Showing posts with label People. Show all posts
Showing posts with label People. Show all posts

Saturday, September 12, 2009

Kota sebagai Masalah Material

Teroka

Pada akhirnya, kota sebenarnya tak lebih dari sebuah fakta material. Fakta yang diorganisasi dalam serangkaian institusi dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Sebagai fakta material, kota tidaklah memproduksi material, tetapi mendatangkan dari luar.

Fakta ini terkait dengan posisi kota sebagai situs transaksi, tempat berbagai barang konsumsi dan barang kebutuhan lain dikuantifikasi menjadi satu susunan harga. Harga di kota telah menjadi cara bagaimana satu dan lembaga lain menjalin hubungan. Di sini harga bisa bersifat langsung dalam sebuah transaksi, tetapi dapat juga tidak langsung, yaitu melalui alat tukar, seperti uang.

Alat tukar yang sesungguhnya menaikkan posisi lembaga atau individu dalam lingkungan kota. Dari posisi ini, daya tawar lembaga atau individu dimainkan untuk kompensasi material di antaranya.

Dalam harga yang dimanifestasi dalam uang, bukan hanya barang yang dikuantifikasi, melainkan juga keahlian. Keahlian—yang terkategorisasi sebagai jasa—dalam keuangan, manajemen, teknik, rekayasa sosial, rekayasa politik dan banyak lainnya telah dikuantifikasi dalam harga. Kesenangan pun memiliki harga.

Hanya berbekal berbagai keahlian atau jasa penghuni kota menentukan satu wilayah yang luas di luar kota. Kota yang tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya dan hanya mengeluarkan sejumlah kebijakan—sebutlah sejumlah uraian tentang undang-undang yang retorik—justru menjadi penguasa sebagian besar sumber-sumber energi yang ada di luar kota.

Dalam konteks global, kultur kota yang direpresentasi negara-negara utara ini, menurut Saskia Sassen (2000), memproduksi dan mengekspor tenaga-tenaga ahli dengan kemampuan manajemen canggih ke negara-negara bagian selatan. Dengan cara itu, negara-negara utara hidup makmur, sementara negara-negara selatan, produsen dari berbagai sumber daya alam, hidup kekurangan.

Pemodal dan pekerja

Adanya kuantifikasi segala hal dalam bentuk harga mendorong kota ke arah pembagian sosial yang tak terelakkan, yaitu golongan bermodal dan golongan pekerja. Pemilik modal yang jumlahnya sedikit menguasai pekerja yang jumlahnya jauh lebih banyak, yang menjadi alat produksi dengan upah terbatas.

Pemilik modal—dibantu pemerintah—menerapkan ketentuan tentang perumahan, upah, jam kerja terhadap kalangan pekerja. Sebuah ketetapan yang tak hanya menciptakan keseragaman di kalangan buruh, tetapi juga sampai ke soal konsumsi bahkan orientasi setiap buruh.

Dari kesamaan yang menciptakan solidaritas kaum buruh ini, Castell meyakini, perubahan sosial dapat terjadi. Penentangan kelas pekerja terhadap kelas pemilik modal—seperti digagas Marx—adalah cara untuk meraih kehidupan yang adil dan perwujudan kesejahteraan bersama. Keseragaman buruh dalam soal perumahan, organisasi, bahkan etnis dan agama menjadi syarat terjadinya solidaritas dan mobilisasi.

Pendapat berbeda dikemukakan Kian Tajbakhsh, warga AS keturunan India. Dalam The Promise of The City (2001), Kian menyatakan, kota-kota di AS tidak mengarah kepada sentimen polarisasi sosial seperti diutarakan Manuel Castell.

Perbedaan kelas pekerja AS ada pada keberagaman etnik dan karena itu, juga linguistik dan agama. Perbedaan diperkuat sistem perumahan yang berbeda dengan di Eropa. Ini menyebabkan terciptanya politik ”peruangan” yang berbeda dibandingkan kelas pekerja monolitis.

Keadaan itu, bagi Kian, memustahilkan pembentukan kelas pekerja yang solid dan ketat sehingga bisa dimobilisasi dalam rangka pertentangan dengan kelas pemilik modal. Dalam konteks Amerika, pertama, kota tidak bisa direduksi pada masalah ekonomi semata, dan kedua, multikulturalisme telah memustahilkan para pekerja diasosiasikan secara monolitis.

Identitas puak

Dengan itu, Kian memandang tidak relevannya kelas sosial ala Marx diterapkan dalam konteks AS. Dalam konteks AS, isu permukiman menjadi bagian dinamika sosial di hidup keseharian. Berbeda dengan studi Castell, di Amerika tempat pekerja dan di mana para pekerja tinggal nyata-nyata dua hal yang terpisah.

Diagnosis ini membedakan dan mengarahkan Kian kepada analisis identitas yang justru menguat di komunitas tempat mereka bermukim dan bukan pada tempat mereka bekerja.

Sementara itu, identitas menguat bukan dalam kaitan dengan kalangan berkuasa dan pemodal, tetapi karena legitimasi yang lebih kultural. Identitas dalam komunitas yang menjadi cara mereka bertahan hidup, baik ekonomis maupun kultural.

Adanya dorongan memunculkan identitas di kota semacam ini dapat dilihat sebagai cara warga minoritas untuk bersuara, lantaran tidak mendapat tempat bersuara di tingkat formal. Identitas menjadi cara lain menunjukkan berbagai ketidakadilan, bahkan, kegagalan di ranah sosial-ekonomi-politik.

Akhirnya, puak atau kekerabatan—sebagai ekspresi budaya—tetap berlaku sebagai prosedur identitas; menjadi satu-satunya cara meyakinkan diri sendiri bahwa melalui warisan etnik mereka ”ada”. Dengan etnik pula, mereka mengabarkan kepada dunia luar bahwa mereka masih ada di jantung kapitalisme dunia (Octavio Paz, The Labyrinth of Solitude, 1961).***

Penulis: IMAM MUHTAROM - Anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar, Surabaya, Menetap di Jakarta. 

