Showing posts with label Bencana. Show all posts
Showing posts with label Bencana. Show all posts

Sunday, October 18, 2009

FERRO FILTER: Penjernih Air di Lokasi Bencana


Kebutuhan air bersih selalu menjadi kendala di lokasi bencana. Tidak jarang kebutuhan ini luput dari perhatian hingga muncul persoalan baru karena krisis air bersih. Akibatnya, korban bencana kerap mengonsumsi air apa adanya di sekitar lokasi bencana. Ket.Foto:Peneliti Universitas Sumatera Utara, Sofyan Badrun, di antara tabung ferro filter di bengkelnya.

Peneliti senior Universitas Sumatera Utara (USU), Sofyan Badrun, meyakini perlunya inovasi baru untuk mengatasi persoalan ini. Dasar pemikiran tersebut menuntunnya merekayasa alat penjernih air yang efektif. Penjernih air yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan air bersih korban bencana dengan cepat.

Setelah melalui uji coba berulang kali sejak 2002, Sofyan akhirnya berhasil merekayasa alat penjernih air bernama ferro filter. Nama ferro diambil dari nama zat besi, yaitu Fe, sementara filter berarti saringan. Alatnya memang mampu menyaring zat besi hingga menjadi 0,05 part per million (ppm). Angka ini lebih baik dari standar maksimal yang ditetapkan Departemen Kesehatan, yaitu 0,3 ppm.

Rendahnya kandungan zat besi ini mengurangi risiko gangguan ginjal pada manusia yang mengonsumsinya. Tidak hanya mengurangi kandungan Fe, ferro filter mampu mengurangi kandungan mangan (Mn) dan amoniak (NH) dalam air minum. Air produksi ferro filter berwarna jernih, tidak berbau, rendah kandungan logam, dan bahkan siap dikonsumsi langsung.

Penampang kecil

Ada yang istimewa dari alat ciptaan Sofyan. Perbedaan alat ini dengan alat penjernih air umumnya terletak pada pipa yang disebutnya sebagai nozzle. Nozzle ini dirancang mempunyai penampang kecil berdiameter 16 milimeter (untuk kapasitas produksi air sebesar 500 liter per jam). Penampang kecil ini akan membuat aliran air menjadi deras sehingga menyedot udara luar. Pada penampang kecil ini terdapat lubang udara berdiameter 6 -8 milimeter (tergantung dari produksi air yang dihasilkan). Lubang inilah yang menyedot udara untuk mengikat kandungan logam berat yang ada di dalam air.

Pada alat penjernih lain penguraian logam berat dilakukan alami dengan membiarkan air mengalir dari tempat penampungan satu ke penampungan yang lain. Tentu ini tak efektif karena membutuhkan tempat yang lebih banyak dan proses airasi (proses bercampurnya oksigen dengan air) tidak berjalan maksimal.

Zat besi, yang semula tak kelihatan, setelah melalui proses ini menjadi terlihat kuning. Air ini kemudian disaring oleh pasir kuarsa dalam tong fiberglass setinggi 70 sentimeter. Sofyan berani meminum langsung air yang keluar dari proses penyaringan ini. ”Rasanya segar dan sehat,” katanya setelah mencecap air dari keran.

Mengoperasikan ferro filter hanya memerlukan waktu satu hari. Pengoperasian ini mulai dari pengeboran sumur hingga pemasangan alat penjernih. Alat ini juga dilengkapi dengan panel otomatis yang memantau air dalam fiberglass. Jika air penuh, mesin pompa akan mati sendiri.

Jangkau tempat sulit

Seperangkat ferro filter terdiri dari tabung fiberglass, pompa air, dan panel pemantau air. Sofyan merancang alat ini bisa dibawa ke mana-mana karena beratnya hanya 10 kilogram (tidak termasuk pasir). Dengan modifikasi tersebut, regu penolong bisa membawa alat ini ke lokasi bencana yang sulit dijangkau.

Produksi air bersih alat ini mampu memenuhi kebutuhan untuk 200 orang. Asumsi ini berdasarkan standar kebutuhan air bersih per orang per hari sebanyak 60 liter sesuai ketetapan Departemen Kesehatan.

Sejak merekayasa penjernih air tahun 2002 alatnya sudah banyak teruji. USU mengirimkan 30 ferro filter ke lokasi bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada 2004. Kali ini USU kembali mengirim ferro filter ke Sumatera Barat.

Inovasi Sofyan mendapat perhatian perusahaan air minum di Sumatera Utara. Perusahaan air minum di Medan, Asahan, Rantau Prapat, dan Tanjung Balai memakai alat ini dalam kapasitas tinggi. Kapasitas ferro terbesar buatannya mampu memproduksi air sebanyak 35.000 liter per jam.

Kepala Lembaga Penelitian USU Harmein Nasution mengatakan, inovasi penjernih air Sofyan merupakan temuan berharga bagi banyak orang. Meski sederhana, alat tersebut terbukti tepat guna. Dia berharap pemerintah memberi apresiasi positif terhadap temuan Sofyan. Sayangnya, sejak diajukan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pemerintah belum mengeluarkan hak paten temuan Sofyan.

”Terlalu banyak lembaga yang mengurusi hak paten. Jadi apresiasi terhadap karya yang berharga seperti ini menjadi terlambat,” katanya.

Sabtu, 17 Oktober 2009 | 04:08 WIB

Oleh Andi Riza Hidayat

Wednesday, October 7, 2009

Ayo Belajar Geologi dan Jadi Ahli Gempa

Gempa bumi, (letusan) gunung berapi, dan tsunami sejak lama menimbulkan ketakutan dan (sekaligus) kekaguman dalam pikiran manusia, melahirkan mitos, legenda, dan banyak film bencana Hollywood. Kini, teknologi maju memungkinkan kita berlatih, mengukur, memantau, mengambil sampel, dan mencitra Bumi dan gerakannya seperti belum pernah terjadi sebelumnya…. (Dr Ellen J Prager, ”Furious Earth”, 2000)

Gempa demi gempa terkesan semakin rajin menyambangi Tanah Air. Di tengah era informasi dan maraknya industri media, serba hal mengenai gempa pun hadir ke jantung rumah tangga. Orang tua, orang muda, dan anak-anak yang selama ini kurang (atau bahkan tidak) memerhatikan soal-soal gempa kini banyak yang terpaku lama menyaksikan reportase dari wilayah bencana melalui TV atau membacanya di media cetak dan online.

Mula-mula yang muncul adalah ketakutan, membayangkan bagaimana kalau gempa terjadi di kotanya sendiri. Tentu selain itu juga rasa prihatin dan peduli atas bencana yang terjadi. Berikutnya, dari rasa peduli dan takut tadi muncul pula rasa ingin tahu tentang berbagai segi, menyangkut penyebab-penyebab terjadinya gempa, mana saja daerah yang rawan gempa, apakah gempa dapat diramalkan, atau bagaimana cara mengurangi akibat mematikan gempa.

