Showing posts with label Green Law. Show all posts
Showing posts with label Green Law. Show all posts

Tuesday, April 5, 2011

Putusan Mahkamah Agung Preseden Buruk

Putusan Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali, yang mencabut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tentang Ketidaklayakan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, merupakan preseden buruk pengelolaan lingkungan. Fungsi pengawasan lingkungan dilemahkan.

”Substansi Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 14/2003 itu seperti tidak diindahkan hakim MA,” kata Koordinator Program Koalisi Rakyat Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim di Jakarta, Senin (4/4). SK Menteri LH didasarkan pada penilaian tim analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang menyatakan reklamasi pantura Jakarta tidak layak.

Keputusan MA, lanjutnya, menimbulkan kegelisahan di kampung-kampung nelayan. Kiara, melalui Koalisi Pulihkan Jakarta—yang berisi organisasi Indonesian Center for Environmental Law, Wahana Lingkungan Hidup, Institut Hijau Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan Forum Komunikasi Nelayan Jakarta—menyiapkan surat yang mempertanyakan putusan MA itu. ”Kami menuntut MA terbuka ke publik soal keputusan kontroversial ini.”

Menurut Halim, Koalisi Pulihkan Jakarta menuntut pemerintah membatalkan reklamasi karena menghilangkan akses publik untuk hidup dan mengakses pantai gratis. ”Kami juga menuntut agar nelayan dilibatkan dalam penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Jakarta, khususnya Teluk Jakarta,” katanya.

Hingga kemarin, Kementerian LH belum menerima amar putusan MA. ”Kalau betul PK dikabulkan, poin mana? Ada tujuh permohonan PK penggugat,” kata Asisten Deputi Penyelesaian Sengketa Lingkungan Deputi V Penataan Hukum Lingkungan Kementerian LH Cicilia Sulastri. Pihaknya mengirim surat ke MA meminta amar putusan.

Sikap Kementerian LH

Menurut Cicilia, Kementerian LH akan bersikap seusai mempelajari putusan MA. ”Asalkan sesuai aturan pengelolaan lingkungan yang benar, tak ada masalah (reklamasi),” ujarnya.

Dasar penolakan Kementerian LH atas reklamasi pantura, antara lain, bagaimana mengatasi banjir, bahan urukan, pasang surut, dan dampak terhadap Indonesia Power (pembangkit listrik). Poin-poin itu tak terjawab.

Pasca-SK Menteri LH No 14/2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta, enam investor proyek reklamasi mengadu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur. Itu awal persoalan sebelum sampai ke MA. (ICH/AIK)

05 April 2011

Friday, December 4, 2009

Korupsi di Sektor Kehutanan Berakibat Rp 20 Triliun Pemasukan Hilang Setiap Tahun

Komisi Pemberantasan Korupsi diminta memprioritaskan penanganan kasus korupsi di sektor kehutanan. Itu karena potensi pemasukan tahunan yang hilang akibat korupsi dan salah kelola di sektor kehutanan mencapai Rp 20 triliun per tahun.

Hal itu disampaikan Wakil Direktur Program Human Rights Watch (HRW) Joe Saunders dan peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, dalam konferensi pers di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (3/12). Sebelumnya, mereka menyampaikan hasil penelitian tentang korupsi di sektor kehutanan itu kepada pimpinan KPK.

HRW menyampaikan penelitian berjudul Dana Liar: Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada Hak Asasi Manusia. ICW menyampaikan penelitian tentang korupsi dalam pemberantasan illegal logging.

”Setiap tahun, potensi kerugian negara akibat korupsi dan salah kelola di sektor kehutanan mencapai Rp 20 triliun. Bahkan, tahun 2006 angkanya lebih besar dari semua pengeluaran negara untuk sektor kesehatan nasional dan daerah,” kata Joe.

Nilai kehilangan tahunan ini, menurut Joe, juga setara dengan perhitungan Bank Dunia terhadap anggaran yang cukup untuk memberikan layanan dasar kepada 100 juta penduduk miskin selama dua tahun.

Potensi kerugian negara itu, kata Joe, terjadi karena tak transparannya sistem pendataan di sektor kehutanan dan perkebunan sehingga masyarakat tak bisa mengontrolnya. Faktor lain karena lemahnya penegakan hukum. ”Faktor kedua ini yang mendorong kami datang ke KPK. Apalagi, KPK memiliki kemampuan untuk mengejar pelaku sampai ke pemodal,” kata dia.

Febri mengatakan, dari penelitian ICW, sebagian besar kasus pembalakan liar yang ditangkap kejaksaan dan polisi adalah aktor kelas bawah (operator, sopir, atau petani), yaitu sebanyak 76,10 persen. Aktor kelas atas (penegak hukum, pejabat kehutanan, kontraktor, direktur, atau cukong) yang ditangkap hanya 23,9 persen. Itu pun sebagian besar aktor kelas atas, sekitar 71,43 persen, divonis bebas.

Febri berharap KPK menjerat aktor kelas atas dalam kasus pembalakan liar ini. (aik)

Jumat, 4 Desember 2009 | 03:18 WIB

Jakarta, kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/03183253/rp.20.triliun.pemasukan.hilang.setiap.tahun

Wednesday, October 21, 2009

Hutan Kita, Masa Depan Dunia


Pertemuan Para Pihak atau COP ke-15 di Kopenhagen, Denmark, membahas masa depan penanganan perubahan iklim di bawah protokol baru akan berlangsung dua bulan lagi. Sebagai negara dengan hutan terluas kedua setelah Brasil, Indonesia harus dapat menarik manfaat dari pertemuan ini. Ket.Foto:Anak-anak bermain di hutan yang masih tersisa di Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat. Sudah saatnya Indonesia membangun sektor kehutanan yang berorientasi lingkungan dan pro rakyat.

Setidaknya, Indonesia bisa menggalang dukungan internasional membangun sektor kehutanan yang pro kesejahteraan rakyat dan lingkungan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato pelantikan di Jakarta, Selasa (20/10), menegaskan keseriusan soal perubahan iklim. Presiden menyatakan, siap bekerja sama dengan negara lain, baik bilateral maupun multilateral, terkait isu perubahan iklim.

Pernyataan ini menegaskan kembali komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon sampai 26 persen tahun 2020 yang disampaikan pada pertemuan G-20 di Pittsburg, AS, beberapa waktu lalu.

Perhatian internasional pada hutan kita memang tak terelakkan. Hutan Indonesia kini terluas kedua di dunia. Dari 126,8 juta hektar hutan, 23,2 juta ha adalah hutan konversi, 32,4 juta ha hutan lindung, 21,6 juta ha hutan produksi terbatas (HPT), 35,6 juta ha hutan produksi, dan 14 juta ha hutan produksi konversi (HPK).

Dunia khawatir melihat hutan kita yang rusak dengan cepat. Pemerintah mengklaim laju kerusakan hutan berkurang dari 2,3 juta ha per tahun periode 1997-2000 menjadi 1,08 juta ha per tahun periode 2000-2006.

Selama lima tahun terakhir, pemerintah berupaya menggenjot pembangunan hutan tanaman. Investor swasta dan masyarakat di sekitar hutan didorong membangun hutan tanaman. Mereka dapat menanam jati, sengon, dan mahoni yang diminati industri kayu olahan dan mebel atau kayu akasia yang pasti diserap industri pulp dan kertas berapa pun jumlahnya.

Pengembangan hutan tanaman mutlak menjadi kebutuhan karena tekanan kampanye negatif terhadap produk kehutanan Indonesia yang menguat. Berbagai produk kehutanan kita mulai kayu lapis, kayu gergajian, bubur kertas, sampai kertas, masih saja menghadapi tekanan pasar internasional.

