Showing posts with label Climate Change. Show all posts
Showing posts with label Climate Change. Show all posts

Tuesday, February 15, 2011

"Green Finance" Solusi Perubahan Iklim

Konsep green finance atau pengucuran modal dengan menggunakan prinsip ramah lingkungan bisa menjadi solusi dari sektor finansial untuk mengatasi dampak perubahan iklim global.

"Ada dua ancaman serius, yaitu masalah penggunaan energi dan lingkungan hidup yang bisa diatasi dengan green finance," kata Special Advisor Head Environment Finance Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Takashi Hongo dalam diskusi yang digelar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) di Jakarta, Kamis (28/1/2011).

Namun, menurut Hongo, untuk menerapkan konsep green finance secara nyata dibutuhkan tekad dari badan finansial, baik swasta maupun pemerintah, untuk mengeluarkan investasi dalam jumlah yang besar. Selain itu, penerapan green finance membutuhkan kemajuan teknologi yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim.

Ia mencontohkan, sejumlah nelayan di Jepang beberapa tahun lalu memutuskan untuk menggunakan teknologi LED (light emitting diode) akibat mahalnya harga bahan bakar yang biasa dipakai untuk melaut.

Hongo memaparkan, pada awalnya memang dibutuhkan biaya yang besar untuk membeli dan melengkapi kapal penangkap ikan dengan LED, tetapi setelah digunakan mereka dapat menghemat biaya operasional. "Mereka (para nelayan) meminjam uang dari bank," katanya.

Untuk itu, menurut dia, pembiayaan dan dorongan untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan merupakan kunci yang dibutuhkan dalam penerapan green finance.

Sementara itu, pembicara lainnya, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Suseno Sukoyono mengatakan, sebenarnya terdapat banyak peluang bisnis atau finansial yang dapat dikembangkan akibat perubahan iklim, termasuk salah satunya green finance.

Apalagi, ujar dia, Indonesia sebenarnya bukanlah merupakan penyumbang emisi terbesar tetapi perubahan iklim telah mengakibatkan sejumlah masalah seperti kenaikan suhu dan naiknya permukaan air laut yang tampak seperti fenomena rob yang akhir-akhir ini kerap terjadi di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara.

"Indonesia menghasilkan 1,7 emisi per kapita, sedangkan Amerika Serikat 20,6 dan Australia 16,2," katanya.

Ia juga mengingatkan, krisis energi seperti kenaikan harga minyak yang kini telah mencapai sekitar 100 dolar AS seharusnya juga bisa menjadikan salah satu aspek untuk mendorong penerapan green finance.

Ketua MPN Muhammad Taufiq mengharapkan terbangun jaringan baik di dalam maupun luar negeri atau organisasi internasional dalam menciptakan sumber peluang pembangunan berkelanjutan melaluigreen finance.

"Skema pendanaan green finance dengan dilandasi lingkungan investasi yang kondusif dengan memasukkan aspek perubahan iklim menjadi salah satu solusi penting dalam membangun Indonesia secara berkelanjutan," katanya.

Berdasarkan data MPN, terdapat potensi total ekonomi kelautan Indonesia yang mencapai 800 miliar dolar AS per tahun yang belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan antara lain karena kendala biaya.

28 Januari 2011

Thursday, January 13, 2011

BNI Dukung Pelatihan The Climate Project 2011


Al Gore Berikan Ceramah Iklim di JCC Jakarta, 09 Januari 2011.
Al Gore:  Indonesia bisa menjadi negara superpower geothermal
 
Bertempat di Jakarta Convention Center tanggal 08 – 10 Januari 2011, Mr. Honorable Al Gore memberikan pelatihan Juru Kampanye (Presenter) kepada lebih dari 350 peserta dari 21 Negara di kawasan Asia Pacific. Event yang berjudul “Asia Pacific Summit on The Climate Project” merupakan acara tahunan The Climate Project untuk membekali para sukarelawan iklim dengan pengetahuan dan teknik-teknik presentasi tentang dampak dan penanganan perubahan iklim yang telah menjadi problem dunia selama satu dasawarsa terakhir. 

Dalam ceramahnya di acara ini, Al Gore memprediksi Indonesia bisa menjadi negara superpower penggunaan energi panas bumi (geothermal) sebagai sumber tenaga listrik. Saat ini, 40 persen panas bumi dunia ada di Indonesia, namun kapasitas yang terpasang untuk mengambil panas bumi itu baru mencapai 4 persen dari seluruh potensi yang ada. "Indonesia bisa menjadi negara superpower untuk energi listrik dari panas bumi dan hal itu bisa menjadi kelebihan untuk ekonomi Indonesia," kata Al Gore dalam pidato pembukaan The Climate Project Asia Pacific Summit di Balai Sidang Senayan Jakarta, Minggu (9/1). 
Rekan-rekan BNI dan Lead Fellows C-15 berpose bersama di sela-sela konferensi.

Para sukarelawan yang didik oleh The Climate Project datang dari berbagai macam profesi. Mulai dari anak-anak sekolah, mahasiswa, guru, ilmuwan, pekerja swasta, artis, banker, rohaniawan, aktivis LSM, pengusaha hingga pensiunan. Semuanya berbaur menjadi satu untuk berlatih bagaimana menyuarakan problem perubahan iklim ke seluruh dunia secara efektif. Sukarelawan akan bertugas mensosialisasikan dan mengkomunikasikan adaptasi serta mitigasi dampak perubahan iklim di komunitas mereka masing-masing. The Climate Project merupakan perkumpulan juru bicara iklim yang bersifat voluntary yang dibentuk oleh Mr. Al Gore (Mantan Wapres AS dan Peraih Nobel Perdamaian tahun 2007) dan terkoneksi ke seluruh dunia. Pelatihan ini juga dihadiri oleh pegawai BNI termasuk pejabat Divisi  Komunikasi Perusahaan (KMP) yang nantinya akan bertugas menjadi presenter Climate Change di komunitas masing-masing.

Selain berpartisipasi, BNI juga mensponsori konferensi ini karena ini merupakan bagian dari komitmen dan misi BNI dalam memikul tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial. Kegiatan ini juga menjadi sarana BNI dan rekan-rekan BNI Go Green untuk berbagi pengalaman dan ilmu pengetahuan diantara komunitas dan korporasi untuk menyuarakan kepedulian terhadap alam dan lingkungan.(LTP)

Tuesday, April 27, 2010

BNI Dukung The Climate Project Indonesia


Pegawai Menjadi Grand Connector
 

Jakarta, 24/04/10 – Dalam menyambut Hari Bumi (Earth Day), DNPI melalui The Climate Project Indonesia (TCPI) menyelenggarakan pelatihan grand connector di Hotel Sari Pan Pasific, Sabtu tanggal 24 April 2010. Pelatihan ini bertujuan mendidik para peserta yang berjumlah sekitar 250 orang agar sadar terhadap penyebab, dampak dan solusi dalam mengatasi perubahan iklim. Grand  connector merupakan kesinambungan dari pelatihan yang telah diikuti oleh 54 orang Indonesia yang terpilih menjadi Presenter - The Climate Project Indonesia yang pada tahun lalu dilatih langsung oleh Al Gore di Australia.(Foto: sebelah kiri adalah connector termuda dan kanan adalah connector tertua).

Grand connector yang hadir berasal dari berbagai latar belakang profesi, displin ilmu dan domisili, yang mana hampir semuanya mewakili Nusantara. Bahkan pelatihan ini juga dihadiri oleh peserta termuda yakni Fira Meutia (11 tahun) dari SD Nurul Hidayah, Reni Jaya Depok.

Event ini juga tidak lepas dari peran serta BNI sebagai bank yang menaruh perhatian besar pada kesinambungan 3 P (People, Planet dan Profit). Oleh karena itu sebagai bukti tanggungjawab terhadap bumi ini, BNI mengirimkan beberapa pegawainya untuk menjadi grand connector. Mereka akan berkiprah di masyarakat termasuk lingkungan kerja sebagai pembawa pesan (messenger) untuk membangkitkan kesadaran warga agar sadar terhadap penyebab, dampak dan solusi dalam mengatasi perubahan iklim.

Menurut Dr. Amanda Niode Katili, dengan menjadi Connector – The Climate Project Indonesia, siapa pun dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman The Climate Project Indonesia Presenters, karena setelah mengikuti pelatihan, Connectors menjadi relawan yang melaksanakan kegiatan sukarela sebagai connector untuk memberi informasi kepada komunitas pilihan masing-masing tentang krisis perubahan iklim dan solusinya.