Barangkali itu awal yang menarik bagi tumbuhnya minat terhadap ilmu-ilmu yang terkait dengan kegempaan, yang sebagian ada di ilmu geologi, juga di cabang-cabangnya, seperti seismologi, dan juga di geofisika. Harus diakui, hingga belum lama ini, ilmu tersebut masih sering dilihat dengan sebelah mata, sebagai ilmu yang kering dan kurang banyak manfaatnya untuk dipelajari.

Kini, dengan sering terjadinya gempa dan semakin tumbuhnya kesadaran bahwa Tanah Air berada di jalur gempa dan gunung api yang dikenal sebagai Cincin Api, masyarakat semakin menyadari pentingnya ilmu-ilmu di atas.

Memang gempa tak akan memusnahkan bangsa Indonesia, kecuali mungkin yang disebabkan oleh gempa dan tsunami kosmik akibat wilayah Nusantara ditumbuk oleh asteroid atau komet besar. Namun, terus-menerus diguncang gempa—apalagi bila tanpa pembelajaran memadai untuk meminimalkan dampak—bisa menguras tenaga dan pikiran bangsa. Belum lagi harus diakui, ada kerugian materiil yang amat besar tiap kali terjadi gempa (atau letusan gunung berapi), plus biaya rehabilitasi dan rekonstruksi.

Melalui cinta ilmu geologi, pemahaman dan kearifan akan sifat dan perilaku Bumi meningkat. Berikutnya, risiko bencana dapat dikurangi, korban dapat diminimalkan, dan kerugian harta benda dapat ditekan.

Ilmu kebumian

Fokus bahasan kita kali ini pada ilmu geologi, yang mempelajari komposisi, struktur, proses, dan sejarah Bumi. Ilmuwan yang mendefinisikan geologi adalah Sir Charles Lyell pada tahun 1830. Semenjak saat itu, studi geologi diperluas sampai ke planet-planet lain dan satelitnya, yang lalu dikenal sebagai geologi keplanetan. Ada banyak cabang dalam geologi, antara lain geofisika, yang mempelajari fisika Bumi.

Melalui ilmu inilah orang mengenal lapisan-lapisan yang ada di Bumi, yakni kerak atau kulit, lalu mantel, dan inti. Kerak bumi yang berwujud lempeng-lempeng ini rupanya telah bergerak ke sana-sini di permukaan Bumi setidaknya sejak 600 juta tahun terakhir—dan bisa jadi sejak beberapa miliar tahun sebelumnya (New York Public Library Science Desk Ref, 1995). Sekarang ini, setiap lempeng bergerak dengan kecepatan berbeda-beda, di antaranya ada yang dengan kecepatan 2,5 sentimeter per tahun.

Para ilmuwan yakin, pada masa lalu, sekitar 250 juta tahun silam, ada benua besar atau superkontinen yang dinamai Pangaea (Nama Pangaea diusulkan oleh geolog besar Alfred Wegener tahun 1915). Sekitar 180 juta tahun lalu, superkontinen ini pecah, menjadi Gondwanaland, atau Gondwana, dan Laurasia. Gondwana adalah kontinen hipotetis yang dibentuk dari bersatunya Amerika Selatan, Afrika, Australia, India, dan Antartika. Sementara Laurasia tersusun dari Amerika Utara dan Eurasia. Sekitar 65 juta tahun silam—masa sekitar punahnya dinosaurus—kedua kontinen itu mulai berpisah, perlahan-lahan membentuk tatanan seperti yang kita lihat sekarang ini.

Ada prediksi menarik: dalam 50 juta tahun dari sekarang, pantai barat Amerika Utara akan robek dari daratan utama (mainland), dan—ini dia—Australia akan bergerak ke utara dan bertubrukan dengan Indonesia. Sementara Afrika dan Asia akan terpisah di Laut Merah.

Riwayat menarik


Kini, ketika kita semakin mengakui pentingnya ilmu-ilmu alam, kebumian, baik juga dipikirkan cara untuk mengembangkan minat. Jangan sampai ironi yang ada sekarang ini berkepanjangan, di mana negara di Cincin Api hanya memiliki sejumlah kecil ahli, seperti hari-hari ini kita baca profilnya di harian ini. Mereka bekerja di sejumlah lembaga pendidikan dan penelitian seperti ITB, UGM, LIPI, dan BPPT.

Dengan frekuensi berita gempa yang tinggi akhir-akhir ini, terungkap pula sejumlah istilah dan teori fundamental dalam geologi, seperti intensitas gempa dalam skala Richter dan tentang lempeng tektonik.

Demi masa depan

Sebagaimana studi tentang hutan, iklim, atau vulkanologi, ilmuwan ahli gempa Indonesia punya peluang besar untuk berkontribusi dalam sains yang hebat ini karena Indonesia sering disebut sebagai laboratorium alam yang unik. Sumbangan ilmiah ini maknanya tidak saja sebatas pemerkayaan ilmu pengetahuan, tetapi juga terkait dengan masa depan manusia.

Dalam jangka dekat, peminat dan ilmuwan ahli gempa mungkin masih merasa tertantang untuk menjawab pertanyaan fundamental seperti ”dapatkah kita meramal terjadinya gempa?”

Saat ini jawabannya adalah ”mustahil” bila yang dimaksud adalah meramal ”hari, tanggal, dan jam berapa gempa akan terjadi”. Karena yang bisa diketahui baru wilayah mana yang akan terancam gempa dalam kurun 20-30 tahun mendatang, sebenarnya pekerjaan sudah menanti untuk menyiapkan segala sesuatunya. Tujuannya tidak lain untuk meminimalkan potensi kerusakan akibat gempa.

Mari kita sambut tantangan ilmu geologi untuk semakin memahami Bumi dan segala aktivitasnya. Kita yakin, dengan semakin bertambahnya ahli gempa, akan semakin nyaring suara yang mengingatkan bangsa Indonesia untuk selalu siaga menghadapi pergerakan lempeng tektonik jauh di bawah sana.

Rabu, 7 Oktober 2009 | 05:04 WIB
Oleh NINOK LEKSONO

KOMPAS.com —http://sains.kompas.com/read/xml/2009/10/07/05040146/ayo.belajar.geologi.dan.jadi.ahli.gempa

Tuesday, October 6, 2009

Masalah Bencana Masih di Urutan Nomor Sekian

Peta zonasi gempa dibutuhkan? Ketika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada sejumlah ahli kebumian yang terkait kegempaan, semua mengatakan: Iya. Jelas amat penting dan dibutuhkan.

Negeri ini merupakan negeri bencana (gempa) karena terletak di kawasan ring of fire. Wilayah Indonesia merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia, lempeng Pasifik, lempeng Indoaustralia, dan lempeng Eurasia.

”Peta seperti itu penting sekali,” ujar seismolog Sri Widiyantoro, pekan lalu. Dia mengungkapkan, pada awal 2009 ini, dia bersama sejumlah ahli dari berbagai keilmuan telah melakukan penelitian secara menyeluruh meliputi berbagai aspek kegempaan.