Berbagai tekanan ini sempat menghancurkan industri kehutanan domestik. Tentu tidak sedikit perusahaan yang kolaps akibat harga produk kayu lapis atau kayu gergajian yang hancur dihantam kampanye negatif.

Data Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), utilisasi industri kayu lapis nasional tahun 2009 diperkirakan tinggal 20 persen. Isu pembalakan liar, kayu ilegal, dan biaya ekonomi tinggi membuat daya saing produk Indonesia hancur di pasaran global. Kondisi ini kian parah dengan kampanye negatif produk kayu lapis Indonesia mengandung kayu ilegal.

Produksi kayu lapis tahun 2008 masih 3 juta meter kubik dengan tingkat utilisasi industri 30 persen. Tingkat utilisasi menggambarkan kapasitas produksi terpakai dari 100 persen yang ada. Ini berarti, tahun 2008, kapasitas produksi kayu lapis adalah 10 juta meter kubik. Volume produksi akan merosot menjadi 2 juta meter kubik akibat kolapsnya industri panel kayu di luar negeri.

Tantangan industri kehutanan nasional kini semakin berat. Dari 130 produsen kayu lapis hanya 40 pabrik yang masih beroperasi. Tahun 2009 diprediksi anjlok menjadi 20 unit.

Tantangan pasar

Walaupun industri kehutanan nasional mulai memakai bahan baku hutan alam dan hutan tanaman secara seimbang, banyak negara lain memberikan hambatan bukan tarif untuk produk kita. Seperti halnya di Amerika Serikat, muncul tuduhan dumping atas produk kertas berlapis asal Indonesia dan lain-lain.

Indonesia dituduh memproduksi kertas menggunakan bahan baku murah karena memanfaatkan kayu hasil pembersihan lahan dalam proses penyiapan areal hutan tanaman. Belum lagi tantangan lain yang lebih berat seiring pemberlakuan Lacey Act oleh AS. Lacey Act memberikan sanksi berat terhadap praktik perusakan hutan. Mereka yang terbukti melanggar dapat ditangkap dan diproses hukum di AS.

Untuk itu, pemerintah harus mampu meramu kebijakan ekonomi dan lingkungan kehutanan sehingga dapat memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang tersedia. Lobi pun harus diperkuat agar mereka tidak
hanya menentang pembangunan yang memanfaatkan kehutanan, tetapi juga harus berperan
aktif.

Sampai saat ini, baru Pangeran Charles dari Inggris yang berperan aktif membangun hutan Indonesia lewat proyek restorasi Hutan Harapan di Jambi. Pangeran Charles tengah menyusun formula untuk menghitung nilai hutan alam di Jambi untuk kemudian dijual dalam bentuk Prince Charles Bond.

Perusahaan atau negara-negara penghasil emisi yang masuk dalam Annex I, seperti Jepang dan AS diharapkan membeli surat berharga itu sebagai bentuk kontribusi mereka dalam mengurangi produksi emisinya. Hasil penjualan surat berharga itu kemudian akan dipakai untuk merestorasi hutan alam dengan tumbuhan alami sehingga kembali menjadi lestari.

Upaya Pangeran Charles mempromosikan agar dunia internasional mendukung restorasi hutan alam seluas 101.000 hektar di Jambi dan Sumatera Selatan bekas eksploitasi hutan alam oleh investor merupakan bukti nyata keberpihakan internasional. Setidaknya, mereka menyadari masa depan dunia kini ada di Indonesia.

Rabu, 21 Oktober 2009 | 03:53 WIB
Penulis: Hamzirwan
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/21/03532015/hutan.kita.masa.depan.dunia

Thursday, October 15, 2009

Lampu LED Ramah Lingkungan

Dunia semakin lama semakin panas. Sudah saatnya masyarakat sadar untuk mulai menggunakan produk-produk hemat energi dan ramah lingkungan guna mencegah terjadinya dampak global warming. Salah satunya adalah memilih lampu sebagai pencahayaan untuk ruangan.

Pengetahuan tentang lampu ramah lingkungan selama ini masih terbatas. Padahal ini dapat menjadi informasi penting bagi masyarakat guna mendukung kelestarian bumi. Salah satu brand yang concern terhadap produk ramah lingkungan adalah lampu hemat energi Megaman.

Stephen Gunawan, Direktur Megaman Indonesia menyatakan Megaman telah meluncurkan rangkaian produk LED (Light Emitting Diode) ke pasaran yang diharapkan mampu menjawab pertanyaan konsumen yang makin concernterhadap masalah energi dan lingkungan.

LED Megaman bukanlah produk baru, Lampu ini telah hadir di pasaran sejak dua tahun lalu dengan varian yang mencapai 400 jenis di antaranya general lightning, lampu sorot, lampu arsitektural, lampu outdoor, dan lampu dekoratif.

Sebagai produk ramah lingkungan, LED Megamen memiliki kelebihan ketimbang lampu halogen yang beredar di pasaran. Bila daya tahan lampu halogen hanya mencapai 4.000 jam, daya tahan LED Megaman mencapai 20.000 jam. Hal itu dapat disamakan dengan pemakaian selama 6 bulan. Setaraf dengan penghematan secara signifikan dalam pemakaian listrik hampir 80 persen.

Tak ayal, produk ini pun mampu disejajarkan dengan eco product karena tidak menggunakan acid frosting dalam materialnya. Dituturkan Stephen saat Workshop Megaman, Energy Saving Lamp di Hotel Mulia, Kamis,(16/7), lampu ini dapat didaur ulang sehingga mengurangi emisi karbon dioksida yang terserap atmosfer.

Keunikan lampu LED Megaman terletak pada keberhasilan produk ini dalam hal pengendalian temperatur yang selama ini menjadi problem pada jenis LED lain. LED Megaman menawarkan penghilang panas yang luar biasa. LED Megamen menyimpan panas yang dihasilkan di dalam sehingga LED chip dapat disentuh tanpa membuat tangan pengguna terbakar.

Inovasi ini berasal dari penggunaan teknologi Thermal Conductive Highway (TCH). Teknologi ini juga mempunyai kemampuan untuk mentoleransi warna di bandingkan dengan LED brand lain sehingga dramatasi warna dan ketajaman cahaya yang dihasilkan tiga kali lipat lebih banyak dari pencahayaan dari LED lain meskipun watt yang dihasilkan lebih rendah. Penyerapan LED Megaman tergolong ringan sehingga tidak menjadikan posisi lampu miring saat dipasang.

Meski Megaman bukan brand pertama yang yang menawarkan produk ramah lingkungan, Stephen yakin produknya berbeda dengan produk sejenis di pasaran tanah air. Persamaan kualitas produk baik di luar negeri maupun dalam negeri pun boleh diadu. ”Kami tidak melakukan KW1 dan KW2 seperti yang dilakukan brand internasional lain yang masuk ke dalam negeri,”kata Stephen.

Dengan varian terbaru LED Megaman, Megamen membidik pasar proyek-proyek arsitek, desiner, dan electrical & mechanical engineering di Indonesia yang dianggap memiliki perawatan secara continuous terhadap pencahayaan.

70 Persen Mangrove di Indonesia Rusak


Sekitar 70 persen dari 9.362 juta hektar tanaman mangrove di Indonesia rusak. Rinciannya, 48 persen mengalami kerusakan sedang dan 23 persen lainnya rusak berat. Kerusakan tersebut disebabkan, antara lain konversi hutan mangrove menjadi pemukiman, tambak, industri, dan rekreasi. 

Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan Syamsul Maarif, Selasa (13/10) di Pamekasan, Madura mengatakan, ekosistem mangrove berfungsi sebagai penyerap emisi karbondioksida. Berdasarkan peneli tian, gas karbondioksida yang terlepas akibat rusaknya hutan mangrove setara dengan emisi yang dikeluarkan 1,5 juta mobil.