Monday, April 26, 2010

BNI Ajak Pegawai Buat Lubang Biopori


Acara Tematik CFD April 2010
Jakarta, CST (25/04) – Safari Sepeda BNI Go Green – Less Emission tetap berlanjut dimana pada hari minggu 25 april 2010 BNI menggalakkan program biopori. Inilah program tematik Car Fee Day Tim CST (BNI Go Green) di bulan April 2010. Start dari halaman Kantor Besar tepat pukul 07.15 wib dan finish di BNI Kota sekitar jam 08.15 wib para peserta safari sepeda kemudian berkumpul di lapangan upacara Kantor Wilayah 12 Kota. Setelah beberapa saat mendengarkan sambutan dari pihak BNI dan disambung oleh ceramah Bpk.Rhenald Kasali, peserta safari sepeda kemudian secara serentak membuat lubang resapan biopori (LRB).

Hadir di acara ini adalah Pemimpin Divisi KMP (Ketua OC CST) Ibu Intan Abdams Kattopo, Pemimpin Divisi DJK (Wakil Ketua OC CST) Bpk. Anggoro Eko Cahyo, Pemimpin Wilayah 12 Bpk. Bambang Kuncoro, Pemimpin Cabang BNI Roa Malaka Bpk. Arimatea, rekan-rekan wilayah 12, cabang, CST dan sejumlah cyclist BNI. Selain Rhenald Kasali, hadir pula rekan-rekan Rumah Perubahan diantaranya Bpk. Lubi yang ahli dalam mengolah sampah menjadi pupuk organik. Rumah Perubahan diundang oleh Tim CST karena aktivitasnya dalam pelestarian lingkungan berbasis community development.
Dalam ceramahnya sesaat sebelum sesi LRB, Bpk.Rhenald Kasali menceritakan pengalamannya dalam mengelola sampah warga melalui Rumah Perubahan. Sampah warga yang diolah ternyata menghasilkan pupuk organik yang berkualitas sehingga produk sayur-sayuran yang biasa-biasa saja setelah dikemas sedemikian rupa ternyata dapat bernilai ekonomis ketika dijual di Carrefour (seperti sawi, kangkung). Selain itu, Rumah Perubahan yang merupakan ‘home base’ pengelolaan sampah warga terbukti tidak berbau dan berlalat. Melalui mekanisme pemberian bakteri pemakan bau sampah maka sampah yang ditumpuk dan diproses di sana tidak menghasilkan polusi bau yang dapat menggangu lingkungan sekitarnya. Rumah Perubahan berlokasi di Jati Murni Bekasi, juga melibatkan Ketua RT dan penduduk sekitarnya sehingga secara bersama-sama ikut peduli terhadap pengelolaan sampah secara berkelanjutan.

Terkait dengan lubang resapan biopori, BNI secara bertahap akan menggalakkan lubang resapan biopori di seluruh kantor wilayah dan cabangnya. Hal ini sangat bermanfaat untuk area tangkapan air atau cadangan air tanah sehingga ketika musim hujan air tidak terbuang percuma ke selokan dan jalanan. Perlu diperhatikan bahwa untuk membuat LRB, tanahnya harus gembur sehingga dapat menciptakan fauna tanah yang baik. LRB dapat dimanfaatkan untuk sebagai tempat penampungan aneka sampah basah sehingga dapat dimanfaatkan untuk membuat pupuk organik.(LTP)

BNI Ajak Pegawai Buat Lubang Biopori


Acara Tematik CFD April 2010
Jakarta, CST (25/04) – Safari Sepeda BNI Go Green – Less Emission tetap berlanjut dimana pada hari minggu 25 april 2010 BNI menggalakkan program biopori. Inilah program tematik Car Fee Day Tim CST (BNI Go Green) di bulan April 2010. Start dari halaman Kantor Besar tepat pukul 07.15 wib dan finish di BNI Kota sekitar jam 08.15 wib para peserta safari sepeda kemudian berkumpul di lapangan upacara Kantor Wilayah 12 Kota. Setelah beberapa saat mendengarkan sambutan dari pihak BNI dan disambung oleh ceramah Bpk.Rhenald Kasali, peserta safari sepeda kemudian secara serentak membuat lubang resapan biopori (LRB).

Hadir di acara ini adalah Pemimpin Divisi KMP (Ketua OC CST) Ibu Intan Abdams Kattopo, Pemimpin Divisi DJK (Wakil Ketua OC CST) Bpk. Anggoro Eko Cahyo, Pemimpin Wilayah 12 Bpk. Bambang Kuncoro, Pemimpin Cabang BNI Roa Malaka Bpk. Arimatea, rekan-rekan wilayah 12, cabang, CST dan sejumlah cyclist BNI. Selain Rhenald Kasali, hadir pula rekan-rekan Rumah Perubahan diantaranya Bpk. Lubi yang ahli dalam mengolah sampah menjadi pupuk organik. Rumah Perubahan diundang oleh Tim CST karena aktivitasnya dalam pelestarian lingkungan berbasis community development.
Dalam ceramahnya sesaat sebelum sesi LRB, Bpk.Rhenald Kasali menceritakan pengalamannya dalam mengelola sampah warga melalui Rumah Perubahan. Sampah warga yang diolah ternyata menghasilkan pupuk organik yang berkualitas sehingga produk sayur-sayuran yang biasa-biasa saja setelah dikemas sedemikian rupa ternyata dapat bernilai ekonomis ketika dijual di Carrefour (seperti sawi, kangkung). Selain itu, Rumah Perubahan yang merupakan ‘home base’ pengelolaan sampah warga terbukti tidak berbau dan berlalat. Melalui mekanisme pemberian bakteri pemakan bau sampah maka sampah yang ditumpuk dan diproses di sana tidak menghasilkan polusi bau yang dapat menggangu lingkungan sekitarnya. Rumah Perubahan berlokasi di Jati Murni Bekasi, juga melibatkan Ketua RT dan penduduk sekitarnya sehingga secara bersama-sama ikut peduli terhadap pengelolaan sampah secara berkelanjutan.

Terkait dengan lubang resapan biopori, BNI secara bertahap akan menggalakkan lubang resapan biopori di seluruh kantor wilayah dan cabangnya. Hal ini sangat bermanfaat untuk area tangkapan air atau cadangan air tanah sehingga ketika musim hujan air tidak terbuang percuma ke selokan dan jalanan. Perlu diperhatikan bahwa untuk membuat LRB, tanahnya harus gembur sehingga dapat menciptakan fauna tanah yang baik. LRB dapat dimanfaatkan untuk sebagai tempat penampungan aneka sampah basah sehingga dapat dimanfaatkan untuk membuat pupuk organik.(LTP)

Friday, April 16, 2010

Gletser Pecah, Sebabkan Tsunami 23 Meter

Gletser besar pecah dan tercebur ke sebuah danau di Peru sehingga memicu gelombang tsunami setinggi 23 meter serta menghanyutkan tiga orang dan menghancurkan instalasi pengolahan air untuk melayani 60.000 warga setempat.
Pejabat setempat, Senin, mengatakan, bongkahan es itu jatuh ke dalam danau di Andes, Minggu, di dekat kota Carhuaz, sekitar 320 kilmeter di utara Lima, ibu kota Peru. Tiga orang dikhawatirkan terkubur oleh reruntuhan. 

Penyidik mengatakan, potongan es dari gletser Hualcan itu berukuran 500 kali 200 meter. "Kejatuhannya dalam danau menyebabkan gelombang tsunami, yang melewati bendungan danau setinggi 23 meter. Jadi, tinggi tsunami setinggi 23 meter," kata ahli gletser Institut Insinyur Pertambangan Peru, Patricio Vaderrama.

Pemerintah setempat mengungsikan warga di ngarai pegunungan karena khawatir terjadi kerusakan lanjutan. Itu merupakan tanda-tanda yang nyata bahwa gletser mulai menghilang di Peru, tempat 70 persen dari lapangan es dunia. Ilmuwan mengatakan, suhu hangat menyebabkan es meleleh dalam waktu 20 tahun.