Saturday, August 22, 2009

Warga Dunia Terancam Kelaparan

Dunia saat ini menghadapi ancaman kelaparan baru yang disebabkan oleh krisis finansial. Penyebabnya adalah banyaknya orang yang tidak lagi mendapatkan pekerjaan di negara miskin karena pelemahan perekonomian global. Demikian diungkapkan seorang pejabat PBB di Geneva, Jumat (17/4).

”Menurut perhitungan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) jumlah orang ’kelaparan baru’ karena terjadinya krisis finansial antara 50 dan 100 juta,” ujar David Nabarro, Koordinator Gugus Tugas Ketahanan Pangan PBB di Geneva. Tahun lalu, dunia juga mengalami krisis pangan karena tingginya harga bahan makanan pokok, perubahan iklim, serta pengalihan hasil pangan menjadi bahan bakar alternatif. Kerusuhan terjadi di berbagai tempat, bahkan mengguncangkan pemerintahan.


FAO menyatakan, dunia saat ini menghadapi ancaman kelaparan yang berbeda dengan tahun 2008. Perbedaan mendasar terletak pada alasan terjadinya ancaman tersebut, yaitu orang tidak dapat cukup makan karena tidak memiliki pekerjaan. ”Kami mengantisipasinya. Dengan menurunnya daya beli akibat tidak memiliki pekerjaan, mereka akan menghadapi masalah dalam memenuhi kebutuhan keluarga, yaitu kebutuhan pangan. Krisis ini akan membawa dampak kekurangan pangan dan nutrisi,” paparnya.

Gugus Tugas PBB soal pangan dibuat April tahun lalu dengan tujuan menyelaraskan semua sistem dan organisasi di PBB perihal pangan, nutrisi, dan pertanian agar dapat diselesaikan dengan koordinasi lebih baik.

Kriminal

Sementara itu, badan PBB lainnya memperingatkan bahwa kejahatan global, seperti perdagangan obat terlarang, perdagangan manusia, dan penyelundupan senjata, juga akan meningkat seiring dengan terjadinya krisis finansial kali ini.

”Situasi akan memburuk karena krisis finansial walaupun ada berita bagusnya bahwa krisis kali ini membuat berakhirnya kerahasiaan perbankan, tax haven, dan regulasi finansial yang lebih baik lagi,” ujar Antonio Maria Costa, Direktur Badan Narkotika dan Kriminal PBB di Vienna. Costa berbicara pada pembukaan pertemuan Komisi PBB untuk Mencegah Kejahatan yang akan berlangsung hingga 24 April mendatang dan diikuti 40 negara. (Xinhua/AFP/Reuters/joe)

Geneva, Jumat - Senin, 20 April 2009 | 03:37 WIB
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/20/03373880/warga.dunia.terancam.kelaparan

Thursday, August 20, 2009

Timika Papua: Dulu Sumber Penghidupan, Kini Sumber Persoalan

Hujan deras yang mengguyur Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, Papua, pada Senin (20/7) malam itu tidak menyejukkan hati Atina Uwamang. Enam jam sebelumnya, Jonas Uwamang, mertua Atina, dicokok polisi.

Victor Beanal, kepala suku Amungme dari Kampung Tsinga, yang Senin siang itu bertandang ke rumah Jonas untuk merembuk rencana pernikahan kerabat mereka juga ditangkap.

”Lima polisi memasuki rumah kami, menendang pintu rumah, membongkar lemari, mengambil sejumlah barang kami. Polisi tidak memberi tahu mengapa mereka ditangkap,” tutur Atina lirih.

Jonas dan Victor adalah dua dari puluhan orang yang ditangkap terkait upaya polisi mengungkap rangkaian aksi pembakaran bus dan serangkaian penembakan areal PT Freeport Indonesia (PTFI) yang terjadi sejak 8 Juli lalu. Jonas, Victor, dan puluhan orang lainnya akhirnya dilepas polisi karena tak cukup bukti terlibat aksi penembakan di lereng Gunung Ertsberg dan Grasberg.

Polisi masih menahan delapan tersangka yang membantu pelaku penembakan. Namun, hingga Rabu pekan lalu, pelaku utama penembakan belum ditemukan. Justru tiga penembakan terjadi lagi di areal PTFI Selasa pekan lalu.

”Di areal Freeport, kepentingan terlalu banyak. Kami tidak pernah memiliki kepentingan di situ. Kami hanya memiliki gunung itu (Ertsberg dan Grasberg). Namun, isinya kami tidak pernah tahu. Sekian tahun kami sudah miskin, satu hari pun tidak pernah makan tiga kali. (Penembakan) Itu orang lain punya persoalan. Kami rakyat mau hidup tenang. Saya minta, kembalikan warga yang ditangkap,” kata Thomas Wamang, salah satu tokoh suku Amungme, dalam dialog di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mimika, 24 Juli lalu.

Anggota DPRD Kabupaten Mimika, Martinus Maturbongs, berpendapat, skeptisisme publik itu buah trauma panjang masyarakat suku Amungme dan Kamoro akibat berbagai peristiwa sejak PTFI beroperasi di tanah ulayat mereka. ”Trauma masyarakat Amungme-Kamoro berlangsung sejak tahun 1970-an dan sampai sekarang tidak ada proses hukum (atas pelanggaran HAM yang terjadi). Bagaimana orang dimasukkan dalam kontainer, dihilangkan. Masyarakat Amungme dan Kamoro merasa selalu jadi sasaran dan disudutkan,” kata Maturbongs di Timika, 24 Juli.

Tanah ulayat Gunung Ertsberg dan Grasberg dari generasi ke generasi menghidupi suku Amungme; sebagai tempat tinggal, lahan bercocok tanam, sekaligus tempat spiritual suku Amungme. Dalam pandangan orang Amungme, gunung itu adalah ibu, yang air susunya menghidupi mereka. ”Namun, kami harus pergi meninggalkan tempat-tempat itu karena aktivitas pertambangan PTFI. Salah satu lokasi keramat kami, misalnya, kini menjadi bengkel di Tembagapura,” tutur Thomas Wamang.

