Showing posts with label Green Economy. Show all posts
Showing posts with label Green Economy. Show all posts

Thursday, May 5, 2011

Uni Eropa Dukung Kayu Legal

Kementerian Kehutanan (Ke­menhut) menerapkan Sistem Veri­fi­kasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menghentikan masuknya produk kayu dari hasil pem­ba­lakan liar (illegal logging) yang selama ini mengganjal ekspansi produk ka­yu Indonesia ke negara-negara Uni Eropa. Dengan SVLK, pro­duk kayu Indonesia mendapat ja­minan diterima di pasar inter­nasional.

“SVLK dikembangkan berda­sarkan hukum dan peraturan In­donesia. SVLK wajib dimiliki se­tiap pemegang konsesi dan akan berlaku untuk semua pasar eks­por,” jelas Menteri Kehu­tanan Zulkifli Hasan saat memberikan sambutan pada acara Initialing FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement Government and Trade - Voluntary Partnership Agreement) Document and Signing of Joint Statement on the Conclusion of the Negotiation of a FLEGT-VPA di Jakarta, ke­marin.

Monday, March 14, 2011

PLN Beli Listrik dari PLTP (Geothermal)

Jakarta, Kompas - PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sepakat membeli listrik yang dihasilkan dari enam pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan total kapasitas daya 435 megawatt. Hal ini tertuang dalam perjanjian jual-beli listrik dengan dua pengembang PLTP, yakni PT Pertamina Geothermal Energy dan PT Westindo Utama Karya.

Hal ini sebagai implementasi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 02 Tahun 2011 tentang penugasan kepada PT PLN untuk membeli tenaga listrik dari PLTP dan harga patokan pembelian tenaga listrik oleh PLN dari PLTP. Kepastian pembelian listrik dari panas bumi sesuai harga lelang yang dilakukan pemerintah daerah dan kepastian harga patokan tertinggi 9,7 sen dollar AS per kWh.
Perjanjian jual-beli listrik itu ditandatangani Direktur Utama PT PLN Dahlan Iskan, Dirut Pertamina Geothermal Energy (PGE) Abadi Poernomo, dan Dirut PT Westindo Utama Karya Agus Rachman, Jumat (11/3) di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta. Penandatanganan perjanjian itu disaksikan Menteri BUMN Mustafa Abubakar dan Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh.

Jadi, PGE mengembangkan lima PLTP, yaitu PLTP Lumut Balai (2 x 55 MW) di Sumatera Selatan, PLTP Ulubelu unit 3 dan 4 (2 x 55 MW) di Tanggamus Lampung, PLTP Lahendong unit 5 dan 6 (2 x 20 MW) di Sulawesi Utara, PLTP Karaha (1 x 30 MW), dan PLTP Kamojang unit 5 (2 x 2,5 MW) di Jawa Barat. Adapun PT Westindo Utama Karya mengembangkan PLTP Atadei (2 x 2,5 MW) di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Menurut Abadi, PT PGE dan PLN sepakat menetapkan harga dasar listrik untuk PLTP Lumut Balai unit 1, 2, 3, dan 4 serta PLTP Ulubelu Unit 3 dan 4 sebesar 7,53 sen dollar AS per kWH. Adapun harga dasar listrik PLTP Lahendong unit 5 dan 6, PLTP Karaha dan PLTP Kamojang unit 5 sebesar 8,25 sen dollar AS per kWh. Jangka waktu produksi unit PLTP selama 30 tahun mulai terhitung tanggal operasi komersial dari unit PLTP itu.

”Penandatanganan perjanjian jual-beli listrik ini diharapkan akan mempercepat pembangunan pembangkit proyek percepatan pembangkit listrik 10.000 megawatt tahap kedua, khususnya untuk PLTP,” kata Dahlan.

