliti Badan Riset Kelautan Jepang (Jamstec), wilayah Indonesia belum banyak diteliti. Fenomena ini juga baru dipublikasikan tahun 2004 oleh peneliti Jamstec, tutur Fadli, yang meraih doktornya di Jepang.

Riset El Nino Modoki juga dilakukan peneliti dari Georgia Institute of Technology. ”Umumnya, El Nino menyebabkan menurunnya kejadian badai di Atlantik. Namun, tipe baru ini justru meningkatkan badai,” ujar Peter Webster, Guru Besar di Georgia Tech’s School of Earth and Atmospheric Sciences.

Menurut penelitian Webster, yang muncul pada Jurnal Science edisi Juli lalu, El Nino Modoki lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan El Nino. El Nino berubah menjadi Modoki oleh osilasi alami El Nino atau merupakan respons El Nino terhadap menghangatnya atmosfer atau karena La Nina mengubah struktur El Nino. (YUN)

Jakarta, 24 Agustus 2009

Cuaca Ekstrem di Indonesia Mulai Selasa Besok


Cuaca ekstrem berpotensi terjadi di wilayah Indonesia mulai 25 hingga 27 Agustus. Cuaca ekstrem didukung oleh adanya aktivitas daerah tekanan rendah di Samudera Pasifik sebelah utara Papua dan daerah pumpunan angin yang memanjang dari Sumatera bagian utara, perairan sebelah utara Kalimantan hingga Samudera Pasifik sebelah timur Filipina.

Faktor pendukung lain cuaca ekstrem adalah masih hangatnya suhu muka laut di wilayah perairan Indonesia sebelah utara Katulistiwa dan kelembaban udara di wilayah tersebut yang cukup tinggi. Kondisi ini mendukung terbentuknya awan hujan di wilayah Indonesia terutama wilayah Indonesia bagian utara dan sekitar ekuator.

Adanya aktivitas konvektif yang merupakan aktivitas atmosfer berskala lokal di sebagian wilayah Indonesia juga perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan hujan lebat yang disertai angin kencang dan petir dalam waktu yang tidak terlalu lama. Potensi hujan lebat disertai petir dan angin kencang terdapat di pesisir barat Sumatera, Sumatera bagian utara dan tengah, Kalimantan Barat dan Timur, Kalimantan Tengah bagian utara, Sulawesi bagian utara dan tengah, Maluku bagian utara dan tengah, Papua Barat, Papua Tengah, serta Papua Timur bagian utara.
SENIN, 24 AGUSTUS 2009 | 13:13 WIB

Thursday, July 30, 2009

Satelit Lapan A-1 Akan Pantau Kekeringan

Satelit penginderaan jauh telah terbukti andal dalam memantau gejala kekeringan atau dampak yang ditimbulkan. Untuk mengantisipasi gangguan cuaca pada musim kemarau, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional akan mengaktifkan mikrosatelit Lapan A-1 atau Lapan-TUBsat untuk memantau tutupan lahan dan titik api atau kebakaran lahan.

Ini disampaikan Deputi Bidang Teknologi Dirgantara Lapan Soewarto Hardhienata di sela-sela acara ”Diseminasi Perkembangan Teknologi Roket dan Satelit di Indonesia” di Kantor Pusat Lapan, Jakarta, Rabu (29/7).

Satelit Lapan A-1—yang dirancang bangun peneliti Lapan dan TU Berlin—beredar pada orbit pola melewati wilayah Indonesia tiga kali sehari, yaitu pagi, sore, dan malam. Hasil citra terbaik adalah pagi hari sekitar pukul 9.

”Satelit yang mengorbit sejak 10 Januari 2007 ini akan menghasilkan citra penginderaan jauh yang optimal pada musim kemarau ketika tidak banyak tutupan awan,” ujar Soewarto.

Selama beredar di Indonesia kamera satelit ini dapat diarahkan ke daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan. Daerah sentra industri padi, sumber air baku, seperti danau dan situ, juga akan menjadi obyek observasi, ujar Soewarto.

