Thursday, December 24, 2009

Kita Perlu "Koin" untuk Perubahan Iklim

SNegosiasi bermotif menang-kalah vulgar dipraktikkan selama berlangsungnya KTT Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark. Bahkan, persoalan iklim ditarik jauh dari lanskap kemanusiaan. Hasilnya, Indonesia kalah 0-2.

Kekalahan pertama akibat tak terpenuhinya kesepakatan iklim yang mengikat secara hukum (legally binding) merujuk pada capaian Bali Action Plan yang dihasilkan pada KTT Ke-13 di Bali, Desember 2007 silam. Seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri pertemuan puncak ke-17 Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Singapura ”Kalau Kopenhagen gagal (tidak mengikat secara hukum), kita punya banyak pekerjaan rumah” (Antara, 17/11).

Berikutnya, Indonesia gagal mengawal dan memasukkan aspek penting kelautan ke dalam visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA). Padahal pada Mei 2009 Indonesia telah mengeluarkan berbagai sumber daya untuk menghasilkan Manado Ocean Declaration (MOD) sebagai kertas mandat untuk membawa Coral Triangle Initiative (Inisiatif Segitiga Terumbu Karang) ke dalam kesepakatan Kopenhagen. Dari Bali dan Manado, kualitas diplomasi Indonesia dipertanyakan.

Koreksi

”Pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan dengan memerhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau”.

Demikian pesan diplomasi ala Perdana Menteri Djuanda saat pertama kali menggagas Indonesia sebagai negara kepulauan, 52 tahun silam (13 Desember 1957-13 Desember 2009). Pesan tersebut memberikan penekanan pada dua hal: (1) karakter kewilayahan Indonesia sebagai negara kelautan serta (2) karakter kebudayaan Indonesia sebagai masyarakat kepulauan.

Pada keduanya pula seluruh elemen bangsa dapat memahami kepentingan Indonesia atas laut.

Adapun di luar, disegani oleh bangsa-bangsa lain karena keteladanannya menegakkan keadilan dan kepentingan Indonesia atas laut sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa.

Berbeda halnya pilihan diplomasi ala Susilo Bambang Yudhoyono dalam menghadapi krisis iklim. Aspek fundrising membebani strategi diplomasi Indonesia, dengan menegosiasikan target pemotongan emisi, yakni 26 persen pada tahun 2020 secara sukarela dan 41 persen dengan bantuan asing (Kompas, 19/12).

Rasionalisasi target 26 persen seolah tidak relevan karena pertanggungjawaban sukarelanya ada pada tahun 2020, pada saat Susilo Bambang Yudhoyono tidak lagi menjadi presiden.

Adapun mendapatkan bantuan asing dengan target pemotongan 41 persen didesak untuk terealisasi sesegera mungkin.

Sebagai konsekuensi, Indonesia siap diaudit oleh asing—termasuk negara-negara boros emisi—melalui prinsip pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Pada porsi itu tidak berlebihan kiranya jika kegagalan Indonesia di Kopenhagen lebih disebabkan oleh dominasi diplomasi ”recehan”.

Reposisi

Persetujuan Kopenhagen atau Copenhagen Accord diyakini tidak membawa manfaat bagi Indonesia. Target diplomasi iklim berbasis kompensasi—bukan berbasis hak dan keadilan—terbukti melemahkan posisi tawar Indonesia sebagai negara kepulauan.

Untuk itu, diperlukan reposisi Indonesia, dengan melakukan koreksi menyeluruh atas proses perdagangan barang mentah (row materials), baik hasil tambang, pertanian, perikanan, maupun perkebunan, yang selama ini dipergunakan untuk menghidupi mesin-mesin negara industri yang boros emisi.

Sejalan dengan itu, peran lumbung pangan, semisal perikanan dan pertanian harus dioptimalkan untuk memperkuat kemandirian bangsa, sekaligus mengamankan kebutuhan pangan nasional.

Hal ini mendesak dilakukan setelah krisis iklim dan krisis pangan seolah menjadi krisis kembar (twin crisis) dewasa ini. Ingat pesan the founding father Soekarno: ”Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, malapetaka (akan terjadi).”

Setelah dua kebijakan dalam negeri tersebut diselenggarakan, model diplomasi luar negeri Indonesia harus dikoreksi total, dengan mengedepankan prinsip-prinsip negara yang berdaulat dan mandiri.

Kita patut belajar dari kasus Prita Mulyasari. Rakyat Indonesia, mulai dari tukang becak, artis, pedagang, ibu-ibu rumah tangga, pejabat, dan mantan pejabat negara, bahkan anak TK (taman kanak-kanak), turut berpartisipasi membangun solidaritas dan soliditasnya untuk menegakkan keadilan bagi Prita. Hasilnya, kurang dari dua minggu, sebanyak Rp 825 juta uang koin dapat dikumpulkan.

Sangat mungkin hal serupa dijalankan untuk memperbesar kapasitas negara menghadapi dampak perubahan iklim secara mandiri. Jika demikian, Indonesia dapat meneguhkan kembali peran pentingnya di fora internasional, sekaligus menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain dalam menghadapi krisis iklim.

Kamis, 24 Desember 2009 | 03:35 WIB

Penulis: M Riza Damanik -Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) -Anggota Kelompok Kerja Perikanan pada Aliansi Desa Sejahtera (ADS)
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03355266/kita.perlu.koin.untuk.perubahan.iklim

Perubahan Iklim: Beberapa Negara Janjikan Dana

Selama dua pekan Konferensi Perubahan Iklim 2009, Indonesia membuat sejumlah perjanjian bilateral dan multilateral terkait pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pendanaan kehutanan mendominasi rencana pemberian bantuan tersebut.

”Sektor kehutanan dan alih fungsi lahan memang menjadi fokus perhatian terbesar dalam perjanjian kerja sama itu,” kata Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), sekaligus Kepala Negosiator RI di Konferensi Perubahan Iklim 2009, Rachmat Witoelar kepada wartawan di Jakarta, Rabu (23/12). Pihak DNPI memaparkan pencapaian RI dalam negosiasi iklim.

Perjanjian bilateral, di antaranya dilakukan dengan Jerman, Norwegia, Inggris, Selandia Baru, Amerika Serikat, Swiss, dan Australia. Perjanjian juga dilakukan dengan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

Menurut Rachmat, Pemerintah Inggris menyiapkan dana 5 miliar poundsterling untuk mencegah penggundulan hutan dan alih fungsi lahan di Indonesia. Pembalakan liar juga disorot.

Sementara itu, Pemerintah Norwegia menyiapkan pendanaan sementara (interim) bagi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

Amerika Serikat juga siapkan dana 3,5 miliar dollar AS bagi program pengurangan emisi dari kehutanan. Dana itu akan dikucurkan kepada tiga negara mewakili tiga benua selama dua tahun (2010-2011).

Keberadaan dana secara cepat memang menjadi fokus delegasi Indonesia dalam konferensi perubahan iklim. Dana cepat dibutuhkan bagi upaya-upaya yang sudah siap di lapangan.

Pemerintah Jerman, lanjut Rachmat, juga berjanji memberi bantuan teknis di sektor kehutanan. Namun, jumlah bantuan hibah masih dalam pembahasan.

Mengucur tahun 2010

Semua komitmen yang ada, baik secara bilateral maupun multilateral tersebut, diharapkan mengucur tahun 2010. ”Mestinya tahun depan memang sudah bisa cair sehingga bisa langsung dimanfaatkan di lapangan,” kata Ismid Hadad dari Kelompok Kerja Pendanaan DNPI.

Triliunan rupiah dibutuhan Indonesia untuk tahap persiapan program REDD. Di lapangan sejumlah program sudah dijalankan bersama dengan Jepang, Australia, dan Jerman.

Di bidang kelautan, Pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan UNEP. UNEP akan membantu Indonesia mengkaji kebutuhan teknologi untuk sektor kelautan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dalam jumpa pers di sela-sela konferensi di Kopenhagen, menegaskan bahwa Indonesia dan negara-negara di kawasan segitiga terumbu karang membutuhkan peningkatan kemampuan penelitian laut.

Ratusan jiwa bergantung langsung pada kesehatan laut di kawasan segitiga terumbu karang tersebut. Adapun pada visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA), persoalan kelautan tidak ada. (GSA)


Produksi Karbon Tanpa Pengendalian

Produksi karbon dari kegiatan industri, transportasi, dan pembangkit tenaga listrik masih tanpa kendali. Karbon yang diproduksi dibuang begitu saja, padahal berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan lain, seperti diinjeksikan kembali ke perut Bumi untuk mengeluarkan minyak dan gas bumi.

”Indonesia belum memiliki sistem untuk mewajibkan pengendalian karbon itu,” kata Kepala Komite Nasional Indonesia World Energy Council Hardiv Situmeang dalam konferensi pers yang diprakarsai Kedutaan Besar Inggris, Rabu (23/12) di Jakarta.

