Showing posts with label Emisi Karbon. Show all posts
Showing posts with label Emisi Karbon. Show all posts

Saturday, March 20, 2010

Emisi Kota Capai 75 Persen Jakarta Berkelanjutan Belum Terlambat

Emisi kota-kota di dunia cukup tinggi, yaitu hingga 75 persen. Indonesia pun terlibat dalam pengembangan pola pikir baru serta kebijakan inovatif untuk mewujudkan kota berkelanjutan bersama negara Asia-Pasifik lainnya.

”Selama tiga hari ke depan, pertemuan ini untuk mengembangkan blue print atau acuan serta peta jalan mewujudkan kota-kota berkelanjutan,” kata Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Global dan Kerja Sama Internasional Liana Bratasida, saat Pertemuan Pejabat Tingkat Menteri Lingkungan Hidup anggota ASEAN beserta enam negara Asia-Pasifik lainnya, Selasa (2/3), di Jakarta.

Keenam negara Asia-Pasifik tersebut meliputi Jepang, China, Republik Korea, India, Australia, dan Selandia Baru. Kegiatan berlangsung pada 2-4 Maret 2010.

Sebanyak tujuh kota ditunjuk sebagai materi pembahasan studi kasus kota berkelanjutan, di antaranya Balikpapan, Jakarta Pusat, dan Palembang di Indonesia. Kota lainnya adalah Kitakyushu dan Nagoya di Jepang, Sibu (Malaysia), serta Puerto Princesa (Filipina).

Selain bertujuan membentuk blue print kota berkelanjutan di wilayah Asia-Pasifik, pertemuan itu juga untuk mewujudkan kerja sama dan menjalin jaringan yang menguntungkan.

”Ada tiga indikator yang harus diwujudkan, yaitu clean air(udara bersih), clean water (air bersih), dan clean land (tanah bersih),” ujar Liana.

Pada pembukaan kegiatan itu kemarin, hadir memberikan sambutan Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Jepang Hikaru Kobayashi, mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, dan Ryoiki Hirono dari Universitas Seikei, Jepang.

Hatta menekankan pentingnya pemerintah kota mengembangkan kerja sama untuk mewujudkan konsep kota hijau dan berkelanjutan. Pemerintah kota memegang peranan paling penting untuk pengendalian pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim.

Kota Jakarta

Emil Salim di dalam konferensi pers mengemukakan, wilayah Jakarta Pusat menjadi salah satu studi kasus dalam pembahasan kota berkelanjutan. Wilayah kota yang menjadi pusat ibu kota Republik Indonesia saat ini dihadapkan pada kondisi buruknya saluran air. Akibatnya, saat hujan deras, hanya dalam waktu singkat terjadi banjir.

”Dalam waktu 10 hingga 15 tahun ke depan, Jakarta belum tenggelam. Kesempatan itu cukup untuk mencegah supaya Jakarta tetap tidak tenggelam,” kata Emil Salim.

Menurut Emil, terdapat tiga persoalan paling penting untuk segera ditangani dalam mewujudkan Jakarta sebagai kota berkelanjutan. Ketiga hal itu adalah persoalan sampah, sungai, dan penghijauan.

”Surabaya dan Kitakyushu di Jepang memiliki pola yang sama dalam hal penanganan sampah yang baik,” kata Emil.

Hikaru Kobayashi menerangkan, persoalan sampah ditangani Jepang secara saksama. Bahkan, berbagai jenis sampah yang tidak bisa ditangani negara tertentu dapat diatasi di Jepang. ”Sampah di Jepang pada umumnya diupayakan supaya bisa dipergunakan kembali,” kata Kobayashi.

Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Hermien Roosita dalam konferensi pers itu menyatakan, berkaitan dengan sampah, Indonesia tetap memegang aturan pelarangan impor sampah yang mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3).

”Itulah tujuan kita meratifikasi perjanjian Basel untuk melindungi diri dari limbah B3,” ujar dia.