Pada tahun 1970, gempa bumi menyebabkan terjadi longsoran es, bebatuan, dan lumpur di Pegunungan Huascaran, yang mengubur kota Yungay, tak jauh dari Carhuaz. Peristiwa itu juga menewaskan lebih dari 20.000 orang yang tinggal di bawah puncak tertinggi di Peru, yaitu 6.768 meter di atas permukaan laut.
13 April 2010

Saturday, March 20, 2010

Posisi DNPI Tak Jelas: Perubahan Iklim Sudah Terasa

Mengoordinasikan kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi, dan pendanaan untuk mengantisipasi risiko bencana akibat perubahan iklim merupakan tugas Dewan Nasional Perubahan Iklim atau DNPI. Namun, kewenangan itu tidak berjalan karena posisi DNPI tidak jelas.

Sesuai dengan Peraturan Presiden (PP) Nomor 46 Tahun 2008, untuk mengantisipasi bencana akibat perubahan iklim, dibentuklah DNPI. Institusi ini bertugas mengoordinasikan kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi, serta pendanaan. Meski demikian, tidak dijelaskan di mana institusi ini dalam struktur tata pemerintahan.

”Sampai sekarang sudah terjadi satu kali pembahasan untuk meletakkan posisi DNPI di bawah Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat,” kata Sekretaris DNPI Agus Purnomo, akhir pekan lalu di Jakarta.

Menurut Agus, kemungkinan DNPI akan berada di bawah Menkokesra. Selama ini alokasi anggaran DNPI masih di bawah Sekretariat Kementerian Lingkungan Hidup.

Dipimpin presiden

Beberapa waktu lalu Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR menyatakan, besarnya alokasi dana DNPI pada tahun 2009 sebesar Rp 30 miliar. Dana itu disalurkan melalui Sekretariat Menteri Lingkungan Hidup.

Berdasarkan PP No 46/2008, DNPI dipimpin langsung presiden. Menkokesra dan Menko Perekonomian menjadi Wakil Ketua DNPI. Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar menjabat sekaligus anggota bersama 17 menteri lainnya beserta Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Ketidakjelasan posisi DNPI ini menyebabkan tugas-tugas DNPI tidak bisa dilaksanakan secara optimal.

Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup Bidang Lingkungan Global dan Kerja Sama Internasional Liana Bratasida mengatakan, status DNPI semestinya diperjelas.

Beberapa negara, seperti Denmark, Inggris, dan Australia, secara tegas membentuk Kementerian Perubahan Iklim dan Energi. Negara-negara tersebut sangat serius menghadapi dampak perubahan iklim yang sudah terjadi di depan mata dan dampaknya sangat terasa.

”Semestinya kita sekarang juga memerlukan sebuah Kementerian Perubahan Iklim dan Energi atau Kementerian Perubahan Iklim dan Hutan,” kata Liana. (NAW)

Senin, 22 Februari 2010 | 03:04 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/22/03045091/posisi.dnpi.tak.jelas

Tuesday, January 5, 2010

PERUBAHAN IKLIM: Potensi Ikan Kita Bisa Turun

Hasil Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen sangat mengecewakan karena melenceng jauh dari harapan masyarakat dunia. Hasil Kopenhagen mengandung ketidakpastian dalam pembatasan emisi CO ke atmosfer. Hal lain yang jadi pertanyaan, mengapa isu kelautan tidak masuk dalam teks ”Copenhagen Accord”.

Jadi, laut tidak diperhitungkan dalam mitigasi perubahan iklim. Keputusan ini sebenarnya adalah hal yang wajar. Chris Sabine, peneliti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan kawan-kawan. (2004) melaporkan, pada era sebelum industri, laut global adalah pelepas karbon ke atmosfer. Kondisi pada waktu itu adalah seimbang.

Ketika revolusi industri terjadi di Eropa, maka emisi CO di atmosfer mulai bertambah dan seiring dengan itu laut berubah menjadi penyerap CO di atmosfer. Akan tetapi, dalam 20 tahun terakhir ini, ada indikasi penurunan tingkat efisiensi penyerapan laut sehingga besar kemungkinan laut akan berbalik menjadi pelepas karbon.

Gambaran di atas menegaskan bahwa laut selalu mencari kesetimbangan baru, sebagai respons terhadap peningkatan emisi CO di atmosfer. Jadi, peranan laut untuk mitigasi tidak relevan dan tidak tepat masuk dalam mekanisme perdagangan karbon, seperti halnya hutan.

Secara sederhana, negara manakah yang berhak mendapatkan kompensasi untuk perairan samudra belahan bumi utara dan selatan yang tingkat penyerapannya sangat tinggi? Bagaimanakah kompensasi bagi negara-negara tropis yang sebagian besar wilayah lautnya berfungsi sebagai pelepas karbon?

Rekomendasi kebijakan

Saat ini, sudah saatnya kita melupakan perdagangan karbon laut apalagi memperdebatkannya. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana merumuskan kebijakan kelautan dalam menyikapi pasca-Kopenhagen, terutama ancaman perubahan iklim yang nyata.

Laporan terbaru dari Cheung, dkk (2009) di jurnal Global Change Biology menyebutkan, dari skenario peningkatan CO di atmosfer sampai 720 ppm (parts per million) pada tahun 2100, maka Indonesia berpotensi kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Dengan skenario yang tetap menjaga tingkat emisi pada level sekarang, Indonesia masih berpeluang kehilangan 10 persen tangkapan ikan.

Dalam hal ini, pemanasan global mendorong migrasi ikan- ikan dari perairan tropis ke subtropis sehingga negara-negara lain akan mengalami surplus tangkapan ikan. Selain itu, migrasi ikan yang semakin jauh juga akan berimplikasi kepada biaya penangkapan ikan yang semakin mahal.

Di sisi lain, kita menghadapi banyak permasalahan kerusakan ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Padahal, wilayah pesisir ini adalah daerah pemijahan dan pembesaran ikan, perlindungan pantai, sumber keanekaragaman hayati, dan banyak lagi fungsi ekologis lainnya. Hal ini semakin diperparah dengan aktivitas di daratan yang memperlakukan laut sebagai tempat sampah.

Beberapa catatan sebagai usulan dalam kebijakan adalah sebagai berikut:

1. Penyehatan ekosistem pesisir. Ini berkaitan dengan usaha untuk mengembalikan dan menjaga vegetasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang demi keberlangsungan fungsi ekologis dan jaminan ketahanan pangan.

2. Prioritas perikanan budidaya dan teknologi pascapanen. Dengan adanya jaminan ”kesehatan” ekosistem pesisir, maka pengembangan perikanan budidaya menjadi solusi yang menarik dalam menghadapi persoalan perubahan migrasi ikan. Nelayan-nelayan yang tadinya berorientasi perikanan tangkap, perlu memikirkan dan mempersiapkan diri untuk perikanan budidaya. Jepang adalah contoh negara yang berhasil dalam pengembangan budidaya perikanan laut, termasuk ikan-ikan pelagis besar (tuna). Budidaya juga meliputi penyebaran benih-benih ikan tertentu ke ekosistem pesisir secara bebas. Ini dikenal dengan konsep restocking. Prioritas ekspor ikan segar juga perlu dievaluasi kembali.

3. Adaptasi kenaikan permukaan laut bagi pemukiman, infrastruktur lainnya, dan dampak intrusi air laut.

4. Peninjauan konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pendekatan yang selama ini berorientasi skala-skala kecil untuk lokasi tertentu perlu beralih pada pendekatan kepulauan Indonesia yang komprehensif.

5. Variabilitas iklim dan perubahan iklim. Hal ini membutuhkan perhatian serius pada masa mendatang dan membutuhkan data dasar yang panjang untuk melihat dampaknya terhadap perikanan. Sebagai contoh, Jonson L Gaol, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), dan beberapa rekannya (2004) melaporkan di suatu jurnal internasional bahwa saat terjadi El Nino tahun 1997 ada peningkatan klorofil yang ekstrem di Selat Bali sampai awal 1998. Hal ini kemudian diikuti oleh produksi ikan lemuru yang ekstrem pada 1998 itu. Tetapi, produksi ikan yang melimpah mengakibatkan anjloknya harga di pasar akibat ketidaksiapan dalam menghadapi dampak variabilitas iklim ini.