Kerja sama itu juga akan memperkuat ketersediaan pasokan di sejumlah daerah dan memberi stimulus bagi para calon investor dalam pengembangan listrik dari energi terbarukan, khususnya panas bumi. (EVY)

Sumber : Harian Kompas, Senin,14 Maret 2011

Monday, February 28, 2011

"Bunuh Diri" dengan Moratorium Hutan

Terbitnya Letter of Intent RI-Norwegia yang menjanjikan dana hibah 1 miliar dollar AS tahun 2010 membuat masalah moratorium hutan (dan gambut) menjadi topik perdebatan berkepanjangan.
Bukan karena obyek moratorium yang hanya hutan alam primer, atau lahan gambut yang akan ditutup total tanpa pertimbangan teknologi sekalipun, perdebatan kini juga menyangkut efektif tidaknya moratorium. Pengusul moratorium seakan ditempatkan sebagai pihak konservasif, yang jadi pahlawan lingkungan. Pihak lainnya dianggap anti-kelestarian lingkungan kalau ngotot memanfaatkan lahan hutan alam rusak sekalipun.

Moratorium pun diyakini sebagai obat mujarab menjaga hutan dan kelestarian ekosistem. Pemahaman yang tak sepenuhnya benar, bahkan dalam kondisi sosial-ekonomi saat ini bisa jadi sangat keliru dan akan merusak hutan dan ekosistem. Sebuah kontroversi kebijakan yang harus ditetapkan sangat hati-hati.
Moratorium secara permanen, aman gangguan, dan jangka lama memberikan kesempatan kepada hutan bernapas. Plasma nutfah terjaga. Kehidupan satwa dan tumbuhan langka terjamin pengembangannya. Namun, langkah moratorium tak boleh latah. Lapar lahan di lapangan, kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang kelebihan kapasitas, lemahnya penegakan hukum, dan anarkisme sosial cenderung berakibat fatal bagi hutan dan keselamatan lingkungan justru jika moratorium diberlakukan.
Wacana moratorium seluruh hutan Jawa yang disuarakan Menneg LH tahun 2004 jelas dianggap mengada-ada tanpa solusi terhadap kemungkinan munculnya problematik yang berat. Apalagi penyebab bencana lingkungan Jawa 75 persen ada di lahan milik di luar kawasan hutan. Sebelumnya, Pemprov Jatim juga membuat rancangan perda moratorium hutan setelah terjadi banjir di Jombang, tetapi dicabut kembali (2003).
Megawati juga menjanjikan kebijakan moratorium jika terpilih saat mencalonkan diri jadi presiden dalam kampanye di Kalteng (Kompas, 16/6/2009). Usulan Walhi memberlakukan moratorium tebangan hutan setelah kecewa dengan terbitnya SP3 Kepolisian RI terhadap kasus pembalakan liar di Riau 2009 hanya dianggap usulan emosional yang tak dipenuhi pemerintah.
Pengalaman moratorium hutan yang telah dilakukan selama hampir tiga tahun terakhir di Provinsi NAD justru terbukti mengakibatkan hutan Aceh rusak berat akibat penebangan liar. Kayu ilegal mengalir ke wilayah Sumatera Utara. Konon, ratusan kilang kayu ilegal di daerah Pidie tetap beroperasi tanpa diusik aparat. Pengalaman moratorium hutan Jawa di awal abad ke-20 oleh pemerintah kolonial Belanda juga menuai keributan para perajin kayu yang tak memperoleh bahan baku, serta protes dari para bupati dan wedana. Hutan jati justru mengalami penjarahan berat, dan Belanda akhirnya mencabut kebijakan itu.
Adakah praktik moratorium hutan yang efektif menjaga kelestarian sumber daya hutan? Vietnam telah melakukan moratorium tebangan hutan alamnya 1997 dengan sukses. Namun, tentu dengan kondisi sosial dan kebutuhan kayu bulat yang sangat berbeda. Pasokan bahan baku kayu bulatnya dipenuhi dari Kamboja, Laos yang kayunya melimpah dan belum diatur dengan baik. Hutan Vietnam terbukti aman, tetapi dengan merusak hutan negara tetangganya itu.
Moratorium selektif
Hutan punya aneka fungsi. Konteks silvikultur hutan menempatkan tebangan kayu sebagai rantai penting yang akan membuat hutan berfungsi maksimum. Tak terkecuali bagi hutan alam produksi. Struktur un-even forest harus diubah jadi even forest. Saat suksesi hutan mencapai klimaks, penyerapan karbon relatif terhenti. Peremajaan hutan jadi solusi agar hutan berperan kembali jadi absorber karbon lima kali lipat dari hutan alam dan efektif mengendalikan pemanasan global. Hutan alam sekunder yang telah rusak dan terbuka tentu tak haram diremajakan.
Moratorium tebangan hutan harus dilakukan secara hati-hati melalui kajian komprehensif yang faktual. Salah satu bahan pertimbangan paling penting adalah adanya peta lahan penyebab bencana (land position map/LPM). Kawasan hutan yang paling layak tak dijamah umumnya merupakan lahan penyebab bencana sesuai LPM wilayah terkait, bukan hutan produksi di dataran rendah. Di samping juga hutan lain untuk kepentingan tertentu, secara selektif.
Moratorium hutan yang tak tepat dan menjauhkannya dari sistem pengorganisasian pemangkuan hutan jelas tak menjamin pemulihan ekosistem dan menyelesaikan masalah lingkungan, bahkan lebih sering berpotensi membangkitkan masalah sosial dan ekonomi serius akibat kondisi hutan yang jadi ”tak bertuan”. Ini juga akan terjadi pada lahan gambut yang tak boleh disentuh di luar kawasan hutan, yang kian berpotensi menimbulkan perambahan hebat dan pembakaran lahan yang menghasilkan bahaya asap. Moratorium hutan dan lahan gambut berpotensi jadi kebijakan ”bunuh diri”.
Kebijakan moratorium hutan (dan lahan gambut) dapat dilakukan jika batasan sosial-ekonomi kebutuhan pengamanan ekosistem lingkungan dan syarat pengamanan hutan dipenuhi. Moratorium seharusnya bukan momok bagi industri pengusahaan kehutanan, tetapi juga bukan sesuatu yang secara latah harus dilakukan pemerintah tanpa kajian mendalam, apalagi hanya untuk jangka pendek yang tidak efektif seperti syarat LoI RI-Norwegia di atas. Moratorium hutan selektif paling mudah diterima semua pihak.
Penulis: TRANSTOTO HANDADHARI Rimbawan Senior; Ketua Umum Yayasan GreenNET Indonesia