Hadir narasumber-narasumber lainnya, yaitu peneliti pada Divisi Eksploitasi Lemigas, Utomo Pratama Iskandar, dan analis strategi karbon dioksida dari kantor pusat perusahaan Shell di Belanda, Michael Putra.

Menurut Hardiv, proyek pemerintah saat ini, seperti rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 megawatt (MW) tahap pertama dan kedua oleh PLN, belum memungkinkan dilengkapi dengan pengendalian karbon atau emisinya.

”Saat ini merupakan momentum paling tepat bagi Indonesia memulai pembangunan pembangkit listrik dilengkapi dengan teknologi carbon capture and storage (CCS),” kata Michael.

Alasannya, menurut Michael, Indonesia saat ini masih membutuhkan banyak listrik yang dihasilkan dengan bahan bakar minyak dari fosil. Komposisi produksi listrik pada tahun 2008 adalah yang menggunakan batu bara mencapai 29,6 persen, bahan bakar diesel 47,9 persen, gas 18,7 persen, dan lain-lain.

Utomo menyatakan, peluang menerapkan CCS di Indonesia memungkinkan, di antaranya dengan dikombinasikan untuk kegiatan eksploitasi minyak dan gas. Banyaknya sumur eksploitasi minyak yang sudah tua dan belum mencapai titik optimal memberikan peluang penerapan CCS ini dengan cara menginjeksikan karbon ke dalam perut Bumi yang menjadi reservoir minyak dan gas.

”Rekomendasi sumber karbon untuk diinjeksikan ke reservoir minyak dan gas bumi sudah dibuat,” kata Utomo.

Beberapa rekomendasi tersebut, antara lain, sumber karbon dari kegiatan pembangkit listrik 1.000 MW di Indramayu, Jawa Barat, agar diinjeksikan di wilayah Sumatera Selatan dengan perkiraan kebutuhan perpipaan saluran mencapai 655 kilometer. Kemudian untuk pembangkit listrik 750 MW Muara Tawar, Jawa Barat, agar diinjeksikan ke Laut Jawa dengan kebutuhan perpipaan 15 kilometer.

Menurut Hardiv, karbon itu sangat diperlukan. Sebagian besar karbon diproduksi dari kegiatan pembangkitan listrik sehingga PLN perlu merancang kebutuhan pengendalian karbon untuk masa-masa mendatang.

”Untuk mendorong secara finansial, bisa melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada Protokol Kyoto, tetapi juga bisa melalui mekanisme perdagangan karbon lainnya,” kata Hardiv.

Terkait dengan Kesepakatan Kopenhagen, menurut Michael, hal yang tidak terjadi adalah tidak adanya kesepakatan untuk memperbesar pengurangan karbon dari negara-negara maju. Namun, dukungan finansial untuk perdagangan karbon dari negara maju masih cukup besar dan Indonesia belum bisa memanfaatkan secara optimal.

”Seperti untuk program perdagangan karbon melalui CDM Protokol Kyoto, India dan China yang menguasai. Mengapa Indonesia tidak bisa masuk satu pun?” kata Michael. (NAW)

Copenhagen Accord


Advance unedited version
Decision -/CP.15
The Conference of the Parties,
Takes note of the Copenhagen Accord of 18 December 2009.


Copenhagen Accord
The Heads of State, Heads of Government, Ministers, and other heads of the
following delegations present at the United Nations Climate Change Conference 2009
in Copenhagen: [List of Parties]
In pursuit of the ultimate objective of the Convention as stated in its Article 2,

Being guided by the principles and provisions of the Convention,

Noting the results of work done by the two Ad hoc Working Groups,

Endorsing decision x/CP.15 on the Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action and decision x/CMP.5 that requests the Ad hoc Working Group on Further Commitments of Annex I Parties under the Kyoto Protocol to continue its work,

Have agreed on this Copenhagen Accord which is operational immediately.

1.             We underline that climate change is one of the greatest challenges of our time. We emphasise our strong political will to urgently combat climate change in accordance with the principle of common but differentiated responsibilities and respective capabilities. To achieve the ultimate objective of the Convention to stabilize greenhouse gas concentration in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system, we shall, recognizing the scientific view that the increase in global temperature should be below 2 degrees Celsius, on the basis ofequity and in the context of sustainable development, enhance our long-term cooperative action to combat climate change. We recognize the critical impacts of climate change and the potential impacts of response measures on countries particularly vulnerable to its adverse effects and stress the need to establish a comprehensive adaptation programme including international support.

2.             We agree that deep cuts in global emissions are required according to science, and as documented by the IPCC Fourth Assessment Report with a view to reduce global emissions so as to hold the increase in global temperature below 2 degrees Celsius, and take action to meet this objective consistent with science and on the basis of equity. We should cooperate in achieving the peaking of global and national emissions as soon as possible, recognizing that the time frame for peaking will be longer in developing countries and bearing in mind that social and economic development and poverty eradication are the first and overriding priorities of developing countries and that a low-emission development strategy is indispensable to sustainable development.

3.             Adaptation to the adverse effects of climate change and the potential impacts of response measures is a challenge faced by all countries. Enhanced action and international cooperation on adaptation is urgently required to ensure the implementation of the Convention by enabling and supporting the implementation of adaptation actions aimed at reducing vulnerability and building resilience in developing countries, especially in those that are particularly vulnerable, especially least developed countries, small island developing States and Africa. We agree that developed countries shall provide adequate, predictable and sustainable financial resources, technology and capacity-building to support the implementation of adaptation action in developing countries.

4.             Annex I Parties commit to implement individually or jointly the quantified economy-wide emissions targets for 2020, to be submitted in the format given in Appendix I by Annex I Parties to the secretariat by 31 January 2010 for compilation in an INF document. Annex I Parties that are Party to the Kyoto Protocol will thereby further strengthen the emissions reductions initiated by the Kyoto Protocol. Delivery of reductions and financing by developed countries will be measured, reported and verified in accordance with existing and any further guidelines adopted by the Conference of the Parties, and will ensure that accounting of such targets and finance is rigorous, robust and transparent.

5.             Non-Annex I Parties to the Convention will implement mitigation actions, including those to be submitted to the secretariat by non-Annex I Parties in the format given in Appendix II by 31 January 2010, for compilation in an INF document, consistent with Article 4.1 and Article 4.7 and in the context of sustainable development. Least developed countries and small island developing States may undertake actions voluntarily and on the basis of support. Mitigation actions subsequently taken and envisaged by Non-Annex I Parties, including national inventory reports, shall be communicated through national communications consistent with Article 12.1(b) every two years on the basis of guidelines to be adopted by the Conference of the Parties. Those mitigation actions in national communications or otherwise communicated to the Secretariat will be added to the list in appendix II. Mitigation actions taken by Non-Annex I Parties will be subject to their domestic measurement, reporting and verification the result of which will be reported through their national communications every two years. Non-Annex I Parties will communicate information on the implementation of their actions through National Communications, with provisions for international consultations and analysis under clearly defined guidelines that will ensure that national sovereignty is respected. Nationally appropriate mitigation actions seeking international support will be recorded in a registry along with relevant technology, finance and capacity building support. Those actions supported will be added to the list in appendix II. These supported nationally appropriate mitigation actions will be subject to international measurement, reporting and verification in accordance with guidelines adopted by the Conference of the Parties.

6.             We recognize the crucial role of reducing emission from deforestation and forest degradation and the need to enhance removals of greenhouse gas emission by forests and agree on the need to provide positive incentives to such actions through the immediate establishment of a mechanism including REDD-plus, to enable the mobilization of financial resources from developed countries.

7.             We decide to pursue various approaches, including opportunities to use markets, to enhance the cost-effectiveness of, and to promote mitigation actions. Developing countries, especially those with low emitting economies should be provided incentives to continue to develop on a low emission pathway.

8.             Scaled up, new and additional, predictable and adequate funding as well as improved access shall be provided to developing countries, in accordance with the relevant provisions of the Convention, to enable and support enhanced action on mitigation, including substantial finance to reduce emissions from deforestation and forest degradation (REDD-plus), adaptation, technology development and transfer and capacity-building, for enhanced implementation of the Convention. The collective commitment by developed countries is to provide new and additional resources, including forestry and investments through international institutions, approaching USD 30 billion for the period 2010 œ 2012 with balanced allocation between adaptation and mitigation. Funding for adaptation will be prioritized for the most vulnerable developing countries, such as the least developed countries, small island developing States and Africa. In the context of meaningful mitigation actions and transparency on implementation, developed countries commit to a goal of mobilizing jointly USD 100 billion dollars a year by 2020 to address the needs of developing countries. This funding will come from a wide variety of sources, public and private, bilateral and multilateral, including alternative sources of finance. New multilateral funding for adaptation will be delivered through effective and efficient fund arrangements, with a governance structure providing for equal representation of developed and developing countries. A significant portion of such funding should flow through the Copenhagen Green Climate Fund.