Sejak dua setengah tahun lalu Satelit Lapan A-1 dengan resolusi 5 meter telah digunakan mengambil gambar aktivitas Gunung Merapi dan Kelud serta tumpahan minyak di Selat Malaka.

Lapan A-2

Untuk meningkatkan cakupan observasi wilayah Indonesia secara mandiri, Lapan kini tengah menyelesaikan satelit Lapan A-2. Satelit generasi kedua ini akan beredar di orbit khatulistiwa dan memiliki jangkauan lebih lebar. Satelit baru ini juga telah dilengkapi dengan sistem global positioning system (GPS).

Peluncuran Satelit Lapan A-2 dan Lapan-Orari, lanjut Soewarto, akan ditumpangkan pada roket peluncur milik ISRO–India.

Menurut rencana peluncuran dua satelit tersebut akan dilaksanakan awal tahun 2011. Rencana semula adalah tahun depan. Menurut Soewarto, pihaknya akan menguji komponen voice repeater dan ADRS dengan meluncurkannya pada Roket Uji Muatan di Yogyakarta, Oktober mendatang.

Ditemui di Pusat Penginderaan Jauh Lapan, Pekayon, mantan Kepala Lapan Mahdi Kartasasmita menyatakan, teknologi penginderaan jauh dengan satelit akan terus dikembangkan, terutama dalam hal standardisasi kualitas dan operasional produk citra satelit.

”Saat ini, selain Lapan, telah ada beberapa instansi yang dapat memantau hot spot (titik panas),” lanjutnya. (YUN)

Kamis, 30 Juli 2009 | 04:46 WIB

Jakarta, Kompas - http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/30/04465570/satelit.lapan.a-1.akan.pantau.kekeringan

Tuesday, July 21, 2009

Kemarau Tiba, Marunda Mengering

Seorang warga melintas di retakan tanah kering akibat panas terik sejak awal bulan ini. Di Marunda, air bersih mulai menjadi persolan serius akibat musim kemarau.
Sumber foto: Detik.com
Fotografer - Ari Saputra

Source:http://foto.detik.com/readfoto/2009/07/21/171730/1168918/157/1/kemarau-tiba-marunda-mengering

Sunday, July 19, 2009

KEKERINGAN Jangan Memaksa Menanam Padi

Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Iwan Nursyirwan menegaskan, karena musim kemarau sudah datang, sebaiknya petani mematuhi pola tanam supaya nantinya tidak terjadi kegagalan panen.

”Jangan dipaksakan untuk menanam padi, jangan ada lagi gadu nekat. Lebih baik petani menanam palawija,” kata Iwan, Kamis (16/7), dalam Jumpa Pers Antisipasi Kekeringan Tahun 2009.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seusai memimpin rapat koordinasi terkait dampak El Nino di Kantor Presiden, Kamis, menegaskan, pemerintah menyiapkan langkah untuk mengantisipasi dampak kekeringan akibat fenomena iklim El Nino. Fenomena ini diperkirakan menguat menjelang akhir tahun, tetapi dampaknya belum dipastikan mengganggu pola tanam. Pemerintah juga optimistis produksi padi tetap dapat ditingkatkan meski kemarau panjang terjadi.

Selain itu, pemerintah juga mengupayakan penanaman padi di lahan basah atau rawa yang airnya susut ketika musim kering. ”Persawahan lahan basah ini dikembangkan, antara lain, di Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah,” kata Presiden.

Presiden juga meminta Departemen Pertanian menyiapkan pendampingan teknis kepada petani jika fenomena El Nino mendatangkan kondisi abnormal. Sementara Departemen Pekerjaan Umum diminta memastikan semua waduk, penampungan air, dan sistem irigasi berfungsi baik menjelang musim kemarau.