PTFI mengupas kulit Gunung Ertsberg dan Grasberg untuk mendapatkan bijih batuan induk emas dan tembaga. Kupasan batuan kulit itu harus dibuang dan Cekungan Wanagon menjadi tempat penimbunan itu. Padahal, Cekungan Wanagon, yang juga tempat sakral bagi orang Amungme, khususnya penduduk Kampung Waa, Arowanop, dan Tsinga, tidak boleh diganggu. Setidaknya ada dua kecelakaan bendungan danau pecah yang mengakibatkan korban manusia maupun hewan (Laporan Tanggapan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Februari 2001).

Jutaan hingga miliaran metrik ton batuan induk tubuh bijih emas dan tembaga telah dan akan terus dikeruk dari Grasberg, untuk digerus agar kandungan emas dan tembaganya bisa dipisahkan. Sisa gerusan itu menjadi lumpur lembut (tailing) yang dialirkan ke areal seluas 230 kilometer persegi daerah pengendapan yang dimodifikasi di Sungai Ajkwa. Proses pembuangan tailing itu telah disetujui pemerintah, melalui persetujuan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) 300K pada 1997 (Laporan Berkarya Menuju Pembangunan Berkelanjutan 2008, PTFI).

Sungai Ajkwa dan beberapa anak sungainya dari generasi ke generasi menjadi sumber penghidupan suku Kamoro. Di daerah aliran sungai itulah masyarakat peramu Kamoro hidup dengan budaya sungai, sagu, dan sampan mereka. Namun, justru di tempat peramu Kamoro menokok sagu, berburu binatang liar, menombak buaya, menangkap kepiting, ataupun mencari ikan itulah lumpur tailing harus diendapkan.

Tokoh suku Kamoro di Kampung Ayuka, Pius Nimaipouw, mengeluhkan hutan sagu ulayatnya yang kebanjiran limpahan air dan lumpur tailing. Akibatnya, rasa sagu mereka tidak enak. Mereka pun kemudian memilih membeli sagu di pasar.

Harus diakui, keberadaan PTFI adalah perintis pengakuan hak ulayat masyarakat pribumi di Indonesia. Tahun 1974 PTFI menyepakati Perjanjian Januari dengan para suku Amungme yang hak ulayatnya digunakan PTFI. Sejak 1996 hingga kini, sudah ada 300 juta dollar AS dana kemitraan (dana 1 persen) yang disalurkan PTFI kepada tujuh suku yang berbatasan dengan areal kontrak karya PTFI dan tinggal di Mimika.

Sejak 2001, PTFI juga memberikan kompensasi rekognisi hak ulayat atas kerugian delapan kampung suku Amungme dan Kamoro yang secara langsung terkena dampak aktivitas pertambangan PTFI. Menurut Laporan Berkarya Menuju Pembangunan Berkelanjutan 2008, total nilai dana perwalian itu sudah mencapai 26 juta dollar AS. Dan setiap tahun akan dikucurkan dana perwalian 1 juta dollar AS untuk Kampung Waa-Banti, Arwanob, Tsinga (ketiganya kampung suku Amungme), Koperapoka, Nayaro, Nawaripi, Ayuka, dan Tipuka (kelimanya kampung suku Kamoro).

Namun, Thomas Wamang justru berpendapat kucuran uang besar itu menjadi masalah baru. ”Dahulu kami sangat berhati-hati dengan uang. Sekarang, uang yang atur kehidupan kami. Ketika uang di saku, yang terjadi justru bar-bir-bor (pergi ke bar, mabuk bir, lalu ke lokalisasi).”

PTFI memang memberi manfaat besar bagi banyak pihak. Pajak, royalti, dan dividen yang dibayarkan kepada pemerintah pada 2007 mencapai 1,8 miliar dollar AS. PTFI menyerap tenaga kerja hingga 9.800 orang dan 98 persen di antaranya warga negara Indonesia. Total upah dan gaji karyawan sejak 1992 telah mencapai 1,4 miliar dollar AS. Sejumlah 45 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Papua dan 96 persen PDRB Kabupaten Mimika bersumber dari PTFI. Dan 25 persen pendapatan rumah tangga di Papua disediakan oleh PTFI.

Perputaran uang besar di Timika pun menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang ke Timika dan menghasilkan persoalan sosial yang tak berujung.

Pertikaian antarkelompok, perang tradisional antarsuku, dan pendulangan emas dari tailing yang mengandung merkuri hanya sebagian contoh. Ditambah serangkaian penembakan misterius di areal PTFI, lengkap sudah tumpukan masalah di Mimika.

Penulis: Aryo Wisanggeni Genthong

Kamis, 20 Agustus 2009

Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/20/03124363/dulu.sumber.penghidupan.kini.sumber.persoalan

Monday, August 17, 2009

Kultur Konfrontasi di Antara Kita

HUBUNGAN RI-MALAYSIA

Hubungan Indonesia-Malaysia tegang hanya karena satu alasan, yakni kehadiran sekitar dua juta TKI di negeri jiran itu. Selama problem klasik ini tak diselesaikan secara serius, ketegangan ala konfrontasi itu menjadi bahaya laten yang mudah termanifestasi menjadi konflik serius.

Tesis ini saya sampaikan dalam pertemuan Eminent Persons Group (EPG) kedua negara yang berlangsung di Jakarta belum lama ini. EPG Indonesia diketuai mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, pihak Malaysia ketuanya Datuk Tun Musa Hitam. Tujuan EPG mempererat kembali tali persaudaraan kedua bangsa melalui lajur berbagai profesi, termasuk wartawan.