Pemerintah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, satu di antara tujuh kota yang digunakan untuk studi kasus kota berkelanjutan, disebutkan memiliki target melindungi 52 persen area hijau pada tahun 2030.

Selebihnya, kota-kota lainnya menempuh target dengan mereduksi emisi karbon melalui pemanfaatan sumber energi terbarukan, penanaman pohon, dan pengembangan manajemen sampah. (NAW)

Tuesday, February 9, 2010

Jurus Baru Melumat Metana

Bioproses

Pemanasan global akibat akumulasi gas-gas di atmosfer, di antaranya metana, menimbulkan efek lanjutan, yaitu perubahan iklim dan kondisi lingkungan bumi yang memburuk. Selama ini perhatian banyak dipusatkan untuk menekan gas karbon.

Padahal, metana-lah yang menjadi penyebab terbesar pemanasan global. Maka, belakangan sasaran mulai diarahkan pada gas yang satu ini.

Sumber gas metana atau CH ada di mana-mana, bukan hanya dari rawa atau lahan basah. Gas metana juga bisa muncul akibat aktivitas manusia, mulai dari toilet di rumah tangga, lahan pertanian, dan peternakan, hingga tempat pembuangan sampah. Namun, penghasil metana paling menonjol adalah sektor pertanian dan peternakan.

Seperti dilaporkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006, dari industri peternakan tercatat emisi gas penyebab efek rumah kaca paling dominan adalah metana (37 persen), sedangkan karbon dioksida (CO) hanya 9 persen. Masih menurut FAO, dalam lingkup global pun industri peternakan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) tertinggi, yaitu 18 persen, bahkan melebihi emisi gas yang berasal dari sektor transportasi, yang hanya 13 persen.

Mulai bangkit

Volume metana yang melingkupi permukaan bumi mungkin belum seberapa. Di perut bumi dan dasar laut kutub utara terkubur 400 miliar ton gas ini, atau 3.000 kali volume yang ada di atmosfer. Namun, lambat laun gas dari permafrost ini mulai bangkit dari kuburnya akibat dieksploitasi untuk sumber energi. Selain itu, pencairan es juga terjadi di kutub karena pemanasan global.

Kondisi ini jelas memperburuk efek GRK karena potensi gas metana 25 kali lipat dibandingkan CO. Kalkulasi tersebut berdasar pada dampak yang ditimbulkannya selama seabad terakhir. Namun, penghitungan jumlah rata-rata metana dalam 20 tahun terakhir meningkat 72 kali lebih besar dibandingkan dengan CO.

Bila itu terjadi, ancaman kepunahan spesies di muka bumi akan membayang, seperti yang pernah terjadi pada masa Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM) 55 juta tahun lalu dan pada akhir periode Permian sekitar 251 juta tahun lalu.

Lepasnya gas metana dalam jumlah besar mengakibatkan turunnya kandungan oksigen di muka bumi ini hingga mengakibatkan punahnya lebih dari 94 persen spesies di muka bumi.

Dr Kirk Smith, profesor kesehatan lingkungan global dari Universitas California, Amerika Serikat, mengingatkan adanya ancaman gas ini. Saat ini dunia memfokuskan strategi pada pengurangan emisi CO tetapi sedikit yang berkonsentrasi pada pengurangan emisi metana. Padahal, metana tergolong gas berbahaya, bukan hanya menimbulkan efek GRK yang nyata, melainkan juga membantu terbentuknya lapisan ozon di permukaan tanah yang membahayakan bagi kesehatan manusia.

Kandungan metana yang tinggi akan mengurangi konsentrasi oksigen di atmosfer. Jika kandungan oksigen di udara hingga di bawah 19,5 persen, akan mengakibatkan aspiksi atau hilangnya kesadaran makhluk hidup karena kekurangan asupan oksigen dalam tubuh. Meningkatnya metana juga meningkatkan risiko mudah terbakar dan meledak di udara. Reaksi metana dan oksigen akan menimbulkan CO dan air.