"Ini bisa terjadi karena ekosistem mangrove dapat menyerap karbondioksida sebanyak 75,4 juta ton yang kemudian diendapkan ke dalam lumpur dan kemudian melepaskan oksigen untuk dihirup manusia," ucapnya.

Karena itu, Departemen Kelautan dan Perikanan menggelar Jambore Mitigasi Mangrove untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Jambore Mitigasi Mangrov salah satunya diadakan di pesisir pantai Desa Tlanakan, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Jawa Timur. Sebanyak 490 pelajar, mahasiswa, dan lembaga swadaya masyarakat mengikuti jambore yang diselenggarakan Departemen Kelautan dan Perikanan,Pemkab Pamekasan serta pihak swasta ini.

Menurut Syamsul, secara bertahap sebanyak 140.000 batang pohon mangrove akan ditanam di daerah pesisir Indonesia yang rawan abrasi dan berpotensi mengalami dampak perubahan iklim.

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim Kardani menambahkann, di seluruh Jatim terdapat populasi 85.000 hektar mangrove. Namun demikian, 40 persen di antaranya rusak.


SELASA, 13 OKTOBER 2009 | 19:41 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Aloysius Budi Kurniawan


Pemerintah Belum Lakukan Langka Nyata Hadapi Perubahan Iklim


Pemerintah Indonesia sampai sekarang dinilai belum melakukan tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim di tingkat nasional dan internasional. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Forgan mengatakan hal itu dalam pidato politik HUT ke-29 Walhi, Kamis (15/10) di Jakarta. Ket.Foto:Lahan gambut di wilayah Riau tetap mudah terbakar meski sudah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Foto sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Riau, pekan lalu, oleh Greenpeace, yang disampaikan pada konferensi pers di Jakarta, Senin (15/6).

Di tingkat nasional, melalui pembukaan lahan gambut dan perkebunan sawit yang sempat dijadikan ikon energi rendah karbon, membuat emisi karbon Indonesia menjadi besar.

"Di tingkat internasional, Indonesia jauh di belakang negara dunia ketiga lainnya, seperti Bolivia, yang secara keras mengingatkan negara Industri untuk menurunkan emisinya serta membayar utang ekologi kepada dunia dan negara dunia ketiga, bukan melalui metode carbon off-set," katanya.

Berry menilai, komitmen Pemerintah Indonesia untuk mereduksi emisi dari sektor energi ke sektor kehutanan (praktik konversi lahan) sebesar 26 persen pada tahun 2020 sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat pertemuan KTT G-20 di Pittsburgh pada bulan September lalu, hanya akan mempermalukan Indonesia di dalam kancah perundingan terkait dengan perubahan iklim.

Karena sebelumnya, lanjut Direktur Eksekutif Walhi itu, pada pertemuan G-8 di Hokaido Jepang, Presiden SBY juga pernah menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan sebesar 50 persen tahun tahun 2009.

"Akan tetapi, sampai saat ini, komitmen tersebut tak lebih dari sekadar cek kosong dalam perubahan iklim," tandasnya.



Kamis, 15 Oktober 2009 | 19:24 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yurnaldi

JAKARTA, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/10/15/19243016/pemerintah.belum.lakukan.langka.nyata.hadapi.perubahan.iklim


Sunday, October 11, 2009

Korupsi di Sektor Swasta Lebih Mengkhawatirkan


Selama ini seolah-olah persoalan korupsi yang semakin merajalela hanya terjadi di pemerintahan. Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan, korupsi yang terjadi di sektor-sektor swasta dan bisnis jauh lebih mengkhawatirkan.

"Selama ini yang tersorot dan sampai kepada publik hanya korupsi yang terjadi di pemerintahan. Padahal di sektor swasta ini lebih dahsyat," kata Sekretaris Jenderal TII Teten Masduki, Rabu (7/10), di Menara Kadin, Jakarta.

Laporan korupsi global Transparency International (TI) yang berpusat menyebutkan banyak kondisi yang memungkinkan terjadinya krisis yang berkaitan dengan resiko korupsi di dunia bisnis. Kerugian akibat praktik korupsi di sektor swasta secara global, sebut laporan itu, ditengarai mencapai nilai tak kurang dari 300 miliar US dollar.

Selama ini, kata Teten, kinerja perusahaan-perusahaan dalam melawan korupsi terbilang buruk. Kinerja perusahaan seringkali tidak sesuai dengan komitmennya. "Sementara tatanan ekonomi global dan pasar yang dinamis terus melahirkan berbagai peluang korupsi baru dan samar," tuturnya.

Dari hasil temuan TI, terungkap sumber utama terjadinya praktik korupsi di sektor swasta berasal dari suap. Praktik ini terjadi ketika dunia bisnis bersinggungan dengan pejabat pemerintahan, pegawai negeri, ataupun anggota partai politik. "Di negara-negara berkembang, politisi dan pejabat pemerintah menerima suap antara 20 sampai 40 miliar US Dollar setiap tahunnya," papar Teten.

Praktik ini, secara langsung akan merusak kinerja perusahaan. "Imbasnya terjadi korupsi pasar yang melemahkan persaingan sehat, harga yang adil, dan efisiensi," tambahnya.

Karena itu ia berharap, sektor swasta dapat menegaskan komitmen mengikat yang dapat diverifikasi dan terbuka untuk dikoreksi dari segi kepatuhannya. "Selain itu pemerintah juga harus menggunakan perangkat inovatif dan penegakan yang cerdas," tandasnya.


RABU, 7 OKTOBER 2009 | 19:50 WIB

BUMN Paling Rentan terhadap Korupsi

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai merupakan institusi yang paling rentan terhadap tindakan korupsi. Kerugian uang negara yang terbesar juga berasal dari tindak korupsi yang terjadi di dalam institusi BUMN.

Hal itu dikatakan Koordinator Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko di sela-sela kegiatan diskusi yang bertajuk Peran Serta Serikat Pekerja dan Direksi dalam Upaya Tindakan Pencegahan terjadinya Korupsi di Lingkungan Perusahaan, di pabrik PT Pindad (Persero), Sabtu (10/10) di Bandung.

"BUMN paling rentan karena merupakan institusi yang erat berkaitan dengan pengusahaan ekonomi dan menyumbang pendapatan ke kas negara. Tindakan korupsi di BUMN pun berdampak langsung kepada keuangan negara," kata Danang.

Selain itu, praktik korupsi di BUMN semakin diperparah dengan kentalnya nuansa politis dalam pengelolaan BUMN. Ia mencontohkan pemilihan jajaran direksi atau komisaris BUMN yang pada kenyataannya amat bergantung pada lobi-lobi politik.

"Tidak jarang ditemui pimpinan BUMN yang tidak berlatar belakang profesional, melainkan memiliki karier di bidang politik. Hal itu semakin membuat BUMN terpuruk. Setiap kali ada pergantian pimpinan negara atau terjadi perubahan konstelasi politik, maka jajaran direksi dan komisaris pun bergeser," ujar Danang.

Untuk mewujudkan tata kelola BUMN yang baik, sejumlah pihak dalam BUMN harus aktif mengawasi kinerja pimpinan. Serikat pekerja BUMN, kata Danang, memiliki kekuatan untuk mengawasi tata kelola BUMN. "Mereka harus mengkritisi pengangkatan jajaran direksi atau komisaris yang muatan politisnya lebih kuat daripada pertimbangan profesional," tuturnya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan, M Yasin menambahkan, tata kelola BUMN yang baik bisa diwujudkan dengan mengedepankan transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan penegakan hukum.