Wednesday, February 9, 2011

Sejahtera di Negeri Bahari

Nasib sebagian besar nelayan di Tanah Air seperti kata pepatah: bagai ayam mati di lumbung padi. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas daratan 1,8 juta kilometer persegi dan lautan 6,1 juta kilometer persegi, kenyataan menunjukkan, justru para nelayanlah yang berada pada strata kemiskinan paling bawah.

Di Indonesia, yang pernah begitu jaya di laut, sudah lama sekali ekonomi kelautannya terpuruk ditelan ekonomi daratan. Bahkan, pepatah untuk menggambarkan ketidakmampuan mengeksplorasi kekayaan bahari ini pun sangat kental bernuansa pertanian.

Meski sejarah menunjukkan bahwa Nusantara pernah jaya di samudra dengan kerajaan-kerajaan maritim yang terkenal—sebutlah Sriwijaya dan Majapahit di antaranya, kepentingan dagang Portugis, Inggris, dan Belanda pada abad ke-16-18 pelan-pelan melumpuhkan kekuatan bahari ini. Warisannya kemudian adalah disorientasi sosial budaya bangsa yang berkelanjutan. Ini terbukti dari rezim pemerintahan Orde Lama dan terutama Orde Baru, yang lalai membangun kembali kesejahteraan dari laut.

Maka, makin terpinggirkanlah masyarakat nelayan. Pascareformasi, upaya membangkitkan kembali kejayaan di laut dimulai, tetapi ketertinggalan yang sedemikian parah membuat empat periode menteri kelautan dan perikanan belum bisa mengangkat nasib nelayan secara signifikan.

Situasi nelayan

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010 menunjukkan, jumlah nelayan di Indonesia hingga 2008 mencapai 2.240.067 nelayan. Dari jumlah itu, dua juta di antaranya bergantung pada perikanan tradisional: menggunakan peralatan dan pengetahuan yang serba terbatas untuk menangkap ikan.