9.       To this end, a High Level Panel will be established under the guidance of and accountable to the Conference of the Parties to study the contribution of the potential sources of revenue, including alternative sources of finance, towards meeting this goal.


10.     We decide that the Copenhagen Green Climate Fund shall be established as  an operating entity of the financial mechanism of the Convention to support projects,  programs, policies and other activities in developing countries related to mitigation  including REDD-plus, adaptation, capacity-building, technology development and transfer.


11.     In order to enhance action on development and transfer of technology we  decide to establish a Technology Mechanism to accelerate technology development and  transfer in support of action on adaptation and mitigation that will be guided by a country driven approach and be based on national circumstances and priorities.


12.    We call for an assessment of the implementation of this Accord to be completed by 2015, including in light of the Convention’s ultimate objective. This would include consideration of strengthening the long-term goal referencing various matters presented by the science, including in relation to temperature rises of 1.5 degrees Celsius.


Appendix I
Quantified economy-wide emissions targets for 2020
Annex I Parties                  Quantified economy-wide emissions targets for 2020
                                               Emissions reduction in 2020                 Base year
 
APPENDIX II
Nationally appropriate mitigation actions of developing country Parties
Non-Annex I                                                       Actions
 



Monday, December 21, 2009

Kontrak Diputus Unilever, Sinar Mas Kecam Greenpeace

Sinar Mas Group mengecam LSM lingkungan internasional Greenpeace yang telah memberikan data-datanya kepada Unilever sehingga perusahaan asal Inggris itu memutuskan kontrak pasokan CPO.

"Yang dilakukan Greenpeace bukan semata-mata murni untuk lingkungan. Kita menganggap ada penumpang gelap yang membonceng Greenpeace," ujar Managing Director Sinar Mas Group Gandhi Sulistyanto, Jumat (11/12).

Unilever memutuskan hubungan dengan Sinar Mas Agro Resources & Technology (SMAR), setelah Perusahaan internasional asal Inggris itu menerima bukti-bukti perusakan hutan yang dilakukan perusahaan CPO Indonesia itu.

Menurut berita yang dikutip dari harian Inggris, The Times, Jumat (11/12), Unilever membatalkan kontral senilai 20 juta poundsterling per tahun setelah mempelajari lusinan bukti yang disodorkan Greenpeace terkait perusakan hutan yang dilakukan Sinar Mas.

Gandhi mengungkapkan, Greenpace memang membeberkan data-data tersebut kepada para pembeli CPO Sinar Mas. Menurutnya, sebagian perusahaan internasional tersebut ada yang menanggapi namun sebagian lainnya tidak menanggapi.

"Terus terang buyer kita memang semua didatangi oleh Greenpeace, ditakut-takuti. Ada yang menanggapi ada yang tidak. Unilever untuk sementara menyatakan akan mempertimbangkan atau melihat lebih lanjut apa yang disampaikan Greenpeace, tapi buyer lain mengatakan yang disampaikan Greenpeace tidak betul," urainya.

Gandhi menyayangkan langkah-langkah Greenpeace yang dinilainya bisa menghambat perekonomian nasional. Ia pun menuding ada pesaing yang membonceng Greenpeace.

"Usaha Greenpeace ini menghambat perekonomian nasional. Saya khawatir ada titipan dari pesaing kita di global. Harusnya bangsa Indonesia curiga," tegasnya lagi.

Sinar Mas Group kini sedang mempelajari masalah ini, termasuk apakah akan mengajukan tuntutan hukum atau tidak. Sinar Mas Group juga sedang menghitung berapa nilai kerugian yang ditimbulkan akibat aksi Greenpeace tersebut.

Sumber - Detikfinance, 11 Desember 2009

http://www.klipberita.com/klipekonomi/3488-kontrak-diputus-unilever-sinar-mas-kecam-greenpeace.html

Sunday, December 20, 2009

Fraud Kartu Kredit Januari - Oktober 2009 Capai 7.654 Kasus

SURABAYA (SI) – Bank Indonesia mencatat jumlah kasus penipuan dan pemalsuan (fraud) kartu kredit di Indonesia selama Januari-Oktober 2009 mencapai 7.654 kasus.
 
Deputi Pemimpin Bidang Manajemen Intern Bank Indonesia (BI) Surabaya Mahmud mengatakan ada beberapa tipe fraud antara lain kartu palsu,kartu hilang atau dicuri,kartu tidak diterima,CNP, fraud aplikasi, mail only telephone only (MOTO),dan lain-lain. “Total nilai kerugiannya mencapai Rp43,78 miliar.Yang paling mendominasi adalah kartu palsu sebanyak 3.418 kasus dengan nilai kerugian Rp20,1 miliar dan fraud aplikasi sebanyak 2.922 kasus dengan nilai kerugian Rp21,04 miliar,” ujar Mahmud saat seminar tentang ”Penyalahgunaan Kartu Kredit dalam Sistem Pembayaran” di STIE Perbanas kemarin.

Perlu diketahui, fraud aplikasi adalah pemalsuan identitas pemilik dalam aplikasi kartu kredit. Sedangkan MOTO adalah tindak penipuan berupa layanan jual beli melalui transaksi surat menyurat (mail order), semacam katalog, dan jual beli melalui telepon (telephone order). Dan teknik penipuan yang terbaru adalah dengan mengakali sistem pembayaran cardholder- not-present (CNP) yang biasa diterapkan dalam sistem pembayaran transaksi onlinedi internet. Mahmud mengatakan selama ini aksi tindak pidana terus-menerus terjadi karena masih ada sejumlah celah yang bisa dimanfaatkan. ”Karena itu mulai tahun depan kita implementasikan teknologi chip untuk kartu kredit. Ini akan memangkas habis aksi tindak pidana dalam kartu kredit,” tandasnya di sela-sela seminar kemarin.

Selain itu, menurutnya, para penerbit kartu kredit (issuer) harus melakukan security audit minimal sekali dalam tiga tahun dan pelaporan risk management juga harus terus ditingkatkan.“Tentu saja dengan makin kompleksnya produk perbankan,BI sebagai otoritas perbankan akan terus meningkatkan kualitas pengawasan,”ujarnya. Board of Executive Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Dodit W Probojakti menambahkan bahwa potensi kepemilikan kartu kredit di Indonesia masih sangat besar.Menurut survei AKKI, jumlah kartu kredit yang sudah diterbitkan di Indonesia sampai tahun ini sekitar 12 juta unit.

“Kalau satu orang memiliki dua kartu,maka jumlah pemegang kartu kredit sekitar 6 juta orang. Sementara jumlah penduduk yang memenuhi syarat karena berpenghasilan diatas Rp3 juta mencapai 15 juta orang. Sehingga ada peluang 9 juta orang yang bisa jadi pemegang kartu kredit,”jelasnya. (ishomuddin) 
 
Wednesday, 16 December 2009  
Source:Harian Cetak Sindo, Kamis 17 Desember 2009

Penyakit Cakrawala




SALAH satu tugas yang saya emban sebagai ilmuwan adalah menunjukkan masalah daya saing yang dihadapi bangsa dan bagaimana mengobatinya.

Sehubungan dengan itu, saya teringat beberapa tahun lalu pernah menulis gejala penyakit cakrawala yang banyak melanda dunia usaha kita. Secara perlahan-lahan, di private sector gejala itu mulai memudar. Namun,sebaliknya di sektor pelayanan publik, gejala ini bukan memudar,malah semakin merisaukan. Untuk itulah, topik ini saya angkat kembali. Seperti apakah penyakit cakrawala, apa saja indikasinya, apa akibatnya, dan bagaimana cara mengobatinya?

Indikasi dan Akibat

Penyakit cakrawala adalah suatu penyakit organisasi yang menyerang para staf dan pimpinannya secara merata.Cakrawala yang demikian luas di atas sana, diblok, dikotak-kotakkan dalam batasan-batasan maya (mindset blockages) yang mengakibatkan organisasi mengalami kemandekan dan sulit beradaptasi menerjang cakrawala angkasa jagat raya.

Padahal semakin ke atas diperlukan “helicopter view” untuk membawa organisasi dan misi ke dunia baru yang lebih kompetitif. Dunia baru itu tidak mungkin tampak bila dilihat dengan kacamata myopic. Untuk itulah, cara pandang yang lebih luas, lebih komplementer, lebih bebas, lebih terbuka diperlukan.

Seorang dokter tidak bisa membawa rumah sakitnya menjadi besar semata-mata dengan kacamata dunia kedokterannya saja. Seorang engineer tidak bisa membawa perusahaan konstruksi menembus cakrawala dengan kacamata tekniknya. Dan seorang ekonom tidak akan bisa membawa perekonomian Indonesia lebih dari anggarannya dengan kacamata rationaleconomic behavior-nya.

Persoalannya, hampir semua institusi publik mengembangkan talentanya terlalu sempit. Ilmu pengetahuan atau bidang studi telah membelenggu cara berpikir birokrat ke dalam silo-silo yang sempit. Semua orang merasa memiliki teritorinya masing-masing dan orang lain tidak punya ruang untuk berpartisipasi memperkaya cakrawala.