Menurut Presiden, waduk-waduk di Pulau Jawa saat ini sudah dipastikan berfungsi baik dengan tampungan air lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008. Namun, di luar Jawa, antara lain Lampung dan Sulawesi Selatan, masih terjadi penyusutan air.

Taat pola tanam

Menurut Iwan, di setiap wilayah sungai sebenarnya sudah ada komisi irigasi, yang menentukan pola tanam para petani saat musim kemarau. ”Bila petani taat dengan pola tanam itu, seharusnya tak ada berita gagal panen dari sejumlah daerah,” katanya.

”Mekanismenya ada. Ada Panitia Tata Pengaturan Air di tingkat daerah, ada pula Perkumpulan Petani Pengguna Air. Jadi tinggal dibicarakan pola tanamnya,” kata Direktur Irigasi Departemen Pekerjaan Umum Imam Agus. Ia menekankan, dalam masa tanam, petani sebaiknya jangan salah pilih varietas tanaman. ”Bila kering, tanam palawija,” ujar Imam.

Berdasarkan pantauan hingga 30 Juni 2009, sebagian besar bendungan dalam kondisi normal, di antaranya Bendungan Juanda, Wadaslintang, Cirata, Saguling, dan Selorejo. ”Hanya dua bendungan yang volume airnya terhitung kering, yakni di Batutegi, Lampung, dan Bili-bili, Sulawesi Selatan,” ujarnya.

Secara umum, Iwan menegaskan, kemarau tahun ini dapat dikatakan kemarau basah. Namun, ada anomali cuaca yang dipengaruhi oleh perubahan iklim. ”Di Jawa misalnya, Mei lalu masih turun hujan lebat, tetapi sekarang di mana-mana mulai kekeringan,” kata Iwan.

Untuk menghadapi kurangnya air baku untuk air minum, Departemen Pekerjaan Umum menyiapkan distribusi pompa air berkapasitas 25 liter per detik. Di Indonesia barat disiapkan 150 unit pompa dan di wilayah timur disiapkan 36 unit pompa.

Mengapa kesulitan air untuk pertanian terus terjadi? Iwan Nursyirwan menjelaskan, saat ini dari 6,72 juta hektar daerah irigasi di Indonesia, baru 0,79 juta hektar atau 12 persen yang pengairannya dijamin bendungan.

”Kami akan meningkatkan kapasitas bendungan supaya sawah dapat ditanami tiga kali dalam setahun,” kata Iwan.

Pada periode 2005-2009, menurut Iwan, selesai dibangun 10 bendungan, yakni Bendungan Keuliling (Aceh), Lodan (Jateng), Kedungbrubus (Jatim), Benel (Bali), Pernek dan Tibu Kuning (NTB), Lokojange, Danau Tua, Haekrit (NTT), dan Ponre-Ponre (Sulsel). (DAY/RYO)

Jakarta, Kompas - Jumat, 17 Juli 2009 | 04:08 WIB

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/17/0408055/jangan.memaksa.menanam.padi

Potensi Besar Kebakaran Lahan

Pemantauan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional menggunakan Satelit Terra/Aqua menunjukkan jumlah titik panas saat ini cenderung terus bertambah. Sementara itu, saat ini merupakan masa dampak El Nino biasa terjadi.

Data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menunjukkan potensi kebakaran hutan yang membesar yang ditunjukkan oleh luas lahan yang terus membesar.

”Di kawasan Asia Tenggara jumlah titik panas di Indonesia sejak akhir April 2009 lalu hingga sekarang adalah yang terbanyak. Titik panas mengindikasikan potensi kebakaran lahan atau kebakaran hutan yang kini terus membesar,” kata Kepala Bidang Pengembangan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan Orbita Roswintiarti, Kamis (17/7).

Pada data terakhir per 15 Juli 2009 disebutkan terdapat 65 titik panas yang terpusat di wilayah Sumatera dan sebagian lainnya di Kalimantan.