Dengan menggunakan nilai tukar nelayan, bisa diketahui bagaimana tingkat kesejahteraan nelayan. Angka ini dihitung dari indeks harga yang diterima nelayan dibagi indeks harga yang dibayarkan nelayan.

Bila angka mencapai 100, berarti harga ikan sebanding dengan biaya konsumsi ataupun produksi. Dengan demikian, semakin tinggi nilai tukar, semakin sejahteralah kehidupan nelayan.

Ternyata, dari 33 provinsi, sebanyak 20 provinsi memiliki nilai tukar nelayan di atas 100. Nilai tertinggi dicapai Maluku (123,54), diikuti Nusa Tenggara Timur (121,43), Lampung (114,58), Daerah Istimewa Yogyakarta (113,54), dan Sumatera Selatan (113,31).

Pada 13 provinsi sisanya, nilai tukar nelayan masih di bawah 100. Terendah adalah Papua (86,13), Bangka Belitung (86,07), Kalimantan Selatan (88,62), Jambi (91,24), dan Bali (91,41).

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang hadir dalam diskusi mengingatkan, jumlah nelayan di satu kawasan yang terlalu banyak bisa mengurangi pendapatan nelayan di kawasan tersebut.

Dengan menggunakan estimasi jumlah nelayan optimal di setiap kawasan pesisir, tampaklah bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Bangka Belitung rendah karena jumlah nelayan di kawasan Selat Malaka sudah melebihi kapasitas. Menurut Rokhmin, pada tahun 2002 di Selat Malaka hanya butuh 99.579 nelayan, sedangkan jumlah yang ada 224.766.

Namun, masih banyak faktor lain yang memengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan. Misalnya, potensi produksi dan tingkat pemanfaatan sumber daya di setiap kawasan, tingkat pengetahuan dan peralatan nelayan, serta keberlanjutan rantai produksi pascapenangkapan. Jalinan persoalan inilah yang melilit para nelayan di Indonesia sehingga menimbulkan disparitas kesejahteraan yang demikian besar.

Memberdayakan nelayan

Harus diakui, pemerintah memang belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak nelayan dan petambak tradisional. Mulai dari belum dilindunginya wilayah tangkap tradisional sampai belum diakomodasinya keluarga nelayan sebagai satu kesatuan unit produksi.

Riza Damanik mencontohkan, kerja pemerintah yang sering bersifat sektoral membuat pencemaran laut tak juga selesai ditangani. Padahal, justru di daerah yang tercemar itulah sebagian besar nelayan menangkap ikan karena wilayah tangkapan mereka paling jauh hanya mencapai 5,4 kilometer.

Di sisi lain, masih banyak praktik penangkapan ikan dengan kapal besar di wilayah yang sama. Akibatnya, meski data penangkapan ikan sudah mencapai 5,6 juta ton per tahun—mendekati potensi produksi tahun 2010 yang diperkirakan 6,5 juta ton per tahun, masih sedikit sekali yang bisa dinikmati para nelayan dan keluarganya.

Hasil diskusi kelompok terbatas yang dilakukan Kiara di Desa Morodemak, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa waktu istri beraktivitas dibanding suami dalam suatu keluarga nelayan hampir tidak jauh beda. Selain kegiatan domestik, istri nelayan juga membuat kerupuk, menjual ikan, dan pergi ke pelelangan. Total istri bekerja 16 jam sehari, sedangkan suami 15 jam sehari, itu sudah termasuk melaut dan memperbaiki jaring.

Dengan demikian, pemerintah harus mengembangkan nelayan sebagai kesatuan keluarga. Insentif tidak hanya menyangkut penangkapan, tetapi pada keseluruhan kegiatan produksi, termasuk pascatangkap. Tanpa intervensi luar biasa pada kelompok perempuan, mustahil kegiatan perikanan rakyat bisa bangkit.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah berkurangnya masa tangkap karena cuaca ekstrem. Frekuensi melaut nelayan kini tinggal 160-180 hari dalam setahun, padahal sebelumnya bisa 260-300 hari, sehingga otomatis terjadi penurunan pendapatan.

Maka, agar Revolusi Biru menjadi solusi yang menyejahterakan rakyat, ada tiga model yang bisa menjadi pilihan: teknokratik, populis, dan teknopopulis.