Dokter menjadi backbone SDM di Departemen Kesehatan, sarjana pertanian di Departemen Pertanian, insinyur di Departemen Pekerjaan Umum, arkeolog di Direktorat Kepurbakalaan, sarjana farmasi di BUMN farmasi, sarjana hukum di Mahkamah Agung, akuntan di Badan Pemeriksa Keuangan, dan seterusnya.

Cakrawala yang sempit telah membuat banyak pemimpin di negeri ini percaya hanya ilmu mereka yang penting dan hanya mereka yang paling tahu tentang masalahmasalah spesifik. Dengan bekal yang sempit seperti itu, mereka tidak bisa membawa kita memasuki dunia yang baru. Dunia baru itu berada jauh di luar jangkauan mereka dan merupakan dunia asing yang berisiko dimasuki pemilik cakrawala yang sempit itu.

Dunia superspecialist adalah dunia para teknisi, dan begitu menapak ke atas, seseorang harus bekerja lebih banyak dengan keahlian yang berbeda-beda pada jaringan yang tersebar luas. Mereka tidak harus menjadi expertpada masing-masing bidang,cukup tahu pihak yang dapat diandalkan, dan tahu bagaimana menyatukan mozaik yang terlepas dan berserakan di mana-mana menjadi sebuah rangkaian produk yang benar-benar baru.

Dengan belenggu cakrawala seperti itu, tidak ada perkawinan pemikiran.Tidak ada terobosan-terobosan baru sehingga dunia penegakan hukum hanya mengenal faktorfaktor hukum yang bersifat legalistik-formal. Suasana kebatinan yang berbasiskan hati nurani dan kepemimpinan sulit mendapat tempat.

Dalam perencanaan pembangunan, para perencana di Bappenas hanya mampu melihat anggaran sebagai sebuah opportunity cost sehingga banyak infrastruktur terhambat dibangun karena mengalami konflik dengan cara berpikir entrepreneur yang lebih melihat opportunity benefitdan value creation. Daftar masalah yang dihadapi public sector akan bertambah panjang dan tak terbatas.

Semua bermula dari mewabahnya penyakit cakrawala yang membelenggu hampir seluruh lembaga publik yang gagal menghasilkan pemimpinpemimpin berwawasan luas. Wawasan luas itu tidak dapat diubah sekejap dengan membukakan mata atau mengajak mereka mendengarkan, melainkan harus ditanam dari bawah.

Talent Code

Daniel Coyle memperkenalkan konsep talent code untuk memperbaiki DNA suatu institusi. Sebaliknya, saya menyebutkan pentingnya lembaga-lembaga publik membuka pintu dan membentangkan jendela. Saat ini sudah sangat mendesak kebutuhan untuk merekayasa ulang DNA birokrasi Indonesia.

Rekayasa itu harus dimulai dari manusia, organisasi, sistem-sistem yang dibangun, tata nilai, dan tentu saja talenta yang dimilikinya. Di tengah-tengah era reformasi yang telah ditaburkan, ada rasa waswas yang muncul di kepala saya melihat cara kerja teman-teman yang terjangkit penyakit cakrawala.

Dapatkah misalnya, kita memperbaiki sistem anggaran, pendistribusian, pelaporan, dan pengawasannya dengan cakrawala yang terbatas? Saat ini kita membutuhkan organisasi yang luwes, lugas adaptif, mampu bergerak cepat dari sekadar organisasi yang tertata namun kaku dan membuatnya tak berdaya.

Niat baik dan sasaran untuk menata hanya akan menghasilkan pemborosan dan kerusakan jangka panjang. Saya mengerti, kata penyakit cakrawala sungguh terdengar di telinga para sarjana. Namun, kita harus mulai mengenali dan menyembuhkannya sebelum reformasi berujung pada penghancuran dan kesulitan yang lebih besar bagi negeri ini. Minggu depan saya akan melanjutkan bagaimana cara membuka pintu dan membentangkan jendela.(*)

Penulis: RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI 

Sumber: Harian Cetak Sindo, Kamis, 17 Desember 2009


Penyakit Cakrawala


SALAH satu tugas yang saya emban sebagai ilmuwan adalah menunjukkan masalah daya saing yang dihadapi bangsa dan bagaimana mengobatinya.

Sehubungan dengan itu, saya teringat beberapa tahun lalu pernah menulis gejala penyakit cakrawala yang banyak melanda dunia usaha kita. Secara perlahan-lahan, di private sector gejala itu mulai memudar. Namun,sebaliknya di sektor pelayanan publik, gejala ini bukan memudar,malah semakin merisaukan. Untuk itulah, topik ini saya angkat kembali. Seperti apakah penyakit cakrawala, apa saja indikasinya, apa akibatnya, dan bagaimana cara mengobatinya?

Indikasi dan Akibat

Penyakit cakrawala adalah suatu penyakit organisasi yang menyerang para staf dan pimpinannya secara merata.Cakrawala yang demikian luas di atas sana, diblok, dikotak-kotakkan dalam batasan-batasan maya (mindset blockages) yang mengakibatkan organisasi mengalami kemandekan dan sulit beradaptasi menerjang cakrawala angkasa jagat raya.

Padahal semakin ke atas diperlukan “helicopter view” untuk membawa organisasi dan misi ke dunia baru yang lebih kompetitif. Dunia baru itu tidak mungkin tampak bila dilihat dengan kacamata myopic. Untuk itulah, cara pandang yang lebih luas, lebih komplementer, lebih bebas, lebih terbuka diperlukan.

Seorang dokter tidak bisa membawa rumah sakitnya menjadi besar semata-mata dengan kacamata dunia kedokterannya saja. Seorang engineer tidak bisa membawa perusahaan konstruksi menembus cakrawala dengan kacamata tekniknya. Dan seorang ekonom tidak akan bisa membawa perekonomian Indonesia lebih dari anggarannya dengan kacamata rationaleconomic behavior-nya.

Persoalannya, hampir semua institusi publik mengembangkan talentanya terlalu sempit. Ilmu pengetahuan atau bidang studi telah membelenggu cara berpikir birokrat ke dalam silo-silo yang sempit. Semua orang merasa memiliki teritorinya masing-masing dan orang lain tidak punya ruang untuk berpartisipasi memperkaya cakrawala.

Dokter menjadi backbone SDM di Departemen Kesehatan, sarjana pertanian di Departemen Pertanian, insinyur di Departemen Pekerjaan Umum, arkeolog di Direktorat Kepurbakalaan, sarjana farmasi di BUMN farmasi, sarjana hukum di Mahkamah Agung, akuntan di Badan Pemeriksa Keuangan, dan seterusnya.

Cakrawala yang sempit telah membuat banyak pemimpin di negeri ini percaya hanya ilmu mereka yang penting dan hanya mereka yang paling tahu tentang masalahmasalah spesifik. Dengan bekal yang sempit seperti itu, mereka tidak bisa membawa kita memasuki dunia yang baru. Dunia baru itu berada jauh di luar jangkauan mereka dan merupakan dunia asing yang berisiko dimasuki pemilik cakrawala yang sempit itu.

Dunia superspecialist adalah dunia para teknisi, dan begitu menapak ke atas, seseorang harus bekerja lebih banyak dengan keahlian yang berbeda-beda pada jaringan yang tersebar luas. Mereka tidak harus menjadi expertpada masing-masing bidang,cukup tahu pihak yang dapat diandalkan, dan tahu bagaimana menyatukan mozaik yang terlepas dan berserakan di mana-mana menjadi sebuah rangkaian produk yang benar-benar baru.

Dengan belenggu cakrawala seperti itu, tidak ada perkawinan pemikiran.Tidak ada terobosan-terobosan baru sehingga dunia penegakan hukum hanya mengenal faktorfaktor hukum yang bersifat legalistik-formal. Suasana kebatinan yang berbasiskan hati nurani dan kepemimpinan sulit mendapat tempat.

Dalam perencanaan pembangunan, para perencana di Bappenas hanya mampu melihat anggaran sebagai sebuah opportunity cost sehingga banyak infrastruktur terhambat dibangun karena mengalami konflik dengan cara berpikir entrepreneur yang lebih melihat opportunity benefitdan value creation. Daftar masalah yang dihadapi public sector akan bertambah panjang dan tak terbatas.

Semua bermula dari mewabahnya penyakit cakrawala yang membelenggu hampir seluruh lembaga publik yang gagal menghasilkan pemimpinpemimpin berwawasan luas. Wawasan luas itu tidak dapat diubah sekejap dengan membukakan mata atau mengajak mereka mendengarkan, melainkan harus ditanam dari bawah.

Talent Code

Daniel Coyle memperkenalkan konsep talent code untuk memperbaiki DNA suatu institusi. Sebaliknya, saya menyebutkan pentingnya lembaga-lembaga publik membuka pintu dan membentangkan jendela. Saat ini sudah sangat mendesak kebutuhan untuk merekayasa ulang DNA birokrasi Indonesia.