Pelumat metana

Upaya menekan emisi metana ke atmosfer belakangan mulai gencar dilakukan di negara yang memiliki lahan padi sawah terbesar, yaitu India dan China. Indonesia pun tak ketinggalan.

Salah satu caranya adalah dengan menerapkan sistem budidaya yang disebut dengan System of Rice Intensification (SRI). Pola budidaya padi tersebut bertujuan untuk mengurangi pemberian air pada lahan sawah. Karena diketahui, dengan kondisi air terbatas, produksi gas metana oleh mikroba anaerob berkurang.

Sistem bercocok tanam ini diperkenalkan pertama kali oleh misionaris dari Perancis, Henri de Laulanie, di Madagaskar tahun 1983. Pola bertanam padi ini lalu dikembangkan Prof Norman Ufhop dan akhirnya disebarkan ke Asia, seperti India, Pakistan, Sri Lanka, Banglades, China, Vietnam, dan Indonesia.

Pada SRI, dengan mengurangi air dan benih berkisar 40 sampai 80 persen, panen padi justru dapat meningkat 50 hingga 70 persen dibandingkan cara konvensional yang berkisar 4 hingga 5 ton per hektar. Kini, lebih dari 13.000 petani sudah menerapkan SRI pada lahan sekitar 9.000 hektar.

”Bila SRI diaplikasikan pada seluruh sawah di Indonesia yang luasnya 11 juta hektar, selain tercapai peningkatan produksi padi, emisi metana juga dapat diturunkan dalam jumlah sangat signifikan,” kata peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), I Made Sudiana.

Upaya menekan emisi metana dari lahan persawahan juga ditempuh Sudiana dengan mencari mikroba yang berperan dalam melepaskan metana ke atmosfer dan yang mengoksidasi metana. Di lahan persawahan konvensional yang tergenang air ditemukan mikroba metanogen yang anaerob atau bekerja dalam kondisi tanpa udara. Bakteri ini menghasilkan gas metana.

Emisi gas metana di sawah pada sistem SRI ternyata juga dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang ada dalam usus cacing tanah (Aporrectodea caliginosa, Lumbricus rubellus, dan Octolasion lacteum), yaitu saat cacing tanah membuat lubang untuk meningkatkan aerasi tanah sawah.

Dalam penelitiannya bersama peneliti dari Universitas Tokyo dan Otsuka di Sukabumi ditemukan, komunitas mikroba pesaingnya, yaitu metanotropik yang mengonsumsi atau mengoksidasi gas metana, menjadi metanol. Maka, untuk menekan emisi gas metana yang dihasilkan metanogen harus ditambahkan gipsum (CaSO. 2HO) yang dapat menstimulasi pertumbuhan metanotropik—kompetitornya.

”Dengan begitu, pertumbuhan mikroba metanogen tertekan,” kata Sudiana, yang meraih doktor bidang dinamika populasi mikroba dari Universitas Tokyo, Jepang.

Lebih lanjut di laboratorium milik Puslit Biologi LIPI di Cibinong, Sudiana berhasil mengisolasi tiga gen pada mikroba metanotropik. Isolasi berlangsung selama dua bulan. Inokulan yang ditemukan tahun lalu itu disebut Metrop 09 dan menjadi koleksi kultur lembaga riset ini.

Inokulan Metrop masih memerlukan pengujian stabilitas selama setahun ini untuk memastikan respons gen tidak berubah jika berada di lingkungan yang berbeda.

”Nantinya inokulan tersebut dapat dikembangbiakan dan diaplikasikan pada pupuk hayati sebagai mikroba konsorsium,” ujar Sudiana.

Dengan pupuk hayati plus itu, akan dihasilkan tanaman yang berproduktivitas tinggi, tetapi minim produksi metana.