Teknokratik yang berorientasi pada peningkatan produksi, padat modal, dan mengandalkan pelaku besar sudah dipraktikkan di Peru, China, dan Vietnam. Produksi perikanan tangkap Peru pernah menjadi nomor satu dunia dan kini menempati urutan kedua (7,4 juta ton) setelah China (14,8 juta ton).

Model populis berorientasi pada penanggulangan kemiskinan dan mengandalkan pelaku-pelaku kecil, seperti di Filipina. Investasi besar tidak bermain di sektor hulu, tetapi di hilir. Pilihan ini sangat pronelayan, tetapi tidak menghasilkan angka produksi dan ekspor yang spektakuler.

Model ketiga yang merupakan perpaduan teknokratik dan populis dipraktikkan di Jepang dan Norwegia. Model ini melindungi nelayan kecil, tetapi pada saat yang sama mengembangkan industri skala besar dengan mendorong nelayan-nelayan yang kuat beroperasi di perairan internasional. Nelayan kecil sejahtera, tetapi produksi tetap tinggi.

Bila amanat konstitusi menjadi pertimbangan, maka perpaduan model teknokratik dengan populis atau teknopopulis menjadi pilihan tepat untuk mengembangkan industri bahari di negeri ini. Jumlah nelayan tradisional yang masih 90 persen akan terlindungi dan masih ada ruang untuk mengembangkan industri perikanan, termasuk pengolahannya.

Ini berarti optimalisasi informasi baik iklim maupun kawasan potensi ikan ke komunitas nelayan, peningkatan sumber daya manusia, penyediaan asuransi iklim dan modal usaha bagi nelayan, infrastruktur yang memadai, serta terbukanya kawasan investasi perikanan yang efisien dan bebas pungutan liar.

Semua itu sungguh bukan pekerjaan yang mudah di tengah euforia otonomi. Akan tetapi, justru di sinilah peran Kementerian Kelautan dan Perikanan diuji.

09 Februari 2011
Source:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/04332498/.sejahtera.di..negeri.bahari

Mengembalikan Keberpihakan Perbankan

Kesadaran akan pentingnya keberpihakan perbankan terhadap sektor perikanan sudah muncul sejak Indonesia merdeka. Salah satu buktinya, selain Bank Negara Indonesia Tahun 1946, negara mendirikan pula Bank Tani dan Nelayan.

”Waktu itu sudah disadari petani dan nelayan miskin,” ujar Sri-Edi Swasono, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dengan demikian, diperlukan bank khusus tani dan nelayan untuk membantu pembiayaan.

Namun, dalam perkembangannya, bank untuk tani dan nelayan itu akhirnya tertelan sejarah, melebur ke bank lain. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 41 Tahun 1960, Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta Bank Tani dan Nelayan melebur ke dalam Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan (BKTN). Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) juga melebur ke dalam BKTN.

Dalam catatan sejarah BRI, lebih lanjut disebutkan bahwa lima tahun kemudian, berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 9 Tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan.

Setelah berjalan selama satu bulan, keluar Penpres Nomor 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI). Dalam ketentuan baru itu, Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan (eks BKTN) diintegrasikan dengan nama BNI Unit II Bidang Rural, sedangkan NHM menjadi BNI Unit II Bidang Ekspor Impor.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Undang-Undang Bank Sentral akhirnya mengembalikan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Selain itu, BNI Unit II Bidang Rural dan Ekspor Impor dipisahkan masing-masing menjadi dua bank, yaitu BRI dan Bank Ekspor Impor Indonesia. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968 menetapkan kembali tugas-tugas pokok BRI sebagai bank umum.

”Sejak itu, kredit-kredit besar tidak lagi diberikan bagi kepentingan petani dan nelayan,” kata Sri-Edi. Padahal, kredit perbankan ini sangat diperlukan untuk investasi mengembangkan perikanan tangkap yang tangguh dan membangun industri pengolahan perikanan.

Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa dalam kurun 2005-2009 alokasi kredit untuk perikanan hanya naik dari 0,22 persen menjadi 0,23 persen. Selama tahun 2009, misalnya, penyaluran kredit perikanan Rp 3,33 triliun (0,23 persen) dari total kredit perbankan. Kredit itu meliputi usaha kecil dan menengah Rp 2,1 triliun, sisanya Rp 1,2 triliun untuk usaha besar.

Kredit bermasalah

Meski alokasi kredit minim, tingkat kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) di sektor perikanan tergolong tinggi. Tahun 2009, NPL perikanan mencapai 11,76 persen dari total kredit. Penyebab kredit macet itu, di antaranya, nelayan yang telah mendapat kredit dari bank tidak mampu membayar atau pindah wilayah tinggal tanpa pemberitahuan sehingga sulit dilacak oleh perbankan. ”Perikanan masih menjadi sektor yang menakutkan bagi perbankan,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi (Kompas, 23/4/2010).

Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria juga mengakui perbankan masih menilai NPL perikanan menjadi momok, baik terhadap perusahaan perikanan besar maupun terhadap nelayan kecil. Terkait masalah ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah berdebat panjang dengan direksi Bank Indonesia dan direksi BRI tentang alokasi kredit untuk sektor perikanan.

Bank Indonesia sebetulnya tidak tinggal diam. Bank Indonesia telah menandatangani nota kesepakatan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 22 April 2010. Salah satu butir kesepakatan itu adalah membentuk kluster di daerah-daerah guna mempertemukan pengusaha besar, kelompok nelayan, pembudidaya, pemerintah daerah, dan perbankan guna mengatasi masalah permodalan usaha perikanan. Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Bambang Suboko menilai, BI telah gagal mendorong fungsi intermediasi perbankan di sektor perikanan.

Dengan gagalnya fungsi intermediasi itu, sekadar ilustrasi, ikan patin Indonesia tidak mungkin akan bersaing dengan ikan patin Myanmar atau Vietnam. Petani yang memelihara ikan patin di Myanmar dan Vietnam mendapat diskon kredit, sedangkan suku bunga kredit di Indonesia sulit bergerak pada kisaran 14 persen. ”Dengan suku bunga semacam ini, saya kira kita tidak bisa bergerak sama sekali,” ujar Bambang.

Terlebih lagi jika nanti tahun 2015 Indonesia masuk menjadi bagian dari komunitas negara-negara Asia Tenggara (ASEAN Community), Indonesia akan kembali ”dimakan” negara-negara ASEAN lain karena kalah dalam insentif suku bunga.

Untuk itu, Bambang Suboko menyarankan kepada perbankan untuk mengambil peran dalam pengembangan sektor perikanan ini. Pertama, memperbaiki peranan intermediasi. Kedua, menurunkan suku bunga kredit konsumsi yang sekarang 16,63 persen dan kredit investasi yang sekarang sebesar 13,78 persen, menurunkan bunga surat utang negara yang sekarang 9-10 persen, serta meninjau kembali giro wajib minimum. Selain itu, memperbaiki persepsi pada sektor riil yang berisiko besar. Ketiga, memperbaiki fasilitas pembiayaan ekspor seperti kredit modal kerja ekspor, pembiayaan letter of credit, dan asuransi ekspor.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri sepakat dengan Bambang Suboko bahwa sesuai data Bank Dunia, suku bunga kredit tertinggi di seluruh dunia ada di Indonesia, yaitu sekitar 14 persen. Padahal di Thailand, suku bunga kredit hanya 2,8 persen. Inti masalahnya, kata Rokhmin, kalau dari sisi pembiayaan Indonesia sudah kalah kompetitif dibandingkan negara lain, maka lupakan sektor perikanan bisa kompetitif.

”Oleh karena itu, perlu terobosan dari sisi pembiayaan,” tambah Arif Satria.

Perlu instrumen nonbank

Arif Satria menilai, selama sektor perikanan bergantung pada bank, sektor ini selalu akan berbenturan dengan kepentingan bank yang mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Bank tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan karena ada prinsip kehati-hatian yang harus ditaati perbankan.

Salah seorang peserta diskusi, Son Diamar, menyarankan agar diadakan perubahan Undang-Undang Bank Indonesia agar fungsi intermediasi perbankan bisa lebih berjalan.