Pada Juli 2009 tercatat titik panas terbanyak terjadi pada 4 Juli 2009, yaitu 128 titik panas. Paling sedikit, 11 titik panas, terjadi pada 2 Juli 2009.

Lapan saat ini telah menerapkan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran. Peringkat tersebut diterapkan di empat provinsi di Sumatera, yaitu Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung, serta seluruh provinsi di Kalimantan sebagai wilayah yang paling berpotensi terjadi kebakaran.

Lokasi di lahan gambut

Menurut Orbita, informasi yang paling penting diwaspadai untuk sistem peringatan dini supaya kebakaran tidak meluas dan berkepanjangan adalah lokasi titik panas di lahan gambut.

Selain itu, patut diwaspadai pula pengaruh gejala El Nino yang akan menimbulkan kemarau berkepanjangan.

”Saat ini El Nino masih lemah. Peluang akan terjadi El Nino masih fifty-fifty (50 persen), tetapi anehnya jumlah titik panas cukup banyak,” kata Orbita.

El Nino merupakan gejala penurunan suhu permukaan Samudra Pasifik bagian barat. Akibatnya, Samudra Pasifik tidak bisa menyuplai uap air menjadi awan hujan di wilayah Indonesia. Akhirnya, wilayah Indonesia terancam mengalami kemarau lebih panjang.

Awalnya, kejadian El Nino berlangsung tujuh tahunan. Namun, sekarang intensitasnya makin meningkat antara tiga sampai empat tahun sekali. Hal ini oleh sejumlah pakar lingkungan dan meteorologi disebutkan sebagai indikasi terjadinya anomali iklim atau bahkan perubahan iklim.

Gejala muncul lagi

Periode gejala El Nino yang terjadi di Indonesia antara lain tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 1997, 2002, dan 2006. Pada tahun 2009 ini diprediksikan akan terjadi gejala El Nino lagi.

Menurut Orbita, informasi dini mengenai titik panas dari citra satelit membutuhkan tambahan data dengan melakukan observasi ke lapangan.

Pemerintah daerah bersangkutan diharapkan berlaku aktif dengan memantau titik panas atau hot spot dan segera memadamkannya ketika telah berubah menjadi titik api.

Secara terpisah, pakar perubahan iklim Institut Pertanian Bogor (IPB), Hidayat Pawitan, mengatakan, makin bertambahnya titik panas juga mengindikasikan makin rusaknya kawasan vegetasi hutan.

Menurut Hidayat, kapasitas penginderaan jarak jauh dengan satelit itu menyebutkan adanya titik panas yang tidak selalu sama dengan titik api.

”Titik panas suatu wilayah akan terpantau satelit jika kawasan di daratan itu suhunya mencapai lebih dari 50 derajat celsius,” kata Hidayat.

Menurut dia, lahan atau hutan yang rusak dan terpapar sinar matahari secara terus-menerus dapat menahan panas hingga 50 derajat celsius atau lebih. Jadi kawasan itu akan terpantau satelit sebagai titik panas.

Orbita mengatakan, data per 15 Juli 2009 ada beberapa titik panas di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Di wilayah tersebut diperkirakan titik panas muncul bukan akibat kebakaran, melainkan suhu di daratan yang terpantau mencapai lebih dari 50 derajat celsius akibat paparan sinar matahari terus-menerus.

”Ranting dan daun-daun kering mampu menyerap suhu sampai 50 derajat celsius. Ketika itu berada di lokasi yang terbuka atau di lahan gambut yang telah mengering, akan menjadi mudah terbakar,” lanjut Orbita. (NAW)

Jakarta, Kompas - Jumat, 17 Juli 2009 | 04:53 WIB

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/17/04531076/potensi.besar.kebakaran.lahan

Saturday, July 18, 2009

El Nino Makin Menguat

Berdasarkan pemantauan cuaca sejak Mei lalu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika memprediksi El Nino akan menguat pada November hingga Januari 2010. Dampak anomali cuaca adalah berupa kurangnya hujan di timur, tengah, dan sebagian barat wilayah Indonesia.