"Bila empat hal ini ditegakkan, maka kemampuan BUMN dalam menghasilkan laba akan meningkat. Akibatnya, daya tahan BUMN menguat. Dalam kondisi BUMN yang kuat dan berdaya saing, maka tidak perlu lagi ada wacana privatisasi BUMN," ujarnya.

Meskipun BUMN menyumbang pendapatan negara, ternyata kontribusinya bagi kas negara pun relatif kecil. Yasin, memperkirakan sumbangan BUMN hanya sekitar 10 persen ke dalam kas negara.

SABTU, 10 OKTOBER 2009 | 21:56 WIB

Monday, October 5, 2009

Masalah di Jakarta, Bukan Hanya soal Air

Kebakaran adalah musibah yang mendatangkan kerugian dan kepedihan. Musibah ini sebenarnya bisa dicegah. Namun, di Jakarta, kebakaran sulit untuk dicegah karena faktor penyulit yang sangat banyak dan tumpang tindih.

Kalau sudah kebakaran, kayaknya kita dapat bencana bertubi. Rumah dan barang-barang berharga ludes. Sudah begitu, setelah api padam, lumpur dan sampah yang turut tersedot dari kali saat pemadaman tersebar di mana-mana. Nasib, nasib,” kata Nana, warga Galur, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Nana, seperti halnya ribuan korban kebakaran lain di Jakarta, memang hanya bisa pasrah dan menyesali diri. Tinggal di kawasan permukiman padat, jalanan sempit, kabel listrik berseliweran begitu dekat dengan rumah, menggantol atau mencuri listrik sudah menjadi praktik umum. Hidup begitu dekat dengan bahaya setiap hari.

Kondisi yang lebih mengerikan terlihat di permukiman kumuh di kawasan Waduk Melati, tak jauh dari pusat perbelanjaan termegah di seputaran bundaran Hotel Indonesia. Sulistyo hidup berdesakan dengan istri dan tiga orang anak usia taman kanak-kanak hingga sekolah dasar.

Di rumah petak kontrakan berukuran tak lebih dari 3 x 4 meter, sebuah kabel tampak ditarik dari rumah si induk semang yang juga berfungsi sebagai warung makan sederhana. Kabel hitam itu bermuara di sebuah colokan. Pada instalasi itu terdapat kabel untuk mengalirkan listrik ke satu-satunya lampu di ruangan itu, kemudian kabel dispenser, kipas angin, dan televisi.

Di dalam rumah petak, terdapat WC berukuran lebih kurang 1 x 1 meter di samping sumur pompa tangan. Tak jauh dari WC, ada dipan untuk tidur. Dapur berupa sebuah meja dengan kompor dan tabung gas ukuran tiga kilogram, serta setumpuk peralatan masak diletakkan di emper rumah; tepat di tepi jalan yang hanya selebar setengah meter. Ruangan pengap tanpa sirkulasi udara.

Rumah-rumah petak serupa mungkin jumlahnya jutaan di penjuru Jakarta. Keberadaan permukiman superpadat ini sudah sejak lama dinyatakan sebagai kawasan rawan kebakaran. Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta mencatat terdapat 575 kelurahan rawan bencana di lima wilayah kota di Ibu Kota. Sebanyak 132 kelurahan terdapat di Jakarta Selatan.

”Umumnya, kelurahan-kelurahan itu padat penduduk, rumah-rumah berdempetan dan memakai bahan mudah terbakar, seperti kayu tripleks, akses jalan amat sempit dan banyak instalasi listrik tidak sesuai aturan,” kata Wali Kota Jakarta Selatan Syahrul Effendi.

Beberapa kawasan rawan kebakaran antara lain di sekitar Manggarai, Bukit Duri, dan kawasan padat penduduk lainnya.

Kesalahan penataan ruang

Nirwono Joga, ahli arsitektur lanskap, menyatakan, Jakarta memang tidak lepas dari berbagai macam bencana, yaitu banjir, kemacetan, kekeringan, dan kebakaran. Semua itu adalah akibat dari kesalahan penataan ruang berlarut yang terjadi lebih dari 30 tahun terakhir. Pembangunan dibiarkan berlangsung liar. Pusat-pusat ekonomi berupa perkantoran, pasar, dan kawasan industri tumbuh menjamur.

Tanpa pengawasan, Jakarta menjadi kota yang terus menarik para pencari kerja. Penduduk terus bertambah, sementara daya ekonomi tidak mendukung; permukiman kumuh pun muncul. Keterbatasan ekonomi dan pendidikan menyebabkan penghuni permukiman padat hanya terfokus pada upaya menyambung hidup tanpa memedulikan keamanan, termasuk dari bahaya kebakaran dan banjir.

Pemerintah pun seakan terlambat menyadari bahaya yang mengancam warganya. Peralatan minim yang dimiliki Pemprov DKI membuktikan kealpaan atau mungkin ketidakpedulian pemerintah itu.

Pada 1920-an, seperti dalam Kompas (15/7), banyak permukiman di Jakarta dilengkapi dengan gang kebakaran (brandgang). Gang ini berupa jalan yang dibangun di bagian belakang deretan rumah berfungsi sebagai akses masuk peralatan pemadam kebakaran dan jalur evakuasi. Kini, brandgang nyaris tidak bisa dirunut lagi keberadaannya. Semua celah kecil, bahkan di tepi kali sempit pun, dipakai untuk mendirikan rumah.

Selain itu, DKI kini hanya memiliki 3.000 petugas pemadam dari total 6.000 petugas yang dibutuhkan. Jumlah mobil sektor, yakni mobil pemadam yang bisa digunakan di kawasan sempit, hanya tersedia 10 unit. Padahal, kebutuhannya minimal adalah satu mobil sektor untuk setiap kecamatan di Jakarta.

Buruknya lagi, Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) dan Penanggulangan Bencana (PB) DKI mencatat, dari 1.493 unit hidran di Jakarta, 40 persen atau 599 unit di antaranya tidak berfungsi. Akibatnya, ketika terjadi kebakaran, seperti di Penjaringan, Jakarta Utara, yang menghanguskan 1.158 rumah, api tidak bisa cepat dipadamkan. Ratusan hidran yang bermasalah itu antara lain tidak ada aliran airnya, ada bagian-bagiannya yang hilang atau dicuri, dan ada yang rusak parah.

Data bulan September 2009 di Suku Dinas Damkar dan PB Jakarta Utara, dari 264 hidran yang ada, hanya tujuh hidran yang kualitasnya memenuhi standar. Hidran itu mempunyai aliran yang besar. Sebanyak 11 hidran mengeluarkan aliran air sedang dan 109 aliran air kecil.

”Kalau aliran kecil seperti ini, untuk masuk ke dalam tangki mobil pemadam saja tidak kuat. Padahal, air di dalam hidran tidak boleh disedot pompa karena bisa merusak pompa. Kalau aliran besar, untuk memenuhi tangki mobil ukuran 4.000 liter hanya butuh waktu 10-15 menit,” kata Ngarno, Kepala Sudin Damkar dan PB Jakarta Utara.

Bisa dibayangkan, jika sebagian besar hidran yang ada alirannya kecil, kesempatan api menjalar lebih luas lagi semakin besar. Khusus terkait hidran yang kering atau tidak memiliki aliran air, Wakil Gubernur DKI Prijanto pekan lalu meminta PT Palyja dan PT Aetra, selaku operator PAM Jaya, bertanggung jawab. Menurut Prijanto, kedua operator diminta mengecek pasokan air untuk hidran di wilayah kerja masing–masing.

”Ini menyangkut nyawa manusia, jangan main-main. Toh, DKI juga akan membayar sesuai banyaknya penggunaan. Mudah saja memantaunya dari meteran penggunaan air di setiap fasilitas hidran yang ada,” kata Prijanto.