”Ini melibatkan banyak ahli, mulai dari ahli seismik, ahli teknik sipil, geolog—untuk meneliti jenis-jenis endapan setempat, dan banyak lagi,” tuturnya.

Menurut dia, peta tersebut akan sangat bermanfaat untuk upaya mitigasi.

”Laporan ini akan kami serahkan ke pemerintah pusat untuk direkomendasikan ke pemerintah daerah untuk dijadikan sebuah peraturan daerah sebagai arah pembangunan. Dari hasil ini masih dibutuhkan zonasi mikro di setiap daerah,” ujar Asisten Deputi Analisis Kebutuhan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi Edie Prihantoro yang dihubungi kemarin. Pemetaan zonasi gempa tersebut didanai oleh Kementerian Riset dan Teknologi.

Sri Widiyantoro mengungkapkan, para ahli teknik sipil nantinya harus menyesuaikan konstruksi bangunan dengan kondisi geologis dan struktur tanah setempat.

Disiapkan lama

Menurut Edie, peta zonasi gempa berdasarkan probabilistic seismic hazard analysis tersebut sebenarnya sudah dipersiapkan sejak lama.

”Sungguh sayang ketika kami baru saja selesai dan baru akan menyampaikan laporan akhir tahun ini, sudah duluan terjadi gempa di Padang,” ujar Edie. Laporan peta zonasi tersebut akan disampaikan pihak Kementerian Riset dan Teknologi kepada pemerintah pusat pada akhir tahun ini.

”Saat ini sedang dilakukan pewarnaan. Dari peta ini akan diketahui daerah mana yang paling rawan, tetapi masih membutuhkan zonasi mikro,” kata Edie.

Menurut Edie, pemetaan serupa akan segera dilakukan tahun depan begitu anggaran telah disetujui. ”Kami akan lanjutkan di bagian timur Indonesia,” katanya.

Dia berharap, segala jerih payah para ilmuwan tersebut ditanggapi sepadan oleh pemerintah daerah.

”Ini jelas amat dibutuhkan untuk mengarahkan pembangunan. Kalau tidak dianggap, karena pemerintah daerah sibuk mengejar pembangunan ekonomi. Padahal, ketika terjadi bencana, ekonomi akan ambruk juga,” ujarnya.

Dia menegaskan, ”Ini saatnya untuk mengingatkan bahwa negara ini bukan hanya gemah ripah loh jinawi (makmur sentosa) seperti selama ini kita
diajari di bangku sekolah. Itu merupakan periode yang hilang karena negara kita ini negara yang sangat rawan bencana.”(ISW)

Selasa, 6 Oktober 2009 | 03:29 WIB

Monday, October 5, 2009

Hutan Lindung Rusak

Banjir di Muara Batang Gadis Bukan karena Hujan

Kerusakan hutan yang terjadi di kawasan hutan lindung Sidoar-doar, yang masuk Taman Nasional Batang Gadis, diduga menjadi penyebab banjir bandang di enam desa di Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal.

Investigasi Tim Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut dan Komunitas Peduli Hutan Sumatera Utara (KPHSU) menemukan hutan di hulu lokasi bencana itu dikuasai oleh dua perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH), yakni PT Inanta Timber yang hingga kini izinnya belum dicabut dan PT Keang Nam yang izinnya dicabut tahun 2007. Kedua perusahaan itu merupakan milik keluarga Adelin Lis, buron kasus kehutanan.

Sebelumnya, satu perusahaan HPH, yakni PT Aek Gadis Timber, yang menguasai hutan produksi di kawasan itu. Perusahaan bekerja hingga tahun 1997. Perusahaan ini diduga belum menyentuh kawasan hutan lindung Sidoar-doar.

Namun, belakangan, setelah kayu di kawasan HPH habis, perusahaan diduga merambah kawasan hutan lindung. Citra Satelit SPOT 4 tahun 2007 menunjukkan, kawasan hutan lindung yang masuk kawasan hutan Sidoar-doar sudah rusak oleh pembangunan jalan produksi dan aktivitas penebangan. Tutupan hutan yang seharusnya hijau penuh bercak-bercak dan garis-garis putih yang artinya pohon telah ditebang atau kawasan hutan telah dibuat jalan. Ribuan titik longsor oleh aktivitas produksi secara kasatmata bisa terlihat.

Kerusakan juga meluas pada ribuan hektar kawasan hutan di luar konsensi HPH PT Inanta Timber yang juga masuk kawasan hutan Sidoar-doar. Padahal, kawasan itu adalah daerah tangkapan air mata air anak-anak Aek Parlampungan dan Aek Salebaru yang bermuara pada Sungai Batang Gadis.

Kerusakan hutan yang menumpuk akhirnya menimbulkan banjir bandang yang menewaskan 9 orang, menghilangkan 1 orang, dan membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal sebelum perayaan Idul Fitri bulan lalu.

”Pernyataan berbagai pihak bahwa banjir disebabkan intensitas hujan yang tinggi sangat disayangkan. Jika kondisi alam bagus, bencana alam bisa diminimalisasi. Banjir bandang ini terjadi tak murni karena bencana alam, tetapi bencana ekologis atau human error karena adanya aktivitas manusia di kawasan itu,” tutur Eksekutif Daerah Walhi Sumut Syahrul Manik Sagala.

Sekjen KPHSU Jimmy Panjaitan menambahkan, pemerintah diminta segera melakukan audit lingkungan secara menyeluruh terhadap aktivitas pemanfaatan hutan dan kerusakan di sekitar lokasi bencana. (WSI)

Senin, 5 Oktober 2009 | 03:50 WIB

Medan, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/03500437/hutan.lindung.rusak

24 Pulau di Indonesia Hilang, Ribuan Lainnya Terancam


Tercatat sebanyak 24 pulau kecil di Indonesia telah lenyap, baik akibat kejadian alam, maupun ulah manusia. Namun, itu belum seberapa. Yang lebih mengkhawatirkan, 2.000 pulau lain di Tanah Air juga terancam tenggelam akibat dampak pemanasan global. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI Freddy Numberi saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Widyatama (Utama) Bandung, Jumat (2/10). Acara kuliah umum ini dihadiri pula oleh Bupati Sorong Stepanus Malak dan civitas akademika Utama.

Freddy menyatakan, ke-24 pulau ini hilang akibat tsunami Aceh pada 2004, abrasi, dan kegiatan penambangan pasir yang tidak terkendali. Pulau-pulau ini di antaranya Pulau Gosong Sinjai di NAD akibat tsunami, Mioswekel di Papua akibat abrasi, dan Lereh di Kepulauan Riau akibat penambangan pasir. Pemanasan global, ucapnya, menjadi ancaman paling konkret dan berbahaya bagi pulau-pulau lain di Tanah Air.