Rekayasa itu harus dimulai dari manusia, organisasi, sistem-sistem yang dibangun, tata nilai, dan tentu saja talenta yang dimilikinya. Di tengah-tengah era reformasi yang telah ditaburkan, ada rasa waswas yang muncul di kepala saya melihat cara kerja teman-teman yang terjangkit penyakit cakrawala.

Dapatkah misalnya, kita memperbaiki sistem anggaran, pendistribusian, pelaporan, dan pengawasannya dengan cakrawala yang terbatas? Saat ini kita membutuhkan organisasi yang luwes, lugas adaptif, mampu bergerak cepat dari sekadar organisasi yang tertata namun kaku dan membuatnya tak berdaya.

Niat baik dan sasaran untuk menata hanya akan menghasilkan pemborosan dan kerusakan jangka panjang. Saya mengerti, kata penyakit cakrawala sungguh terdengar di telinga para sarjana. Namun, kita harus mulai mengenali dan menyembuhkannya sebelum reformasi berujung pada penghancuran dan kesulitan yang lebih besar bagi negeri ini. Minggu depan saya akan melanjutkan bagaimana cara membuka pintu dan membentangkan jendela.(*)

Penulis: RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI 

Sumber: Harian Cetak Sindo, Kamis, 17 Desember 2009


Friday, December 18, 2009

PC Desktop Semakin Terdesak

PENJUALAN PC global tidak akan terpuruk ke pertumbuhan negatif karena manusia tidak bisa hidup tanpa PC.Saat kondisi perekonomian semakin baik,pertumbuhan volume penjualan PC global akan kembali ke digit ganda.

Laporan terbaru firma riset International Data Corp (IDC) mengungkap, industri PC (personal computer) global telah lepas dari belitan krisis sejak kuartal ketiga (Juli-September) 2009.Pada periode tersebut, penjualan PC global bertumbuh 2,3% per tahun,setelah terus turun pada tiga kuartal sebelumnya.

IDC menegaskan, pendorong utama pertumbuhan tersebut adalah PC portable (notebook dan netbook), yang volume penjualannya bertumbuh 33,5% per tahun.Pada saat yang sama, volume penjualan PC desktop ternyata hanya bertumbuh mendatar. IDC mengungkapkan, kebekuan pertumbuhan penjualan PC desktop akan berlanjut hingga beberapa tahun mendatang. Ini adalah tanda bahwa kini PC desktop semakin ditinggalkan.Contoh paling mencolok terjadi pada 2009.

IDC memaparkan, pada tahun ini penjualan PC portable global mampu bertumbuh 15,8% per tahun.Pada saat yang sama,penjualan PC desktop global ternyata turun 12,9% per tahun. Pada 2010, penjualan PC portable diperkirakan bertumbuh 18,1% per tahun.Pada tahun yang sama,penjualan PC desktopternyata diperkirakan hanya bertumbuh 0,1%.

IDC memprediksi, pertumbuhan berdigit tunggal pada PC desktop akan berlanjut hingga 2012, dengan pertumbuhan 1,6% pada 2011 dan 2,0% pada 2012. Pada 2013, IDC mengungkapkan, pertumbuhan penjualan PC desktop global akan kembali melemah menjadi hanya 0,9% per tahun. Dalam catatan IDC, kinerja penjualan PC desktop global tersebut sangat kontras dengan kinerja penjualan PC portable global.

Dalam perkiraan IDC, volume penjualan PC portable global akan bertumbuh 18,8% pada 2011, kemudian 17,4% pada 2012, dan 14,8% pada 2013.Perkiraan IDC ini selaras dengan perkiraan firma riset pasar teknologi utama yang lain, yaitu iSuppli Corp. iSuppli mencatat, tahun 2009 menjadi awal babak baru industri PC global.

Pertama dalam sejarah, pada tahun ini volume penjualan PC portable mampu melampaui PC desktop. Konsumen berlomba membeli PC portable, dan menghindari PC desktopkarena manfaat komputasi bergerak yang ditawarkan PC portable. “Penjualan PC portable terus meningkat karena manfaat mobilitas dari PC portable dan PC portable pun kini memiliki kinerja dan fitur setara dengan PC desktop.

Faktor ini menyebabkan penurunan tajam penjualan PC desktop,” ujar Principal Analyst Compute Platform iSuppli Corp Matthew Wilkins. PernyataanWilkins tersebut dilandasi penelitian iSuppli terhadap kinerja penjualan PC global. Hasil penelitian itu mengungkap, pada 2009 volume penjualan PC desktop global akan turun 18,1% per tahun menjadi 124,4 juta unit, dari 151,9 juta unit pada 2008.

Kontras dengan kinerja penjualan PC desktop,iSuppli memperkirakan, volume penjualan PC portable global pada tahun ini akan meningkat 11,7% per tahun menjadi 155,97 juta unit,dari 139,6 juta unit pada tahun silam. Namun begitu, iSuppli menegaskan, pertumbuhan volume penjualan PC portable tidak cukup kuat untuk mengimbangi penurunan volume penjualan PC desktop.

Penyebabnya adalah krisis finansial global. Karena persentase pertumbuhan penjualan PC portable masih lebih kecil daripada persentase penurunan penjualan PC desktop,maka volume penjualan PC global secara umum pada 2009 akan turun. Akibat krisis dan penurunan penjualan PC desktop, iSuppli memperkirakan, volume penjualan PC global pada 2009 akan turun 4,0% per tahun menjadi 287,3 juta unit,dari 299,2 juta unit pada 2008.

Laporan terbaru iSuppli ini me-rupakan revisi tajam dari laporan sebelumnya karena pada awal tahun ini iSuppli memperkirakan volume penjualan PC global pada 2009 akan naik 0,7% per tahun. “Penurunan volume penjualan tahunan sangat tidak biasa dalam pasar PC.Bahkan,pada masa-masa sulit, volume penjualan PC global biasanya masih bertumbuh,kendati dengan persentase digit tunggal.

Pada 2009, volume penjualan PC global mengalami penurunan tahunan pertama sejak 2001,”papar Wilkins. Kendati menerbitkan perkiraan suram tentang kinerja pasar PC global pada 2009,iSuppli menyisakan kabar baik dalam laporan terbaru ini. iSuppli meyakini, krisis ekonomi global akan berakhir pada 2010. Saat perekonomian membaik, pada 2010 volume penjualan PC global akan bertumbuh 4,7% per tahun.

IDC menimpali, volume penjualan PC global secara umum tidak akan terjerembab ke dalam pertumbuhan negatif pada 2009. IDC menegaskan,pada 2009 penjualan PC global akan bertumbuh 1,3% per tahun,alias turun tajam dari 10,0% pada 2008. IDC memprediksi, pertumbuhan volume penjualan PC global akan kembali ke level berdigit ganda mulai 2010, yakni dengan angka 10,3% pada 2010.

Kemudian 12,0% pada 2011,serta 11,9% pada 2012,dan 10,3% pada 2013. “Kemampuan pasar PC global menghindari penurunan penjualan pada 2009 adalah bukti bahwa industri ini sangat tangguh.Pasar tersebut juga segera mencapai stabilitas karena PC sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia,” ujar Program Director Worldwide Trackers IDC Loren Loverde.

Loverde melanjutkan,pada masa krisis pun konsumen tetap membeli PC baru karena mereka tidak bisa hidup tanpa PC.Volume penjualan PC pun meningkat lebih cepat karena para produsen agresif menyajikan teknologi baru sekaligus memangkas harga, untuk mendongkrak daya beli.

“Siklus penggantian PC lama dengan PC baru serta penurunan cepat harga jual rata-rata PC menjadi pendorong utama pertumbuhan pasar PC global.Saat perekonomian sudah pulih, maka pertumbuhan volume penjualan PC global akan kembali ke digit ganda hingga 2013,” tandas Research Manager PC IDC Richard Shim. (ahmad fauzi)
 
Thursday, 17 December 2009 
 
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/291019/36/     

Konservasi Energi ala Jepang

Dua kali krisis energi menjadi pengalaman berharga bagi Jepang. Tak pelak,berbagai kebijakan dan tindakan dilakukan. Mengembangkan energi terbarukan merupakan alternatif yang tidak bisa ditawar.

Dua krisis minyak yang terjadi pada tahun 1973 dan 1979 menjadi pengalaman pahit bagi Jepang.Ketika itu, Jepang yang ketergantungannya terhadap minyak bumi sebagai sumber energi primer mencapai 77%, perekonomiannya terpukul akibat lonjakan harga minyak di pasar internasional. Namun, bukanlah Jepang jika tidak belajar dari pengalaman. Krisis itu justru menjadi momentum bagi Negeri Matahari terbit itu untuk menata kembali struktur konsumsi energinya.Mereka menjalankan dua langkah sekaligus, yakni peningkatan efisiensi energi (penghematan) dan mengembangkan energi terbarukan.