Penulis: Yuni Ikawati
Jakarta, 09 Februari 2010
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/09/03284297/jurus.baru.melumat.metana

Tuesday, September 8, 2009

Walhi : 3.626 Ha Hutan dan Lahan Terbakar

Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan, hingga Agustus 2009 jumlah lahan dan hutan terbakar di Indonesia mencapai 3626,4 ha. Walhi juga mendeteksi adanya 24.176 titik api di seluruh Indonesia, di mana yang tertinggi berada di Kalimantan Barat.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Berry Nahdian Furqan menjelaskan, pembakaran lahan dan hutan ini terjadi setiap tahun seolah-olah menjadi imun, sehhingga ia menyebutnya sebagai “ulang tahun”pembakaran hutan.

Walhi juga mensinyalir ada sekitar 44 perusahaan perkebunan kelapa sawit, baik sengaja maupun tidak sengaja, menjadi pelaku pembakaran lahan dan hutan di Kalimantan Barat. Sekitar 15 perusahaan masing-masing di Riau dan Kalimantan Tengah juga menjadi pelaku kasus serupa.

Kebakaran tahunan, ungkap Berry, telah berdampak buruk pada sektor ekologi, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Oleh karenanya, perlu tindakan serius dari pemerintah untuk dapat menjerat pelaku pembakaran hingga ke pemilik konsesi.

“Harapannya ke depan ada aturan yang tegas bahwa pemilik konsesi itu harus bertanggung jawab terhadap wilayah konsesinya. Terlepas siapapun yang membakar atau terjadi kebakaran yang disengaja atau tidak disengaja,” ungkap Berry dalam acara Diskusi Terbatas 'Fenomena Kebakaran Hutan di Indonesia' di Jakarta, Selasa (08/09).

Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) bidang kehutanan Prof.Bambang Hero Saharjo menyatakan banyak hal yang menyebabkan kebakaran hutan di Indonesia tetap lestari. Penyebabnya antara lain political will pemerintah dan penegakan hukum yang lemah, kurangnya koordinasi dan SDM yang mengerti permasalahan, serta minimnya pendekatan kepada masyarakat.

Bambang juga membeberkan kebakaran hutan terparah di Indonesia adalah tahun 1997-1998 saat terjadi  gelombang besar el nino. Saat itu, jutaan lahan terbakar menyumbang 58 persen karbondioksida dunia sehingga Indonesia menempati posisi ketiga penghasil CO2 terbesar. Asap hasil pembakaran bahkan 50 kali lebih besar dibandingkan serangan Irak pada kilang minyak Kuwait 1991.

“Kesimpulannya adalah data dan fakta membuktikan dan semua bisa merasakan bahwa pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak cukup hanya dengan jargon belaka, tetapi harus benar-benar dilaksanakan kalau memang menginginkan lingkungan hidup yang lebih baik dan kredibilitas pemerintah yang bertanggung jawab.” lanjut Bambang.

Selasa, 8 September 2009 | 15:44 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/15440098/walhi..3.626.ha.hutan.dan.lahan.terbakar

Tuesday, September 1, 2009

30 Hektar Hutan Lindung Terbakar

Kebakaran hutan lindung blok Cirompang gunung Putri Garut, sejak Senin (31/8) siang mencapai 30 hektare lebih.

Kepala Dinas Kehutanan setempat Ir Eddy Muharam didampingi Kepala Seksi Pengawasan Hutan, Suroto, Senin, menyatakan, terjadinya peristiwa tersebut diduga kuat akibat pembakaran semak belukar pada lahan milik penduduk, yang dijadikan lahan berkebun.

"Lahan milik penduduk itu, letaknya bersebelahan dengan pinggir kawasan hutan lindung yang banyak terdapat pohon pinus bahkan termasuk wilayah Cagar Alam (CA)Kamojang," katanya.

Hingga sore sejumlah aparat Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat di Garut, masih berada di lokasi kejadian, yang terus berupaya keras melakukan pemadaman agar kobaran apinya tidak semakin meluas.

"Adanya sumber api sekecil apapun pada kawasan hutan berketinggian ribuan meter diatas permukaan laut ini, dapat menimbulkan kobaran api sangat besar, terutama di musim kemarau yang kering kerontang dengan tiupan angin kencang," ungkap petugas BKSDA setempat, Sobari, menambahkan.