Menurut analisis bersama Departemen Kelautan Perikanan RI dan PBB, pada tahun 2030, sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan lenyap. "Saya punya list-nya, tetapi tidak bisa diungkapkan di sini," ujarnya. Dikatakan Freddy, kenaikan permukaan laut bisa mencapai lebih dari 2 meter jika tidak ada penanganan serius dalam menghentikan laju pemanasan global.

Tidak hanya di pulau-pulau kecil, dalam simulasi dampak perubahan iklim, sebagian wilayah pesisir utara Jakarta akan tenggelam. "Bandara Soekarno-Hatta pun akan tenggelam jika tidak ada upaya serius mengurangi laju pemanasan global. Percaya sama saya, adik-adik sekalian kalau masih hidup di masa itu suatu hari akan mengingat omongan saya ini," ujarnya.

Ancaman tenggelamnya pulau akibat kenaikan permukaan laut, ucapnya, bukanlah isapan jempol. "Sekarang, telah betul-betul terjadi," ucapnya memberikan contoh negara Kepulauan Kiribati dan Tuvalu. "Presiden Kiribati telah meminta warga dunia untuk menampung warganya karena 'negeri' mereka telah hilang," tuturnya. Warga-warga dari negara yang berada di Samudra Pasifik ini telah ditampung di Australia dan Selandia Baru.



JUMAT, 2 OKTOBER 2009 | 12:18 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono



Saturday, October 3, 2009

Bersiap Menghadapi Bencana

Gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api adalah fenomena alam yang terus terjadi secara periodik di muka Bumi sepanjang masa. Dinamika kebumian ini dapat berdampak bencana manakala manusia tidak arif menghadapinya.

Kearifan manusia menghadapi bencana ini sesungguhnya telah ada sejak dulu sehingga muncullah rumah-rumah kayu dan berpanggung yang relatif aman dari guncangan gempa serta terjangan tsunami dan banjir.

Namun, dari waktu ke waktu kearifan nenek moyang itu luntur dimakan zaman. Rumah beton sebagai produk kemajuan bangsa asing dicontek dan menjadi simbol modernisasi dan kemapanan. Padahal untuk itu, ada seperangkat aturan dan persyaratan yang harus diikuti agar aman bermukim di dalamnya.

Ada sederet lagi kearifan tradisional lain yang juga tidak diindahkan, seperti mempertahankan hutan di perbukitan dan lereng serta memelihara rawa sebagai daerah resapan.

Pertambahan penduduk yang mau tidak mau ”memakan” daerah hijau semakin memperbesar potensi bencana dan jatuhnya korban jiwa apabila tetap bermodalkan sikap yang tidak arif dan tidak ramah lingkungan tersebut.

Sejak dulu ada sederet pekerjaan rumah yang belum terselesaikan hingga kini, menyangkut upaya penanganan bencana, terutama bencana gempa. Bahkan persoalan kebencanaan dari waktu ke waktu menjadi kian sulit antara lain karena desakan populasi penduduk yang tidak terkendali.

Kesiapan hadapi bencana

Dalam penanganan bencana dan membangun kesiapan masyarakat menghadapi bencana, menurut Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sugeng Triutomo, ada beberapa parameter yang harus dilihat, yaitu pembuatan undang-undang dan peraturan, pembentukan kelembagaan di pusat dan daerah, pendidikan dan pelatihan masyarakat, penyiapan infrastruktur dan sarana tanggap darurat, serta rehabilitasi dan rekonstruksi.

Diakui Sugeng, yang juga menjadi Direktur Eksekutif Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, tingkat kesiapan tersebut secara umum masih rendah. Dari segi materi pelatihan pembelajaran menghadapi bencana, misalnya, telah tersusun baik dan melibatkan kalangan peneliti, akademisi, dan organisasi massa nonpemerintah. Namun, sosialisasi dan diseminasinya masih sangat kurang.

Dari sisi kelembagaan BNPB sendiri masih dalam proses reorganisasi dan bebenah sejak menyandang nama baru. Perubahan satuan koordinasi pelaksana di daerah menjadi badan penanggulangan bencana daerah baru terlaksana di 18 provinsi dan 33 kabupaten.

Sementara itu, peta kerentanan bencana pun belum selesai disusun. Peta rawan bencana, seperti gempa, tsunami, tanah longsor, dan banjir, ujar Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional RW Matindas, sebenarnya telah ada, tetapi masih dalam skala yang kecil sekitar 1:50.000 hingga 1:25.000.

Menurutnya, peta tersebut harus diperdetail oleh pemerintah daerah dengan mengacu pada tingkat kegempaan di tiap lokasi. Langkah selanjutnya adalah menurunkannya pada penetapan building code atau kekuatan konstruksi bangunan dan peta tanggap darurat serta penataan ruang wilayah daerah. ”Saat ini belum ada daerah yang melakukan hal tersebut secara komprehensif dan terkoordinasi,” ujarnya.

Simulasi

Sejak tsunami Aceh, 26 Desember 2004, perhatian semua orang lebih besar pada upaya peringatan dini pada munculnya ancaman gelombang pasang yang menyertai gempa besar itu. Dengan demikian, kemudian dibangun jejaring peringatan dini tsunami yang dilengkapi sarana pemantau dan penyampai informasi ancamannya.

Pemerintah dan masyarakat Kota Padang termasuk yang siap menghadapi datangnya tsunami, dengan membuat peta evakuasi, menetapkan lokasi shelter, hingga melakukan simulasi bencana.

Namun, kenyataannya, ketika gempa besar itu benar-benar datang, meski hanya berlangsung beberapa menit, sudah menelan banyak korban jiwa. ”Masyarakat Kota Padang yang telah melakukan persiapan dan simulasi menghadapi bencana menanggung dampak yang demikian besar, bagaimana dengan daerah yang sama sekali tak melakukan kesiapsiagaan,” tutur Sugeng.

Faktor kekuatan struktur dan bahan bangunan tampaknya kurang mendapat perhatian tidak hanya ditemui di Padang, tetapi hampir di setiap daerah yang dilanda gempa tektonik.

Padahal di daerah-daerah yang rawan gempa besar, terbentang dari Aceh hingga Papua, bertumbuh kawasan permukiman hingga menjadi perkotaan. Gempa Padang hendaknya menjadi momentum bagi daerah lain untuk segera membangun kesadaran dan kesiapsiagaannya menghadapi bencana.

Sabtu, 3 Oktober 2009 | 03:51 WIB

Penulis: Yuni Ikawati

Wednesday, September 16, 2009

Rekonstruksi Pascagempa Ancam Kelestarian Hutan

BENCANA ALAM

Kerusakan akibat gempa di selatan Jawa Barat, 11 September lalu, menuntut pembangunan kembali. Namun, rekonstruksi pascagempa akan mendorong meningkatnya kerusakan hutan. Demikian menurut Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, Selasa (15/9).

”Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah penggunaan kayu pascagempa,” ujarnya.

Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional RW Matindas suatu kali memaparkan, pada peta kepadatan penduduk di Jawa, daerah yang masih berupa hutan hanya di 30 persen kawasan pesisir selatan Jawa Barat dan 75 persen di selatan Jawa Timur.