Namun, Ramses Simanjuntak, Direktur Bisnis dan Komunikasi PT Aetra, menampik tuduhan tidak memantau aliran air. ”Hidran itu tanggung jawab Damkar. Mereka yang harus mengecek, apakah aliran di hidran itu besar atau kecil. Kalau kecil, ya laporkan kepada kami, nanti akan kami perbaiki,” kata Ramses.

Operator tidak tahu titik yang bocor atau aliran kecil jika tidak ada laporan. ”Sebenarnya kami sudah memantau titik-titik mana saja yang bocor. Namun, akan lebih cepat jika ada pelaporan,” tutur Ramses.

Ngarno mengakui, pemeriksaan hidran selalu dilakukan tiap tiga bulan sekali. Semua hasil pemeriksaan itu dilaporkan ke rapat koordinasi di dinas yang juga dihadiri para operator air. Pihaknya telah memetakan tiap daerah. Jika terjadi kebakaran di suatu daerah tertentu, sumber air didapatkan dari mana saja.

”Namun, memetakan sumber air itu tidak mudah. Lihat saja, di Jakarta terdapat 13 sungai. Sepertinya banyak ya, tetapi kalau musim kemarau, tidak ada airnya. Yang ada hanya lumpur,” kata Ngarno.

Penggunaan hidran bagi Damkar adalah solusi nomor dua. Solusi pertama adalah memakai air kali. ”Air kali itu murah dan cepat bisa disedot dengan pompa, sedangkan hidran selain lama, juga mahal, karena kami harus membayar ke operator setiap liter yang kami pakai. Tarifnya cukup mahal karena bukan termasuk golongan sosial atau warga miskin,” kata Ngarno.

Oleh NELI TRIANA dan M CLARA WRESTI

Senin , 5 Oktober 2009
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/03181185/masalah.di.jakarta..bukan.hanya..soal..air 

Wednesday, September 30, 2009

Pemerintah Batalkan Izin Hutan Tanaman Industri

Pemerintah membatalkan izin hutan tanaman industri bagi PT Duta Alam Makmur di kawasan hutan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Jambi. Pembatalan tersebut disambut positif aktivis lingkungan.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya, Selasa (29/9) di Jambi, mengatakan, pembatalan izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) itu karena pihak perusahaan belum menyampaikan dokumen kerangka acuan analisis dampak lingkungan yang disyaratkan pemerintah hingga batas waktu yang ditetapkan, akhir Agustus.

Areal yang diajukan menjadi HTI akasia dan ekaliptus seluas 118.955 hektar itu terdiri atas eks hak pengusahaan hutan PT Sarestra II (47.645 hektar), Nusa Lease Timber Corporation (56.770 hektar), dan Rimba Kartika Jaya (14.540 hektar). Pengajuan kawasan ini sebelumnya mendapat penolakan keras dari penduduk 42 desa di sekitarnya serta aktivis dari 18 lembaga dan organisasi pelestari lingkungan.

Penolakan didasari kondisi ekologi kawasan hutan yang masih sangat baik sehingga tidak layak dialihfungsikan menjadi HTI. Selain sebagai area hulu Sungai Batanghari, kawasan tersebut memiliki kondisi topografi curam 45-70 derajat. Tutupan pepohonan mencapai lebih dari 60 persen. Hutan alam tersebut merupakan habitat bagi satwa liar yang dilindungi dan hampir punah, seperti harimau sumatera, ungko, siamang, tujuh jenis burung rangkong, macan dahan, kucing mas, dan tapir. Di sana juga ada kambing gunung (Muntiacus montanus) yang ditemukan pada tahun 2008.

Sejumlah hulu sungai dimanfaatkan masyarakat desa untuk memenuhi kebutuhan listrik dan air. Setidaknya ada 20 pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang dimanfaatkan masyarakat dan menghabiskan investasi sekitar Rp 350 juta dari swadaya masyarakat dibantu dana pemerintah kabupaten, pusat, dan LSM.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jambi Arif menyambut positif pembatalan izin HTI tersebut. Menurut dia, jika izin tetap diberikan, pemerintah akan mendapat sumber pemasukan baru keuangan. Namun, nilainya tidak akan seimbang dibandingkan bencana yang bakal terjadi pada masa depan akibat perusakan hutan menjadi kebun monokultur.

Menurut Arif, ada baiknya pengelolaan hutan diserahkan kepada masyarakat lokal. Dengan melibatkan masyarakat, mereka akan memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga hutan dari kerusakan. ”Masyarakat akan lebih kolektif terlibat dalam penjagaan hutan,” katanya. (ITA)

Rabu, 30 September 2009 | 04:13 WIB

Jambi, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04132459/pemerintah.batalkan.izin.hutan.tanaman.industri

Wednesday, September 16, 2009

Cegah Dampak Buruk Bencana, Pemda Harus Awasi Pembangunan

Pemerintah daerah dinilai berperan besar dalam mengantisipasi dampak terburuk dari bencana yang sering terjadi, seperti gempa, banjir, atau longsor. Pengawasan terhadap proses pembangunan setiap bangunan, mulai dari gedung hingga rumah sekalipun, sangat diharapkan. Ket.Foto: Ketua Asean Chartered Profesional Engineering Coordinating (ACPEC) Sulistyo Sidharto Mulyo (kiri) dan Dosen Kajian Perkotaan Pasca Sarjana Universitas Indonesia Hendricus Andy Simarmata berbicara dalam diskusi bertajuk 'Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah Jakarta: Dilema atau Solusi?' di Jakarta, Senin (14/9).

Ketua Asean Chartered Profesional Engineering Coordinating Sulistyo Sidharto Mulyo mengatakan, bangunan yang tergolong aman dari dampak terburuk bencana adalah bangunan kategori engineering building.

"Engineering building kalau dilaksanakan secara disiplin tidak akan bahaya. Namun, kalau nonengineering building yang dibangun masyarakat tanpa disiplin akan menemui masalah-masalah. Itu juga kewajiban pemda," tutur Sulistyo dalam diskusi bertajuk "Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah Jakarta: Dilema atau Solusi?" di Jakarta, Senin (14/9).

Menurut Sulistyo, peran yang besar dari pemerintah memang terkait rendahnya kesadaran masyarakat dalam proses pembangunan berdasarkan studi, perencanaan, perizinan, dan standar lainnya. "Masalahnya, masyarakat tidak bisa disalahkan karena kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang masih demikian. Jadi, tanggung jawab pemerintah untuk mendidik, menyosialisasikan, dan melakukan penyuluhan," ujar Sulistyo.

Apalagi, untuk bangunan-bangunan publik, seperti rumah ibadah dan pusat perbelanjaan, pemerintah harus terus menekan kegagalan konstruksi, mulai dengan meningkatkan profesionalitas orang-orang yang terlibat pembangunan serta menekan budaya kolusi, korupsi dan nepotisme di dalamnya.

Senin, 14 September 2009 | 11:36 WIB Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com —  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/14/1136434/cegah.dampak.buruk.bencana.pemda.harus.awasi.pembangunan

Pelanggaran Tata Ruang Danau Toba Dibiarkan

Pelanggaran terhadap tata ruang kawasan ekosistem Danau Toba hingga saat ini terus dibiarkan. Meski Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba, dan pemerintah pusat membentuk Lake Toba Ecosystem Management Plant sebagai cetak biru perencanaan kawasan, tetapi hingga saat ini pelanggaran tata ruang dan zonasi tetap dibiarkan. Ket.Foto: Perahu penyeberangan dari Ajibata, Parapat, ke Pulau Samosir ini bisa ditemui hampir setiap jam. Dengan perahu ini pula, pelancong bisa berkeliling Danau Toba.