6. Basis data dan peralatan standar untuk studi karbon laut. Pada kenyataannya, tidak ada peralatan standar (sesuai protokol JGOFS-Joint Global Ocean Flux Study) yang menunjang studi karbon laut di Indonesia. Peralatan yang dimaksud adalah untuk pengukuran tekanan parsial CO, total karbon dan buoy-buoy untuk pengamatan real-time fluks karbon udara-laut. Salah satu kegunaan peralatan tersebut adalah pengembangan algoritma khusus laut Indonesia untuk data satelit. Hal ini penting untuk pemantauan berkala saat audit emisi CO karena Indonesia telah berjanji untuk menurunkannya sebesar 26 persen (walaupun sebenarnya tidak diwajibkan). Jika kita tidak memiliki algoritma sendiri, penggunaan algoritma global dari data satelit mungkin saja merugikan kita dalam perhitungan capaian 26 persen. Apalagi, laut kita yang tropis cenderung melepaskan karbon sehingga algoritma dalam data satelit harus mengeluarkan faktor pelepasan laut. Hal ini perlu diantisipasi karena pelepasan laut bukan hasil antropogenik.

Senin, 4 Januari 2010 | 03:07 WIB

Penulis: Alan F Koropitan Dosen pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB

Thursday, December 24, 2009

Kita Perlu "Koin" untuk Perubahan Iklim

SNegosiasi bermotif menang-kalah vulgar dipraktikkan selama berlangsungnya KTT Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark. Bahkan, persoalan iklim ditarik jauh dari lanskap kemanusiaan. Hasilnya, Indonesia kalah 0-2.

Kekalahan pertama akibat tak terpenuhinya kesepakatan iklim yang mengikat secara hukum (legally binding) merujuk pada capaian Bali Action Plan yang dihasilkan pada KTT Ke-13 di Bali, Desember 2007 silam. Seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri pertemuan puncak ke-17 Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Singapura ”Kalau Kopenhagen gagal (tidak mengikat secara hukum), kita punya banyak pekerjaan rumah” (Antara, 17/11).

Berikutnya, Indonesia gagal mengawal dan memasukkan aspek penting kelautan ke dalam visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA). Padahal pada Mei 2009 Indonesia telah mengeluarkan berbagai sumber daya untuk menghasilkan Manado Ocean Declaration (MOD) sebagai kertas mandat untuk membawa Coral Triangle Initiative (Inisiatif Segitiga Terumbu Karang) ke dalam kesepakatan Kopenhagen. Dari Bali dan Manado, kualitas diplomasi Indonesia dipertanyakan.

Koreksi

”Pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan dengan memerhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau”.

Demikian pesan diplomasi ala Perdana Menteri Djuanda saat pertama kali menggagas Indonesia sebagai negara kepulauan, 52 tahun silam (13 Desember 1957-13 Desember 2009). Pesan tersebut memberikan penekanan pada dua hal: (1) karakter kewilayahan Indonesia sebagai negara kelautan serta (2) karakter kebudayaan Indonesia sebagai masyarakat kepulauan.

Pada keduanya pula seluruh elemen bangsa dapat memahami kepentingan Indonesia atas laut.

Adapun di luar, disegani oleh bangsa-bangsa lain karena keteladanannya menegakkan keadilan dan kepentingan Indonesia atas laut sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa.

Berbeda halnya pilihan diplomasi ala Susilo Bambang Yudhoyono dalam menghadapi krisis iklim. Aspek fundrising membebani strategi diplomasi Indonesia, dengan menegosiasikan target pemotongan emisi, yakni 26 persen pada tahun 2020 secara sukarela dan 41 persen dengan bantuan asing (Kompas, 19/12).

Rasionalisasi target 26 persen seolah tidak relevan karena pertanggungjawaban sukarelanya ada pada tahun 2020, pada saat Susilo Bambang Yudhoyono tidak lagi menjadi presiden.

Adapun mendapatkan bantuan asing dengan target pemotongan 41 persen didesak untuk terealisasi sesegera mungkin.

Sebagai konsekuensi, Indonesia siap diaudit oleh asing—termasuk negara-negara boros emisi—melalui prinsip pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Pada porsi itu tidak berlebihan kiranya jika kegagalan Indonesia di Kopenhagen lebih disebabkan oleh dominasi diplomasi ”recehan”.

Reposisi

Persetujuan Kopenhagen atau Copenhagen Accord diyakini tidak membawa manfaat bagi Indonesia. Target diplomasi iklim berbasis kompensasi—bukan berbasis hak dan keadilan—terbukti melemahkan posisi tawar Indonesia sebagai negara kepulauan.

Untuk itu, diperlukan reposisi Indonesia, dengan melakukan koreksi menyeluruh atas proses perdagangan barang mentah (row materials), baik hasil tambang, pertanian, perikanan, maupun perkebunan, yang selama ini dipergunakan untuk menghidupi mesin-mesin negara industri yang boros emisi.

Sejalan dengan itu, peran lumbung pangan, semisal perikanan dan pertanian harus dioptimalkan untuk memperkuat kemandirian bangsa, sekaligus mengamankan kebutuhan pangan nasional.

Hal ini mendesak dilakukan setelah krisis iklim dan krisis pangan seolah menjadi krisis kembar (twin crisis) dewasa ini. Ingat pesan the founding father Soekarno: ”Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, malapetaka (akan terjadi).”

Setelah dua kebijakan dalam negeri tersebut diselenggarakan, model diplomasi luar negeri Indonesia harus dikoreksi total, dengan mengedepankan prinsip-prinsip negara yang berdaulat dan mandiri.

Kita patut belajar dari kasus Prita Mulyasari. Rakyat Indonesia, mulai dari tukang becak, artis, pedagang, ibu-ibu rumah tangga, pejabat, dan mantan pejabat negara, bahkan anak TK (taman kanak-kanak), turut berpartisipasi membangun solidaritas dan soliditasnya untuk menegakkan keadilan bagi Prita. Hasilnya, kurang dari dua minggu, sebanyak Rp 825 juta uang koin dapat dikumpulkan.

Sangat mungkin hal serupa dijalankan untuk memperbesar kapasitas negara menghadapi dampak perubahan iklim secara mandiri. Jika demikian, Indonesia dapat meneguhkan kembali peran pentingnya di fora internasional, sekaligus menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain dalam menghadapi krisis iklim.

Kamis, 24 Desember 2009 | 03:35 WIB

Penulis: M Riza Damanik -Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) -Anggota Kelompok Kerja Perikanan pada Aliansi Desa Sejahtera (ADS)
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03355266/kita.perlu.koin.untuk.perubahan.iklim

Perubahan Iklim: Beberapa Negara Janjikan Dana

Selama dua pekan Konferensi Perubahan Iklim 2009, Indonesia membuat sejumlah perjanjian bilateral dan multilateral terkait pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pendanaan kehutanan mendominasi rencana pemberian bantuan tersebut.

”Sektor kehutanan dan alih fungsi lahan memang menjadi fokus perhatian terbesar dalam perjanjian kerja sama itu,” kata Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), sekaligus Kepala Negosiator RI di Konferensi Perubahan Iklim 2009, Rachmat Witoelar kepada wartawan di Jakarta, Rabu (23/12). Pihak DNPI memaparkan pencapaian RI dalam negosiasi iklim.

Perjanjian bilateral, di antaranya dilakukan dengan Jerman, Norwegia, Inggris, Selandia Baru, Amerika Serikat, Swiss, dan Australia. Perjanjian juga dilakukan dengan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

Menurut Rachmat, Pemerintah Inggris menyiapkan dana 5 miliar poundsterling untuk mencegah penggundulan hutan dan alih fungsi lahan di Indonesia. Pembalakan liar juga disorot.

Sementara itu, Pemerintah Norwegia menyiapkan pendanaan sementara (interim) bagi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

Amerika Serikat juga siapkan dana 3,5 miliar dollar AS bagi program pengurangan emisi dari kehutanan. Dana itu akan dikucurkan kepada tiga negara mewakili tiga benua selama dua tahun (2010-2011).

Keberadaan dana secara cepat memang menjadi fokus delegasi Indonesia dalam konferensi perubahan iklim. Dana cepat dibutuhkan bagi upaya-upaya yang sudah siap di lapangan.

Pemerintah Jerman, lanjut Rachmat, juga berjanji memberi bantuan teknis di sektor kehutanan. Namun, jumlah bantuan hibah masih dalam pembahasan.

Mengucur tahun 2010

Semua komitmen yang ada, baik secara bilateral maupun multilateral tersebut, diharapkan mengucur tahun 2010. ”Mestinya tahun depan memang sudah bisa cair sehingga bisa langsung dimanfaatkan di lapangan,” kata Ismid Hadad dari Kelompok Kerja Pendanaan DNPI.