Menurut Elfian, kasus rekonstruksi Aceh harus menjadi pelajaran. Proses rekonstruksi di Aceh memunculkan masalah kerusakan hutan dan pembalakan liar. ”Proses rekonstruksi pascabencana harus berwawasan lingkungan,” ujarnya.

Dari analisis citra satelit terhadap kondisi hutan Aceh oleh Greenomics Indonesia, Agustus lalu terungkap terjadi penurunan cepat kualitas hutan pada kurun 2006-2008. Tutupan hutan Aceh berkurang 200.329 hektar selama tiga tahun itu.

Hal tersebut menyebabkan kerugian material 551,3 juta dollar AS per tahun dari potensi bisnis perdagangan karbon akibat terlepasnya cadangan karbon hutan Aceh yang tak kurang dari 50,08 juta ton.

Belum termasuk saat tanggap darurat dan rehabilitasi tahun 2005 saat tutupan hutan hilang 52.424 hektar. ”Mayoritas tegakan hutan alam Aceh yang hilang itu dieksploitasi secara ilegal,” ungkap Elfian.

Ia menilai, saat ini tercetak tiga rekor dunia baru sekaligus, yakni kehilangan tutupan hutan alam tercepat di dunia, pengguna kayu ilegal terbesar di dunia, dan sebagai penyumbang emisi karbon terbesar di dunia.

Rumah tradisional

Menurut Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Soen’an Hadi Poernomo, pembangunan kembali rumah-rumah dan bangunan yang rusak hendaknya mengacu pada konstruksi tahan gempa dan rumah tradisional yang terbukti kokoh. Menurut pemantauan, rumah yang selamat adalah yang berbentuk panggung.

Hal tersebut karena kaki-kaki rumah tradisional diganjal batu kapur berbentuk kotak, setinggi 30 cm-50 cm dari muka tanah. Model ini secara teoretis serupa dengan rumah pesisir yang ada di AS atau Jepang; ditopang oleh tiang terputus, disambung dengan impitan pelat baja yang kuat di kiri dan kanannya. Bangunan demikian, apabila terjadi gempa, akan hanya terayun.

Soen’an mengungkapkan bahwa rumah tradisional Jawa Barat seperti itu di Garut Selatan hanya rusak ringan, pecah genteng, dan perabotan. Adapun rumah beton atau tembok, yang kaku terpaku di dalam tanah, saat terkena goyangan akan menderita kerusakan parah, pecah, roboh, dan hancur.

Pemberdayaan masyarakat pascagempa, menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, merupakan hal penting.

Ia menunjuk pembangunan kembali Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pascagempa tektonik tahun 2006. Dalam dua tahun, Pemerintah Kabupaten Bantul dan masyarakatnya bersatu padu membangun kembali wilayah yang hancur akibat gempa. Menurut Surono, saat ini dampak bencana tersebut tidak tampak lagi. (YUN)

Saturday, September 12, 2009

KESIAPSIAGAAN BENCANA: Integrasi Data Ditargetkan Selesai pada Tahun 2011

Integrasi data untuk menunjang kesiapsiagaan bencana, terutama gempa bumi dan tsunami, ditargetkan selesai 2011. Sumber data berasal dari tiga instansi, yaitu Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

”Selama ini data terintegrasi didapat dari Japan Meteorological Agency dan Pasific Tsunami Warning Center,” kata Kepala Intergovernment Coordination Group for The Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System Jan Sopaheluwakan, Jumat (11/9) di Jakarta.

Dari ketiga instansi itu tersedia data pasang-surut berbagai pantai dari Bakosurtanal. Data berikutnya adalah data pemantauan perilaku laut, terutama tsunami, melalui buoy oleh BPPT.

Kemudian data kegempaan dari BMKG. Jan mengakui, untuk mewujudkan integrasi data tersebut butuh kooordinasi yang tidak mudah. Dicontohkan, data batimetri atau data tiga dimensi lapisan tanah bawah laut yang mestinya disediakan Bakosurtanal selama ini belum terwujud sepenuhnya. Data batimetri ini berperan menetapkan simulasi potensi tsunami akibat gempa.

Seperti dikemukakan Kepala Program Buoy Tsunami Indonesia Ridwan Djamaluddin dari BPPT, data perilaku laut yang direkam melalui sistem buoy tak dapat memberikan suplai data peringatan dini tsunami karena rusak akibat gejala alam atau pencurian komponennya. (NAW)

Tuesday, September 8, 2009

Satelit ALOS Tampilkan Dampak Gempa di Cianjur

Lokasi longsor di Desa Cikangkareng, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, akibat terjangan gempa bumi, Rabu (2/9), dapat dipantau oleh satelit ALOS-AVNIR2 (Advanced Land Observing Satellite-Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2) milik Jepang.

Data citra satelit tersebut diambil Jumat (4/9) kemudian dikirim oleh JAXA Sentinel Asia—Asian Disaster Reduction Center ke Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) berdasarkan permintaan lembaga riset ini. ”Data itu kami olah dan analisis dengan membandingkan kondisi lokasi gempa pada citra sebelum dan sesudah gempa,” ujar Totok Suprapto, Kepala Bidang Pemantauan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Lapan.

Menurutnya, citra satelit beresolusi 10 meter ini menunjukkan kawasan longsor terlihat pada kawasan hampir sepanjang 1 kilometer. Citra satelit ALOS mulai dimanfaatkan Lapan tahun 2006. Kelebihannya dibandingkan dengan satelit lain adalah pada penggunaan dua sistem sekaligus, yaitu optik dan radar. Selain itu, sensornya dapat diarahkan untuk merekam gambar lokasi tertentu. ”Dalam satu minggu minimal satu kali satelit ini melewati Indonesia,” tutur Totok. (YUN)

Senin, 7 September 2009 | 07:38 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/07/07384277/satelit.alos.tampilkan.dampak.gempa.di.cianjur

Monday, September 7, 2009

Napoleon Takluk Akibat Tragedi Gunung Tambora?

Tentara Prancis diadang cuaca buruk

Letusan Hebat Gunung Tambora Pada April 1815 Bukan Saja Melumat Dan Meluluhlantakkan Tiga Kerajaan Kecil Di Pulau Sumbawa.

Letusan hebat Gunung Tambora pada April 1815 bukan saja melumat dan meluluhlantakkan tiga kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Lebih dari itu, nun jauh di daratan Eropa, tepatnya di Belgia, pasukan tentara di bawah komando penguasa Prancis, Jenderal Napoleon Bonaparte harus bertekuk lutut di tangan Inggris dan Prussia.

Ya, tiga hari setelah Tambora meletus dahsyat, tepatnya pada 18 Juni 1815, pasukan Napolean terjebak musuh. Pasalnya, di sepanjang hari itu cuaca memburuk. Hujan terus mengguyur kawasan tersebut. Padahal, tentara Prancis itu sedang menuju laga pertempuran.