Bupati Samosir Mangindar Simbolon mengakui, pelanggaran terhadap tata ruang kawasan ekosistem Danau Toba tetap dibiarkan karena selama ini tidak pernah ada aturan yang mengikat serta disertai sanksi tegas. Kalau kami lihat, memang belum ada hukum positif yang bisa mengikat, terutama dengan sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran tata ruang di kawasan ekosistem Danau Toba. "Pemerintah daerah pun tidak bisa berbuat apa-apa jika terjadi pelanggaran," ujar Mangindar.

Menurut dia, tujuh pemerintah daerah yang kawasannya berada di sekitar Danau Toba tengah menunggu terbitnya peraturan daerah tentang tata ruang Danau Toba yang baru. Peraturan daerah ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menjadikan kawasan ekosistem Danau Toba sebagai salah satu kawasan strategis nasional.

Dalam peraturan daerah tentang tata ruang Danau Toba yang sekarang sedang digarap ini, harus ada sanksi pidana yang mengikat, jika terjadi pelanggaran-pelanggaran, ujarnya.

Sebenarnya dalam Perda Provinsi Sumut No 1/1990 juga diatur penataan kawasan, seperti larangan mendirikan bangunan permanen dalam radius 50 meter dari titik pasang surut bibir danau. Namun, saat ini bangunan permanen mulai dari rumah penduduk hingga hotel didirikan dengan tidak mengindahkan peraturan tersebut. Bahkan, kawasan konservasi yang seharusnya terlarang untuk bangunan permanen malah sudah berdiri resor megah.

Degradasi lingkungan

Sekretaris Daerah Provinsi Sumut RE Nainggolan mengungkapkan, sebenarnya pemerintah pusat telah memfasilitasi pembentukan cetak biru tata ruang kawasan ekosistem Danau Toba. Dari cetak biru inilah dibentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Danau Toba, yang anggotanya terdiri dari tujuh kabupaten dan Badan Otorita Asahan. Gubernur Sumut menjadi Ketua Dewan Manajemen. "Akan tetapi memang harus terus dilakukan penajaman dan ketegasan soal pembagian zonasi agar tidak terjadi pelanggaran tata ruang," katanya.

Menurut Nainggolan, pelanggaran tata ruang di kawasan ekosistem Danau Toba telah menimbulkan degradasi lingkungan di Danau Toba. Kementerian Negara Lingkungan Hidup bahkan telah mengidentifikasi Danau Toba sebagai salah satu dari 10 danau di Indonesia yang mendesak segera direhabilitasi karena rusak oleh aktivitas manusia yang berlebihan.

Pokoknya seluruh pemangku kepentingan segera mensinergikan Danau Toba secara holistik, tidak boleh parsial. Jadi tidak hanya melihat potensi Danau Toba dari segi pariwisata, ekonomi, budi daya, hydroorologi atau lingkungan. Zonasi kawasan harus dipertajam lagi. "Pemprov Sumut sedang mempersiapkan masterplan untuk penataan kawasan yang lebih tegas," katanya.

Rabu, 21 Januari 2009 | 17:13 WIB

SIMALUNGUN, RABU —  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/01/21/17132758/pelanggaran.tata.ruang.danau.toba.dibiarkan

Friday, September 11, 2009

PENCEMARAN: Rp 5,8 Triliun untuk Biaya Kesehatan

Gangguan kesehatan akibat pencemaran udara menelan biaya kesehatan masyarakat sekitar Rp 5,8 triliun per tahun.

Demikian terungkap dari catatan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional bersama Bank Pembangunan Asia (ADB). ”Padahal, total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk sektor kesehatan hanya Rp 18,8 triliun pada tahun 2009,” ujar pakar lingkungan dan pengajar di Universitas Indonesia, Firdaus Ali, dalam diskusi bertajuk ”Polusi Jakarta, Ancaman Serius terhadap Kesehatan”, Kamis (10/9) di Jakarta.

Pencemaran udara terjadi terutama di kota besar, seperti Jakarta. Penyumbang polutan terbesar ialah kendaraan (transportasi), sekitar 90 persen. Polutan berbahaya, seperti CO, Nox, HS, SO, dan O, berada di udara.

Pakar kesehatan masyarakat dari UI, Prof Umar Fahmi Achmadi, mengatakan, ”Pada 2004 studi Bank Dunia menyebutkan, biaya kesehatan akibat pencemaran mencapai Rp 4 triliun.”

Secara umum, pencemaran, baik udara, air, maupun bahan pangan dapat mengakibatkan iritasi, pusing dan gatal-gatal. ”Ada penelitian menyebutkan, udara tercemar timbal dapat mengakibatkan karies gigi,” ujarnya.

Banyak penyakit sebabnya tak tampak jelas sehingga sulit dihubungkan dengan pencemaran, misalnya, kemandulan, kanker, gangguan hormonal, kelahiran prematur, dan penuaan dini.

Dampak kesehatan dari pencemaran udara yang langsung, terutama pada anak-anak, adalah penyakit saluran pernapasan dan menurunnya daya tahan tubuh.

Jumat, 11 September 2009 | 03:47 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/03471410/rp.58.triliun.untuk.biaya.kesehatan

DKI Wajibkan Bangunan Hijau

Uji Coba Dilakukan di Balaikota DKI Jakarta

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mewajibkan semua pengembang untuk menerapkan konsep bangunan hijau yang ramah lingkungan. Sebanyak 30 perusahaan properti besar di Jakarta menyanggupi kewajiban yang akan diberlakukan pada 2010 itu.

”Tahun depan, seluruh gedung tinggi di Jakarta harus menerapkan konsep green building (bangunan hijau) untuk mengurangi pemanasan bumi. Kewajiban itu akan ditetapkan dalam bentuk peraturan gubernur pada 2010,” kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Kamis (10/9) di Jakarta Pusat.

Konsep bangunan hijau adalah penghematan energi listrik dan air. Penghematan dapat dilakukan dengan mengatur arsitektur bangunan ataupun dengan pemasangan peralatan elektronik yang hemat listrik. Salah satunya adalah penggunaan lampu light emitting diode (LED) dan pembangkit listrik tenaga surya.

Penghematan air juga dilakukan dengan sistem penggunaan kembali, pendaurulangan, dan pengurangan pemakaian. Pembuatan biopori dan sumur resapan juga harus dilakukan untuk memperbesar daya serap air oleh tanah.

Konsep ini dapat menghemat listrik 30 persen sampai 50 persen, menghemat air 50 persen sampai 90 persen, dan mengurangi emisi karbon sampai 35 persen.

Selain menggandeng perusahaan properti, kata Fauzi, Pemprov DKI juga menggandeng lembaga keuangan untuk membiayai penerapan konsep itu. Penerapan konsep bangunan hijau membutuhkan investasi yang lebih mahal daripada dengan sistem konvensional. Namun, biaya operasional setiap bulan jauh lebih rendah.

Kepala Dinas Penertiban dan Pengawasan Bangunan DKI Jakarta Hari Sasongko Kushadi mengatakan, pihaknya sedang menyusun konsep detail bangunan hijau untuk diterapkan di Jakarta. Setelah selesai, konsep itu akan diuji coba di gedung-gedung milik pemerintah.

Kepala Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta Agus Subardono mengatakan, gedung Blok G Balaikota DKI Jakarta akan direnovasi sesuai konsep bangunan hijau, Oktober mendatang. Renovasi itu merupakan uji coba pertama sebelum diterapkan ke gedung-gedung pemerintah lainnya.

Perbaikan tahap awal difokuskan pada jaringan listrik bangunan. Semua alat elektronik akan diganti dengan yang hemat energi. Pada tahun berikutnya, perbaikan akan dilakukan pada sistem pengolahan air. Selama ini, gedung Pemprov DKI berlantai 23 ini masih menerapkan sistem pengolahan air yang konvensional.

