Saturday, October 30, 2010

Indovision Ancam Seret Telkomsel ke KPPU

Niat operator telekomunikasi untuk menggusur posisi lembaga penyiaran yang telah terlebih dahulu menggunakan frekuensi 2,5 Ghz kembali mencuat. Tak pelak, suara penggusuran yang kian lantang itu langsung ditentang.

Pihak yang langsung naik pitam adalah Indovision, pelopor televisi berbayar di Indonesia yang tayang di frekuensi 2,5 Ghz. Mereka merasa terancam dengan wacana ini, lantaran merasa telah bertahun-tahun mengudara dan menanamkan investasi untuk infrastruktur di frekuensi itu dengan nilai yang cukup besar.

Para operator seluler yang menghembuskan isu pengembangan LTE (Long Term Evolution) kini dianggap mulai terang-terangan menyatakan niat untuk melakukan penggusuran pemanfaatan frekuensi tersebut.

"Kami telah mendengar niat Telkomsel yang hendak masuk ke frekuensi 2,5 Ghz tersebut dari sejumlah media," ujar Head of Corporate Secretary Indovision, Arya Mahendra Sinulingga kepada detikINET, Jumat (29/10/2010).

Indovision yang kini menggenggam 70 persen market share televisi berlangganan pun menilai cara-cara yang digunakan operator seluler yang merupakan BUMN tersebut dalam memaksakan niatnya untuk masuk ke frekuensi 2,5 GHz merupakan sesuatu yang sangat disayangkan.

"Apalagi Telkomsel yang merupakan anak usaha Telkom, memiliki bisnis pay TV yakni TelkomVision. Sangat disayangkan bila usaha tersebut hanya merupakan cara untuk menyaingi posisi Indovision yang saat ini merupakan TV berbayar terbesar di Indonesia," tutur Arya.

Indovision sendiri telah lebih dari 10 tahun menggunakan frekuesi 2,5 GHz dan menayangkan berbagai konten melalui satelit Protostar II yang berada di frekuensi 2,5-2,6 GHz.

"Sebagai anak usaha BUMN, harusnya Telkomsel bersaing secara sehat, bukan gusur-menggusur. Kami bisa mengadukan hal ini ke KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha)," tegasnya.

Untuk itu, Indovision pun mendesak pemerintah untuk bersikap tegas dan tidak tunduk pada kepentingan vendor semata. Sebab dinilai, sudah bukan rahasia lagi bahwa ngototnya berbagai operator untuk merampas frekuensi 2,5 GHz erat kaitannya dengan kepentingan vendor untuk memasarkan produknya.

"Jika hanya dengan alasan untuk pengembangan LTE maka seharusnya tak perlu memaksakan diri di frekuensi yang sudah terisi oleh pengguna lain, mengingat LTE sendiri bersifat fleksibel dan bisa dikembangkan di frekuensi lain," lanjut pihak Indovision.

Indovision mengaku sangat perlu untuk mengambil sikap tegas, mengingat sebagai pay TV terbesar di Indonesia, anak usaha PT MNC Sky Vision ini memiliki public service obligation (PSO) terhadap lebih dari 750.000 pelanggan di Indonesia.

"Semua pihak harusnya bersikap fair. Apalagi Indovision merupakan bisnis yang murni milik putra bangsa, sedangkan Telkomsel, kita semua tahu milik siapa," sindir Arya.

Sebelumnya, Telkomsel mengaku bisa saja menggelar akses jaringan 4G dengan teknologi LTE sekarang ini. Namun sayangnya, frekuensi yang pas untuk LTE masih diduduki Indovision.

"Kita bisa saja gelar LTE sekarang, mitra vendor kita sudah siap. Namun sayang, frekuensi yang bagus untuk LTE masih dimiliki Indovision. Kita tunggu di-auction saja. Mungkin paling cepat baru 2012," ujar Arief Pradetya, Manager Data & Broadband Business Management Telkomsel, beberapa waktu lalu.

Menurut Arief, LTE bisa beroperasi di rentang frekuensi mulai dari 2,3 GHz sampai 2,6 GHz. Namun, frekuensi yang diincar Telkomsel ada di pita 2,5 GHz, dan frekuensi itu masih dikuasai oleh Indovision.
( ash / rns ) 

29 Okt 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/10/29/183256/1479154/328/indovision-ancam-seret-telkomsel-ke-kppu/?i991102105

Thursday, October 28, 2010

Kalimalang Square














Membongkar Penipuan Seputar Tambang

Banda Aceh, Good Mining Practices atau juga disebut praktek-praktek pertambangan yang baik tidak pernah ada di Aceh bahkan di Indonesia hingga saat ini. Kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan akan subur di daerah yang tingkat korupsi dan pelanggaran HAM-nya tinggi. Pertambangan adalah kegiatan untuk mendapatkan logam dan mineral dengan cara menghancurkan gunung, hutan, sungai, laut dan kampung.