Akibat cuaca buruk, roda kereta penghela meriam terjebak lumpur. Semua kendaraan tak bisa melaju dengan mulus. Tanahnya licin, berselimutkan salju. Maklum, abu tebal dari letusan Gunung Tambora masih bertebaran di atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari yang jatuh ke bumi. 

Perang Waterloo itu menjadi kisah tragis bagi Napoleon. Kehebatan Napoleon dalam menundukkan musuh-musuhnya berakhir sudah. Ia pun menyerah kalah. 

Jenderal itu lalu dibuang ke Pulau Saint Helena, sebuah pulau kecil di selatan Samudra Atlantik. Di pulau terpencil itulah ia menghabiskan waktunya hingga meninggal dunia pada 1821 akibat serangan kanker.

Kenneth Spink, seorang pakar geologi berteori, bahwa cuaca buruk akibat letusan Gunung Tambora menjadi salah satu pemicu kekalahan Napoleon. Pada pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris (1996), Spink mengatakan bahwa letusan Gunung Tambora telah berdampak besar terhadap tatanan iklim dunia kala itu, termasuk cuaca buruk di Waterloo pada Juni 1815. 

Di Yogyakarta, letusan Tambora mengagetkan Thomas Stamford Raffles. Gubernur Jenderal Britania Raya di Jawa yang berkuasa pada tahun 1811-1816 itu tadinya mengira ledakan itu berasal dari suara tembakan meriam musuh. Wajar saja demikian karena ketika itu teknologi komunikasi (telegram) memang belum tercipta sehingga letusan itu tak bisa disampaikan ke berbagai penjuru daerah dalam waktu yang relatif cepat.

Takut diserang musuh, Raffles pun lalu mengirim tentara ke pos-pos jaga di sepanjang pesisir untuk siap siaga. Perahu-perahu pun disiagakan. Apa boleh buat, dugaan Raffles keliru. Tak ada serangan musuh.
b siswo

Minggu, 06 September 2009 00:57 WIB
Posting by : ardawibowo

Gunung Tambora: Letusannya tercatat sebagai bencana alam terbesar di dunia.

 Sebagian Dari Kita Tentu Belum Tahu Kalau Gunung Tambora Pernah Tercatat Sebagai Gunung Api Tertinggi Di Indonesia. Itu Terjadi Sebelum Gunung Tersebut Meletus Dahsyat Pada April 1815.

Sebagian dari kita tentu belum tahu kalau Gunung Tambora pernah tercatat sebagai gunung api tertinggi di Indonesia. Itu terjadi sebelum gunung tersebut meletus dahsyat pada April 1815. Ketika itu puncak Gunung Tambora mencapai ketinggian sekitar 4.300 meter di atas permukaan laut (dpl). Bandingkan dengan daratan tertinggi di Indonesia saat ini, yakni Puncak Jayawijaya, Papua, yang berketinggian sekitar 3.050 m dpl.


Usai Tambora meletus hebat, daratan di bagian puncak itu dimuntahkan ke berbagai arah. Akibatnya, ketinggian gunung api yang masih tersisa tinggal setengahnya, yakni sekitar 2.851 m dpl. 


Letusan yang amat mengerikan itu juga menyisakan sebuah kaldera yang sangat besar. Bahkan, menurut catatan, ukuran kaldera tersebut paling luas di Indonesia. Bayangkan, kaldera tersebut memiliki diameter sekitar 7 km, panjang maksimal 16 km, dan kedalaman 1,5 km. 


Kini, gunung api yang secara administratif berada di dua kabupaten; Dompu dan Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu meninggalkan kisah ajaib, bukan saja di Indonesia namun juga berdampak hingga ke berbagai penjuru dunia.

Sangat Mencekam


Tragedi itu bermula pada awal April 1815. Ketika itu kawasan di sekitar Gunung Tambora mulai bergetar. Getaran itu semakin menguat pada 10 April 1815, pukul 19.00 waktu setempat. Sejak saat itu hingga lima hari, ledakan Gunung Tambora mencapai klimaksnya. 


Pada malam hari, dari kejauhan Tambora memang benar-benar terang benderang lantaran api yang terus memancar dari puncak gunung tersebut. Suasananya sangat mencekam. Gunung itu seolah berubah menjadi aliran api yang sangat besar.


Pada saat bersamaan, letusan itu juga memuntahkan gas panas, abu vulkanik, dan batu-batu ke arah bawah sejauh 20 km hingga ke laut. Desa-desa di sekitar Tambora pun musnah dilalap aliran piroklastik tersebut.


Menurut Haris Firdaus dalam bukunya berjudul Misteri-misteri Terbesar Indonesia (2008), tiga kerajaan kecil hangus dan hancur terkena lahar dan material letusan Gunung Tambora. Ketiga kerajaan itu adalah Pekat yang berjarak sekitar 30 km sebelah barat dari Tambora. Lalu, Kerajaan Sanggar berjarak 35 km sebelah timur Tambora, dan Kerajaan Tambora berjarak 25 km dari gunung tersebut. 


Hampir semua penghuni di tiga kerajaan tersebut tewas. Hanya dua orang yang berhasil selamat. Padahal, lokasi ketiga kerajaan itu tadinya sudah diusahakan cukup aman dari dampak letusan gunung api.
Letusan Gunung Tambora juga membawa material longsoran yang sangat besar ke laut. Longsoran itu menimbulkan tsunami di berbagai pantai di Indonesia seperti Bima, Jawa Timur, dan Maluku. Ketinggian tsunami tersebut ditaksir mencapai 4 meter. 


Bukan hanya itu, ledakan dahsyat tersebut juga menebarkan abu vulkanik hingga ke Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bahkan bau nitrat juga tercium hingga ke Batavia (kini Jakarta). Hujan besar disertai jatuhnya abu juga terjadi. 


Menurut para geolog, letusan itu merupakan bencana alam terbesar sepanjang sejarah. Bayangkan, dibandingkan dengan letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada Agustus 1883, ledakan Gunung Tambora lebih dahsat empat kali lipatnya. 


Letusan Gunung Tambora itu terdengar hingga ke Pulau Sumatera, Makassar, dan Ternate sejauh 2.600 km. Abunya juga diterbangkan sejauh 1.300 km dengan ketinggian 44 km dari permukaan tanah. Volume debu ditaksir mencapai 400 km3.


Saking tebalnya debu-debu yang berterbangan di langit, sepanjang daerah dengan radius 600 km dari gunung tersebut terlihat gelap gulita selama dua hari. Maklum, sinar matahari tak mampu menembus tebalnya abu-abu tadi.


Daerah paling menderita tentu saja yang berdekatan dengan lokasi Gunung Tambora. Menurut ahli botani Swis, Heinrich Zollinger, dalam seketika letusan ini menewaskan sekitar 10.000 orang. 


Setelah itu, jumlah kematian karena kelaparan di Sumbawa mencapai 38.000 orang dan di Lombok 10.000 orang. Sumber lain menyebutkan, letusan itu telah menyusutkan populasi penduduk Sumbawa hingga tersisa hanya 85.000 orang.

