Showing posts with label Biodiversity. Show all posts
Showing posts with label Biodiversity. Show all posts

Sunday, August 8, 2010

Biodiversitas: Ketertinggalan Taksonom Semakin Kentara

Ekspedisi Indonesia Exploration Sangihe Talaud atau Index-Satal 2010 baru-baru ini menemukan ratusan jenis biota laut dalam di perairan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, yang menunjukkan banyak spesies di antaranya tidak pernah diketahui sebelumnya. Ketertinggalan taksonom Indonesia akan menjadi semakin kentara sehingga tidak mudah untuk turut serta mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan memberikan nama kepada spesies-spesies baru tersebut.
”Taksonom kita untuk biodiversitas yang kaya dengan kawasan yang sangat luas belum mampu untuk segera mengklasifikasi dan memberikan nama temuan spesies-spesies baru,” kata peneliti senior pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dedy Darnaedi, Rabu (4/8) di Jakarta.
Dedy mencontohkan, peneliti LIPI beberapa tahun lalu menemukan ekosistem baru di goa-goa yang terdapat di Maros, Sulawesi Selatan. Ekosistem baru itu tidak bergantung pada sumber kehidupan matahari karena habitatnya berada di dalam goa yang dalam dan tertutup rapat dari sinar matahari.
Secara terpisah, Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) pada Kementerian Kelautan dan Perikanan Gellwyn Yusuf mengakui, ekspedisi Index-Satal menemukan ratusan spesies yang di antaranya banyak diduga sebagai spesies baru. Ekspedisi Index-Satal 2010 merupakan hasil kerja sama Indonesia dengan Amerika Serikat sehingga memungkinkan kedua belah pihak memberikan nama kepada spesies baru.
Ekspedisi Index-Satal 2010 akan berakhir pada 8 Agustus 2010. Yang akan dilakukan pertama kali adalah tukar-menukar data hasil riset. (NAW)
07 Agustus 2010

Tuesday, February 2, 2010

TEKNOLOGI DIRGANTARA: Vegetasi Papua Terdeteksi Stasiun Lapan

Kehancuran vegetasi hutan Papua makin meluas akibat kegiatan rencana konversi hutan menjadi perkebunan sawit. Padahal, sebelumnya, vegetasi hutan Papua sudah rusak akibat kegiatan pertambangan.

Kondisi kerusakan vegetasi tersebut saat ini dapat dideteksi melalui stasiun bumi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang selesai dibangun dan mulai dioperasikan di Biak, Papua.

”Stasiun bumi Lapan di Biak menambah cakupan citra Satelit Lapan-Tubsat di wilayah Indonesia Timur, bahkan hingga pantai Australia,” kata Kepala Pusat Teknologi Elektronika Dirgantara Lapan Toto Marnanto Kadri, Minggu (24/1) di Jakarta.

Toto mengatakan, pendeteksian vegetasi di Papua menjadi salah satu cakupan citra satelit Lapan-Tubsat, sebuah satelit mikro dengan ukuran bobot di bawah 100 kilogram. Satelit itu dibuat Lapan bekerja sama dengan Universitas Teknik Berlin, Jerman, diluncurkan dengan orbit polar pada ketinggian 635 kilometer di atas permukaan bumi pada Januari 2007.

Satelit membawa dua kamera menghasilkan gambar resolusi 5 kilometer dengan lebar 3,5 kilometer, serta gambar dengan resolusi 200 kilometer dengan lebar 81 kilometer. Saat ini baru terpasang dua stasiun bumi Lapan-Tubsat di Rumpin dan Rancabungur, Bogor, Jawa Barat.

Memantau Suramadu

Citra satelit dari kedua stasiun bumi yang dimiliki sebelumnya masih terpusat untuk wilayah Indonesia bagian tengah. Citra satelit ini pernah dimanfaatkan untuk pemantauan pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dan Madura. Saat ini pula masih digunakan untuk pemantauan pembangunan jalan tol di Pulau Jawa bagian utara.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Lapan Elly Kuntjahyowati mengatakan, kedua stasiun bumi yang sudah dioperasikan sebelumnya berada di Rumpin dan Rancabungur, Bogor. Keduanya menggunakan teknologi yang langsung dibeli dari Amerika Serikat.

Teknologi stasiun bumi di Biak dibangun dengan mengintegrasikan komponen-komponen yang dibeli sesuai rancangan dan diupayakan mengandung komponen lokal sebanyak-banyaknya. Teknisinya pun dari Lapan.

”Antena di stasiun bumi Biak juga spesial,” kata Elly.

Menurut Elly, antena yang digunakan itu berkemampuan gerak untuk mengubah orientasi secara cepat tatkala satelit muncul dan hilang dari horizon kurang dari 15 menit.

”Pada tahun 2010 akan dibuat pula stasiun bumi Lapan-Tubsat di Kototabang, Sumatera Barat,” kata Elly.