Mantan Direktur Eksekutif Nasional Walhi, yang juga saat ini menjabat sebagai Ketua Institute Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, dalam sebuah seminar “Dampak tambang bagi Keberlangsungan Sumber Kehidupan Dan Penyelamatan Lingkungan Hidup di Aceh”, di Banda Aceh beberapa waktu lalu mengatakan, pertambangan adalah kegiatan yang paling merusak alam dan kehidupan sosial, yang dimiliki orang kaya dan hanya menguntungkan orang kaya pula.

“Banyak mitos menyesatkan yang dimunculkan dalam tambang misalnya tambang merupakan industri padat modal dan resiko tinggi, padahal itu semua bohong,” ujar Chalid.

Menurutnya padahal ada juga tambang yang dikerjakan oleh masyarakat biasa dengan teknologi sederhana. Mitos ini sengaja dikembangkan agar hanya perusahaan besar dan orang kaya saja yang bisa menambang.

Mitos lain yang menyesatkan adalah disebutkan, pertambangan adalah industri yang menyejahterakan rakyat.

“Tambang tidak memiliki relasi yang menyejahterakan rakyat, hanya sebagian rakyat yang elit. Saya contohkan di Freeport di Papua, kisah seorang anak kepala suku. Ketika kecil dia berteman dengan anak Direksi Freeport. Selesai kuliah di Amerika, anak direksi tersebut menjadi manajer sedangkan anak kepala suku hanya menjadi tukang potong rumput,” ceritanya.

Hasil tambangnya sangat besar tetapi angka kemiskinan tertinggi justru di Papua. Hal serupa juga terjadi di Aceh Utara, dengan kekayaan gasnya yang melimpah ruah ternyata kabupaten tersebut masuk dalam jajaran daerah termiskin di Aceh.

Mitos selanjutnya yang disampaikan Chalid adalah pertambangan menyumbang devisa bagi negara.

”Itu mitos salah, padahal hanya 1-3 % yang menjadi devisa. Jauh lebih besar TKI dalam menyumbang devisa namun tidak diperdulikan. Hasil tambang jauh lebih rendah dari hasil pertanian dan perikanan, karena tambang dimiliki oleh orang kaya,” jelas Chalid.

Tambang adalah kegiatan yang bertanggung jawab, ini juga mitos yang sengaja dikembangkan. Faktanya, setelah menambang, perusahaan hanya mereklamasi paling lama 5 tahun saja. Bahkan menurut hasil sebuah penelitian, sampai hari abad ini masih ada pertambangan dari zaman Romawi yang sampai sekarang masih menghasilkan limbah asam. Ini menunjukkan perusahaan pertambangan tidak mau memulihkan kawasan yang telah dirusaknya, sebut Chalid.

Aceh adalah sebuah wilayah yang terkenal sejak dahulu, zaman kesultanan, merupakan sebuah wilayah yang kaya-raya. Makmurnya Aceh saat itu bukan karena pertambangan. Namun karena hasil kegiatan yang lain seperti perdagangan, pertanian, perikanan dan sebagainya. Maka sudah selayaknya kita belajar dari sejarah untuk menyejahterakan Aceh.

Aceh sudah merasakan dampak buruk pertambangan dari perusahaan yang beroperasi seperti PT Lhoong Setia Mining (LSM) di Lhoong, Aceh Besar. Perusahaan ini tidak mempunyai Instalasi Akhir Pembuangan Limbah (IPAL). Limbah dibuang begitu saja ke Pantai Samudera Hindia. Debu yang mencemari udara, sudah jauh memasuki pemukiman masyarakat di sekitarnya. Hancurnya sumber air akibat pengerukan bukit, padahal di bawahnya terdapat sawah masyarakat dan bukit itu sumber air untuk sawah.

Masyarakat Lhoong sendiri yang tergabung dalam Komite Masyarakat Lhoong (KML) berusaha keras meminta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Aceh Besar Bukhari Daud mencabut izin dan menutup PT LSM karena alasan dampak yang telah dikemukakan di atas.

