Showing posts with label Ekowisata. Show all posts
Showing posts with label Ekowisata. Show all posts

Wednesday, October 7, 2009

Yuk, Ikut Pesta di Danau Toba


Hajatan budaya dan pariwisata bertajuk “Pesta Danau Toba 2009” akan digelar di Danau Toba, Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mulai Rabu (7/10) besok hingga Minggu (11/10). Acara ini diharapkan dapat mendongkrak citra pariwisata Sumatera Utara.

"Target utama kita adalah mendongkrak citra pariwisata Sumut di mata dunia bahwa daerah kita ini aman dan nyaman untuk dikunjungi," ujar Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Sumut Nurlisa Ginting, di Medan, Senin (5/10).

Pesta Danau Toba akan menampilkan berbagai atraksi budaya, di samping juga akan menggelar berbagai ajang olahraga tradisional. Dalam ajang ini akan tampil, antara lain, pagelaran tari dan kostum tradisional, pagelaran tari khas Batak yakni tari tor-tor serta sejumlah perlombaan, seperti lomba memancing dan berenang di Danau Toba.

"Juga akan ada lomba vokal grup dengan membawakan lagu-lagu daerah dan banyak kegiatan lain, termasuk penampilan atraksi budaya dari sejumlah daerah lain di luar Sumut, yang pada akhirnya diharapkan mampu menarik minat wisatawan menghadirinya," katanya.

Ia juga mengatakan, pihak penyelenggara juga sudah menggencarkan promosi melalui berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, termasuk stasiun televisi nasional. Dinas Budaya dan Pariwisata sendiri juga telah membuat berbagai brosur yang kemudian dibagikan ke sejumlah negara. "Harapan kita pada tahun-tahun mendatang wisatawan mancanegara dapat memprogramkan liburan mereka ke Sumut," katanya.

Persiapan

Humas Panitia Pesta Danau Toba 2009 Erlin Hasibuan mengatakan, persiapan kegiatan itu kini sudah mencapai 80 persen, terlebih segala fasilitas dan infrastruktur lainnya telah dipersiapkan dengan baik.

"Berbagai fasilitas yang menunjang kegiatan telah kita persiapkan, mulai dari fasilitas perlombaan, keamanan, dan kesehatan serta tugas lainnya," katanya.

Untuk memeriahkan kegiatan itu, Disbudpar Sumut juga telah mengimbau Pemkab Simalungun, Toba Samosir, Simalungun, Humbang Hasundutan, Taput, Karo, dan Dairi untuk mengerahkan massa sebanyak-banyaknya.

Rangkaian kegiatan perlombaan juga telah dipersiapkan dengan baik, bahkan kontingen dari berbagai daerah di dalam dan luar Sumut, seperti Lampung, Jawa Timur, Aceh, Papua, dan Kalimantan, telah menyatakan kesediaannya untuk datang.

Kegiatan yang bertema "Menggairahkan Kepariwisataan Sumatera Utara dalam upaya meningkatkan perekonomian daerah" itu dirancang untuk menonjolkan kebudayaan lokal serta pemberdayaan potensi ekonomi daerah yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat.

Kegiatan itu rencananya akan dibuka secara resmi oleh Gubernur Sumatera Utara dan Sekretaris Jenderal Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Selasa, 6 Oktober 2009 | 10:20 WIB
MEDAN, KOMPAS.com —http://travel.kompas.com/read/xml/2009/10/06/10202014/yuk.ikut.pesta.di.danau.toba

Saturday, September 26, 2009

Bahaya Gas Beracun Kawah Gn Gede

Gunung Gede merupakan salah satu gunung aktif di Jawa Barat, mengingat letusan pada tahun 1747 yang sangat dasyat maka orang mengidentikan nama Gede berasal dari letusan yang sangat dasyat tersebut. Nah Berkenaan dengan aktifitas Gn Gede saat ini, berdasarkan informasi dari Pos Pengamatan Gunungapi Gede Pasir Sumbul, Badan Geologi-Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, bahwa status gunung Gede adalah aktiv normal (level 1)dengan ciri frekuensi gempa dan semburan gas beracun masih dalam batas normal.

Namun mengingat cuaca mendung dan seringnya turun hujan dapat menyebabkan uap/gas beracun tertahan di sekitar kawah yang dapat membahayakan para pendaki apabila terhisap. Disarankan para pendaki tidak melebihi 30 menit berada di kawah Gn Gede. Jadi kepada para pendaki diharapkan meningkatkan kewaspadaan demi keselamatan dan kenyamanannya terutama ketika di Kawah. Selamat berwisata dengan aman di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

berikut data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi



Tuesday, September 1, 2009

Wakatobi, Permai di Atas Indah di Bawah

HAL pertama yang rata-rata diucapkan orang kalau mendengar nama Kabupaten Wakatobi adalah, ”Wah, di manakah itu?”