Sekitar setahun lalu saya berkunjung ke Kuala Lumpur, bertemu berbagai kalangan seperti pengusaha, wartawan, ilmuwan, dan pejabat. Dari hasil kunjungan muncul kesan, mereka risau sejak munculnya ketegangan di Ambalat karena lebih kurang mirip dengan apa yang terjadi sebelum Konfrontasi 1963.

Tanggal 12 April 1963 pemberontak di Brunei Darussalam terlibat kontak senjata melawan pasukan Inggris di Kalimantan Utara. ”Pemberontak” personel TNI, sukarelawan Indonesia, dan oposisi Brunei melancarkan subversi terhadap kesultanan yang dianggap boneka Inggris. Kontak senjata itu yang pertama kalinya terjadi sepanjang konfrontasi yang berlangsung sampai 1965, yang dipicu oleh rencana Inggris tetap bercokol di bekas jajahannya dengan membentuk Federasi Malaysia yang terdiri atas Malaysia, Borneo (Sabah dan Serawak), Brunei, dan Singapura.

Rencana itu ditentang Jakarta, dan Menlu Subandrio mengumumkan konfrontasi 20 Januari 1963. Presiden Soekarno curiga pembentukan federasi merupakan pintu masuk untuk menguasai Asia Tenggara. Apalagi, London telah menggelar sebuah brigade, dua batalion, dan unit- unit angkatan udara serta laut yang total terdiri atas 60.000 personel. Sudah ada pula pakta militer ANZUS (Australia, New Zealand, and United States). Namun, itu semua masih kurang: Inggris ingin mendirikan pangkalan militer di Singapura.

Isu pangkalan militer di Singapura yang membuat Presiden Soekarno berang. Ia enggan meluaskan konfrontasi jadi perang frontal melawan Inggris karena pasti kalah, lebih suka mengobarkan konflik terbatas sambil melancarkan berbagai tekanan diplomatis terhadap Malaysia, dan itulah sebabnya ia mendukung pemberontakan di Brunei.

Dengan atau tanpa konfrontasi, Malaysia menganggap kedua negara bagai dua saudara yang kadang kala bertengkar. Kakak berharap adiknya bersikap hormat, sebaliknya adik merasa kakak cepat naik pitam. Jika disimpulkan, separuh kalangan di Malaysia mungkin merasa Indonesia sebagai kiblat historis dan kultural yang layak dicontoh, separuhnya lagi tak begitu peduli dengan ketegangan-ketegangan yang terjadi.

Sebaliknya, tak sedikit kalangan di Indonesia yang mudah terprovokasi dengan isu-isu bilateral yang membuat kondisi bagaikan api di dalam sekam, seperti kasus Ambalat, batik, dan lagu Rasa Sayangé. Dan, salah satu kalangan yang menyulutkan api ke bensin adalah justru pers Indonesia. Dalam kurun waktu Mei-Oktober 2007 terdapat hampir 5.000 berita media cetak tentang ketegangan bilateral. Hanya lima persen yang bernada positif, selebihnya menjelek-jelekkan Malaysia.

Pemimpin redaksi sebuah harian nasional di Kuala Lumpur mengatakan, media Malaysia justru cenderung menyembunyikan berita-berita yang menyulut emosi. Sebagai negeri yang pernah diserbu pasukan Indonesia, mereka paham pemberitaan yang memanas-manasi sama sekali tidak menguntungkan.

”Wartawan kami sejak dulu terbiasa tutup mulut, enggan memberitakan hal-hal di Indonesia,” kata dia.

Kultur konfrontasi

Masih ingat kasus penganiayaan pelatih karate Donald Colopita? Banyak kalangan di dalam negeri yang marah. Namun, uniknya, jarang ada yang marah jika TKI tewas atau menjadi korban ketidakadilan di luar negeri, termasuk di Malaysia.

Grafik hubungan RI-Malaysia naik turun sejak konfrontasi awal 1960-an. Kedua bangsa memang serumpun, tetapi sejarah dan sistem politiknya bagai siang dan malam.

Malaysia dijajah Inggris yang sistem kolonialismenya ”bagus” dibandingkan Belanda yang ”kejam”. RI berjuang untuk merdeka, tanggal kemerdekaan Malaysia mesti dapat persetujuan dari Inggris dulu.

Malaysia sebuah monarki konstitusional, Yang Dipertuan Agung menjadi simbol dan pemerintah dipimpin perdana menteri. Indonesia sebuah republik yang merebut kemerdekaan melalui perjuangan dan diplomasi. Konstitusi Malaysia menyebut Islam sebagai agama resmi, tetapi judi diizinkan di Genting Highland meskipun hanya untuk warga Malaysia non-Islam dan warga asing. Sementara UUD 1945 secara implisit menyebut Indonesia sebagai negara sekuler.

Politik di Malaysia bergantung pada hubungan antarpuak yang hipersensitif karena perimbangan etnis nyaris setara antara Melayu, China, dan Tamil. Kerusuhan 1969 menewaskan ribuan puak China yang mendominasi ekonomi.

Sejak itu tak ada lagi kerusuhan berkat stabilitas yang dikendalikan ”kartel parpol” Barisan Nasional. Ekonomi Malaysia sukses karena, misalnya, praktis tak terlalu terganggu krisis moneter 1998.

Diplomat Orde Baru dididik menjadi jago drafting sidang-sidang internasional. Semuanya senang bicara politik luar negeri bebas aktif dan merasa bangga Indonesia menjadi ketua forum ini atau itu. Namun, mereka enggan mengurusi TKI. Telah terbukti di pengadilan, diplomat (dan juga petugas-petugas keimigrasian) mengorupsi upah yang diperoleh mati-matian oleh para TKI.

Kondisi obyektif memperlihatkan Malaysia mempunyai kapal-kapal selam modern, sementara Indonesia menjadi negeri bahari yang tak mampu menjaga lautannya sendiri. Kuala Lumpur mencampur skuadron jet tempurnya dari mancanegara, militer Indonesia langsung pincang jika Amerika Serikat memberlakukan embargo.