Jika uji coba ini sukses, penerapan konsep bangunan hijau di gedung-gedung pemerintah lainnya bakal dilakukan bertahap pada tahun-tahun mendatang. Jika perlu, rumah susun yang dibangun pemerintah juga akan menerapkan konsep ini.

”Pergantian jaringan listrik dan air ini membutuhkan dana besar, tetapi bakal memangkas tagihan secara drastis,” kata Agus.

Hari Sasongko mengatakan, pada awal 2010, konsep bangunan hijau akan diterapkan di kawasan Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin. Pemilik gedung lama akan diminta mengubah instalasi jaringan listrik agar lebih hemat. Sistem penggunaan air juga akan dievaluasi agar lebih hemat.

Sementara bagi gedung baru konsep itu harus langsung diterapkan. Kewajiban penerapan akan menjadi bagian dalam izin mendirikan bangunan.

Untuk pengawasan dan pemeriksaan penerapan konsep itu, Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Green Building Council Indonesia (GBCI) yang telah menyusun rating standar bangunan hijau. Jika konsep ini sudah diterima secara luas, Pemprov DKI Jakarta akan memberikan insentif bagi pengelola yang menerapkannya.

Pada tahap awal, GBCI sudah merangkul 30 pengembang besar, seperti Agung Podomoro, Ciputra, dan Sinar Mas, untuk turut menerapkan konsep bangunan hijau. Para pengembang itu diharapkan menjadi contoh bagi para pengembang lain untuk turut menerapkan konsep penghematan energi ini.

Ketua Core Founding Member GBCI Naning S Adiningsih Adiwoso mengatakan, pihaknya menggandeng para pengusaha properti agar dapat menghasilkan bangunan yang ramah lingkungan. Selanjutnya, GBCI juga akan menyosialisasikan konsep bangunan hijau ke para pengembang dan para pengelola gedung lainnya. (ECA)

Jumat, 11 September 2009 | 04:12 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/04124811/dki.wajibkan.bangunan.hijau

Tuesday, September 8, 2009

UU Lingkungan Hidup Disahkan DPR

DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna di gedung parlemen, Jakarta, Selasa (8/9).

Sebanyak sepuluh fraksi secara aklamasi menyetujui RUU PPLH menjadi UU PPLH sebagai pengganti UU Np.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam penyampaian pendapat akhir pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih kepada anggota DPR yang telah berinisiatif untuk membuat RUU PPLH untuk mengganti UU Lingkungan Hidup sebelumnya.

"UU tersebut (UU No.23/1997) telah bermanfaat bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, tetapi efektifitas implementasinya belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah substansial, struktural maupun kultural," kata Rachmat.

Dia menyebutkan beberapa hal penting dari UU PPLH yang belum atau masih kurang dalam UU sebelumnya, antara lain kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Kajian itu untuk memastikan pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan.

UU PPLH juga menyebutkan penguatan AMDAL (analisi mengenai dampak lingkungan) untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan.

Masalah perijinan juga diperkuat dengan menjadikan izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/kegiatan dapat dibatalkan apabila izin lingkungan dicabut.

Menlh mengatakan UU PPLH juga memperkuat sistem hukum PPLH dalam hal penegakan hukum lingkungan dengan antara lain pejabat pengawas yang berwenang menghentikan pelanggaran seketika di lapangan, Penyidik PNS dapat melakukan penangkapan dan penahanan serta hasil penyidikan disampaikan ke jaksa penuntut umum, yang berkoordinasi dengan kepolisian.

Bahkan pejabat pemberi izin lingkungan yang tidak sesuai prosedur dan pejabat yang tidak melaksanakan tugas pengawasan lingkungan juga dapat dipidana.

"Selain hukuman maksimun, juga diperkenalkan hukuman minimum bagi pencemar dan perusak lingkungan," tambah Rachmat Witoelar.

Selasa, 8 September 2009 | 14:21 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/1421551/uu.lingkungan.hidup.disahkan.dpr

Monday, September 7, 2009

RUU LINGKUNGAN: 26 Kewenangan Siap Disahkan

Pembahasan maraton Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menunggu pengesahan, Selasa (8/9). Terdapat 26 kewenangan yang secara langsung akan memperkuat lembaga Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

”Hingga saat ini peluang disahkan sangat besar,” kata Ketua Panitia Khusus RUU PPLH Sonny Keraf ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (6/9). RUU diterima badan musyawarah pada Kamis pekan lalu.

Diakui Sonny, sejumlah pihak terkejut dengan besarnya kewenangan KNLH apabila RUU disahkan. Besarnya kewenangan memang sengaja diatur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang di antaranya mencantumkan bahwa hak atas lingkungan yang baik merupakan bagian dari hak asasi manusia dan pasal ekonomi berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

”Tentu juga atas fakta kehancuran ekologi yang menimbulkan bencana besar terus-menerus,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup pada era pemerintah Abdurrahman Wahid itu. Atas dasar itu, kewenangan KNLH diperkuat.

Sejumlah kewenangan yang diatur, di antaranya menerbitkan izin lingkungan bagi kegiatan berskala besar dan penting, mengawasi kegiatan yang izin lingkungannya dikeluarkan KNLH dan daerah, mencabut izin lingkungan yang telah dikeluarkan, mengembangkan dan melaksanakan instrumen ekonomi lingkungan hidup, menangkap dan menahan orang, serta menggugat secara perdata apabila terjadi kerugian terhadap negara.

Ada juga kewenangan membuat kajian lingkungan hidup strategis secara nasional untuk pembangunan wilayah, perencanaan, dan program. Total terdapat 26 kewenangan, yang beberapa di antaranya baru diadopsi.

Koordinator Tim Ahli Pemerintah Mas Achmad Santosa mengatakan, penambahan kewenangan tersebut membutuhkan syarat pelaksanaan. Syarat tersebut, di antaranya, pengawasan ketat pelaksanaan di lapangan.

”Apabila tidak diantisipasi dengan baik, KNLH bisa menjadi sumber penyalahgunaan kewenangan, termasuk korupsi,” kata peneliti senior Pusat Studi Hukum Lingkungan (ICEL) itu.

Caranya, pembenahan menyeluruh melalui program reformasi birokrasi dan pengawasan internal (inspektorat) serta kontrol publik. (GSA)

Senin, 7 September 2009 | 03:34 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/07/03340578/26.kewenangan.siap.disahkan

Sunday, September 6, 2009

Perusakan Hutan Kaltim Belum Teratasi

Pembalakan dan pertambangan ilegal merusak Taman Nasional (TN) Kutai dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto di Kalimantan Timur. Namun, pemerintah pusat dan daerah dinilai belum sejalan sehingga kerusakan belum bisa diatasi.

Demikian mengemuka dalam diskusi kelompok terfokus "Penguatan Upaya Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam di Kalimantan Timur: Kajian Kasus Taman Nasional Kutai dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto" di Universitas Mulawarman, Samarinda, Kamis (15/1).

"Hutan primer dan sekunder tersisa yang cukup baik sekitar 50 persen," kata Kepala Balai TN Kutai Tandya Tjahjana. TN Kutai telah bertahun-tahun rusak akibat pembalakan ilegal, perambahan untuk pembangunan permukiman dan fasilitas publik, serta kebakaran. Ancaman bertambah dengan kabar terbitnya enam kuasa pertambangan batu bara dalam kawasan.

Kepala UPTD Pembinaan Pelestarian Alam Dinas Kehutanan Kaltim Wahyu Widi Heranata menyatakan, kondisi serupa juga terjadi di Tahura Bukit Soeharto. Kerusakan hutan belum teratasi karena penanganan tidak terpadu. Pemerintah pusat dan daerah masih memperdebatkan siapa yang berwenang dan harus mengatasi kerusakan kawasan.