Triliunan rupiah dibutuhan Indonesia untuk tahap persiapan program REDD. Di lapangan sejumlah program sudah dijalankan bersama dengan Jepang, Australia, dan Jerman.

Di bidang kelautan, Pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan UNEP. UNEP akan membantu Indonesia mengkaji kebutuhan teknologi untuk sektor kelautan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dalam jumpa pers di sela-sela konferensi di Kopenhagen, menegaskan bahwa Indonesia dan negara-negara di kawasan segitiga terumbu karang membutuhkan peningkatan kemampuan penelitian laut.

Ratusan jiwa bergantung langsung pada kesehatan laut di kawasan segitiga terumbu karang tersebut. Adapun pada visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA), persoalan kelautan tidak ada. (GSA)


Copenhagen Accord


Advance unedited version
Decision -/CP.15
The Conference of the Parties,
Takes note of the Copenhagen Accord of 18 December 2009.


Copenhagen Accord
The Heads of State, Heads of Government, Ministers, and other heads of the
following delegations present at the United Nations Climate Change Conference 2009
in Copenhagen: [List of Parties]
In pursuit of the ultimate objective of the Convention as stated in its Article 2,

Being guided by the principles and provisions of the Convention,

Noting the results of work done by the two Ad hoc Working Groups,

Endorsing decision x/CP.15 on the Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action and decision x/CMP.5 that requests the Ad hoc Working Group on Further Commitments of Annex I Parties under the Kyoto Protocol to continue its work,

Have agreed on this Copenhagen Accord which is operational immediately.

1.             We underline that climate change is one of the greatest challenges of our time. We emphasise our strong political will to urgently combat climate change in accordance with the principle of common but differentiated responsibilities and respective capabilities. To achieve the ultimate objective of the Convention to stabilize greenhouse gas concentration in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system, we shall, recognizing the scientific view that the increase in global temperature should be below 2 degrees Celsius, on the basis ofequity and in the context of sustainable development, enhance our long-term cooperative action to combat climate change. We recognize the critical impacts of climate change and the potential impacts of response measures on countries particularly vulnerable to its adverse effects and stress the need to establish a comprehensive adaptation programme including international support.

2.             We agree that deep cuts in global emissions are required according to science, and as documented by the IPCC Fourth Assessment Report with a view to reduce global emissions so as to hold the increase in global temperature below 2 degrees Celsius, and take action to meet this objective consistent with science and on the basis of equity. We should cooperate in achieving the peaking of global and national emissions as soon as possible, recognizing that the time frame for peaking will be longer in developing countries and bearing in mind that social and economic development and poverty eradication are the first and overriding priorities of developing countries and that a low-emission development strategy is indispensable to sustainable development.

3.             Adaptation to the adverse effects of climate change and the potential impacts of response measures is a challenge faced by all countries. Enhanced action and international cooperation on adaptation is urgently required to ensure the implementation of the Convention by enabling and supporting the implementation of adaptation actions aimed at reducing vulnerability and building resilience in developing countries, especially in those that are particularly vulnerable, especially least developed countries, small island developing States and Africa. We agree that developed countries shall provide adequate, predictable and sustainable financial resources, technology and capacity-building to support the implementation of adaptation action in developing countries.

4.             Annex I Parties commit to implement individually or jointly the quantified economy-wide emissions targets for 2020, to be submitted in the format given in Appendix I by Annex I Parties to the secretariat by 31 January 2010 for compilation in an INF document. Annex I Parties that are Party to the Kyoto Protocol will thereby further strengthen the emissions reductions initiated by the Kyoto Protocol. Delivery of reductions and financing by developed countries will be measured, reported and verified in accordance with existing and any further guidelines adopted by the Conference of the Parties, and will ensure that accounting of such targets and finance is rigorous, robust and transparent.

5.             Non-Annex I Parties to the Convention will implement mitigation actions, including those to be submitted to the secretariat by non-Annex I Parties in the format given in Appendix II by 31 January 2010, for compilation in an INF document, consistent with Article 4.1 and Article 4.7 and in the context of sustainable development. Least developed countries and small island developing States may undertake actions voluntarily and on the basis of support. Mitigation actions subsequently taken and envisaged by Non-Annex I Parties, including national inventory reports, shall be communicated through national communications consistent with Article 12.1(b) every two years on the basis of guidelines to be adopted by the Conference of the Parties. Those mitigation actions in national communications or otherwise communicated to the Secretariat will be added to the list in appendix II. Mitigation actions taken by Non-Annex I Parties will be subject to their domestic measurement, reporting and verification the result of which will be reported through their national communications every two years. Non-Annex I Parties will communicate information on the implementation of their actions through National Communications, with provisions for international consultations and analysis under clearly defined guidelines that will ensure that national sovereignty is respected. Nationally appropriate mitigation actions seeking international support will be recorded in a registry along with relevant technology, finance and capacity building support. Those actions supported will be added to the list in appendix II. These supported nationally appropriate mitigation actions will be subject to international measurement, reporting and verification in accordance with guidelines adopted by the Conference of the Parties.

6.             We recognize the crucial role of reducing emission from deforestation and forest degradation and the need to enhance removals of greenhouse gas emission by forests and agree on the need to provide positive incentives to such actions through the immediate establishment of a mechanism including REDD-plus, to enable the mobilization of financial resources from developed countries.

7.             We decide to pursue various approaches, including opportunities to use markets, to enhance the cost-effectiveness of, and to promote mitigation actions. Developing countries, especially those with low emitting economies should be provided incentives to continue to develop on a low emission pathway.

8.             Scaled up, new and additional, predictable and adequate funding as well as improved access shall be provided to developing countries, in accordance with the relevant provisions of the Convention, to enable and support enhanced action on mitigation, including substantial finance to reduce emissions from deforestation and forest degradation (REDD-plus), adaptation, technology development and transfer and capacity-building, for enhanced implementation of the Convention. The collective commitment by developed countries is to provide new and additional resources, including forestry and investments through international institutions, approaching USD 30 billion for the period 2010 œ 2012 with balanced allocation between adaptation and mitigation. Funding for adaptation will be prioritized for the most vulnerable developing countries, such as the least developed countries, small island developing States and Africa. In the context of meaningful mitigation actions and transparency on implementation, developed countries commit to a goal of mobilizing jointly USD 100 billion dollars a year by 2020 to address the needs of developing countries. This funding will come from a wide variety of sources, public and private, bilateral and multilateral, including alternative sources of finance. New multilateral funding for adaptation will be delivered through effective and efficient fund arrangements, with a governance structure providing for equal representation of developed and developing countries. A significant portion of such funding should flow through the Copenhagen Green Climate Fund.

9.       To this end, a High Level Panel will be established under the guidance of and accountable to the Conference of the Parties to study the contribution of the potential sources of revenue, including alternative sources of finance, towards meeting this goal.


10.     We decide that the Copenhagen Green Climate Fund shall be established as  an operating entity of the financial mechanism of the Convention to support projects,  programs, policies and other activities in developing countries related to mitigation  including REDD-plus, adaptation, capacity-building, technology development and transfer.


11.     In order to enhance action on development and transfer of technology we  decide to establish a Technology Mechanism to accelerate technology development and  transfer in support of action on adaptation and mitigation that will be guided by a country driven approach and be based on national circumstances and priorities.


12.    We call for an assessment of the implementation of this Accord to be completed by 2015, including in light of the Convention’s ultimate objective. This would include consideration of strengthening the long-term goal referencing various matters presented by the science, including in relation to temperature rises of 1.5 degrees Celsius.


Appendix I
Quantified economy-wide emissions targets for 2020
Annex I Parties                  Quantified economy-wide emissions targets for 2020
                                               Emissions reduction in 2020                 Base year
 
APPENDIX II
Nationally appropriate mitigation actions of developing country Parties
Non-Annex I                                                       Actions
 



Tuesday, December 8, 2009

Hadapi Perubahan Iklim Perlu Perubahan Gaya Hidup

Malapetaka di Depan Mata

Malapetaka akibat pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim mengancam semua makhluk tanpa kecuali. Sebagai salah satu upaya menghindarkan petaka tersebut, mulai hari ini, Senin (7/12), utusan lebih dari 190 negara mulai berunding dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark.

Pada Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC) ini akan berlangsung negosiasi untuk mencapai kesepakatan baru sebagai pengganti skema Protokol Kyoto yang akan berakhir masa berlakunya pada 2012. Sebanyak 145 negara meratifikasi Protokol Kyoto yang disetujui pada 1997.