Padahal, kalau kita mencoba mencari dengan mesin pencari Google, langsung terpampang 225.000 lema tentang Wakatobi, baik yang berbahasa Indonesia maupun asing. Ket.Foto: Sungai yang sangat jernih di Pulau Wangiwangi.

Sesungguhnya Wakatobi sudah sangat terkenal di mancanegara, terutama setelah Ekspedisi Wallacea dari Inggris pada tahun 1995 menyebutkan bahwa kawasan di Sulawesi Tenggara ini sangat kaya akan spesies koral. Di sana, terdapat 750 dari total 850 spesies koral yang ada di dunia.

Sampai saat ini pun di Pulau Hoga, salah satu pulau kecil di Wakatobi, lembaga Ekspedisi Wallacea masih menempatkan sebuah lembaga riset yang selalu didatangi peminat dari berbagai negara.

Untuk lingkup Indonesia, Wakatobi adalah nama kabupaten yang terdiri dari empat pulau utama, yaitu Wangiwangi, Kalidupa, Tomia, dan Binongko. Jadi, Wakatobi adalah singkatan nama dari keempat pulau utamanya. Sebelum 18 Desember 2003, kepulauan ini disebut Kepulauan Tukang Besi dan masih merupakan bagian dari Kabupaten Buton.

Jadi, Wakatobi memang surga untuk penggemar olahraga selam. Sampai saat ini, ada 29 titik penyelaman yang ditawarkan kepada siapa saja yang mau datang ke sana. Mau tahu tempat penyelaman yang spektakuler di sana? Ada, nama titiknya adalah Mari Mabuk. Main-main? Bukan. Nama tempatnya memang itu dan siapa pun yang datang ke titik dekat Pulau Tomia itu pasti akan mabuk karena keindahannya.

Putri Indonesia 2005, Nadine Candrawinata, sudah membuktikan keindahan Mari Mabuk bulan April lalu saat menyelam bersama Bupati Wakatobi Hugua dan beberapa wartawan Ibu Kota.

Keindahan daratan

Baiklah, sebelum lebih jauh membicarakan Wakatobi, hal terpenting yang harus diutarakan adalah bagaimana mencapai kabupaten itu.

Cara terbaik dan termurah saat ini adalah datang dulu ke ibu kota Sulawesi Tenggara, Kendari. Dari sana, kapal reguler menuju Pulau Wangiwangi berangkat tiap pagi pukul 10 dan akan tiba di tujuan sekitar 10 sampai 12 jam kemudian. Dari Wangiwangi, perjalanan ke pulau-pulau lain bisa ditempuh dengan perahu-perahu sewaan atau perahu reguler yang sederhana, tetapi cukup aman.

Saat ini sebuah bandara sedang disiapkan di Wangiwangi. Kalau bandara ini selesai, diperkirakan pertengahan 2008, untuk mencapai Wangiwangi bisa dilakukan dengan penerbangan dari Bali, Makassar, atau Manado.

Hanya penyelamankah pesona Wakatobi?

Bukan sama sekali. Bisa dikatakan Wakatobi indah di atas dan di bawah sekaligus. Alam di sana masih bersih dan itu bisa dilihat dari beningnya sungai-sungai di sana. Perahu seakan melayang karena air di bawahnya seakan tidak terlihat.

Kesadaran akan kebersihan ini sangat disadari masyarakat setempat. Sampah plastik umumnya dikumpulkan di suatu tempat untuk dijual kepada penadah. Selain membuat pemasukan bagi penduduk, kesadaran ini relatif menjaga kelestarian alam di sana.

Pesona darat Pulau Wangiwangi adalah pada mata air-mata air di celah-celah bukit kapur, juga beberapa benteng dan masjid tua sisa Kerajaan Buton. Adapun Pulau Kalidupa dan Tomia kaya pemandangan pantai serta tarian tradisional.

Pulau terujung, yaitu Binongko, yang dulu dikenal sebagai Pulau Tukang Besi, memang dipenuhi para pandai besi. Mereka mengerjakan pembuatan aneka alat rumah tangga yang dijual sampai Makassar. Saat mereka menempa besi panas adalah atraksi menarik. Sayangnya, sebagian pandai besi sudah memakai pipa pralon menggantikan bambu sebagai alat peniup api.