Jumlah Korban Meluas


Bukan hanya itu. Jumlah korban tewas juga meluas hingga ke Pulau Bali, yakni mencapai 10.000 orang. Dampak berikutnya, sebanyak 49.000 orang tewas karena penyakit dan kelaparan.


Mengapa terjadi bencana kelaparan yang berkepanjangan? Ada beberapa alasan. Pertama, semua tumbuhan di Pulau Sumbawa ketika itu hancur total akibat tertutup abu tebal dan dilalap api. 


Kedua, selama dua minggu awan tebal masih menyelimuti daerah-daerah di sekitar Gunung Tambora, termasuk Bali. Dampaknya, banyak tanaman budidaya hancur dan gagal panen.


Ketiga, partikel-partikel abu itu dalam jangka waktu lama masih berada di atmofer dengan ketinggian 10 – 30 km. Akibatnya, siklus iklim menjadi tak menentu dan petani pun tidak bisa memanen tanaman budidayanya.
Kekacauan iklim juga melanda kawasan Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada. Setahun setelah letusan itu, pada 1816, kawasan tersebut mengalami tahun tanpa musim panas. Cuaca di kawasan tersebut berubah total. Maklum, partikel abu tadi masih membungkus atmosfer bumi sehingga menghalangi sinar matahari menerobos ke permukaan tanah. 


Paceklik pun melanda Kanada, AS, Inggris, dan lain-lain. Udara beku yang terjadi di negara-negara tersebut menghapuskan impian para petani. Penduduk pun kekurangan bahan makanan.


Dampak terparah dialami Irlandia. Di sana curah hujan dingin terjadi hampir sepanjang musim panas. Sekitar 65.000 orang mati kelaparan dan terkena wabah tipus. Wabah ini lalu menyebar ke Eropa dan menewaskan 200.000 orang. 


Letusan Gunung Tambora memang tragis. Letusan itu melenyapkan ratusan ribu manusia, baik mereka yang terkena dampak langsung maupun tak langsung. Kisah memilukan ini sesuai dengan nama Tambora yang berasal dari dua kata; ta dan mbora yang berarti ajakan menghilang.


Menurut mitos yang berkembang, masyarakat di sekitar gunung percaya, kabarnya ada sekitar 4.500 pendaki, pemburu, dan penjelajah yang hilang. Mereka itu tak pernah ditemukan di Gunung Tambora yang kini diselimuti hutan dengan aneka bunga anggrek yang sangat mempesona. b siswo



Minggu, 06 September 2009 01:57 WIB

Posting by : ardawibowo

Saturday, September 5, 2009

Mencari Cara Memprediksi Gempa Bumi

Apakah gempa bumi dapat diprediksi? Tantangan ini hingga kini belum terjawab. Namun, berbagai cara dilakukan, baik dengan menangkap fenomena alam maupun secara ilmiah. Belakangan ini tengah dicoba pengembangan deteksi kegempaan menggunakan gravimeter. Alat ini dilengkapi dengan sebuah sistem superkomputer yang disebut Superconducting Gravimeter (SG).

Bumi bukanlah benda statis, tetapi seperti mengalami dinamika. Pada inti atau mantelnya terjadi pasang surut atau pemuaian dan penyusutan. Proses ini dipengaruhi pula oleh tarik-menarik dengan planet di sekitarnya, terutama Matahari dan Bulan.

Perubahan kondisi Bumi ini dapat dipantau dengan parameter yang bekerja di dalamnya, seperti medan gravitasi, medan magnet, kelistrikan, suhu, porositas, atau kandungan air di permukaan tanah.

Dijelaskan Fauzi, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, tekanan lempeng menyebabkan penekanan rongga-rongga di lapisan Bumi. Hal ini menyebabkan keluarnya air ke permukaan.

Sejak September tahun lalu Stasiun Pengamatan Gaya Berat Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) bekerja sama dengan perguruan tinggi di Jepang menerapkan Superconducting Gravimeter (SG).

Parluhutan Manurung, Kepala Bidang Medan Gaya Berat dan Pasang Surut Bakosurtanal menjelaskan, alat ini merupakan bagian dari Global Geodynamics Project (GCP).

Keberadaan stasiun ini di Indonesia sangat penting karena merupakan satu-satunya di khatulistiwa dan kawasan tektonik paling aktif di dunia. Jumlah alat ini terbatas, hanya 25 unit yang tersebar dalam jejaring Stasiun SG Global.

Alat GCP berfungsi memonitor terus-menerus perubahan medan gaya berat atau gravitasi Bumi dari detik ke detik hingga tahunan. Alat ini memantau sinyal perubahan nilai gaya berat secara kontinu selama enam tahun sampai diperoleh empat parameter.

Sejak teori gravitasi dilontarkan Isaac Newton 300 tahun lalu, pemahaman tentang gravitasi meningkat dan dikembangkan sistem pemantauan fenomena gravitasi Bumi. Sistem itu lalu dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi, mencari sumber daya mineral dan minyak bumi.

Superconducting Gravimeter merupakan alat pengukur perubahan gaya berat atau gravitasi Bumi dengan kepekaan sangat tinggi—fraksi satu permiliar kali atau nano Gal. Dengan kemampuan ini, alat yang ditempatkan di permukaan Bumi itu dapat menangkap sinyal peubah mulai dari aktivitas inti Bumi hingga ke permukaan Bumi.

Alat ini mampu memantau sinyal perubahan gaya berat atau gelombang gravitasi yang disebabkan oleh aktivitas inti Bumi dan pengaruhnya terhadap gravitasi di permukaan hingga diperoleh gambaran tentang dinamika Bumi.

SG memiliki keunggulan, yaitu dapat memantau perubahan gravitasi dengan kepekaan yang tinggi dan memberi gambaran interaksi perubahan massa atmosfer sesuai kondisi cuaca.

Selain itu, digunakan untuk memantau perilaku kerak bumi yang dipengaruhi konstelasi Bumi terhadap planet lain yang berperan dalam memicu gempa bumi. Alat ini dapat mendeteksi gempa kecil dan besar.

Sistem SG yang terpasang di Kantor Bakosurtanal Cibinong, sejak September 2008 dapat memantau gempa Gorontalo, Desember tahun lalu, dan gempa Tasikmalaya, Rabu (2/9).

Pengukuran gaya berat di Indonesia, ujar Kepala Bakosurtanal Rudolf W Matindas, telah lama dilakukan oleh perusahaan minyak di Jawa dan Sumatera. Namun, cakupannya tergolong sempit.

Data itu selama ini dirahasiakan perusahaan itu karena dapat mengungkap kondisi lapisan permukaan Bumi yang memiliki cekungan minyak. Sementara itu, di luar Pulau Jawa dan Sumatera boleh dibilang hingga kini minim data gaya berat, bahkan Papua masih tergolong blank area.