Kawasan yang termasuk hutan lindung gunungapi Guntur tersebut setiap musim kemarau panjang kerap terjadi kasus kebakaran.

Terutama pada hutan sekitar lereng gunung api, selama ini bisa diakibatkan pecahnya bebatuan tertimpa sangat panasnya sengatan sinar matahari kemudian memercikan api, kerap menjadi sumber kobaran api pada rumput alang-alang kering sekitarnya.

Sementara itu, penyebab lainnya juga bisa akibat bekas api unggun yang belum sepenuhnya padam karena di wilayah lereng gunung ini masih sarat dilakukan penambangan pasir dan batu, juga terdapat beberapa tenda untuk istirahat.

Namun menurut kepercayaan masyarakat, yang bermukim di kaki gunung api Guntur itu selama ini menyebutkan, jika sering terjadi kebakaran di gunung itu sebagai pertanda akan segera turun hujan.

"Sehingga banyak sumber di sekitarnya menyebutkan, terdapat kemungkinan sengaja dibakar agar segera turun hujan," katanya.

Senin, 31 Agustus 2009 | 17:36 WIB
GARUT, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/31/17365540/30.hektar.hutan.lindung.terbakar

Friday, August 28, 2009

Indonesia Mampu Sumbang 2,3 Giga Ton Per Tahun

EMISI KARBON

Hasil analisis 150 ahli emisi karbon terhadap enam sumber emisi, terhitung emisi karbon Indonesia pada 2005 mencapai 2,3 giga ton per tahun. Jika tidak dilakukan kebijakan pencegahan, pada tahun 2030 emisi karbon Indonesia diperkirakan menjadi 3,6 giga ton per tahun.

Emisi karbon tahun 2005 itu menempatkan Indonesia sebagai emiter terbesar ketiga di dunia, setelah China dan Amerika Serikat. Jejak karbon di atmosfer sejak era industrialisasi, sumbangan AS dan negara maju masih jauh lebih besar daripada negara di kawasan Asia.

”Dengan kebijakan mitigasi yang didukung dunia internasional, Indonesia mampu berperan besar menurunkan emisi karbonnya,” kata Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim yang juga Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, pada peluncuran ”Kurva Biaya Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia”, yang dihadiri sejumlah wartawan media nasional dan asing di Jakarta, Kamis (27/8).

Hingga tahun 2030, hasil penelitian yang dilakukan konsultan internasional yang digunakan di 15 negara itu, Indonesia berpeluang menurunkan emisi karbon 2,3 giga ton atau 2,3 miliar ton. Jika terwujud, tahun 2030 emisi karbon Indonesia tersisa 1,3 giga ton per tahun.

”Hasil penelitian ini menjadi tantangan bagi para pengambil kebijakan pada masa depan,” kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo. Peluang penurunan emisi ada di enam sektor, yakni kehutanan dan lahan gambut, energi, transportasi, pertanian, semen, serta gedung.

Kehutanan terbesar

Dari keenam sektor, potensi terbesar pengurangan emisi yaitu dari sektor kehutanan dan lahan gambut, di antaranya melalui pencegahan konversi hutan (deforestasi), penanaman kembali, dan rehabilitasi lahan gambut.

Emisi dari pembukaan hutan dan lahan gambut mencapai 80 persen emisi nasional. Oleh karena itu, Indonesia berkepentingan agar mekanisme reduksi emisi akibat deforestasi dan degradasi lahan (REDD) diadopsi dalam rezim baru pasca-Protokol Kyoto di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009.

Sejumlah langkah murah mereduksi emisi, di antaranya perbaikan mesin pembakaran internal kendaraan umum, menggunakan bola lampu hemat energi (LED), dan menggunakan peranti elektronik yang lebih efisien.