Pascakrisis energi kedua (1979), Jepang mengeluarkan kebijakan rasionalisasi penggunaan energi berbentuk Undang-Undang Konservasi Energi, terutama pada sektor industri, perkantoran, jasa, dan alat-alat elektronik. Berbagai kebijakan penghematan energi di Jepang difokuskan pada empat sektor, yaitu peralatan elektronik,konsumsi energi di perumahan serta bangunan komersial, industri, dan transportasi. Dalam revisi peraturannya dibuat semakin spesifik tentang sejauh mana peralatan dan berapa energi yang boleh dan tidak boleh digunakan.

Lahirlah sistem yang dikenal sebagai Top Runner Standards, yakni upaya menyeleksi produkproduk yang paling efisien menggunakan energi. Sistem ini ternyata efektif untuk menekan konsumsi energi di Jepang. Ibarat kompetisi, industri di Jepang berlomba-lomba mengembangkan dan memasarkan produkproduk yang hemat energi. Mulai dari peralatan elektronik hingga mobil, dikembangkan sedemikian rupa sehingga lebih hemat energi. Salah satu contoh keberhasilan adalahpengembanganprodukindustri automotif. Mobil hibrida, jenis mobil yang menggunakan dua sumber energi,yaitu bahan bakar minyak (BBM) dan listrik,kini telah menjadi kendaraan populer di Jepang.

Di pasar domestik,mobil yang konsumsi BBM-nya jauh lebih hemat dibanding mobil konvensional ini menjadi salah satu yang paling laris. Di bidang pengembangan energi alternatif yang lebih terbarukan, Jepang juga termasuk pionir. Bagi mereka,pengembangan energi terbarukan mutlak harus dilakukan. Selain memiliki tren harga yang terus menurun seiring perkembangan teknologi, energi terbarukan juga relatif lebih ramah lingkungan. Hal ini sejalan dengan komitmen Jepang emisi gas rumah kaca secara lebih ambisius.

Seperti diketahui, berdasarkan Protokol Kyoto, Jepang berkomitmen mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dan lima gas rumah kaca (greenhouse gas) lainnya sebesar 6% dibanding level emisi pada 1990 selama periode 2008–2012. Negara itu sukses mengurangi ketergantungan pada minyak sebagai sumber energi. Proporsi minyak sebagai sumber energi turun drastis dari puncaknya 77% total sumber energi pada era sebelum krisis energi pertama tahun 1973, menjadi 57,1% tahun 1997, dan 47,1% pada 2006. Pada Mei 2006,Pemerintah Jepang merilis Strategi Energi Nasional Baru, yang mencantumkan target-target kuantitatif pengelolaan energi hingga 2030.

Di antara strategi itu,yakni mengurangi peran minyak bumi sebagai sumber energi hingga menjadi di bawah 40% total sumber energi, menaikkan efisiensi energi hingga 30%, serta menekan biaya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya,serta menaikkan peran pembangkit listrik tenaga nuklir. Jepang mendorong pengembangan energi terbarukan melalui berbagai cara, seperti pemberian insentif perpajakan, subsidi, dan dana penelitian.Tak heran jika kemudian pengembangan energi terbarukan seolah menjadi gerakan masif di Jepang.

Saat Seputar Indonesia berkunjung ke Jepang, November lalu, tampak jelas kesungguhan pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta masyarakat lokal untuk mengembangkan energi terbarukan. Salah satu yang gencar dikembangkan adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Jepang berharap kapasitas PLTS dapat mencapai 4,82 gigawatt (GW) pada 2010, naik signifikan dibanding 1,92 GW pada 2007. Di Kota Hokuto, Prefektur Yamanashi, misalnya saat ini sedang dibangun PLTS berkapasitas 2 MW.

PLTS memang cocok dikembangkan di Hokuto lantaran kota ini termasuk salah satu daerah di Jepang yang menerima sinar matahari lebih banyak dibanding wilayah lain. Proyek PLTS ini ditargetkan tuntas pada tahun 2010 mendatang dan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan listrik bagi 650 rumah tangga. Proyek tersebut hanya salah satu contoh pengembangan energi terbarukan di Yamanashi.

Di kotakota lain komitmen pemerintah lokal dan masyarakat untuk mengembangkan energi terbarukan juga terlihat.Pemerintah kota Tsuru, misalnya, pada 2004,memutuskan untuk membangun pembangkit listrik tenaga air berskala kecil (micro-hydro system). Memanfaatkan aliran air di kanal Kachugawa, pembangunan pembangkit listrik itu dikerjakan 21 Februari 2005 hingga 31 Oktober 2005.Pembangkit itu dioperasikan mulai 6 April 2006 dan mampu menghasilkan listrik hingga 20 kilowatt (KW). Sebagian kebutuhan pembiayaan pembangunan pembangkit listrik ini dipenuhi dari partisipasi warga melalui pembelian obligasi.

Berbagai kebijakan dan tindakan Jepang tersebut menunjukkan keseriusan negara itu dalam mengembangkan energi terbarukan. Mereka sadar bahwa energi terbarukan merupakan alternatif yang tidak bisa ditawar. (masirom)
 
Saturday, 12 December 2009 
 
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/289956/34/

Pengguna Internet Tembus 1,6 Miliar

BELANJAonline akan menjadi aktivitas utama para pengguna internet di dunia dalam empat tahun mendatang. Pangsa pendapatan iklan online pun akan terus membengkak melampaui media-media yang lain.

Survei terbaru dari firma riset International Data Corp (IDC) mengungkap, jumlah pengguna internet di dunia pada 2009 siap melampaui 1,6 miliar orang,alias lebih dari seperempat jumlah populasi Bumi. IDC memperkirakan, jumlah itu akan terus bertambah sehingga pada 2013 pengguna internet di dunia akan menembus angka 2,2 miliar orang,alias lebih dari sepertiga populasi Bumi.

IDC mencermati,jumlah pengguna internet di dunia meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir berkat kehadiran teknologi internet seluler.Jumlah pengguna internet seluler sendiri di dunia pada 2009 diperkirakan mencapai lebih dari 450 orang.IDC memperkirakan, jumlah itu akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada akhir 2013. “Jumlah pengguna internet seluler benar-benar meledak dalam beberapa tahun terakhir.

Berkat peningkatan ketersediaan informasi dan layanan, internet seluler telah mengubah kehidupan pribadi maupun profesional dari penduduk Bumi,”ujar Chief Research Officer IDC John Gantz. IDC mengungkapkan, penggunaan internet seluler bertumbuh lebih pesat daripada internet kabel karena internet seluler memang memungkinkan pengguna mengakses informasi di mana pun berada, tanpa harus menghubungkan gadget-gadget mereka ke kabel.

“Dalam beberapa tahun mendatang, cara manusia berinteraksi dengan internet akan benar-benar berubah.Ketika manusia semakin menyatu dengan internet, maka batas antara kehidupan pribadi dan kehidupan profesional akan semakin kabur karena orang bisa bekerja di mana saja,”tutur Gantz.

IDC menegaskan, penduduk Bumi pun semakin agresif mengadopsi internet seluler karena biaya layanan internet seluler dan harga gadget-gadget bergerak pengakses internet, seperti ponsel, smartphone, notebook,netbook,dan tentu saja modem internet seluler,semakin lama menjadi semakin terjangkau oleh kemampuan finansial sebagian besar orang.

Alhasil, IDC memprediksi, dalam empat tahun mendatang jumlah gadget bergerak yang mampu mengakses internet seluler di dunia akan melampaui angka 1 miliar unit.Gadget-gadget tersebut sebagian besar digunakan untuk mencari informasi, membaca berita, mengakses hiburan,serta berkomunikasi secara digital.

Lebih dari itu, kalangan usaha juga akan semakin banyak memanfaatkan internet seluler untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Namun begitu, IDC menggarisbawahi, ada satu lagi aktivitas online yang semakin populer hingga 2013.Yakni belanja.IDC mengungkap, pada 2009 nilai transaksi belanja online di dunia baru mencapai hampir USD8 triliun.

Tetapi,pada 2013 nilai transaksi onlinediperkirakan mampu menembus angka lebih dari USD16 triliun. Lonjakan minat terhadap belanja online mendorong para produsen meningkatkan aktivitas periklanan online. IDC mengungkap, pada 2009 nilai belanja iklan online di dunia sudah menembus angka hampir USD61 miliar, alias lebih dari 10% lebih besar daripada belanja iklan total seluruh media periklanan yang lain.

Pangsa itu diperkirakan meningkat menjadi hampir 15% pada 2013,saat nilai belanja iklan online global melampaui angka USD100 miliar. IDC menambahkan, lonjakan permintaan koneksi internet seluler berkecepatan tinggi di wilayah Asia Pasifik mendorong para operator seluler mengimplementasikan dan menawarkan teknologi koneksi yang lebih efisien.