Penyediaan data gaya berat secara nasional untuk keperluan pembangunan di daerah dilakukan Bakosurtanal dengan menggandeng Denmark Technical University.

Untuk mempercepat survei gravitasi ini dipilih wahana pesawat terbang, yang menurut Koordinator Survey Airborne Gravity Indonesia (SAGI) 2008 Fientje Kasenda, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan survei di darat atau teresterial dan satelit.

Dengan pesawat terbang, jangkauan lebih luas dan cepat untuk medan yang berat, seperti hutan, pegunungan, dan perairan dangkal hingga pesisir.

Selain itu, juga ada kesinambungan data antara laut dan darat. Resolusi data lebih baik dibandingkan dengan data satelit. Biaya pun lebih rendah.

Dalam program Bakosurtanal, tutur Matindas, SAGI tahap pertama dilakukan di seluruh Sulawesi yang topografinya kompleks. Diharapkan, survei gaya berat dan pembuatan peta seluruh Indonesia ini selesai 2012.

Jum'at, 04 September 2009

Penulis: Yuni Ikawati

Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/03025759/mencari.cara.memprediksi.gempa.bumi


 

Pendidikan Kesiagaan Bencana Sangat Minim

Pendidikan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam sangat minim diajarkan di sekolah-sekolah. Akibatnya, siswa tidak banyak tahu cara bertindak yang tepat saat terjadi bencana. Padahal, pengetahuan ini sangat penting untuk mengurangi risiko saat terjadi bencana alam.

S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (4/9), mengatakan bahwa kurikulum pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah minim berorientasi kepada kehidupan.

”Pembelajaran di kelas difokuskan pada penguasaan ilmu semata, bukan bagaimana mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Hamid Hasan.

Akibatnya, setiap kali terjadi bencana, seperti gempa bumi, banjir, atau kebakaran, siswa terbiasa panik yang bisa mengancam keselamatan mereka.

”Pembelajaran kesiapsiagaan menghadapi bencana itu tidak mesti dalam mata pelajaran khusus. Itu bisa diajarkan di mata pelajaran apa saja, misalnya Geografi. Yang penting, siswa diajarkan terus-menerus,” ujarnya.

Minim di buku pelajaran

Hari Risnanda, guru Ilmu Pengetahuan Sosial SMP di Jakarta, menyatakan, pembelajaran soal peringatan dini atau early warning system menghadapi bencana di buku pelajaran sekolah memang minim. Untuk itu, guru yang perlu berinisiatif untuk bisa menambah pengetahuan siswa soal bagaimana prosedur penyelamatan diri yang benar ketika terjadi bencana.

”Pembelajaran bagaimana menghadapi bencana biasanya terbatas, pas ada materi pelajaran itu saja. Lagi-lagi itu tergantung gurunya, apa cuma sebatas pengenalan jenis-jenis gempa atau juga secara rinci menyampaikan panduan bagaimana bersikap saat terjadi gempa,” tutur Hari.

Loula Maretta dari Green Education mengatakan bahwa sekolah perlu membangun pembiasaan menghadapi bencana, mulai dari gempa bumi, kebakaran, hingga kerusuhan. Karena Indonesia rawan bencana alam, setiap warga negara, termasuk siswa, mesti tahu bagaimana cara bisa meloloskan diri secara tepat supaya tidak menambah korban bencana.

”Di sekolah-sekolah alam, pelajaran dan pelatihan menghadapi bencana itu selalu dilakukan. Dengan demikian, siswa tidak panik dan bisa mengambil langkah tepat saat terjadi bencana,” kata Loula. (ELN)

Sabtu, 05 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/03205499/pendidikan.kesiagaan.bencana.sangat.minim

Mengurangi Risiko Kecelakaan akibat Gempa

Kesiapsiagaan terhadap risiko gempa bumi makin tak terelakkan. Selama periode 2004-2009 gempa menimpa berbagai wilayah, membentang dari Aceh hingga Papua, serta merenggut jiwa dan kerugian material yang tidak sedikit.

Akhir 2004 ditandai gempa berkekuatan 9,3 skala Richter di wilayah Aceh-Andaman hingga menewaskan sekitar 300.000 penduduk Aceh dan Laut Andaman. Disusul tiga bulan kemudian, Maret 2005, gempa di Nias menewaskan lebih dari 1.000 orang.

Rentetan berikutnya, antara lain Juni 2006 gempa di Yogyakarta yang menewaskan lebih dari 6.000 jiwa. Berselang satu bulan kemudian gempa dengan tsunami terjadi di Pangandaran.

Pada 2007 beruntun, antara 1 hingga 12 September gempa relatif besar terjadi di Bengkulu dan Kepulauan Mentawai. Pada awal 2009 juga terjadi gempa berkekuatan 7,6 skala Richter di Sorong, Papua Barat.

Terakhir kali, gempa di Tasikmalaya, Jawa Barat, berkekuatan 7,3 skala Richter beberapa hari lalu. Rentetan peristiwa gempa tersebut menunjukkan bahwa kini saatnya untuk makin gencar bertindak mengurangi risiko kecelakaan akibat gempa.

Kunci utamanya, pertama, mengenali fenomena alam gempa bumi itu sendiri, kedua, mengenali ancaman risiko gempa terhadap lokasi tempat tinggal, serta ketiga, mengenali struktur rumah dan mengupayakannya agar tahan gempa.

Mengenali fenomena gempa, berarti sekaligus tahu dampak-dampaknya. Tanah longsor dan amblas atau terbelah merupakan dampak ikutan dari gempa. Selain itu, yang tinggal di pantai juga harus mengantisipasi terjadinya tsunami.

Mengenali gejala tsunami, seperti tiba-tiba air laut surut, penting sekali untuk diketahui agar terhindar dari terjangan gelombang besar yang datang kemudian.

”Kondisi korban gempa semakin banyak yang berada di permukiman karena tertimpa struktur bangunan,” kata Hengki Wibowo Ashadi, dosen Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jumat (4/9).

Menurut dia, yang amat penting sekarang adalah pengetahuan untuk mengenali cara-cara mengurangi risiko kecelakaan akibat gempa. Menurut Hengki, yang terpenting diupayakan adalah mewujudkan bangunan tahan gempa. ”Semestinya itu bisa dimasukkan ke dalam peraturan daerah,” ujarnya. Selain itu, juga harus tahu bagaimana bersikap atau bertindak tepat sebelum dan saat terjadi gempa.

Direktur Eksekutif Humanitarian Forum Indonesia Hening Parlan sebagai salah satu anggota dari Platform Nasional, sebuah forum multistakeholders yang melakukan koordinasi suportif bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengatakan, ”Penanggulangan bencana sekarang belum menjadi terpenting. Fokusnya adalah sikap individual menghadapi bencana. Selama ini kita pada umumnya masih bertindak sesuai refleks. Jadi kesiapsiagaan itu penting sampai ke individu-individu.”(NAW/ISW)

Sabtu, 05 September 2009

Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/0316395/mengurangi.risiko.kecelakaan.akibat..gempa

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...