Acuan nasional

Rachmat Witoelar mengatakan, penelitian McKinsey yang digarap empat bulan itu akan dijadikan acuan nasional. Di antaranya akan dibawa dalam beberapa forum menteri lingkungan, para pemimpin G-20, dan pertemuan tingkat tinggi yang akan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di New York, Amerika Serikat, September 2009.

Meski demikian, seperti dikatakan Agus Purnomo, hasil penelitian itu lebih banyak digunakan untuk kepentingan dalam negeri. Tidak ada kaitannya dengan komitmen Indonesia di Kopenhagen pada Desember mendatang.

”Indonesia tidak berniat mengurangi emisi seperti target negara-negara Annex-I (negara maju). Mereka wajib mengurangi emisi dalam jumlah besar (deep cut),” katanya. (GSA)

Thursday, August 27, 2009

2030, Indonesia Potensi Kurangi 60 Persen Emisi Karbon

Indonesia berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 60 persen hingga tahun 2030 dengan menggabungkan kebijakan lingkungan hidup yang tepat dan dukungan internasional.

Perubahan kebijakan dan kelembagaan di sektor kehutanan, pembangkit listrik, transportasi, dan pengelolaan lahan gambut merupakan peluang bagi Indonesia untuk beralih ke jalur ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Demikian paparan Menteri Lingkungan Hidup dan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar kepada para wartawan, Kamis (27/8) di Jakarta. Data ini merupakan hasil kajian sementara DNPI tahun ini.

"Indonesia mengakui adanya ancaman yang dihadapi semua bangsa dari pemanasan global, dan akan mengupayakan pengurangan emisi dalam negeri sepanjang hal tersebut sesuai dengan tujuan pembangunan nasional," ujar Rachmat.

Data DNPI menunjukkan, jumlah emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2005 mencapai 2,3 giga ton. Emisi ini akan meningkat sebesar 3,6 giga ton pada 2030 apabila tidak terdapat perubahan dalam cari pengelolaan di beberapa sektor.

Indonesia sendiri, salah satunya, akan fokus pada sektor kehutanan, pertanian, transportasi, bangunan, dan semen. Dari sektor ini, Indonesia berpeluang mengurangi gas rumah kaca sebesar 2,3 giga ton pada 2030.

Seperti diketahui, lahan gambut dan kehutanan merupakan sumber terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia, yaitu mencapai 45 persen. Untuk menekan emisi tersebut, Indonesia akan merehabilitasi lahan gambut yang rusak.

"Selain itu, Indonesia akan secara aktif memengaruhi negosiasi internasional tentang emisi gas, mengembangkan strategi perubahan iklim di dalam negeri yang handal, serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko dan peluang perubahan iklim," ujar Rachmat.

Tuesday, August 25, 2009

Menteri Negara LH Desak 8 Gubernur Berperan Aktif

KEBAKARAN LAHAN

Sebanyak delapan gubernur dengan wilayah rawan kebakaran lahan dan hutan didesak untuk lebih aktif mengurangi kebakaran di wilayahnya. Desakan datang dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang berkirim surat pekan lalu.

”Jumlah titik panas berkurang setelah surat dikirim. Apakah itu karena surat, saya tidak tahu. Yang penting jumlah berkurang,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar di Jakarta, Senin (24/8).
Ke-8 provinsi itu adalah Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.

Data KNLH per 23 Agustus 2009 berdasarkan pemantauan satelit NOAA menunjukkan, total jumlah titik panas di delapan provinsi sejak 1 Agustus 2009 mencapai 7.064 titik. Jumlah terbanyak di Kalbar, yakni 3.841 titik.

”Hari ini (kemarin) jumlah total titik panas di delapan provinsi sebanyak 173 titik. Trennya terus berkurang,” kata Asisten Deputi VII Urusan Pengendalian Kerusakan Hutan dan Lahan Heddy S Mukna. Titik panas terbanyak (860 titik) terpantau 3 Agustus 2009, sedangkan titik panas paling sedikit (42 titik) terpantau pada 16 Agustus 2009.