Sebagian besar Sumatera tidak terpengaruh El Nino, kecuali Lampung, tutur Kepala BMKG Sri Woro B Harijono di Jakarta, Jumat (17/7). El Nino dalam kategori kuat ditandai dengan meluasnya ”kolam panas” atau perairan di barat Pasifik yang mengalami kenaikan suhu muka laut di atas rata-ratanya.

”Namun, Juli hingga Agustus mendatang El Nino masih dalam kategori lemah,” ujarnya. Ini ditunjukkan dengan suhu perairan dan tekanan udara di Indonesia yang masih sama dengan suhu perairan Pasifik Tengah. Oleh karena itu, tidak terjadi aliran massa uap air ke Pasifik Tengah.

Demikian pula perairan di kawasan barat dan selatan Indonesia pada Juli ini juga masih hangat. Hal ini memengaruhi suplai air bagi kawasan barat, terutama Sumatera dan Jawa.

El Nino akan masuk ke tingkat moderat pada September dan berlangsung hingga Oktober 2009. Anomali ini akan memberi pengaruh yang kuat November mendatang,” kata Sri Woro.

Pengaruh El Nino terhadap curah hujan selama Oktober 2009 hingga Januari 2010, lanjutnya, dapat diketahui berdasarkan kondisi suhu perairan Indonesia yang baru akan terprediksi awal Agustus 2009.

Kepala Bidang Informasi Perubahan Iklim BMKG Soetamto mengatakan, peluang menguatnya El Nino ini baru dapat dipastikan sebulan lagi, pada akhir Agustus 2009. ”Dasar penentuannya adalah selama tiga bulan berturut-turut terjadi anomali suhu 0,5 derajat celsius di atas rata-rata normal. Kini sudah berlangsung dua bulan,” ujarnya.

Sri Woro menjelaskan, peluang terjadinya El Nino dalam kategori kuat mulai November mendatang juga diprediksi oleh Badan Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat (NOAA). Adapun Jamstec Jepang dan BOM Australia telah memprediksikan El Nino hanya mengarah ke tingkat moderat.

Suplai air

El Nino berdampak secara signifikan terhadap minimnya suplai air bagi pertanian dan ancaman bahaya kebakaran lahan dan hutan.

Sekarang ini minimnya uap air di udara mulai dirasakan ketika malam hari terasa lebih dingin daripada masa sebelumnya.

El Nino yang menyebabkan musim kemarau panjang pernah terjadi paling parah pada tahun 1997.

Saat itu hingga November belum masuk musim hujan sehingga berdampak pada pergeseran musim tanam.

Menurut Soetamto, BMKG memperkirakan El Nino tahun 2009 ini tidak separah yang terjadi pada tahun 1997. Namun, tetap perlu diantisipasi dengan menghemat sumber daya air dan waspada terhadap ancaman bahaya kebakaran.

Kepala Pusat Kajian Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim Institut Pertanian Bogor Rizaldi Boer mengatakan, pemerintah perlu mewaspadai ancaman puso pada masa tanam padi kedua tahun 2010.

”Kita belum tahu peluang pertumbuhan El Nino. Tetapi, perlu antisipasi menghadapi kemungkinan mundurnya awal musim tanam,” katanya.

Sri Woro juga menambahkan, musim hujan tahun 2009 hingga 2010 akan dimulai September di Lampung, Musi Banyuasin, Bengkulu, dan Bengkalis.

Namun, sebagian besar wilayah Zona Prakiraan Musim (ZPM), yaitu 128 zona atau 58 persen, akan memasuki musim hujan pada November mendatang. Dibandingkan dengan normalnya sebagian besar atau 55 persen ZPM awal musim hujan akan mundur. (YUN/NAW)

Jakarta, Kompas -Sabtu, 18 Juli 2009 | 04:21 WIB

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/05013922/pengelolaan.lingkungan.masih.terkotak-kotak.daerah

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...