Di Pulau Binongko pula penenun tradisional masih memberi pesona fotografis. Tenun yang mereka buat selama sepekan sampai sebulan bisa langsung dibeli dengan harga antara Rp 100.000 sampai Rp 1 juta tergantung mutu.

Pendek kata, kalau menginginkan keindahan alamiah, datanglah ke Wakatobi.

Minggu, 4 Mei 2008 | 11:31 WIB
Source: http://travel.kompas.com/read/xml/2008/05/04/11315141/wakatobi.permai.di.atas.indah.di.bawah
 

Jadikan Wakatobi Ikon Baru Indonesia

Departemen Kebudayaan dan Parawisata (Depbudpar) RI diminta menetapkan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) sebagai destinasi wisata utama Indonesia. Wakatobi punya potensi jadi ikon baru wisata Indonesia. Ket Foto: Wakatobi di Sultra mempunyai pesona laut yang indah. Ikan Behn's Damsel dengan seekor ikan pembersih di antara terumbu karang di perairan ini salah satunya. Persoalannya, transportasi ke sana masih susah. Karena itu Pemkab Wakatobi terpaksa memberikan subsidi mengambang kepada Merpati.
   
Bupati Wakatobi Hugua di Wangi-Wangi, Kamis, mengatakan pemerintah dan masyarakat optimistis daerah pemilik 750 spesies terumbu karang itu dinobatkan sebagai destinasi wisata andalan Indonesia.
   
"Pemeritah dan rakyat Wakatobi sudah menunjukan kepada dunia bahwa pihaknya serius menjadikan wisata bahari sebagai prioritas pembangunan selain sektor perikanan," kata Bupati Hugua pada acara festival budaya Wakatobi Sail Indonesia 2009.
   
"Jangan ada keraguan untuk menetapkan Wakatobi sebagai destinasi pengembangan wisata di Tanah Air. Kalau Laut Karibia memiliki 50 spesies terumbu dan Laut Merah 300 spesies maka Wakatobi dengan luas kawasan terumbu karang 1,3 juta hektare mengandung 750 spesies," kata Hugua.
   
Ia mengakui bahwa konsekuensi menuju penetapan Wakatobi sebagai destinasi wisata utama harus didukung oleh infrastruktur memadai, antara lain, akomodasi perhotelan.
   
Dirjen Pengembangan Destinasi Parawisata Depbudpar RI, Firmansyah Rahim mengatakan permintaan penetapan Wakatobi sebagai destinasi utama wisata Indonesia sesuatu yang wajar.
   
"Berdasaran potensi, dukungan pemerintah dan sambutan masyarakat Wakatobi maka sesuatu yang wajar jika daerah ini menyandang destinasi wisata utama mendampingi 10 destinasi wisata lainnya di Indonesia," kata Firmansyah.
    
Ia mengakui keseriusan pemerintah bersama masyarakat setempat menggenjot pembangunan potensi wisata bahari Wakatobi yang dibuktikan dengan operasionalnya lapangan terbang Matahora.
   
Selain melalui transportasi udara dari dan ke Wangi-Wangi, Bau-Bau dan Kendari juga dapat melalui transportasi kapal laut dari dan ke Kendari ke Wangi-Wangi. Juga dari dan ke Bau-Bau ke  Wangi-Wangi.
   
Tarif tiket melalui pesawat udara dari Kendari ke Wangi-Wangi sekitar Rp500 ribu/orang sedangkan melalui kapal laut dari Kendari ke Wangi-Wangi sebesar Rp100 ribu/orang.

Jumat, 28 Agustus 2009 | 09:59 WIB
WANGI-WANGI, KOMPAS.com -http://travel.kompas.com/read/xml/2009/08/28/09592570/jadikan.wakatobi.ikon.baru.indonesia

Thursday, August 13, 2009

Desa Wisata Menunjang Ekonomi Rakyat

Pariwisata Indonesia terjebak dalam nama perhotelan, cottage, atau tempat pembudidayaan hewan langka atau tumbuhan. Nyatanya, tempat lain bisa menjadi komoditas yang ditonjolkan dan ditingkatkan menjadi tempat wisata.

Desa bisa menjadi tempat yang diberdayakan menjadi tempat wisata, yang tidak hanya dapat mendatangkan keuntungan material dengan menyedot banyak wisatawan yang berkunjung, tetapi juga mengembangkan sumber daya manusia di sekitarnya yang nantinya bisa meningkatkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) secara mandiri.