Areal Transmigran Dibuka dalam Taman Hutan Raya

Pembukaan areal dan permukiman transmigran berlangsung dalam Taman Hutan Raya atau Tahura di Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi. Kayu untuk pembangunan rumah diduga merupakan hasil pembalakan liar dalam kawasan hutan lindung tersebut.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya mengatakan, Jumat (23/1), pembukaan kawasan transmigran dalam hutan lindung merupakan tindakan ilegal. Saat pembangunan permukiman transmigran itu berlangsung, pihaknya dan Dinas Kehutanan Kabupaten Muaro Jambi pernah mengingatkan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Muaro Jambi selaku penyelenggara program ini untuk tidak melakukan pembangunan dalam Tahura. Akan tetapi, pembangunan rupanya terus berjalan.

Pembangunan sarana dan prasarana transmigrasi berlangsung pada pertengahan 2008 lalu, di Desa Sungai Aur, Kumpeh Ilir. Pembangunan didanai oleh APBN sebesar Rp 8 miliar. Pihak rekanan, PT Gemilang Bangun Utama, membangun sebanyak 150 unit rumah. Sebanyak 131 unit di antaranya seluas 200 hektar, ternyata masuk dalam kawasan lindung tahura. Akses jalan menuju permukiman baru ini juga telah dibuka.

"Kami telah tindaklanjuti persoalan ini. Kepala Badan Planologi sudah meminta agar permukiman transmigrasi dalam Tahura dibongkar," tuturnya.

Namun, ketika ditanya mengenai tenggat waktu pembongkaran 131 rumah tersebut, Budidaya mengatakan tidak ada.

Menurut Budidaya, ada desakan dari Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi supaya dilakukan alih fungsi kawasan Tahura yang telah dibangun permukiman tersebut. Permintaan ini ditolak Departemen Kehutanan.

Kepala Polres Muaro Jambi Ajun Komisaris Besar Tedjo mengatakan, pihaknya juga tengah menangani kasus pembalakan liar kayu dalam kawasan Tahura, yang diduga terkait dengan pembangunan permukiman transmigrasi.

Dalam operasi, pihaknya mendapati sekitar empat kubik kayu diangkut dalam kawasan Tahura, dan tanpa dilengkapi dokumen. "Sebagian kayu diduga berasal dari Tahura. Namun, kami belum dapat pastikan persisnya berapa banyak yang telah ditebangi," tuturnya.

Menhut: Usut Kuasa Pertambangan di Tahura Bukit Soeharto

Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban menginstrusikan jajarannya mengusut tuntas keberadaan tiga pemegang kuasa pertambangan batu bara ilegal dalam Taman Hutan Raya Bukit Soeharto, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

"Ketiganya tidak ada izin. Itu harus diusut tuntas," kata MS Kaban saat berkunjung ke Tahura Bukit Soeharto, Minggu (6/9) siang.

Ketiganya ialah CV Dwi Karya, CV Pelangi Borneo, dan CV Bintang Pelangi Borneo. Tim kehutanan pernah menyelidiki CV Pelangi Borneo pada Mei 2009 karena aktivitas pertambangannya diyakini ilegal. "Semua tambang di Tahura Bukit Soeharto tidak boleh selama tidak ada izin pinjam pakai," kata MS Kaban.

Sebenarnya masih ada delapan pemegang KP lainnya yang beroperasi di dalam Tahura seluas 61.850 hektar itu. Kedelapannya ialah CV Wana Artha, CV Artha Coal, CV Padang Bara Abadi, CV Batuah Prima Coal, CV Laut Pasific, CV Aulia Laduni, CB Anugerah Laduni, dan CV Berkah Bara Sejahtera.

Adanya sebelas pemegang KP di tahura diduga terkait tiga tipe peta tahura yang saling berbeda sehingga bisa dijadikan celah untuk melanggar hukum. Dugaan pelanggaran hukum terkait keberadaan delapan CV itu masih perlu ditelusuri lebih jauh. Namun, yang jelas masuk dalam tiga peta berbeda sehingga diyakini terjadi pelanggaran hukum ialah Dwi Karya, Pelangi Borneo, dan Bintang Pelangi Borneo. "Adanya tumpang tindih peta bukan berarti pembiaran terhadap penghancuran Tahura," kata MS Kaban.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu mengakui terbitnya sebelas KP dalam Tahura mencerminkan pemerintah pusat, daerah, dan penegak hukum mengabaikan kelestarian lingkungan.

MS Kaban geram karena Tahura hancur. Selain pertambangan, kawasan konservasi itu didera pembalakan ilegal dan penguasaan oleh masyarakat untuk perkebunan dan permukiman. Di dalam tahura menetap 3 2.980 jiwa warga delapan desa dalam wilayah administratif Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.

Selain itu, MS Kaban terkejut melihat tiga eskavator dan satu buldoser di tempat bekas penggalian PT Inti Coal Power. Aktivitas perusahaan itu dihentikan tim kehutanan pada pertengahan Mei 2009 akibat izinnya ilegal. Lokasi tidak lagi berupa hutan tetapi hamparan tanah bekas digali dan dibongkar.

MS Kaban juga amat menyayangkan Tahura bukan didominasi hamparan hutan melainkan kebun kelapa sawit, nanas, dan dataran menghitam bekas dibakar untuk dijadikan ladang yang baru.

MINGGU, 6 SEPTEMBER 2009 | 16:00 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Ambrosius Harto
TENGGARONG, KOMPAS.com - http://regional.kompas.com/read/xml/2009/09/06/1600106/Menhut.Usut.Kuasa.Pertambangan.di.Tahura.Bukit.Soeharto

Wednesday, September 2, 2009

Limbah Merkuri Mulai Cemari Poboya

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Palu, Sulawesi Tengah, menguji contoh air di sejumlah titik di areal penambangan emas Poboya. Langkah itu menyusul temuan dinas kesehatan mengenai kandungan merkuri 0,05 ppm pada sumur warga sekitar areal tambang. Batas toleransi merkuri 0,01 ppm.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Palu Rosida Thalib, Senin (31/8), mengatakan, pihaknya sudah mengambil contoh air di sungai, sumur, dan sumber air Perusahaan Daerah Air Minum.

”Kandungan merkuri sudah mengkhawatirkan sehingga perlu diwaspadai dan dicari solusinya segera,” katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Palu drg Emma Sukmawati menuturkan, bulan Juli lalu, pihaknya mengambil contoh air di sumur warga sekitar tempat beroperasi tromol. Tromol adalah alat berat pengolahan biji dan pasir menjadi emas menggunakan air keras.

Pencemaran merkuri adalah salah satu yang dikhawatirkan terkait maraknya aktivitas penambangan emas di Poboya. Para aktivis lembaga swadaya masyarakat, di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Sulteng, beberapa kali mengingatkan soal ini.

Poboya merupakan salah sumber air dan penyangga bagi kota Palu. Poboya juga salah satu kawasan hutan dengan luas 200 hektar. Semula aktivitas penambangan dilakukan secara tradisional oleh warga. Belakangan, Poboya juga didatangi penambang dari Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.

Aktivitas penambangan meningkat menjadi industri tambang skala kecil dan menengah. Saat ini sudah lebih dari 20 tromol beroperasi.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigjen (Pol) Suparni Parto menyatakan, tahun lalu hanya sekitar 200 penambang di Poboya. Saat ini penambang sudah mencapai 1.000 lebih dengan lubang galian mencapai ratusan.

”Kami siap menghentikan aktivitas penambangan dengan langkah hukum, tetapi tidak semudah itu. Kami perlu mengambil langkah yang bersifat persuasif, tidak agresif dan tidak menimbulkan persoalan. Perlu solusi bagi para penambang setelah aktivitas mereka dihentikan,” kata Suparni. (REN)

Selasa, 1 September 2009 | 04:38 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...