Tak pelak lagi, masalah sentral adalah TKI (baik legal maupun tidak) di Malaysia. Jumlah resmi lebih dari sejuta orang, jumlah tak resmi mungkin dua kali lipatnya.

Hampir separuhnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang diperlakukan sebagai saudara oleh keluarga Malaysia. Sisanya pekerja ladang kelapa sawit, buruh industri dan infrastruktur, atau karyawan perusahaan barang serta jasa.

Total uang yang dikirim jutaan TKI di mancanegara kepada keluarga mereka di sini mencapai sekitar Rp 13 triliun per tahun. Bisa dibayangkan krisis yang terjadi andai Malaysia memulangkan mereka. Tak bisa dimungkiri di masa depan masih akan banyak peristiwa pro dan kontra yang melibatkan TKI di Malaysia yang meluber ke ranah politik dan dimanfaatkan oleh elite politik untuk pengalihan perhatian dari berbagai kesulitan ekonomi di dalam negeri. Kultur konfrontasi masih ada di antara kita.

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY, Jumat, 17 April 2009 | 02:39 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/17/02395044/kultur.konfrontasi.di.antara.kita

Dalam Kepungan Kapitalisme Global

HUBUNGAN RI-MALAYSIA
Etnomusikolog Rizaldi Siagian agak masygul, kaget, sekaligus geram. Ketika membuka laman sebuah situs yang memuat berbagai video musik, ternyata sejumlah senandung lagu dalam tradisi ronggeng Melayu kini hak ciptanya sudah dikuasai salah satu raksasa industri rekaman ternama: Warner!

Dalam industri rekaman, kita tahu bahwa Warner itu perusahaan kapitalis global. Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang menjual dan siapa yang dijual?” kata Rizaldi tentang senandung lagu-lagu Melayu yang begitu akrab di telinga masa kecilnya saat masih di Medan tersebut.


Lewat ilustrasi ini, Rizaldi yang tampil sebagai salah satu narasumber dalam dialog kesejarahan Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, sesungguhnya ingin mengungkap bahwa ada persoalan lain yang jauh lebih serius dalam hubungan budaya antarbangsa serumpun ini. Sebuah persoalan yang tidak lagi sekadar bersifat lintas budaya antarnegara bertetangga.

Persoalan yang kini dihadapi bahkan sudah jauh melampaui isu seputar saling klaim produk budaya (baca: ekspresi seni), yang beberapa waktu lalu sempat mengganggu hubungan antarkedua bangsa. Taruhlah seperti tudingan Indonesia bahwa pihak Malaysia yang dinilai sudah mengklaim lagu Rasa Sayang Sayange, kesenian angklung yang diakui sebagai bamboo malay, hingga reog ponorogo dengan nama kesenian barong sebagai produk budaya mereka.

Temuan yang didedahkan Rizaldi jauh lebih dahsyat. Dalam kasus penguasaan hak cipta oleh salah satu raksasa industri rekaman milik perusahaan kapitalis global atas produk budaya masyarakat Melayu yang sudah tergolong public domain, yang mestinya tak ada satu institusi—bahkan negara sekalipun—berhak mengklaimnya, jelas bukan lagi sekadar masalah antarbangsa serumpun. Juga bukan masalah antar-individu Melayu sama Melayu.

”Ini masalah global. Yang diperjualbelikan adalah budaya kita (baca: Indonesia-Malaysia), kemudian kita diadu domba. Aspek ini yang ingin saya ingatkan dan seharusnya menjadi kepedulian kita bersama,” kata Rizaldi.

Dengan contoh kasus yang berbeda, Des Alwi—salah satu tokoh yang ikut berperan dalam proses ”normalisasi” hubungan Indonesia-Malaysia pascakonfrontasi antarkedua negara tahun 1960-an—juga mengingatkan adanya ”politik adu domba” gaya baru dari pihak ketiga, yang kini melibatkan kekuatan kapitalisme global. Oleh karena itu, kata dia, kekuatan-kekuatan modal asing—lewat tangan-tangan pemegang kekuasaan—yang ingin mengeruk kekayaan yang tersimpan di kawasan ini harus selalu diwaspadai.

Dalam kasus blok Ambalat, misalnya, kekuatan kapitalisme global jelas terlibat. Sebab, kata Des Alwi, sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di kawasan kaya potensi minyak dan terumbu karang tersebut, yang nyaris menimbulkan ”konfrontasi jilid II” antarakedua negara, sesungguhnya tak lain akibat ulah Inggris.

Demi keinginan sebuah perusahaan raksasa perminyakan yang berniat mendapatkan konsesi di sana, Inggris semula mendekati Indonesia. Pihak Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup menentang keras keinginan tersebut. Keberatan itu terutama mengingat daerah di sekitar blok Ambalat memiliki kekayaan sumber daya hayati yang tak ternilai dengan ragam terumbu karang dan ekosistemnya yang luar biasa.

Gagal bernegosiasi dengan Indonesia, Malaysia pun di-kilik-kilik. Entah bagaimana prosesnya, sampai pada satu ketika diketahui adanya aktivitas ”pencarian” sumur minyak lepas pantai oleh Shell di kawasan blok Ambalat.

Indonesia tentu tidak bisa tinggal diam ketika wilayah kedaulatannya diganggu. Drama ketegangan antarkedua negara—yang akar permasalahannya sebetulnya dipicu ulah perusahaan kapitalisme global—pun kembali bergulir. Ironisnya, kemarahan masyarakat Indonesia hanya tertuju kepada Malaysia yang dinilai lancang, sementara perusahaan multinasional yang menjadi biang dari segala persoalan tersebut justru terkesan hanya jadi korban.