Dengan empat stasiun bumi Lapan-Tubsat, diharapkan citra wilayah dari Aceh hingga Papua akan terdeteksi dengan lebih akurat. (NAW)

Wednesday, August 26, 2009

LIPI Mendata Kekayaan Intelektual atas Tanaman

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mendata kekayaan intelektual atas pengembangan dan riset berbagai jenis tanaman yang ada di kebun raya. Bunga picis kecil atau Hoya lacunosa menjadi contoh tanaman bunga hias yang diprioritaskan mendapatkan perlindungan varietas tanaman dari negara layaknya paten.

”Perolehan hak atas kekayaan intelektual pada jenis tanaman tertentu berarti menghargai perisetnya. Selain itu, juga memberi kontribusi perlindungan ekonomi bagi negara ketika tanaman tersebut dibudidayakan dan menjadi komoditas perdagangan internasional,” kata Kepala Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bambang Subiyanto, Selasa (25/8).

Bambang ketika dihubungi sedang berada di Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur, untuk memberikan sosialisasi mengenai pentingnya pendataan jenis tanaman yang berpotensi ekonomi. Sosialisasi juga akan dilanjutkan di kebun raya lainnya, seperti Kebun Raya Bedugul, Bali.

Beberapa kebun raya yang dikelola LIPI saat ini meliputi Kebun Raya Bogor, Cibodas, Purwodadi, dan Bedugul.

Berdasarkan riset Sri Rahayu dari Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor di bawah LIPI, jenis tanaman hias hoya itu berbunga sepanjang tahun, kecuali pada Mei-Juni. Pembentukan bunga secara majemuk dan bertandan ini berlangsung cukup lama 4-5 minggu.

Satu tandan menghasilkan belasan bunga yang tumbuh secara berurutan. Saat satu kuncup bunga mekar dapat bertahan selama tiga sampai empat hari kemudian layu. Selama mekar bunga mengeluarkan nektar berwarna kuning dan menimbulkan aroma harum.

”Jenis bunga ini berpotensi untuk dibudidayakan. Hak atas kekayaan intelektual yang diupayakan sekarang menjadi perlindungan dari negara ketika bunga ini menjadi komoditas ekspor,” kata Bambang. (NAW)

Rabu, 26 Agustus 2009 | 03:53 WIB
Jakarta, Kompas - http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/26/03531467/lipi.menda

Tuesday, August 18, 2009

David, Tanaman yang Doyan Tikus

Tanaman mematikan yang memangsa tikus ditemukan oleh ilmuwan Inggris. Tanaman pemangsa raksasa ini diyakini merupakan tumbuhan perdu pemakan daging terbesar yang mengeluarkan cairan berupa asam, mirip enzim dari mulut daun. Binatang yang terpeleset masuk ke lubang mulut ini bakal mati karena cairan ini.

Para ilmuwan yang dikelapai ahli botani bernama Stewart McPherson dan Alastair Robinson menelusuri Gunung Victoria di Filipina setelah mendengar dari para misionaris di tempat itu bahwa ada tikus dimangsa tanaman. Ket Foto: Kiri: Seekor tikus berada di dalam tanaman bernama David Attenborough Kanan : Sir David Attenborough,merasa tersanjung

McPherson menyebutkan, "Tanaman ini memroduksi jebakan yang spektakuler sehingga tak hanya serangga yang bisa tertangkap tetapi juga binatang pengerat. Luar biasa memang karena ini belum pernah ditemukan sampai abad 21."

Spesies mengagumkan dan jarang sekali ini telah dinamai penyiar terkenal Sir David Attenborough. McPherson mengaku "Tim dan saya telah menamai tanaman ini sekaligus untuk menghormati Sir David yang telah bekerja dan memberi inspirasi bagi keindahan dan keanekaragaman hayati dunia."

Tanaman yang digelari nama latin Nepenthes attenboroughii berwarna hijau dan merah dapat tumbuh di tempat beriklim panas. Namun hanya bisa ditemui di pegunungan seperti Gunung Victoria.

McPherson dan ahli botani dari Universitas Cambridge Robinson menemukan tanaman ini selama ekspedisi yang mereka lakukan di tahun 2007. Namun, mereka hanya bisa menggambarkan semak pemangsa ini dalams ebuah jurnal setelah tiga tahun mempelajarinya dari sekitar 120 spesies pemangsa yang ada.

Sementara itu Sir David (83) menyatakan terima kasih dan merasa tersanjung atas pemberian nama itu. "Saya telah dikontak oleh tim ilmuwan setelah mereka menemukan tanaman itu dan meminta agar nama saya bisa dipakai untuk menamai tanaman ini. Terima kasih atas semua itu. Saya tersanjung karenanya." jelas David.

Senin, 17 Agustus 2009 | 16:46 WIB
KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/17/16462534/david.tanaman.yang.doyan.tikus.

Saturday, August 1, 2009

30.000 Spesies Tanaman Indonesia Belum Tergali

Bangsa Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam hayati, baik tumbuhan maupun hewan. Sayangnya, saking kayanya, bangsa yang kaya ini lupa akan kekayaannya. Pengusaha kosmetik Dr Martha Tilaar menyebutkan, sekitar 30.000 spesies tanaman di Indonesia belum tergali dengan baik oleh bangsa Indonesia sendiri.