Desa terpencil dan terbelakang bisa dibina menuju desa wisata mandiri. Desa wisata mandiri bisa terwujud dengan mengandalkan sumber daya alam dan sumber daya manusia (SDM) setempat.

Desa-desa di Pulau Umang, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, perlahan-lahan dibina dan dilatih untuk menjadi sumber daya manusia yang kreatif dan siap kerja. Seni dan budaya serta adat istiadat setempat bisa dijadikan modal untuk mengembangkan desa tersebut.

“Orang-orang di Pulau Umang itu masih menganggap uang adalah segalanya. Untuk datang pelatihan saja harus diiming-imingi uang. Proses untuk meyakinkan mereka cukup lama sampai mereka mau dibina untuk mengembangkan desa mereka,” ujar Christian PB Halim, Presiden Direktur PT Umang Resort.

Christian juga menambahkan bahwa pengembangan desa wisata tidak harus membangun tempat wisata yang mewah yang bisa menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke sana, tetapi juga bisa melalui pemberdayaan masyarakat yang kemudian dipekerjakan. Seperti halnya yang dilakukan PT Umang Resort dalam merekrut masyarakat sekitar untuk menjadi karyawannya. Menurut dia, 80 persen karyawan PT Umang Resort merupakan warga sekitar.

Dengan menggunakan seni budaya setempat dalam menarik wisatawan juga bisa disaksikan di Desa Liandara, Manggarai Barat, Flores. Para penari setempat dipanggil untuk menari dan dibayar. Hal tersebut juga bisa menjadi bagian penunjang perekonomian wisatawan sekaligus menampik pandangan bahwa pariwisata hanya obyek tempat.

Selain itu, dalam menciptakan desa wisata harus ada keterlibatan secara aktif baik pembinaan maupun modal setempat dengan membudidayakan budaya setempat atau akulturasi dengan dukungan pemerintah dan bantuan coorporate melalui CSR-nya secara komprehensif sehingga dapat mengurangi atau mencegah urbanisasi secara besar-besaran.

Selasa, 11 Agustus 2009 | 22:25 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com http://travel.kompas.com/read/xml/2009/08/11/22253470/desa.wisata.menunjang.ekonomi.rakyat

Tuesday, July 28, 2009

Mengundang Burung, Mendatangkan WISATAWAN

Bayangkan bila di sekitar tempat tinggal kita, hidup berbagai burung. Kicauan burung dan pemandangan satwa udara yang beterbangan ini akan membuat suasana terasa alami. Tapi lingkungan yang membuat burung bisa hidup tenteram berdampingan dengan manusia tentu lingkungan yang asri serta aman dari gangguan, baik berupa ancaman terhadap keselamatan hidup mereka maupun pencemaran yang mengganggu sumber makanan mereka. Tempat-tempat macam itu bukannya tidak ada. Desa Ketingan di Yogyakarta dan Pulau Rambut di Jakarta adalah salah dua contohnya.

Ketingan terletak sekitar 2 km arah barat dari jalan lingkar utara Yogyakarta. Secara administratif, desa ini berada di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Meskipun masih terhitung kota, suasana asri masih kental terasa di desa seluas sekitar 44 ha itu. Ini gara-gara penduduknya kompak menjamin kelestarian habitat burung.

Pohon-pohon tinggi dan rumpun bambu yang “memagari” jalan desa ternyata menarik burung-burung untuk singgah. Kuntul dan blekok adalah tamu terbanyak dan berkembangbiak. Ini karena kepala desa dan warga sepakat melestarikan Ada berbagai papan peringatan yang melarang perburuan burung. Yang melanggar, akan kena sanksi sedesa.

Bagi masyarakat Ketingan, keberadaan burung itu memiliki manfaat yang jauh lebih besar dari sekadar menjadikannya lauk sekejap di meja makan. Pemandangan kerumunan kuntul dan blekok menjadi penyejuk hati. Di pagi hari burung kuntul mulai bergerak mencari makan di persawahan. Mereka sama sekali tak takut pada para petani yang membajak sawah. Tanah yang telah dibajak justru memudahkan para burung berburu cacing, ketam, dan siput. Jadi, ada hubungan timbal balik yang sama-sama menguntungkan.

Kini Ketingan telah menjadi desa wisata. Pemerintah desa bersama warga didukung Balai Konservasi Sumber Daya Alam membangun menara pandang untuk memudahkan wisatawan mengamati burung. Mereka juga membangun kolam makan untuk burung dan sarana wisata lain seperti rumah joglo. Masyarakat Ketingan merasa, perekonomian dan kesejahteraan mereka makin membaik setelah kedatangan para burung dan Wisatawan!