Rachmat mengatakan, surat desakan itu bukan surat perintah, melainkan imbauan keras agar kejadian tidak terus berulang setiap tahun. Apalagi di tengah fenomena El Nino yang menambah panjang musim kemarau.

Cabut perda

Imbauan termasuk meminta pemerintah daerah mencabut peraturan daerah yang mengizinkan pembukaan lahan dengan membakar. ”Mudah-mudahan diikuti,” kata Rachmat.

Selama ini sejumlah provinsi menerapkan kebijakan berubah-ubah bagi warga, antara mengizinkan dan melarang membuka lahan dengan membakar. Kebijakan itu diharapkan dipantau ketat dampaknya.
Terkait kebakaran lahan, lima negara anggota ASEAN (Indonesia, Brunei Darussalam, Thailand, Malaysia, dan Singapura) bertemu di Singapura pada 19 Agustus 2009.

Indonesia mengusulkan kesepakatan bersama. Intinya, keberatan diselesaikan di dalam forum Ministerial Steering Committee. Selain itu, ada pengertian bersama, Pemerintah Indonesia telah bekerja keras mencegah kebakaran.

”Kami tidak minta uang, tetapi berharap ada fasilitas untuk menangani kebakaran bersama. Kebakaran juga terjadi di Malaysia,” ujar Rachmat. (GSA)

Selasa, 25 Agustus 2009 | 04:55 WIB
Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/0455269/menteri.negara.lh.desak.8.gubernur..berperan.aktif

Monday, July 27, 2009

Satu Pohon Menyerap 1 Kg CO2 dan Mengeluarkan 0,73 Kg O2

Berdasarkan penelitian para ahli, satu hektare hutan selama satu jam mampu menyerap 8 kg gas CO2, sama dengan proses 200 orang bernapas. Satu pohon yang berfotosintesis sama dengan menyerap 1 kg CO2 dan mengeluarkan 0,73 kg O2. Dengan kemampuan ini, secara matematis dapat diperkirakan sebagai berikut, jika hutan kota dibangun disekitar 500 kota yang ada di Indonesia (33 ibu kota provinsi ditambah ibu kota setiap kabupaten/kota), dan setiap kota membangun minimal 2 hutan kota maka akan diperoleh sebanyak 1.000 hutan kota.

Jika setiap hutan kota ini ditanami minimal 100 pohon, akan diperoleh 100 ribu pohon di Indonesia yang tumbuh dalam 1.000 hutan kota tersebut. Karena satu batang pohon mampu menyerap CO2 sebesar 1 kg untuk melakukan satu kali proses fotosintesis, dengan 100 ribu pohon akan mampu menyerap CO2 sebesar 100 ribu kg.

Bisa dibayangkan jika pohon melakukan aktivitas fotosintesis sekali sehari, sudah berapa gas CO2 yang terserap dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun? Perkiraan ini akan bertambah lagi dengan program pemerintah melalui Perhutani yang sudah menyiapkan 400 juta bibit yang rencananya ditanam di 200 ribu hektare hutan kosong dengan operasi hutan lestari tanpa batas. Ditambah lagi dengan pohon-pohon yang ada di taman-taman dan deretan pepohonan yang ada di sepanjang jalan di setiap kota. Yuk, kita menanam

Sumber: www.kabarindonesia.com

Sunday, July 26, 2009

Al Gore Soroti Emisi Karbon

Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore, kemarin, mendukung pembuatan undang-undang yang diajukan oleh perdana menteri Australia untuk memotong emisi karbon sebelum konferensi perubahan iklim internasional yang besar pada tahun ini.

Gore, yang memenangi Hadiah Nobel Perdamaian atas kerjanya terhadap pemanasan global, telah bertemu Perdana Menteri Kevin Rudd untuk membahas kemajuan Australia sebelum pertemuan pada Desember mendatang di Copenhagen, Denmark. Pada pertemuan di Denmark itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan mengupayakan keputusan akhir baru untuk mengatasi masalah iklim seluruh dunia. "Para negosiator dari seluruh dunia akan membutuhkan momentum politik yang segar, suatu mandat yang segar agar menghasilkan di Copenhagen," kata Rudd.