Pemerintah juga mempunyai program kredit usaha rakyat (KUR) perikanan untuk membantu pembiayaan. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah pula menjalin kerja sama dengan sejumlah bank. Kerja sama dengan BNI, misalnya, ditandatangani pada 27 September 2010. Kerja sama itu, seperti dikutip dalam siaran pers BNI, langsung diwujudkan dengan penandatanganan persetujuan pemberian fasilitas kredit senilai Rp 70 miliar.

Namun, praktik di lapangan, seperti diamati Rokhmin Dahuri, tidak selalu mulus. ”KUR perikanan itu susah sekali didapatkannya. Selain bunganya tinggi sekali, rakyat kecil enggak bisa pinjam ke bank,” tuturnya.

Arif Satria mengusulkan perlunya menciptakan instrumen lain nonbank. Kalau sekarang Kementerian Pertanian membuat RUU Pembiayaan Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga perlu mengusulkan RUU Pembiayaan Perikanan. Dengan demikian, nanti ada Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di lapangan yang tidak kaku seperti bank.

”LKM harus fleksibel dan adaptif terhadap kepentingan nelayan,” katanya.

Namun, kembalinya perbankan berpihak pada kepentingan tani dan nelayan—sebagaimana tercatat dalam sejarah terbentuknya Republik Indonesia— tetap menjadi harapan.

09 Februari 2011
Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/04340062/.mengembalikan.keberpihakan.perbankan

Tuesday, September 7, 2010

Sertifikasi Bukan demi Lingkungan, tetapi Bisnis

Pada 11 Agustus lalu James M Roberts dari Heritages Foundation menuliskan, Greenpeace bersama World Wildlife Fund, Friends of the Earth, dan Rainforest Action Network memelopori pemboikotan produk Indonesia di seluruh dunia.


Pada 11 Agustus lalu James M Roberts dari Heritages Foundation menuliskan, Greenpeace bersama World Wildlife Fund, Friends of the Earth, dan Rainforest Action Network memelopori pemboikotan produk Indonesia di seluruh dunia. 

Saat bersamaan perusahaan sejenis Eropa, Amerika Utara, dan Australia yang memproduksi komoditas sektor pertanian serupa telah melobi pemerintahan mereka untuk mengenakan tarif terhadap impor produk pertanian lebih murah dari Asia. ”Selamat datang ke green protectionism,” demikian Roberts, mantan diplomat AS di berbagai negara selama 25 tahun. 

Pakar ekonomi internasional ini menuliskan, para pembuat kebijakan paham bahwa aksi memblokir impor itu terlarang, apalagi untuk tujuan proteksionisme. ”Tidak ada pengadilan dagang yang akan menginginkan itu. Karena itu, mereka mengubah strategi,” katanya. 

Namun, lanjut Roberts, para pembuat kebijakan yang hostile terhadap perdagangan asing kini memainkan non-government organization (NGO) radikal dengan tujuan memblokir impor dengan alasan demi kelestarian lingkungan. ”Dengan cara ini mereka meraih tujuan tradisional dengan cara nontradisional.” 

Aksi pertama yang melahirkan persoalan pada perdagangan bebas muncul setelah produk-produk kehutanan negara berkembang mulai melejit beberapa dekade lalu. Upaya serius memblokir produk pertanian dimulai di UE ketika Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) Action Plan diterbitkan tahun 2003. FLEGT tak mampu menahan arus impor. 

 Pada 2008 para pendukung proteksionisme Eropa dan NGO mendorong peraturan UE baru untuk memastikan produk yang masuk ke Eropa adalah ”kayu lapis legal”. ”WTO harus memperjelas proteksionisme hijau sebagai alat yang tidak punya legitimasi yang dipakai pemerintah,” katanya. 

Resesi ekonomi semakin memperkuat proteksionisme dengan aksi parlemen Eropa menutup pasar. Proteksionisme Eropa kini juga ditemukan di sektor minyak sawit. 

IJ Bourke, analis senior soal produk kehutanan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO), menegaskan, perdagangan sebenarnya tidak berdampak pada perusakan lingkungan. 