IDC memperkirakan, teknologi internet seluler LTE (Long Term Evolution) akan menjadi idola di Asia Pasifik dalam beberapa tahun mendatang. IDC menjelaskan, tingginya permintaan koneksi internet seluler berkecepatan tinggi di Asia Pasifik tercermin dari tingginya permintaan koneksi internet seluler HSPA (High Speed Packet Access).

Sekadar penjelasan,HSPA adalah teknologi yang menggabungkan HSDPA (High Speed Downlink Packet Access) dan HSUPA (High Speed Uplink Packet Access). Dengan teknologi koneksi HSPA, pengguna internet seluler dapat menikmati akses internet dengan kecepatan dan stabilitas koneksi lebih tinggi.Pada saat ini, teknologi HSPA sudah banyak ditanam di smartphone kelas atas dan modem-modem seluler.

IDC menegaskan, penggunaan layanan HSPA di Asia Pasifik mengalami lonjakan pesat dalam 18 bulan terakhir.HSPA adalah teknologi yang relatif baru.Tetapi, hingga akhir 2009, IDC memperkirakan, penggunaan HSPA di Asia Pasifik sudah mampu menembus angka 43,6 juta koneksi. Secara teoritis,teknologi HSPA menjanjikan kecepatan downlink hingga 14,0 Mbps (megabit per detik) dan uplink 5,8 Mbps.

Dalam standar 3G (generasi ketiga) kecepatan HSPA memang sudah sangat tinggi.Namun dalam era 4G (generasi keempat) kecepatan HSPA rupanya tidak cukup tinggi. Karena itu, dalam memasuki era 4G,para operator seluler diperkirakan akan menggantikan HSPA dengan LTE.Standar teknologi 4G memang bukan hanya LTE,karena ada pula teknologi WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access).

Namun begitu, IDC memperkirakan, LTE akan lebih banyak digunakan karena LTE didukung lebih banyak produsen ponsel raksasa. “Sukses HSPA dan peningkatan permintaan bandwidth yang terjadi secara terus-menerus, akan mendorong implementasi LTE di wilayah-wilayah Asia Pasifik yang sudah memiliki HSPA.WiMAX tentu saja akan hadir pula dan saling melengkapi dengan LTE,” ujar Director Telecommunications Research Asia Pacific IDC Bill Rojas.

Rojas menilai, konsumen sesungguhnya bisa menikmati akses internet seluler dengan kecepatan cukup tinggi dengan HSPA.Namun begitu,HSPA ternyata membebani operator seluler karena HSPA menuntut investasi infrastruktur secara terus-menerus, seiring peningkatan penggunaan bandwidth. Jika kapasitas infrastruktur HSPA tidak ditambah ketika penggunaan meningkat, maka kecepatan pun turun.

Saat kecepatan turun, konsumen pun kecewa sehingga meninggalkan operator seluler HSPA. Untuk menanggulanginya, tegas Rojas, operator seluler harus mampu menyajikan koneksi internet seluler yang bersifat massal.Di samping WiMAX, teknologi yang potensial untuk digunakan adalah LTE. Karena LTE mendapatkan dukungan lebih besar dari para produsen handset dan modem, maka kelak akan tersedia lebih banyak handset dan modem LTE,daripada WiMAX.

Para produsen teknologi yang paling agresif mengembangkan teknologi LTE adalah produsen ponsel terbesar ketiga dunia LG Electronics Inc dan produsen ponsel terbesar kedua dunia Samsung Electronics Co Ltd. LG dan Samsung adalah dua produsen ponsel dari Asia.Kedua perusahaan itu pun memiliki basis pelanggan sangat besar di Asia.Lebih dari itu, LG dan Samsung juga sudah lama bereksperimen dengan koneksi internet seluler berkecepatan tinggi di negara asal mereka.

Yaitu Korea Selatan, yang dikenal sebagai negara yang paling banyak menggunakan koneksi internet di Asia,bahkan dunia. LG mengaku sudah mengembangkan teknologi LTE sejak sekitar 2006. LG pun sudah mendemonstrasikan teknologi LTE sejak 2008.Namun begitu,LG baru berencana memasarkan ponsel LTE pada 2010. Samsung juga berencana memasarkan ponsel LTE pada kisaran waktu yang sama dengan LG.

“ChipLTE LG adalah hasil dari penelitian dan pengembangan signifikan selama bertahun-tahun dan kami bangga dengan pencapaian kami.Saya yakin,ketika layanan seluler 4G dirilis pada tahun depan, LG akan memimpin pasar handset dengan teknologi ini,” papar President & Chief Executive Officer LG Electronics Mobile Communications Co Dr Skott Ahn. Di pihak lain, Samsung juga sudah berhasil membangun sebuah ponsel LTE.Lebih dari itu,Samsung juga mengembangkan infrastruktur jaringan seluler LTE.

Samsung menegaskan, teknologi LTE yang dikembangkannya bisa bekerja sama alias interoperable dengan teknologi LTE dari produsen lain. “Kami berinvestasi besar-besaran dalam R&D (penelitian dan pengembangan) sistem nirkabel 4G dalam beberapa tahun terakhir. Dengan solusi total end-to-end (dari ujung ke ujung) untuk sistem nirkabel 4G, Samsung akan memimpin era broadband (internet berkecepatan tinggi),” tutur Senior Vice President Telecom Systems Division Samsung Electronics Co Ltd Hyojong Lee.

Secara teoretis, teknologi LTE memungkinkan pengguna ponsel men-download film berukuran 700 MB (megabyte) dalam waktu kurang satu menit karena LTE bisa menembus kecepatan download hingga 100 Mbps.Ada pun kecepatan upload maksimum LTE adalah 50 Mbps.Tapi dalam praktik,kecepatan LTE ternyata tidak setinggi itu. Dalam uji coba di Korea Selatan, chip modem LTE LG “hanya” mampu mencatat rekor kecepatan download 60 Mbps dan upload 20 Mbps.

Tetap saja,kecepatan itu jauh lebih tinggi daripada HSDPA. Sebab saat ini kecepatan download maksimum HSDPA adalah 7,6 Mbps. LG memaparkan, chip LTE menjanjikan manfaat nyaris tanpa batas. Baik ketika digunakan untuk meningkatkan produktivitas atau pun menyajikan hiburan. “Setelah LG berhasil mengembangkan dan menguji modem handset 4G pertama, kehadiran handset LTE menjadi semakin dekat.

Terobosan teknologi terbaru LG ini akan kami manfaatkan untuk memperkuat posisi LG di industri ponsel global,” ujar Chief Technology Officer LG Electronics Inc Dr Woo Hyun Paik. Chip modem LTE LG itu berukuran sangat kecil.Yakni 13 x 13 mm.LG menegaskan, dengan chip modem sekecil itu, produsen ponsel akan mampu membuat ponsel berdimensi lebih mungil.

LG menambahkan, para operator seluler di dunia tidak akan kesulitan mengimplementasi kan jaringan seluler LTE karena teknologi LTE dikembangkan berbasis teknologi WCDMA (Wideband Code Division Multiple Access). LG mengklaim, sebanyak 85% operator seluler WCDMA di dunia akan mampu melakukan upgrade jaringan seluler menjadi LTE dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada biaya pembangunan jaringan baru yang menggunakan standar teknologi berbeda.Firma riset Strategy Analytics Inc memperkirakan, penjualan ponsel LTE di dunia akan mencapai 70 juta unit pada 2012 dan berlipat ganda menjadi 150 juta unit pada 2013. (ahmad fauzi) 
 
Tuesday, 15 December 2009  
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/290512/

2012 Hanya "Kiamat" Teknologi

Siklus Matahari

Berdasarkan pengamatan Lapan ( Lembaga penerbangan dan Antariksa nasional ), tahun 2012 akan menjadi puncak dari aktivitas matahari. Prediksi ini dihitung berdasarkan siklus matahari yang sudah tercatat sejak tahun 1700. Para peneliti matahari di dunia sepakat bahwa saat ini telah memasuki siklus matahari ke-24. Puncak aktivitas siklus akan menimbulkan badai matahari. Salah satu tanda meningkatnya aktivitas matahari adalah meningkatnya jumlah sun spot (bintik matahari). Pada 2012 jumlah sun spot akan meningkat

Sebagai sebuah siklus, badai matahari pernah menyebabkan beberapa kerusakan pada sistem teknologi. Pada awal 1859 badai matahari menyebabkan jaringan telegram rusak terbakar. Salah satu ganguan terhebat akibat badai matahari dialami kanada pada tahun 1989. Badai matahari menghanguskan trafo listrik Hydro-Quebec di negara bagian Quebec yang menyebabkan kelumpuhan total di semua sektor. Sarana transportasi yang menggunakan listrik seperti kereta bawah tanah dan trem berhenti dan membuat semua orang tidak bisa berangkat bekerja. Kantor-kantorpun lumpuh karena listrik mati sepanjang hari.