Fenomena pemanasan global, menurut pakar agroklimatologi yang juga reviewer emisi karbon negara-negara maju dalam Annex I, Rizaldi Boer, sudah terjadi di Indonesia.

Pendapat senada dinyatakan Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian di Jakarta, Sabtu (5/12).

Menurut Edvin, pemanasan global di antaranya terlihat dari perubahan suhu permukaan di seluruh wilayah di Indonesia.

Berdasarkan data dari BMKG tentang perubahan suhu minimum dan maksimum yang terpantau pada 1980-2002 di 33 stasiun pemantau, kenaikan tertinggi perubahan suhu maksimum di Denpasar, Bali, sebesar 0,087 derajat celsius per tahun. Sementara kenaikan tertinggi perubahan suhu maksimum ada di Polonia, Medan, Sumatera Utara, sebesar 0,172 derajat celsius.

”Besarannya berbeda di setiap kota,” ujar Edvin. Kenaikan suhu merupakan kecenderungan yang sedang dihadapi dunia.

Sejumlah bukti ilmiah menunjukkan, kenaikan suhu global pada abad ke-21 diperkirakan 2-4,5 derajat celsius akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.

Di Indonesia, perubahan itu terasa pada panjang pendeknya musim hujan atau kemarau. Secara umum, perubahan iklim berdampak pada musim hujan memendek, sebaliknya musim kemarau semakin panjang.

Di bidang pertanian, hal itu berdampak langsung pada hasil panen. ”Gagal panen dalam sepuluh tahun terakhir kian sering,” kata Rizaldi, yang juga dosen sekaligus Direktur Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim Kawasan Asia Pasifik (CCROM SEAP) IPB.

Dampak kelautannya, iklim ekstrem mengganggu pelayaran dan nelayan karena badai tropis kian sering. Gelombang tinggi juga kian sering mengganggu nelayan. Nelayan sekarang melaut rata-rata tinggal 200 hari setahun dibandingkan dengan 10 tahun lalu yang bisa 365 hari setahun.

”Nelayan harus tambah ongkos alat dan bahan bakar karena ikan-ikan berenang kian dalam,” kata Direktur Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono.

Memendeknya musim hujan berbanding terbalik dengan musim kering. Interval kedatangan El Nino pun kian sering menjadi sekali dalam 3-4 tahun, yang semula 7 tahun rentangnya. El Nino akan diikuti musim kering yang panjang yang berpotensi timbulkan kebakaran hutan.

Malapetaka global

Berdasarkan perkiraan sejumlah ahli, suhu Bumi saat ini meningkat 0,5 derajat celsius dari level 150 tahun silam. Kenaikan akan terus meningkat jika tak ada kemauan negara maju menurunkan laju emisi.

Kenaikan muka laut sudah terasa di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kota Semarang, Belawan (Medan), dan Jakarta merupakan kota terdampak kenaikan muka laut itu, berkisar 5-9,37 milimeter per tahun pada tahun 1990-an. Berdasarkan skenario Panel Internasional Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), kenaikan suhu Bumi hingga 6 derajat celsius berpotensi menaikkan muka laut hingga 1 meter pada tahun 2100. Puluhan juta penduduk di seluruh dunia akan terancam migrasi karena banjir, kekurangan air, dan iklim ekstrem.

Kondisi Jakarta

Sementara itu, Jakarta hingga kini masih berpredikat sebagai salah satu kota besar penghasil polusi udara terbesar di dunia. Emisi karbon yang dihasilkan kendaraan bermotor dan industri juga besar. Untuk itu, sejak enam tahun terakhir, Jakarta mulai berbenah.

”Perang melawan dampak buruk perubahan iklim dilakukan dengan dua strategi, yaitu adaptasi dan mitigasi. Adaptasi yaitu bagaimana kita berupaya membenahi lingkungan yang mengalami kerusakan dan mitigasi atau pencegahan,” kata Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Peni Susanti, Minggu.

Menurut dia, beberapa upaya adaptasi, misalnya, dengan penanaman bakau di lahan seluas 344 hektar di pesisir Jakarta Utara, khususnya di kawasan Kapuk. Sementara upaya mitigasi, antara lain, dengan penerapan uji emisi kendaraan bermotor, pemberlakuan hari bebas kendaraan bermotor rutin setiap bulan, kampanye pengelolaan sampah dan mengurangi pembuangan sampah tidak pada tempatnya, serta pembuatan sumur resapan maupun lubang biopori.

Gubernur DKI Fauzi Bowo dalam pertemuan The Asia Pacific Weeks 2009 di Berlin, Jerman, awal Oktober lalu, menekankan, ada banyak hal yang diprogramkan DKI untuk turut melawan dampak perubahan iklim. Program besar yang telah dicanangkan adalah penggunaan bahan bakar gas untuk bus transjakarta dan sebagian bajaj.

Akhir 2009, Jakarta juga menjajaki kemungkinan melebarkan pelayanan bus jalur khusus ke Bekasi dan Tangerang. Pertemuan antarpemerintah wilayah terkait mulai dilakukan. Semua ini dilakukan, kata Fauzi, untuk menyediakan angkutan umum yang nyaman untuk mengurangi emisi karbon.

Perubahan gaya hidup

Anggota Forum Pengembangan Kota Berkelanjutan, Nana Firman, mengingatkan, semua orang sebenarnya berkontribusi pada isu perubahan iklim karena pada setiap aktivitasnya setiap manusia mengeluarkan emisi karbon. ”Mobilitas kita dengan kendaraan itu mengeluarkan emisi karbon karena memakai bahan bakar fosil, bensin. Juga ketika kita membeli barang dan menggunakan barang-barang elektronik. Bahan bakar pembangkit listrik juga bahan bakar fosil, batu bara,” ujarnya.

”Karena kita berkontribusi dan kita menyadari dampaknya, kita harus bertanggung jawab. Untuk itu, kita harus ada niat yang disusul dengan upaya. Upaya ini adalah upaya mengubah perilaku,” ujarnya.

Beberapa perilaku yang bisa diubah demi mengurangi emisi karbon antara lain memilih kendaraan yang lebih kecil emisinya, misal menggunakan kendaraan umum, atau bahkan tanpa mengeluarkan emisi seperti naik sepeda atau jalan kaki.

Ia menyadari, ”Masih banyak PR yang harus dikerjakan karena kesadaran kita bahwa kita berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim masih sangat rendah.”

(GSA/NEL/ISW)
Senin, 7 Desember 2009 | 03:15 WIB

Jakarta, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/07/0315599/malapetaka.di.depan.mata

Thursday, December 3, 2009

Laut Makin Pelan Menyerap Karbon Dioksida


Direktur Lembaga Kajian Biosfer Universitas Yale, Amerika Serikat, Jefrey Park, dalam laporan ilmiah yang dituangkan di Geophysical Research Letters baru-baru ini mengemukakan, kondisi lautan mampu menyerap sekitar 40 persen karbon dioksida dari aktivitas manusia. Profesor geologi dan geofisika ini menyimpulkan hasil penelitiannya setelah melakukan kajian mendalam dengan memanfaatkan data-data dari stasiun pengamatan di Hawaii, Alaska, dan Antartika. Tidak tanggung-tanggung, data itu dikumpulkan dari stasiun pengamatan selama 50 tahun terakhir. Dari hasil pengamatan juga terungkap, temperatur laut secara perlahan terus naik. Naiknya temperatur laut secara global juga ternyata menyebabkan makin berkurangnya kemampuan laut dalam menyerap karbon dioksida yang dihasilkan dari aktivitas manusia. ”Peningkatan temperatur laut itu juga dipengaruhi oleh makin banyaknya kandungan karbon dioksida. Bayangkan, jika laut tidak mampu lagi menyerap karbon dioksida, lautan akan menjadi seperti soda,” kata Jeffrey Park. (Sciencedaily.com/NAW)



Senin, 30 November 2009 | 08:34 WIB

Penyerapan Karbon: Posisi Tawar Laut Indonesia

Peranan laut sebagai penyerap dan penyebar bahang (heat) yang mampu mengontrol perubahan iklim telah mendapat perhatian sejak awal era 1980-an oleh beberapa lembaga riset internasional. Dalam kurun waktu tersebut, para ahli kelautan mencoba memikirkan aspek lainnya, yaitu transportasi material laut yang berkaitan erat dengan neraca (budget) CO di lapisan permukaan laut-atmosfer. Dengan demikian, sangat memungkinkan untuk memprediksi perubahan iklim sebagai respons dari naiknya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer.