Sejarah berulang

Membolak-balik catatan sejarah sebetulnya kekuatan kapitalisme global jualah yang secara geografis-politis telah mencencang batas sempadan Indonesia dan Malaysia—juga Singapura—menjadi negara yang berdaulat sendiri-sendiri seperti sekarang. Semangat kapitalisme di balik kekuatan kolonial itu pula yang membuat keserumpunan suku bangsa di kawasan ini akhirnya tercerai-berai.

Para penguasa Kesultanan Melayu diadu domba oleh Inggris dan Belanda. Garis demarkasi kekuasaan pun ditarik, memisahkan wilayah budaya serumpun yang hidup di Tanah Semenanjung—termasuk Tumasik (baca: Singapura)—dan masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan.

Perjanjian sepihak antara Inggris dan Belanda—lewat apa yang dikenal dengan sebutan Traktat London, 21 Juni 1824—menandai awal keterpecahan itu. Wilayah kekuasaan Kesultanan Melayu dipreteli. Kawasan Tanah Semenanjung dan Tumasik dikangkangi Inggris, sementara wilayah kepulauan dicaplok Belanda. Sejak itu, pengalaman kesejarahan di kedua wilayah dalam satu kawasan di Nusantara ini berjalan mengikuti alurnya sendiri.

Tak berlebihan bila sejarawan Taufik Abdullah, dalam satu kesempatan dialog budaya Indonesia-Malaysia, sampai berucap dengan nada geram. Kalau ’nasib’ yang menimpa kisah sejarah Indonesia-Malaysia dalam ingatan sejarah kita dibicarakan lagi, kata Taufik Abdullah, ”Maka, hanya satu komentar yang bisa diberikan: terkutuklah Inggris dan Belanda karena mengadakan perjanjian 1824 yang telah membagi-bagi sebuah wilayah kesejarahan!”

Menyimak sejumlah catatan dan analisis para ahli sejarah, dalam konteks kolonisasi atas wilayah Nusantara, sesungguhnya Inggris dan Belanda sebagai representasi dari negara-bangsa tak ubahnya hanya tempat bersembunyi kekuatan kapitalisme untuk mengeruk kekayaan sumber daya alam di kawasan ini. Di balik payung kebesaran negara masing-masing, para saudagar mereka seperti berlomba menumpuk modal, memeras tenaga dan air mata penduduk pribumi, dan menguras habis hasil bumi negeri ini.

Ironisnya, ketika wilayah-wilayah yang ”dicencang” kolonialis itu kini sudah menjadi negara-bangsa sendiri, dengan orientasi dan nasionalisme yang relatif berbeda, kekuatan kapitalisme global ternyata masih terus menguntit. Wujud dan model penguasaannya saja yang bergeser, yakni tidak lagi ditopang kekuatan senjata dan pendudukan wilayah.

Dua contoh kasus di atas, yakni peristiwa perebutan blok Ambalat dan nasib senandung lagu dalam tradisi ronggeng Melayu, adalah sedikit dari banyak potensi konflik yang sesungguhnya ”didalangi” kekuatan kapitalisme global. Atau, haruskah semua ini dibaca sebagai takdir sejarah?

Beralihnya aset-aset ”yang menguasai hajat hidup orang banyak”—seperti di sektor perbankan dan telekomunikasi—ke tangan pengusaha dari salah satu pihak, kini tak lagi relevan dilihat sebagai bentuk dominasi negara atas negara. Begitu pun kehadiran perusahaan besar Malaysia yang berinvestasi di bidang perkebunan kelapa sawit di Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kalimantan, juga tak seharusnya memupuk kebencian masyarakat negeri ini terhadap Malaysia sebagai negara-bangsa. Di balik itu semua, sekali lagi, tangan-tangan kapitalisme global ikut bermain.

Lewat penguasa dan/atau mantan penguasa yang masih punya jaringan di masing-masing negara, yang entah mereka sadari atau tidak—atau malah menikmatinya sebagai berkah—telah dimanfaatkan sebagai ’kacung’ oleh kekuatan kapitalisme global, kehadiran perusahaan-perusahaan besar itu masih jauh dari apa yang disebut sebagai upaya menyejahterakan rakyat. Kesan kuat dari keberadaan mereka justru melanjutkan peran kapitalisme di era kolonialis: mengisap darah dan air mata penduduk pribumi!

Pengalaman masyarakat Riau setelah jutaan hektar lahan mereka dieksploitasi untuk perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan besar dari negeri jiran, sebagaimana diungkapkan Al azhar dari Lembaga Penelitian Universitas Riau, memperlihatkan bahwa tali rasa keserumpunan itu sudah tidak ada dalam konteks kapitalisme global.

Sejak perusahaan yang konon sebagian besar sahamnya dimiliki rakyat Malaysia ini hadir di Riau, sudah lebih dari 15 kali konflik terjadi dengan masyarakat lokal yang merasa dirugikan. Seperti halnya sifat dasar perusahaan kapitalis yang lebih berorientasi semangat materialisme yang tinggi, pendekatan sosial budaya tak pernah menemukan muara dalam setiap konflik yang muncul.

Upaya sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Riau yang ingin meredakan ketegangan dengan membentuk semacam protokol resolusi konflik bahkan tidak ditanggapi. Dialog intensif yang ingin dibangun antara masyarakat dan perusahaan besar yang ada di Riau, dengan penekanan pada dasar-dasar pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya, itu tidak pernah bisa berjalan bila sudah melibatkan perusahaan kapitalis dari negeri tetangga tersebut.

Ternyata, di tangan kapitalis yang zalim dan arogan, semangat persaudaraan dan romantisme budaya serumpun yang didengung-dengungkan selama ini tidak bermakna sedikit pun. ”Ini pengalaman saya bertahun-tahun berada di Riau, negeri yang—bersama Kalimantan—barangkali paling menderita selama 50 tahun terakhir sejak kebangkitan kapitalisme Indonesia dan di Asia Tenggara ini,” tutur Al azhar, yang juga Kepala Bandar Seni Raja Ali Haji.