Rudd ingin para anggota parlemen Australia mengesahkan skema penurunan karbon sebelum konferensi Copenhagen. Namun, oposisi ingin menunggu hingga setelah konferensi dilaksanakan. (*/AP/I-1)

11.25 WIB Sydney, Australia - Kamis, 16 Juli 2009 00:00 WIB

Jepang Akan Kurangi Emisi Karbon 15 Persen

Perdana Menteri Jepang Taro Aso kemungkinan akan mengumumkan, Jepang sebagai pihak yang memproduksi gas rumah kaca terbesar kelima dunia, akan mengurangi emisi dengan 15 persen pada 2020 dari tingkat 2005, demikian laporan radio nasional Jepang, NHK, Rabu (10/6).


Pemerintahan Perdana Menteri Jepang taro Aso telah melihat pada enam opsi untuk begaimana dan berapa banyak pengurangan emisi pada 2020 di Jepang, kisarannya dari minus 4 persen sampai minus 30 persen dari tingkat 2005.

Pengurangan sebesar 15 persen dari tingkat 2005 akan menjadi suatu penurunan yang sedikit lebih besar opsi minus 14 persen - setara dengan minus 7 persen dari 1990 - yang telah media laporkan sebagai skenario yang sangat memungkinkan.

Aso menetapkan mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan target pengurangan emisi gas rumah kaca 2020 Jepang pada pukul 0900 GMT.

RABU, 10 JUNI 2009 | 09:02 WIB

TOKYO, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/06/10/09021052/jepang.akan.kurangi.emisi.karbon.15.persen

Saturday, July 18, 2009

Total Emisi Karbon Indonesia 640 Giga Ton

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan selama kurun waktu lima tahun (2003 - 2008) total sumber emisi karbondioksida (CO2) di Indonesia setara dengan 638,975 giga ton CO2.

Hal tersebut diungkapkan Deputi III Menteri Negara Lingkungan Hidup (MenLH) Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyarti Hilman, dalam pemaparannya pada acara pembahasan menuju Ekonomi Hijau (Green Economic) di Jakarta, Jumat (26/6).

Masnellyarti atau lebih akrab dipanggil Nelly menjelaskan total sumber emisi Indonesia tersebut terdiri atas konversi hutan dan lahan sebesar 36 persen, emisi penggunaan energi sebesar 36 persen, emisi limbah 16 persen, emisi pertanian 8 persen dan emisi dari proses industri 4 persen.

Sedangkan sumber utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tersebut antara lain berasal dari kegiatan hutan dan konversi lahan; perubahan dalam hutan dan persediaan biomass lainnya, industri manufaktur dan konstruksi, transportasi, sumber aktifitas dan panas, pembuangan terbuka limbah padat, air limbah, pengerjaan lahan padi, dan rumah tangga.

Untuk mengurangi emisi GRK dan menghadapi perubahan iklim, lanjut Nelly, Indonesia telah membuat Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi Perubahan Iklim (RAN PI) dengan strategi pembangunan pro-poor,pro-job, pro-growth, dan pro-environment.

Sedangkan target RAN PI dalam hal mitigasi memfokuskan pada dua hal yaitu pada sektor energi dan sektor konversi hutan dan lahan. Untuk sektor energi dengan kebijakan penggunaan energi bauran (mix energy) mempunyai target penggunaan energi terbarukan 15 persen, penggunaan energi panas bumi sebesar 20 persen, penggunaan Carbon Capture Storage (CCS) sebesar 37 persen dan penurunan emisi GRK pada 2025 sebesar 17 persen,

Untuk sektor konversi hutan dan lahan menargetkan dapat merehabilitasi 36, 31 juta hektare dari 53,8 juta hektare hutan terdegradasi pada 2025. (Ant/OL-03)

JAKARTA--MI:Jumat, 26 Juni 2009 22:08 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...