Awal riset siklus karbon laut global tahun 1984 dilakukan dengan program Global Ocean Flux Study (GOFS) di Amerika Serikat. Pada tahun 1987 kegiatan ini diperluas pada level internasional menjadi Joint Global Ocean Flux Study (JGOFS) yang pada umumnya mempelajari proses-proses yang mengontrol variasi temporal fluks karbon di laut dalam skala global dan kaitannya dengan pertukaran di atmosfer, dasar laut, dan daerah batas dengan daratan (pesisir), serta respons laut terhadap perubahan iklim.

Belakangan ini riset sejenis mulai mendapat perhatian di kalangan peneliti kelautan Indonesia, khususnya menjelang berakhirnya periode Protokol Kyoto pada 2012. Kesimpulan awal seolah-olah memberikan harapan bahwa laut kita berpotensi menyerap karbon di atmosfer sekitar 250 juta ton per tahun. Ide ini semakin bergulir maju menjelang pertemuan Kopenhagen, Desember 2009, yang intinya ingin mengusulkan perdagangan karbon laut. Benarkah laut mampu menyerap CO di atmosfer?

Pelepas karbon

Hasil studi setelah JGOFS, lautan global secara alami adalah pelepas karbon ke atmosfer. Ini terjadi sebelum era industri. Perkembangan industri menghasilkan emisi CO ke atmosfer (karbon antropogenik) akibat penggunaan minyak bumi diikuti perubahan lahan serta pembukaan hutan. Data Global Carbon Project (GCP) tahun 2007 menyebutkan, dari total emisi karbon global ke atmosfer sejumlah 9 Peta gram C per tahun (1 Pg > 10 pangkat 15 gram), 26 persen bagian diserap lautan global, 29 persen oleh daratan (hutan), sisanya (46 persen) terakumulasi di atmosfer.

Direktur GCP Canadel dan kawan-kawan (2007) menyebutkan, akumulasi CO di atmosfer tahun 1960 berkisar 40 persen dan pada 2007 menjadi 46 persen. Potensi penyerapan oleh hutan cenderung konstan, artinya telah terjadi penurunan tingkat efisiensi laut dalam menyerap karbon antropogenik di atmosfer.

Publikasi Le Quéré dan kawan-kawan (2007) di jurnal Science menyebutkan, penurunan tingkat efisiensi laut menyerap karbon berkaitan erat dengan menurunnya kemampuan lautan di lintang tinggi selatan (southern ocean) sebesar 30 persen dalam 20 tahun terakhir.

Sebetulnya, peta fluks CO global atmosfer-laut yang dihasilkan oleh Takahashi dan kawan-kawan (2002) menunjukkan, tidak semua lautan berfungsi sebagai penyerap karbon antropogenik. Lautan tropis pada umumnya berfungsi sebagai pelepas, sementara perairan subtropis dan lintang tinggi berfungsi sebagai penyerap. Karena itulah, Pertemuan Para Pihak (COP-15) di Kopenhagen, Denmark, sangat krusial dalam menentukan nasib umat manusia. Sekali lautan global berubah menjadi pelepas karbon ke atmosfer, efeknya mampu menaikkan temperatur Bumi dengan cepat sehingga bisa mengakibatkan perubahan iklim secara mendadak (abruptly climate change).

Potensi laut Indonesia

Posisi laut Indonesia yang berada di tropis memiliki indikasi kuat sebagai pelepas karbon. Tingginya temperatur permukaan laut dalam hal ini lebih dominan sehingga mengakibatkan tekanan parsial CO di permukaan laut lebih tinggi dari atmosfer. Hal ini mengakibatkan perairan tropis berfungsi sebagai pelepas karbon dibandingkan dengan laut di lintang menengah dan tinggi.

Tinjauan peranan lautan global, pada prinsipnya, memandang proses penyerapan karbon antropogenik secara keseluruhan dan bukan dalam tingkat regional. Inilah yang membedakan dengan kemampuan hutan sehingga laut tidak tepat untuk masuk dalam mekanisme perdagangan karbon.

Beberapa catatan seandainya laut (Indonesia) tetap ingin dipaksakan dalam mekanisme perdagangan karbon adalah sejauh mana keakuratan data yang dimiliki. Dunia internasional melalui JGOFS telah melakukan riset sekitar 25 tahun, sementara kita baru memulainya. Peranan perairan di sekitar hutan mangrove dan terumbu karang yang didengungkan di dalam negeri sebagai penyerap karbon pada kenyataannya tidak demikian.

Hasil riset perairan hutan mangrove di Papua Niugini, India, Bahama, dan Florida menunjukkan sebagai pelepas karbon (Borges dan kawan-kawan, 2003). Demikian juga terumbu karang, di mana proses kalsifikasi (pembentukan karang) lebih dominan dibandingkan dengan fotosintesis sehingga lagi-lagi laut berfungsi sebagai pelepas karbon. Ini dikemukakan oleh Gattuso dan kawan-kawan (1999) sebagai makalah pamungkas—mengakhiri perdebatan selama 10 tahun sebelumnya.

Sementara itu, fitoplankton memang mampu menyerap karbon melalui proses fotosintesis. Namun, mekanisme sistem karbonat laut dalam hal ini lebih dominan. Sintesis proyek 10 tahun JGOFS Amerika Serikat melaporkan, dari 1.000 unit karbon yang diserap fitoplankton, hanya 1 unit dapat diekspor ke dasar laut dalam (kedalaman lebih dari 1.000 meter). Sekitar 90 persen mengalami proses daur ulang menjadi anorganik karbon di permukaan laut (sampai kedalaman 100 meter) dan akhirnya dilepaskan kembali ke atmosfer.

Demikian juga beberapa lokasi high nutrient low chlorophyll (HNLC) yang direkayasa dengan menambahkan unsur besi untuk meningkatkan proses fotosintesis (teori John Martin), pada akhirnya pun tidak efektif. Pertumbuhan fitoplankton, lagi-lagi, mengalami daur ulang dan kemudian melepaskan karbon ke atmosfer. Demikian, semoga tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi delegasi RI dalam proses negosiasi di Kopenhagen, khususnya mengenai peranan laut.

Senin, 30 November 2009 | 08:31 WIB

Penulis: Alan Koropitan, Peneliti Siklus Biogeokimia Laut serta Lektor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor

GreenFest 2009: Kampanye Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Belum Berimbang

Kampanye beradaptasi dan mengurangi risiko dampak pemanasan global selama ini lebih bertumpu pada masyarakat, kurang ditujukan kepada pemerintah, sehingga kampanye belum berimbang. Green Festival 2009 pada 5-6 Desember 2009 mendatang di Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta, mendorong agar pemerintah berpartisipasi aktif menjaga kesinambungan aksi masyarakat yang ”dikejar-kejar” supaya hidup hemat energi, ramah lingkungan, dan sebagainya.

”Suatu contoh, masyarakat diimbau memilah sampah dan sebagian sudah melakukannya. Tetapi, pemerintah melalui dinas kebersihannya kembali menjadikan satu, belum mampu memilah sampah,” kata General Manager Yayasan Unilever Sinta Kaniawati, Senin (30/11), di Jakarta.

Menurut Sinta, semestinya aksi masyarakat mendukung gerakan ramah lingkungan disambut secara berkesinambungan oleh pemerintah. Saat ini pemerintah belum berniat menyediakan infrastruktur pemilahan sampah dengan sempurna.

Jajaran pemerintah pun berkewajiban menjadi contoh bagi masyarakat untuk menjalankan prinsip-prinsip hidup ramah lingkungan.

”Kampanye yang ingin disampaikan melalui Greenfest (Green Festival) nanti, setiap lapisan masyarakat yang mengunjungi, akan tertarik dan mau melakukan satu aksi. Entah aksi itu berupa lebih menghemat listrik, menghemat air, mengolah sampah, dan lain-lainnya,” kata Sinta.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Yayasan Pelangi Indonesia Moekti Soejachmoen mengatakan, saatnya kini menyampaikan komunikasi dalam kampanye seperti Greenfest secara berimbang. Aksi yang diharapkan tumbuh dari kalangan masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan aksi pemerintah.

”Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan target menurunkan emisi 26 persen. Langkah konkret semestinya dijalankan masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama,” kata perempuan yang akrab dipanggil Kuki ini.