Hasil penelitian menunjukkan, 10 persen tambang dunia dan 30 persen wilayah eksplorasi tambang berada di daerah konservasi bernilai tinggi. Hampir 30 persen tambang aktif di dunia berada di daerah sumber air bersih. (*)



20 Okt 2010
Source:http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20101020080240

Saturday, October 23, 2010

"Internet Banking" Tak Sepenuhnya Aman

Sistem perbankan internet tidak sepenuhnya aman dari tindak kejahatan ataupun kesalahan sistem yang merugikan nasabah. Ketertutupan perbankan demi menjaga kredibilitas dan kepercayaan nasabah membuat kasus-kasus perampokan melalui internet banyak yang tidak dilaporkan kepada polisi.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Tim Insiden Keamanan Internet dan Infrastruktur Indonesia (ID-SIRTII) M Salahuddien Manggalany seusai seminar ”Pencegahan Perampokan di Internet Banking” dan peluncuran XecureBrowser di Jakarta, Rabu (20/10).

Berdasarkan pantauan ID-SIRTII, upaya gangguan terhadap sistem perbankan internet (internet banking) bisa mencapai puluhan kali per situs dalam satu hari. Kasus hanya terungkap apabila korban mengumumkan kerugiannya kepada publik.

Konsultan Senior Keamanan Internet Gildas Deograt-Lumy mengatakan, titik yang paling mudah diserang dalam sistem perbankan internet adalah nasabah. Selain karena pengamanan sistem di bank lebih baik, komputer yang digunakan nasabah umumnya dipakai untuk berbagai hal sehingga rentan diserang dan dikontrol pihak lain.

Apabila perampok berhasil mencuri sertifikat digital nasabah, sistem keamanan bank tidak akan mampu lagi melindungi data nasabah. Pihak yang mencuri data rekening nasabah itu akan bertransaksi melalui internet dengan bank tanpa pemilik rekening asli menyadarinya.

Sistem transfer antarrekening melalui internet umumnya tidak ada batasan, berbeda dengan transfer melalui anjungan tunai mandiri yang dibatasi. Karena itu, rekening nasabah bisa dikuras habis oleh perampok lewat internet.

Menurut Gildas, banyak bank yang alamat situs perbankan internetnya tidak jelas dan berbeda jauh dengan nama banknya. Hal ini membuat nasabah tidak memiliki rujukan pasti alamat situs perbankan internet.

Untuk membantu nasabah melindungi transaksinya melalui perbankan internet, XecureIT meluncurkan XecureBrowser yang bisa diunduh secara gratis di www.xecureit.com/xb. Alat ini bisa digunakan untuk bertransaksi perbankan lewat internet pada 30 bank di enam negara.

”Maksimal, XecureBrowser hanya bisa melindungi keamanan data nasabah selama transaksi internet banking hingga 50 persen. Namun, itu jauh lebih baik daripada mengakses langsung situs internet banking-nya,” katanya.

Proses pengembangan peranti lunak ini lebih lanjut diperkirakan akan mampu melindungi nasabah hingga 80 persen. Peranti ini tidak bisa melindungi nasabah secara penuh karena teknik gangguan yang dikembangkan perampok jauh lebih cepat.

Sayangnya, menurut Salahuddien, perbankan nasional enggan untuk diajak mengembangkan peranti lunak tersebut. Jika mengakomodasi peranti lunak tersebut, itu sama dengan mengakui bahwa sistem keamanan perbankan saat ini lemah.

Praktisi teknologi informasi, Onno W Purbo, menyarankan agar peranti lunak tersebut dipasarkan ke pasar internasional terlebih dahulu. Secara psikologis, perbankan nasional baru mau menggunakan sebuah sistem baru jika sudah digunakan secara internasional. (MZW)

21 Okt 2010
Source:http://cetak.kompas.com/read/2010/10/21/04494699/internet.banking.tak.sepenuhnya.aman

Mobile number portability

Mobile number portability (MNP) enables mobile telephone users to retain their mobile telephone numbers when changing from one mobile network operator to another.

Contents

 [hide]

[edit]General overview

MNP is implemented in different ways across the globe. The international and European standard is for a customer wishing to port his/her number to contact the new provider (Recipient) who will then arrange necessary process with the old provider (Donor). This is also known as 'Recipient-Led' porting. The UK is the only country to not implement a Recipient-Led system, where a customer wishing to port his/her number is required to contact the Donor to obtain a Porting Authorisation Code (PAC) which he/she then has to give to the Recipient. Once having received the PAC the Recipient continues the port process by contacting the Donor. This form of porting is also known as 'Donor-Led' and has been criticised by some industry analysts as being inefficient. It has also been observed that it may act as a customer deterrent as well as allowing the Donor an opportunity of 'winning-back' the customer. This might lead to distortion of competition, especially in the markets with new entrants that are yet to achieve scalability of operation.