Jika sudah demikian, hubungan yang dilandasi semangat keserumpunan hanya romantisme di ruang hampa. Dan, ketika segala sesuatu diletakkan dalam bingkai semangat kapitalisme global yang meterialistik, peradaban pun tengah dipertaruhkan. Tak terkecuali nilai-nilai keserumpunan yang kini semakin sayup terlihat dalam keseharian kita.... (ken)

Jumat, 17 April 2009 | 02:51 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/17/02512393/dalam.kepungan.kapitalisme.global.

Manusia Hanya Pakai 1 Persen Kemampuan Otak

Sebagian besar penduduk dunia ternyata hanya memanfaatkan 3 kemampuan otaknya kurang dari 1 persen. Kemampuan itu adalah mengingat, belajar dan berkreativitas.

"Untuk sampai 1 persen orang mesti bisa mengingat 13 deret angka," kata Tony Buzan, pencipta Mind Map, Teknik Pengembangan Potansi Otak dalam acara Educator Sharing Network (ESN) yang diselenggarakan Sampoerna Foundation Teacher Institute di Jakarta, Sabtu (18/4).


Guna membuktikan pernyataannya itu, ia mengajak para peserta yang terdiri dari para guru untuk mengingat 13 deret angka. "Bagaimana? Sulit? Itulah mengapa saya tadi katakan kita masih menggunakan otak kita kurang dari 1 persen," kata pria berkebangsaan Inggris ini.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa proses perkembangan kreativitas otak manusia semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur. Namun yang terjadi, sebaliknya.

"Pada usia balita anak belajar kreativitas 95 persen, SD 75 persen, SMP-SMA 50 persen, Mahasiswa 25 persen, dan seterusnya sampai nol. Ini normal tetapi tidak natural," ungkap Tony.

Untuk itu, lanjutnya, peran guru sangat penting untuk menyelamatkan daya kreatif anak didiknya supaya terus berkembang. "Guru mempunyai tanggung jawab dan posisi strategis untuk membantu mengembangkan kemampuan berpikir dan berkreasi yang merupakan tambang emas dalam diri anak didiknya," kata Tony.

Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa di dalam diri anak didiknya terdapat banyak kecerdasan. "Guru harus membantu merawat macam-macam kecerdasan anak didik seperti kecerdasan sosial, daya kreatif, etika, dan juga kecerdasan spiritual," ungkapnya.

Caranya, lanjut Tony, yakni dengan metode mind map. Dengan itu kita dapat mengetahui cara kerja otak kita dalam berpikir dan belajar, berguna untuk membuat catatan, meringkas dan berpikir kreatif. "Mind mapadalah bahasa otak kita," pungkas Tony.

JAKARTA, KOMPAS.Com - Sabtu, 18 April 2009 | 13:29 WIB

Source:http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/04/18/13291538/Manusia.Hanya.Pakai.1.Persen.Kemampuan.Otak

Brain Drain Rugikan Bangsa

Eksodus anak-anak berprestasi ke luar negeri, atau ada yang menyebutnya brain drain, merugikan bangsa. Indonesia kehilangan sumber daya manusia berkualitas yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan.

Sebelumnya diberitakan, ratusan siswa Indonesia berprestasi diincar universitas publik di Singapura yang agresif mempromosikan diri dan mencari anak- anak brilian di Indonesia. Para siswa itu diberikan kemudahan pembiayaan mulai dari subsidi Pemerintah Singapura (tuition grant) dengan ikatan kerja tiga tahun, beasiswa (biaya hidup, buku, komputer dan uang saku), serta pinjaman bank yang dibayarkan setelah lulus.


Pakar pendidikan, Prof Soedijarto, mengatakan, Selasa (21/4), migrasi anak cerdas tersebut berarti potensi mereka tidak dimanfaatkan di Indonesia. Permasalahan itu tidak selesai dengan upaya mempertahankan mereka di Tanah Air di tengah kondisi yang serba tidak menjanjikan.

”Anak-anak itu tidak dapat disalahkan. Permasalahannya lebih kompleks, belum terbangun iklim, tantangan, dan peluang. Salah satunya ialah suasana riset dan lapangan pekerja sesuai kelak. Iklim itu seharusnya dapat dibangun melalui pengembangan sistem pendidikan, riset, dan industri yang terarah serta visioner,” ujarnya.

Dunia riset di Indonesia sendiri belum diperhatikan. Di negara maju, seperti Amerika, anggaran riset 2,3 persen produk domestik bruto (PDB), sementara di Indonesia baru 0,05 persen tahun 2004. Pada tahun yang sama, anggaran riset Malaysia sudah 0,7 persen PDB. Kalaupun terjadi kenaikan tidak besar dan negara lain sudah jauh lebih besar lagi alokasi anggarannya. Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan menjadi contoh negara yang maju dengan memperkuat infrastruktur teknologi.

Penghargaan minim

Menurut Soedijarto, penghargaan terhadap kaum intelektual masih minim. Soedijarto saat masih menjadi guru besar Universitas Negeri Jakarta dengan golongan tertinggi 4E enam bulan lalu menerima gaji sekitar Rp 4,2 juta per bulan. Dia sempat merasakan kenaikan kesejahteraan yakni tambahan sekitar Rp 3 juta per bulan selama enam bulan terakhir. Namun, itu pun masih relatif kecil dibandingkan dengan gaji guru besar di luar negeri, seperti di Malaysia yang besarnya Rp 42 juta per bulan. Penghargaan terhadap pekerja bidang pendidikan dan penelitian masih lebih kecil dibandingkan dengan politikus di DPR yang pendapatannya bisa mencapai Rp 42 juta per bulan.