Dia mempertanyakan sertifikasi produk yang tak sesuai visi WTO. Bourke mengatakan, pengalihan fungsi lahan adalah karena tekanan pembangunan, pertambahan penduduk, yang diperlukan negara berkembang dalam pembangunan ekonomi. (MON/Kompas). 

Laporan Baru: Pemerhati Lingkungan, Serikat Buruh dan Industri Tampaknya Berkolusi Memperkenalkan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup


Dampaknya adalah kenaikan harga, merugikan produsen di negara berkembang

     
MELBOURNE, Australia, 5 Agustus (ANTARA/PRNewswire-AsiaNet) -- "Berbagai upaya oleh serikat buruh, industri dan kelompok pemerhati lingkungan yang punya kepentingan pribadi untuk memperkenalkan pembatasan dagang tisu toilet akan menaikkan biaya hidup warga biasa Australia," kata Tim Wilson, Direktur Unit Kekayaan Intelektual dan Perdagangan Bebas di Lembaga Urusan Publik hari ini.

     (Logo: http://www.newscom.com/cgi-bin/prnh/20100804/DC46284LOGO)
     (Logo: http://photos.prnewswire.com/prnh/20100804/DC46284LOGO)

     Komentar Bapak Wilson menyusul penerbitan makalah baru, Green Excuses: Collusion to Promote Protectionism? http://sustainabledev.org/wp-content/uploads/2010/08/100805-REPORT-Green-excuses-Collusion-to-promote-protectionism.pdf yang mengkaji pesan dan aktivitas industri, serikat buruh dan kelompok pemerhati lingkungan yang kian konsisten untuk menggunakan pembenaran lingkungan bagi Australia untuk memperkenalkan kembali upaya perlindungan (proteksionisme).

     "Kelompok pemerhati lingkungan, industri dan serikat buruh di manca negara berkolusi untuk mengusulkan upaya perlindungan lingkungan yang akan meningkatkan biaya hidup. Itu tampaknya akan terjadi di Australia," kata Bapak Wilson.

     "Kelompok lingkungan menginginkan lebih sedikit hutan di negara berkembang. Industri menginginkan upaya perlindungan lingkungan untuk memotong jumlah impor yang bersaing. Serikat buruh menginginkan proteksionisme hijau untuk menghentikan impor guna menjamin para pekerja tetap memperoleh pekerjaan dengan gaji tinggi. Namun itu semua akan memerlukan biaya untuk konsumen."

     Contoh-contohnya mencakup:

     - Kampanye Wake Up Woolworths!, yang terutama didanai oleh CFMEU untuk menyuruh Woolworths berhenti menggunakan impor Asia Pulp & Paper dalam produk tisu merek pribadi Selectnya.
     - Tindakan hukum yang diambil olah pabrikan tisu untuk memberlakukan pembatasan dagang terhadap impor diberlakukan.
     - CFMEU menyumbangkan $28.000 kepada Divisi Australia Selatan Partai Buruh Australia pada saat Partai itu mengumumkan akan melarang impor kayu tertentu.

     "Dampak proteksionisme selalu sama - kepentingan pribadi industri membuat laba yang lebih besar dari konsumen karena tekanan yang kurang kompetitif."

     "Dalam tiga puluh tahun terakhir Australia telah meruntuhkan dinding proteksionismenya. Serikat buruh, industri dan kelompok lingkungan sekarang mencoba menggunakan argumen lingkungan untuk menegakkannya kembali."

     "Berbagai upaya untuk mendesak proteksionisme merupakan peringatan bahwa industri tidak selalu ramah terhadap perusahaan bebas," ujar Bapak Wilson.

     Green Excuses: Collusion for Promote Protectionism?http://sustainabledev.org/wp-content/uploads/2010/08/100805-REPORT-Green-excuses-Collusion-to-promote-protectionism.pdf
terdapat di
http://www.sustainabledev.org & http://www.ipa.org.au

     Video yang membahas kesimpulan laporan tersebut terdapat di http://www.sustainabledev.org

     SUMBER: Lembaga Urusan Publik
     KONTAK: Tim Wilson
                    Direktur
                    IP and Free Trade Unit
                    +61 (0) 417 356 165
                    media@sustainabledev.org

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...