Minimnya ahli herbal dan riset yang berkelanjutan membuat spesies-spesies ini masih menganggur di "kebun" Indonesia. Padahal, jika dilanjutkan, besar manfaatnya bagi kesejahteraan dan kesehatan masyarakat. "Saya sering merasa prihatin kenapa kita tidak memedulikannya. Pengalaman saya di luar negeri, di negara yang saya kunjungi tidak disebutkan nama Indonesia sebagai pemilik kekayaan alamnya, padahal menggunakan bahan dari Indonesia," ujar Martha di sela-sela penandatangan kerja sama Martha Tilaar Group dengan Universitas Indonesia untuk Program Studi Herbal di Rektorat UI, Depok, Kamis (30/7).

Pendiri dan pemilik Martha Tilaar Group itu mengaku, kini baru meneliti 565 spesies koleksi yang tertanam di Kampung Djamoe Organik Martha Tilaar di kawasan Cikarang. Oleh karena itu, Martha merasa perlu melakukan riset yang berkesinambungan dari provinsi ke provinsi untuk menggali ribuan kekayaan herbal lain yang berbeda-beda, misalnya Makatana dari Sulawesi Utara.

Namun, sulit dilakukan jika ahli herbal yang tersedia makin sedikit. Solusinya, lanjut Martha, harus ada langkah jangka panjang untuk menghasilkan tenaga yang kompeten dalam bidang herbal. Itu bisa dijangkau dengan kerja sama. Entah itu pelatihan atau dunia akademis, salah satunya melalui pembukaan Program Studi Herbal seperti yang dilakukan UI.

Melalui dunia akademis, tentu saja juga menghasilkan pengetahuan tentang pengelolaan kekayaan alam herbal yang dapat diteruskan ke generasi selanjutnya. "Pengelolaan oleh tenaga yang kompeten kiranya dapat mengangkat obat herbal menjadi public health," tandas Martha.

KAMIS, 30 JULI 2009 | 13:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com http://sains.kompas.com/read/xml/2009/07/30/13332699/30.000.spesies.tanaman.indonesia.belum.tergali

Saturday, July 18, 2009

Kawasan Konservasi Garut, Kaya Keanekaragaman Hayati

Kawasan konservasi di Kabupaten Garut, Jawa Barat, memiliki keanekaragaman hayati plasma nuftah yang bisa dikembangkan menjadi objek wisata andalan yang alami bahkan dapat berdaya saing tinggi.

Di antaranya, terdapat kawasan hutan Telaga Bodas sebagai Cagar Alam (CA) seluas 285 ha, yang kini berubah statusnya menjadi Taman Wisata Alam (TWA) seluas 261,15 ha di Kecamatan Wanaraja yang sebagian termasuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya, kata Kabid Pemasaran Disparbud Garut Herman Santoso, Kamis (2/7).

Kawasan itu terletak di daerah berbukit bertopografi bergelombang dengan sudut kemiringan berkisar 30-70 persen, dengan ketinggian 1.700 mdpl, yang iklimnya termasuk tipe iklim C bercurah hujan rata-rata 2.473 mm per tahun, katanya.

Kekayaan floranya, antara lain Puspa (Schima walichii), Saninten (Castanea argentea), Pasang (Quercus platycorpa), Suagi (Vaccinium varingifolium) serta Manglid (Magnolia sp).

Floranya berupa satwa liar di antaranya macan kumbang (panthera pardus), kera ekor panjang (nacaca fascicularis), kijang (muntiacus muntjak), trenggiling (manis javanicus), tupai (callaciurus notatus), burung kadanca (ducula sp), burung walet (collocalia vulvonorum), burung puyuh (tumix suscitator) dan burung saeran (discusrus macrocaspus).

Sementara itu, CA dan TWA Papandayan seluas 884 Ha kemudian sebagian wilayah seluas 221 Ha diubah menjadi seluas 6.807 ha CA dan TWA seluas 225 Ha. Wilayah ini memiliki topografi curam, berbukit dan bergunung- gunung serta tebing yang terjal termasuk tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata per tahun 3.000 mm, kelembaban udaranya berkisar 70 - 80 persen dan bertemperatur rata-rata 10 derajat Celsius.

Floranya secara umum didominasi oleh pohon Suagi (Vaccinium valium) dan Edelweis (Anaphalis javanica), sedangkan vegetasi lainnya puspa (schima walichii), saninten (castanopsis argentea), kihujan (engelhardia spicata), jamuju (podocaspus imbricatus), pasang (quercus sp) serta manglid (magnolia glauca).

Dengan fauna berupa satwa liar antara lain babi hutan (sus vitatus), trenggiling (manis javanica), kijang (muntiacus muntjak), lutung (trachypitecus auratus) dan beberapa jenis burung seperti walik (treron griccipilla), dan kutilang (pycononotus aurigaste). (Ant/OL-03)

GARUT--MI: Jumat, 03 Juli 2009 07:10 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...