[edit]Technical details

A significant technical aspect of MNP (Mobile Number Portability) is related to the routing of calls or mobile messages (SMS, MMS) to a number once it has been ported. There are various flavours of call routing implementation across the globe but the international and European best practice is via the use of a central database (CDB) of ported numbers. Network operator makes copies of CDB and queries it to find out which network to send a call to. This is also known as All Call Query (ACQ) and is highly efficient and scalable. Majority of the established and upcoming MNP systems across the world are based on this ACQ/CDB method of call routing. One of the very few countries to not use ACQ/CDB is the UK where calls to a number once it has been ported are still routed via the Donor network. This is also known as 'Indirect Routing' and is highly inefficient as it is wasteful of transmission and switching capacity. Because of its Donor dependent nature, Indirect Routing also means that if the Donor network develops a fault or goes out of business, the customers who have ported out of that network will lose incoming calls to their numbers. The UK telecoms regulator Ofcom completed its extended review of the UK MNP process on 29 November 2007 and mandated that ACQ/CDB be implemented for mobile to mobile ported calls by no later than 1 September 2009, and for all other (fixed and mobile) ported calls by no later than 31 December 2012.
Prior to March 2008 it took a minimum of 5 working days to port a number in the UK compared to 2 hours only in USA, as low as 20 minutes in the Republic of Ireland, 3 minutes in Australia and even a matter of seconds in New Zealand. On 17 July 2007, Ofcom released its conclusions from the review of UK MNP and mandated reduction of porting time to 2 working days with effect from 1 April 2008. On 29 November 2007, Ofcom completed its consultation on further reduction to porting time to 2 hours along with recipient led porting and mandated that near-instant (no more than 2 hours) recipient led porting be implemented by no later than 1 September 2009.
In a decentralised model of MNP, a FNR (Flexible Number Register) may be used to manage a database of ported out/ported in numbers for call routing.

[edit]Number Lookup Services

Service providers and carriers who route messages and voice calls to MNP-enabled countries might use HLR query services to find out the correct network of a mobile phone number. A number of such services exist, which query the operator's home location register (HLR) over the SS7 signalling network in order to determine the current network of a specified mobile phone number prior to attempted routing of messaging or voice traffic.

[edit]Mobile number portability by country

[edit]Americas

Country↓Implementation date
yyyy.mm.dd↓
Time to port
days↓
Price↓Short notesReferences
Brazil2008.09.013FreeThe plan started in March 2007[1]
Dominican Republic2009.09.303–1080.00 DOP
[2]
Ecuador2009.10.124FreeASCP handled by Systor, Telconet and JR Electric Supply
Mexico2008.07.05

Service handled by Telcordia Technologies and Neoris[3]
Peru2010.01.017-9FreeThe user will assume the cost of the new sim card of the new mobile company that will cost around 15 PEN

[edit]Asia Pacific

Country↓Implementation date
yyyy.mm.dd↓
Time to port
days↓
Price↓Short notesReferences
Australia2001.09.251FreePreviously prefixes
04x1, 04x2, 04x3 referred to Optus
04x4, 04x5 and 04x6 referred to Vodafone
043x, referred to Vodafone Hutchison Australia formally known as Hutchison 3G Australia.
04x7, 04x8, 04x9 and 0410x referred to Telstra
[4]
Hong Kong1999.03.012FreeService handled by Office of the Telecommunications Authority (OFTA). In the network, you may be charged unexpectedly for a call to a mobile that has been ported form a different network.[5][6] [7]
Malaysia2008.101 or moreFree
[8][9][10][11]
Pakistan2007.03.234
Customers can port between prepay and post pay options. On port-In, the Donor company provides, free balance and on-net free minutes. Service handled byPakistan MNP Database (Guarantee) Limited[12]
Singapore2008.06.13

Vendor for database installation is Syniverse Technologies
Taiwan2005.10.??