Suasana serupa bisa kita jumpai di Pulau Rambut Kepulauan Seribu, Jakarta Pulau kecil tak berpenduduk di Teluk Jakarta ini berjarak sekitar 3 km dari Pantai Tanjung Pasir, Tangerang. Banyak burung yang hanya menjadikan pulau seluas 45 ha ini sebagai tempat persinggahan untuk bertelur dan berkembang biak. Dari waktu ke waktu, jumlah dan jenis penghuninya bisa beragam. Ada elang bondol, pecuk ular, raja udang biru kecil, cekakak, cangak abu, kuntul perak kedil yang langka dan unik. Menurut catatan Flora Fauna International, tahun 2005 ditemukan 26 jenis burung air dan total 64 spesies burung yang ada di sini. Termasuk di dalamnya, bangau bluwok, jenis bangau paling terancam punah berstatus rentan.

Birding Indonesia buku rujukan khusus bagi pengamat burung terbitan Periplus Hongkong, bahkan sudah memasukkan Pulau Rambut dalam daftar lokasi pengamatan yang wajib dikunjungi para pengamat burung termasuk juru foto alam dan peneliti. Di sana tersedia menara pengamatan burung agar lebih leluasa menikmati dan mengabadikan tingkah polah burung-burung air yang melakukan kegiatan persarangan di pucuk-pucuk pohon

Sudah terbayang, suaka margasatwa macam Pulau Rambut pun merupakan sumber devisa. Asal kelestariannya tetap tenjaga. Tentu saja yang bisa dilakukan adalah menjaga habitatnya tidak rusak serta tidak mencemari ‘laut sekitar Pulau Rambut yang menjadi tempat burung-burung mencari ikan dan 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta.

Jadi, jangan asal tembak, Mas! Jangan pula buang sampah sembarangan, Bung!

Dr. Dharmawan Lingga Artama, di Yogyakarta / Christ

HALAMAN HIJAU – Majalah Intisari No. 519 / Oktober 2006

Hlm 122-123

Saturday, July 18, 2009

Semenanjung Ujung Kulon Terancam Putus

Sekitar 10.000 Batang Bakau Lenyap Terkena Arus Kuat

Semenanjung Ujung Kulon, Banten, terancam terpisah dan Pulau Jawa akibat abrasi yang semakin parah. Jika dibiarkan, air laut yang menyebabkan abrasi akan menenggelamkan jalur sempit yang menghubungkan semenanjung-yang sering disebut “leher” Pulau Jawa—itu dengan Gunung Honje.

Kepala Resor Legon Pakis Taman Nasional Ujung Kulon Agus Fatlas di Ujung Kulon, Sabtu (09/05/09), mengatakan, kedua daerah tersebut tersambung jalur sempit yang lebarnya sekitar dua kilometer (km). “Panjang pantai pada celah itu sekitar 3 km. Saat ini, abrasi menghantam daerah tersebut di pantai utara dan selatan,” katanya.

Semenanjung dengan luas sekitar 40.000 hektar itu dan Gunug Honje adalah bagian dari Taman Nasional Ujung Kulon yang merupakan habitat badak jawa. Jika “leher” terpisah, ruang gerak hewan langka tersebut semakin sempit akibatnya, badak jawa akan semakin mendekati kepunahan.

“Saya tak tahu berapa tahun lagi abrasi akan memutus jalur itu. Tapi, sebagai patokan, selama 25 tahun terakhir pantai sudah terkikis 7 meter di utara. Belum lagi di pantai selatan,” tutumya.

Abrasi itu disebabkan tidak adanya pohon bakau di tepi pantai sebagai penahan.

Di tepi pantai tersebut terdapat jalan sempit, dengan lebar sekitar 3 meter, yang diimpit pepohonan liar dan kikisan abrasi pada sisi lainya. Padahal, sekitar 20 tahun lalu, lebar jalan itu masih 6 meter.

Tak berhasil

Menurut anggota staf Rhino Monitoring Protection Unit Taman Nasional Ujung Kulon Jazuli, bakau pernah ditanam di pantai itu hampir 10.000 batang, tahun 2004-2008. Namun upaya menahan abrasi tak berhasil karena bibit bakau terseret ombak yang kuat.

UJUNG KULON, KOMPAS — Sumber : Ekspedisi Susur Selatan Jawa’09 Kompas / 10 Mei 2009 (BAY/AHA/JAN/ERI-LITBANG KOMPAS)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...