Menurut Kuki, 26 persen emisi yang ingin direduksi itu terbagi 14 persen dari sektor kehutanan, 6 persen dari sektor energi, dan 6 persen dari sektor sampah. Tetapi, angka-angka itu masih dirasakan janggal, khususnya reduksi emisi dari sektor sampah.

”Emisi dari sampah berupa metana dari unsur sampah organik. Tetapi, sekarang sampah plastik yang tidak mengeluarkan emisi metana yang jumlahnya terus bertambah,” kata Kuki.

Reduksi emisi 6 persen untuk sektor energi, menurut Kuki, masih bisa ditingkatkan lagi. Efisiensi energi untuk bidang transportasi masih sangat kurang.

Moda transportasi angkutan umum kurang diutamakan. Pemborosan energi terjadi dengan makin banyaknya penggunaan kendaraan pribadi dan di sisi lain menimbulkan kemacetan.

”Reduksi emisi 14 persen melalui sektor kehutanan masih dihadapkan pada masalah tata guna dan tata ruang. Pemerintah harus membuat aturan main yang benar,” ujar Kuki.

Menurut dia, pemerintah saat ini juga banyak dihadapkan pada persoalan lahan yang tidak dimanfaatkan. Semestinya, lahan-lahan itu diolah dan memberi manfaat yang optimal.

Melalui Greenfest kedua kali ini, Kuki mengharapkan, keseimbangan bentuk kampanye menjadi opsi-opsi yang mudah dijalankan masyarakat dan pemerintah. Pada akhirnya, itu akan bermanfaat bagi kesinambungan berbagai tindakan nyata untuk menyelamatkan Bumi yang makin sekarat ini. (NAW)

Keamanan Nasional dan Keamanan Alam

Kalangan pertahanan di banyak negara mulai memusatkan perhatian pada dampak perubahan iklim atas keamanan nasional.

Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman membahasnya dalam rangka kajian tentang keamanan nasional masing-masing untuk 10-15 tahun mendatang. Mereka mengkaji dampak perubahan iklim di sejumlah wilayah dunia yang potensial mengganggu kepentingan nasional Amerika dan Eropa.

Kemarau panjang Gurun Darfur di Sudan, pencairan gumpalan es di Kutub Utara, dan konflik permukiman Arab-Palestina masing-masing dinilai dapat memacu pertambahan jumlah imigran gelap dari Afrika ke Amerika Utara dan Eropa, mengubah nilai strategis alur laut Kutub Utara, dan mengganggu pasokan minyak-gas dari Timur Tengah.

Militer dan iklim

KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7-17 Desember 2009, akan ikut menyinggung perkaitan peran militer dengan perubahan iklim, mengingat departemen pertahanan di mancabenua umumnya adalah pengelola terbanyak atas markas, pangkalan, daerah latihan, dan hutan.

Tentara adalah pengguna energi fosil terbesar untuk kendaraan tempur, kapal perang, dan pesawat terbang. Karena itu, perubahan iklim dan keamanan nasional menyatu sebagai masalah keamanan nasional dan keamanan alam.

Perubahan iklim dan keamanan nasional tidak lepas dari dampak perubahan iklim global dan keamanan internasional. Baik penanganan iklim global maupun keamanan nasional hanya dapat ditangani dalam kerangka lima tataran kebijakan sekaligus: global, regional, nasional, provinsial, dan lokal. Dalam era global, tidak ada kedaulatan mutlak.

Keamanan nasional dan keamanan alam Indonesia, misalnya, tidak bisa lepas dari semburan buangan gas industri berat di Asia timur laut yang banyak menggunakan batu bara. Sebaliknya, hampir tiap tahun kepentingan nasional Malaysia dan Singapura terganggu oleh sebaran asap dari pembakaran liar di sejumlah kabupaten dan provinsi Sumatera.

Sebagai negara anggota G-20, pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu sepakat menetapkan kebijakan keamanan nasional dan keamanan alam dengan menyertakan pakar ilmu lingkungan, hukum, politik, ekonomi, energi, sains, dan teknologi.

Tak kalah penting adalah penyertaan pakar antropologi, budaya, dan sejarah. Bagaimanapun, pola pemakaian energi dan bahan bakar mengandung unsur- unsur budaya lokal. Penggunaan bahan bakar fosil dan nonfosil amat berbeda dari lokasi ke lokasi dan dari waktu ke waktu.

Sejumlah pakar strategi militer di Amerika Utara, Eropa, dan Asia belum lama ini mengajukan tiga skenario besar menghadapi perubahan iklim global akibat pemanasan global.

Skenario pertama, sebagai yang ”paling mungkin” adalah apabila suhu rata-rata global naik 1,3 derajat celsius per tahun hingga tahun 2040. Krisis yang diperkirakan terjadi adalah pertentangan di dalam dan antarnegara akibat migrasi besar-besaran. Karena berkurangnya hujan, lahan, hutan, dan air, akan meluaslah berbagai penyakit, seperti paru- paru, tenggorokan, dan pernapasan. Negara dan pemerintahan yang tak sanggup menanggung beban konflik sosial yang terjadi di dalam negeri akan mengalami kekacauan, bahkan disintegrasi, politik, dan ekonomi.

Skenario kedua, yang ”parah” adalah jika kenaikan suhu global mencapai 2,6 derajat celsius per tahun hingga tahun 2040. Krisis yang terjadi adalah kian gencarnya migrasi intranegara dan antarnegara yang bertetangga, perubahan besar-besaran terhadap pola pertanian dan pengairan, serta menjangkitnya pandemik seperti flu A-H1N1 dan flu burung. Sengketa dan kekerasan sekitar sumber daya alam dapat memicu perang suku, perang etnik, dan konflik antarumat beragama. Semua pihak akan mencari dukungan untuk mencari pembenaran menurut ajaran suku, adat, dan Tuhan masing-masing.

Perubahan lahan pantai di negeri Belanda, di sepanjang Sungai Nil antara Mesir dan Sudan, antara India dan Banglades serta di negara pulau seperti Maladewa dan Pasifik Selatan, dapat berubah secara drastis pandangan diri manusia tentang jati diri dan mengenai hubungan diri dengan alam sekitar.

Skenario ketiga, ”malapetaka besar” adalah kenaikan suhu  dunia sebesar 5,6 derajat celsius per tahun menjelang tahun 2100. Malapetaka besar terjadi jika pusat-pusat ekonomi kuat, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan RRC, mengandalkan keamanan energinya dari pemakaian energi fosil dengan gas
buangan yang amat banyak. Apabila sepanjang abad ke-21 keempat kutub ekonomi besar ini tidak mengurangi pemakaian energi fosil, masyarakat dan negara-negara lain akan menempuh teror internasional dengan menggunakan ideologi sekuler maupun agama. Atau menempuh perang asimetris melalui penyelundupan senjata pemusnah massal, migrasi ilegal, perluasan obat bius, atau perang biokimia.

Menyesatkan

”Perubahan iklim global” mengandung makna yang agak menyesatkan. Tidak semua benua, samudra, gunung, dan lahan di dunia menjadi korban yang sama parahnya dari pemanasan global yang disebabkan pola konsumsi energi perekonomian negara-negara besar.

Namun, melalui suatu kerja sama nasional, regional, dan global yang berkesinambungan, pemerintah dan masyarakat ASEAN bisa melakukan pemetaan lokal, provinsial, nasional, regional, dan global melalui kerja sama KTT ASEAN, APEC, Asia Timur, dan medan-medan internasional yang bermitra.

Peran Indonesia

Perguruan tinggi dan lembaga penelitian—negeri dan swasta—di seluruh Tanah Air dapat menyusun kajian berlanjut tentang kedudukan dan peran Indonesia dalam tatanan ekonomi, politik, dan militer Asia Pasifik khususnya dan di dunia pada umumnya.

Pola konsumsi energi dan bahan bakar alternatif ”dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote” hendaknya disusun dan dimutakhirkan secara berkala. Pola energi alternatif di wilayah padat penduduk seperti Jawa dapat tersambung secara efisien dan wajar dengan wilayah jarang penduduk, tetapi kaya sumber alam seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua.

Akhirnya, keamanan nasional Indonesia terpulang pada pengamanan alam di seluruh wilayah Indonesia. Meski bineka dalam ragam pola konsumsi lokal, tetap ika dalam komitmen bersama mengedepankan keamanan alam Indonesia.

Rabu, 2 Desember 2009 | 02:36 WIB

Penulis: Juwono SudarsonoGuru Besar Universitas Indonesia, Jakarta

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...