Thailand2010.12.??599 BahtNumber Portability Clearinghouse service is handled byTelcordia Technologies.
India2010.11.013[13]Indian Rupee symbol.svg 19 [14]Syniverse Technologies and Telecordia have installed database servers. MNP is expected to be launched in India on 31 October 2010. However, the customer can port between pre paid and post paid and vice versa within the same operator in most of the major operators.[15]

[edit]Europe

Country↓Implementation date
yyyy.mm.dd↓
Time to port
days↓
Price↓Short notesReferences
Czech Republic2006.01.15


[16]
Belgium2002.10.??
FreeThe central solution CRDC has been re-implemented several times. First time it was implemented byTelcordia Technologies US, second time by Cap Gemini Sweden and Belgium, third time by PorthusBelgium. Access to DB: setup fee : €11 000, annual fee: € 3000.
Bulgaria2008.04.??
2.56 EUR

Greece2004.??.??

Service handled by Telcordia Technologies
Denmark2001.??.??30-600-29 DKKThe central solutions is called OCH - Operators Clearing House[17][18]
Estonia2005.01.01



Finland2003.07.25
FreeHandled by the company Numpac[19]
France2003.06.??10
Heavily improved since May 2007 with a 10-days maximum lead time (was taking 2 months in most cases before then)
Germany2002.11.01
25 EURThe average price charged is about € 25. The exact amount depends on the old provider. A price limit of € 30.72 was set by the Bundesnetzagentur.[20] [21]
Hungary2004.??.??8Free

Ireland2003.??.??0 (typically 1-2 hours)Free

Italy2002.01.153


Latvia
10Free

Lithuania2005.??.??

Service handled by Telcordia Technologies
Luxembourg2005.02.011
Managed by the G.I.E Telcom E.I.G. operator group and developed, installed and operated by Systor Trondheim AS.
Macedonia2008.09.01

The reference database was developed, installed and is presently operated by Seavus Group.
Norway2001.04.015NOK 0 - 200Administrated by the National Reference Database (NRDB). The reference database was developed, installed and is presently operated by Systor Trondheim AS.
Poland2006.02.??
FreeTo be administrated by the National Central Database (PLI-CBD) run by Office of Electronic Communications (UKE). 30-day max porting time is to be reduced to 1 day.
Portugal2002.01.01

Operated by Portabil S.A. Solution implemented bySystor Trondheim AS of Norway.
Romania2008.10.217-30FreeDeveloped by UTI Systems based on the Porthusimplementation[22]
Slovenia2005.??.??
5 EUR5 EUR is a maximum possible price
Spain2000.??.??



Sweden2001.09.0121FreeThe largest operators formed independent company, SNPAC AB, to procure central database (CRDB) solution. Implementation of CRDB is carried out by Cap Gemini & Oracle.
Turkey2008.11.096FreeAVEA and Vodafone hired Gantek to implement central database (CRDB) solution and donated it to Turkish Telecommunications Regulatory Authority. Number Portability Clearinghouse service handled by Telcordia Technologies
United Kingdom

Free
[23]

[edit]Middle East and Africa

Country↓Implementation date
yyyy.mm.dd↓
Time to port
days↓
Price↓Short notesReferences
Egypt2008.04.??

NPC serves the centralized administrative and provisioning role of MNP. Number Portability Clearhouse is handled by Telcordia Technologies, where Giza Systems is the system integrator.
Israel2007.12.033–4 hoursFreeService includes landline as well as mobile numbers[24]
Jordan2010.06.0117 JODService is not implemented, but is still planned. TRC started the process in 2005 and released the official bid to implement and operate MNP during September 2009.[25]
Kuwait2010.12.31?

The Minister of Telecommunications has stated that the service should be available before the end of 2010. However a number of delays have been reported in the media.
Nigeria2007.??.??



Oman2006.08.26

Implemented as a decentralized solution by Porthus for Nawras, and by Gulf Business Machines/Telcordia for Oman Mobile.
Saudi Arabia2006.07.08

Managed by the Centralized Clearinghouse Approach, through the NPC (Number Portability Clearinghouse), a product of Telcordia Technologies. The implementer and system integrator is Giza Arabia.
South Africa2006.11.10

The three operators, Vodacom SA, MTN SA, and Cell C, formed an independent company for the implementation and management of the central solution. After delays, the implementation of this solution was awarded to local company Saab Grintek teamed up with Telcordia Technologies.

[edit]See also

[edit]References

  • Daniel AJ Sokolov, Problems with VOIP and Convergent Services [1]
  • VOIP News, US Number Portability Extends to VOIP Providers [2]
  • IDA Singapore, Singapore to Enjoy Full Mobile Number Portability from 13 June [3]
  • MNP in INDIA Details, [4]

[edit]External links

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...