Aktivis Koalisi Pendidikan, Lodi Paat, menambahkan, pembangunan pendidikan harus berbarengan dengan riset dan perekonomian, dalam hal ini industri. Mereka yang belajar di luar negeri dan pulang, tetapi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan sesuai di Indonesia akan putus asa. Lodi mencontohkan, pada era Habibie banyak anak cerdas belajar di luar negeri untuk kedirgantaraan dan kemudian disiapkan suatu sistem berupa industri. Kini industri tidak digarap serius. (INE)

Kompas, Jakarta, Rabu, 22 April 2009 | 03:48 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/22/03485826/brain.drain.rugikan.bangsa

Sunday, August 16, 2009

Kependudukan, Kunci Masa Depan

Demokrasi politik melalui pemilihan langsung menghasilkan pelaku-pelaku baru di bidang pengambilan keputusan yang berorientasi jangka pendek. Kebanyakan dari mereka tak paham arti ”kebijakan publik”, terutama masalah kesejahteraan yang terkait dengan human capital investment melalui Program Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) yang berperspektif jangka panjang.

Karena orientasinya lima tahunan, para pemimpin berlomba-lomba mengklaim ”hasil karya”-nya agar dapat terpilih lagi. Kerja yang lebih banyak didasari kepentingan politik itu tak mampu (dan tak mau) melihat jauh ke depan, khususnya yang terkait dengan kualitas penduduk, sandaran masa depan bangsa.


Tidak jauh berbeda dari masa lalu, saat ini pun pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai mantra yang dapat mengatasi semua persoalan. Segala cara dilakukan untuk menggenjot ”pertumbuhan”, termasuk di antaranya pengaplingan dan eksploitasi sumber daya alam dengan pemberian izin kepada perusahaan- perusahaan transnasional maupun korporasi nasional, ekspor manusia (sebagian besar dengan tingkat pendidikan rendah) sebagai buruh di luar negeri, dan utang.

Banyak kebijakan lebih didasari kepentingan pihak yang kuat meski kerap mengatasnamakan ”kesejahteraan rakyat”. Adapun rakyat yang semakin kehilangan akses pada sumber daya lokal dengan mudah dijadikan obyek yang mudah dipecah belah.

Seluruh kerja dan upaya dengan perspektif panjang bukanlah wilayah yang ”menggiurkan” dalam politik kekuasaan karena hasilnya tak dapat ditengarai dalam waktu singkat. Hanya negarawan yang akan mengambil risiko itu.

Pembelajaran

Jejak sejarah memberikan gambaran yang seharusnya memberikan pembelajaran. Jared Diamond dalam Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive (2005) menyebutkan, penyebab kehancuran suatu bangsa pada masa lalu adalah musnahnya manusia karena degradasi lingkungan dan sumber daya alam yang parah, penyakit, perang antarnegara, maupun konflik karena elite politik terus-menerus berebut kekuasaan.

Proses itu terus berlanjut. Afrika adalah ”the lost continent” karena konflik dan perebutan kekuasaan yang terus-menerus, kehancuran lingkungan, dan meruyaknya infeksi menular, khususnya tuberkulosis (TB), malaria, dan HIV/AIDS.

Kolaps pada zaman ini juga disebabkan ledakan pertumbuhan penduduk yang dibarengi rendahnya kualitas dan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi, pengangguran dengan segala dampaknya, serta kehancuran lingkungan dan sumber daya alam dalam arti luas.

Faktor lain terkait dengan bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia, penyakit akibat gaya hidup maupun kerusakan lingkungan, apalagi kalau ditambah ketegangan terus- menerus antarelite politik yang memicu konflik horizontal maupun vertikal. Ujung dari semuanya sama: kehancuran.

Semua persoalan itu terkait dengan masalah kependudukan sekaligus tercakup dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Sejarah menunjukkan, gagal atau berhasilnya suatu bangsa melewati masa-masa kritisnya dan terus maju tergantung dari bagaimana bangsa itu menghadapi masalah-masalah kependudukan, yang semuanya bermuara pada human capital investment.

Berjalan mundur

Kependudukan adalah persoalan rumit yang tak bisa lagi direduksi sebagai Program KB pada masa lalu, yang bersifat sentralistik dan koersif karena mereduksi seluruh pengalaman manusia sebagai angka. Namun, aspek kuantitas pun mengalami kemunduran pada Orde ”Reformasi” ini.

Indikatornya banyak. Selain penurunan tingkat fertilitas (TFR) yang mandek, penurunan angka kematian bayi dan balita (IMR) serta angka kematian ibu melahirkan (MMR) juga lambat, angka kurang gizi balita tetap tinggi, kinerja akademik anak tidak optimal, meningkatnya penyakit-penyakit yang menggerogoti produktivitas, seperti TB, malaria, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), penyakit-penyakit oportunistik akibat virus HIV/AIDS, diare, anemia, dan lain-lain.

Kemunduran juga dipicu perubahan sosial, terkait dengan ideologi. Pandangan ekstrem telah memasuki kelompok intelektual dan menengah dan dalam sistem politik. Bahkan, ada partai politik anti-KB. Pandangan pronatalis menguat pada era otonomi daerah, seiring dengan menguatnya identitas karena besarnya dana alokasi umum tergantung besarnya jumlah penduduk.

Jawaban terhadap semua tantangan itu menentukan apakah ”jendela peluang” dalam kependudukan akan terbuka atau menutup lagi. Program Kesehatan dan KB menentukan berhasil atau tidaknya meraih buah dari bonus demografi.

Namun, Program Kesehatan harus difokuskan pada yang sehat; program pendidikan tak hanya dilihat sebagai bekal kompetisi di pasar kerja, dan Program KB harus dipahami lebih luas dari pengendalian jumlah penduduk, terkait dengan human capital investment. Program Kesehatan Ibu-Anak (KIA) dengan pendekatan life-cycle approach penting untuk menjamin kualitas manusia.

Semua itu membutuhkan pemimpin yang visioner; yang tahu pentingnya human capital investment, dan menempatkan kesejahteraan serta martabat bangsa di atas segalanya. Mari kita tunggu hasil pemilu!

PENULIS: MARIA HARTININGSIH, Kamis, 16 April 2009 | 02:46 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/16/02464683/kependudukan.kunci.masa.depan

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...