Beberapa di swedia juga pernah kehilangan pasokan listrik pada peristiwa yang sama terjadi di tahun 2003. Akibat badai matahari ajang piala dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang mengalami gangguan. Namun demikian melihat kondisi matahari yang tenang di tahun 2009 ini, maka badai bisa saja tidak akan terjadi pada 2012 melainkan 2013. Lalu apakah dampak dari badai matahari akan seekstrem sebagaimana dalam film 2012??” Badai matahari tidak akan berdampak langsung kepada manusia, melainkan kepada sistem teknologi”

Istilah kiamat itu lebih cocok diasosiasikan pada kondisi saat manusia tidak bisa memanfaatkan lagi teknologi. Setidaknya ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari badai matahari. Akan terjadi gangguan pada jaringan komunikasi yang menyebabkan blackout (teputusnya jaringan komunikasi). Kondisi itu membuat sistem komunikasi manusia pada saat kejadian layaknya mundur ke masa 30 tahun yang lalu. Badai matahari juga menyebabkan gnguan listrik, menyebabkan percepatan korosi pada pipa-pipanya, gangguan pada satelit dan penerbangan yang melewati kutub akan mengalami radiasi yang tinggi. Badai juga berdampak pada iklim dengan meningkatnya suhu permukaan.

Beberapa Gangguan Teknologi Dari Dampak Badai Matahari sbb:

  1. Gangguan ionosfer secara mendadak, memutuskan komunikasi radio HF dalam melakukan penerbangan internasional.
  2. Output baterai dari panel surya menurun/drop dan satelit terganggu (Oktober 1989 dan November 2001).
  3. Satelit komunikasi milik Kanada dan Amerika Serikat mengalami gagal operasi (Mei 1998)
  4. Orbit satelit astronomi Asuka (Jepang) tidak stabil (Juli 2000) dan hilang kontrol (Maret 2001)
  5. Transformer listrik terbakar, listrik Quebec, Kanada, padam (13 Maret 1989) dan Swedia (Oktober 2003).
  6. Gangguan siaran televisi jepang ketika Piala Dunia 2002.
  7. Pengiriman citra dari satelit meteor terganggu.
(Sugeng Wahyudi)
Sumber: Harian Sindo, Kamis tanggal 17 Desember 2009, Hal.12

Tuesday, December 15, 2009

PERUBAHAN IKLIM: Perdagangan Karbon Tak Adil

Melalui kegiatan Global Day of Action-International Demonstrations on Climate Change, yakni sebuah aksi demonstrasi perubahan iklim secara global, Sabtu (12/12) di berbagai negara di dunia, ditekankan agar reduksi emisi tidak dialihkan menjadi mekanisme perdagangan karbon. Perdagangan karbon dengan ”pembeli” negara maju dan ”penjual” negara berkembang itu merupakan mekanisme tidak adil.

”Perdagangan karbon dari negara-negara berkembang yang diklaim menjadi sebuah upaya penurunan emisi oleh negara maju itu berarti tetap membiarkan emisi terus berlangsung dari kegiatan industri di negara-negara maju. Ini suatu bentuk pengalihan reduksi emisi yang harus ditentang,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Forqan di Jakarta.

Bersama aktivis lingkungan lainnya, Walhi mengarahkan tuntutan melalui Global Day of Action ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. AS, dengan total emisi 36,1 persen di dunia, hingga saat ini enggan menyepakati target penurunan emisi sesuai dengan Protokol Kyoto. Ini menjadi preseden buruk bagi negara lain.

Kesepakatan global yang dituangkan dalam Protokol Kyoto, menurut Berry, mencapai target menurunkan emisi 24-25 persen dari level tahun 1990 untuk pencapaian tahun 2020, khusus bagi negara-negara industri atau Annex-1. Berdasarkan pertimbangan dan analisis ilmiah, jika target penurunan emisi tersebut tidak ditempuh, diperkirakan kenaikan suhu global mencapai 2 derajat celsius dalam 100 tahun terakhir.

”Kenaikan suhu 2 derajat celsius berdampak pada perubahan iklim dan bencana yang lebih parah akan dihadapi negara-negara berkembang, bukan negara- negara maju. Negara maju sekarang lebih siap menghadapi bencana atas perubahan iklim,” kata Berry.

Lahan gambut

Melalui surat elektronik pada Sabtu pekan lalu, Ketua Kelompok Kerja Alih Guna Lahan dan Kehutanan pada Dewan Nasional Perubahan Iklim Doddy Sukadri dari Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, menyatakan, Indonesia menekankan pentingnya mengurangi emisi melalui upaya mempertahankan lahan gambut.

Mantan Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad mengatakan, dari sisi mempertahankan kehutanan maupun lahan gambut, Indonesia dihadapkan pada ironi perluasan lahan perkebunan sawit di sejumlah daerah yang disetujui pemerintah. ”Perluasan sawit kian mendesak keberadaan hutan-hutan heterogen yang menyimpan keanekaragaman hayati,” kata Chalid. (NAW)

Senin, 14 Desember 2009 | 02:52 WIB

Jakarta, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/14/02521361/perdagangan.karbon.tak.adil

KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM: Negosiasi Kurang Cerminkan Kepentingan

Delegasi RI boleh bangga dengan pencapaian target Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Konferensi Perubahan Iklim 2009. Namun, pencapaian itu menyisakan persoalan besar. Setidaknya, ini menurut pendapat Forum Masyarakat Sipil (CSF) untuk Keadilan Iklim.

Skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang menjadikan hutan sebagai ”alat tukar” penurunan emisi dengan sejumlah uang dan teknologi dinilai CSF (gabungan sejumlah LSM dari Indonesia yang memantau negosiasi iklim) terlalu murah. Murah tidak hanya dalam artian nilai uang, tetapi juga risiko jangka panjang yang menyangkut hak hidup dan budaya masyarakat lokal dan masyarakat adat.

Pendanaan konservasi hutan dalam arti tertentu, dalam skema REDD, diyakini akan meminggirkan kontrol masyarakat terhadap hutan yang secara turun-temurun mereka hidupi. Sebaliknya, memberikan keleluasaan bagi industri, seperti industri bubur kertas dan kertas untuk menambah konversi hutan alam bila definisi hutan memasukkan tegakan hijau perkebunan monokultur.

Atas nama komitmen mitigasi perubahan iklim di negara berkembang, masyarakat dalam posisi rentan dijadikan ”kambing hitam” perusakan hutan. ”Indonesia terjebak dalam negosiasi pola negara maju dan tidak mementingkan kepentingan nasionalnya sendiri,” kata Teguh Surya dari Walhi yang hadir di Kopenhagen.

Hal yang sama diungkapkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang menilai penerapan di lapangan justru akan memicu konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah.

Dari data CSF, sepanjang tahun 2008 setidaknya tercatat 500 konflik terkait pengelolaan perkebunan sawit. Konflik itu akan terus bertambah selama pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak dipandang sebagai sebuah hal yang penting.

Tekan negara maju


Koordinator CSF Giorgio Budi Indarto menilai, Indonesia seharusnya menekan negara-negara maju dalam negosiasi iklim. Khusus terkait hutan, tekanan diarahkan kepada tanggung jawab negara maju agar mengurangi permintaan produk hasil sumber daya alam.

”Tingginya permintaan negara maju itulah akar masalah kerusakan hutan dan degradasi lahan akibat pertambangan. Sayangnya, itu tidak menjadi titik pijak posisi Indonesia,” katanya.

Ketidakjelasan sikap delegasi RI juga disorot pada awal negosiasi, khususnya ketika Denmark mengeluarkan Danish Accord yang mengancam kepentingan nasional. Pasalnya, di dalamnya ada klausul mewajibkan negara berkembang menurunkan emisi gas rumah kaca yang jelas-jelas tidak diwajibkan sesuai dengan keputusan di Bali 2007.

Tidak seperti beberapa negara berkembang lain yang tegas menolak tawaran itu, Indonesia cenderung diam. Menurut delegasi RI, sikapnya sudah terwakili pendapat negara lain.

Ketidaksiapan lain adalah soal data jumlah dana bantuan asing yang dibutuhkan Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 41 persen pada 2020. Begitupun penerapan di lapangan yang hingga kini belum jelas.

Berdasarkan data resmi di sekretariat konferensi, jumlah anggota delegasi RI 188 orang, termasuk beberapa pejabat dalam rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dari jumlah itu, negosiator inti yang memantau 16 sesi persidangan kurang dari 30 orang.

Secara perseorangan, beberapa anggota delegasi menduduki posisi penting sidang, seperti mengetuai atau co-chair grup kontak pembahasan sebuah isu. Mengikuti sidang dengan keseriusan tinggi bukanlah hal mudah. Mengenai jumlah delegasi, total jumlah Indonesia di bawah Brasil dan China. ”Tidak semuanya datang karena persoalan visa,” kata anggota delegasi, Ghafur Dharmaputra.

Sepekan tersisa, kemampuan bernegosiasi tim delegasi RI dipertaruhkan. Mengutip kata Ketua Negosiator RI Rachmat Witoelar, Indonesia fokus pada kepentingan nasional. (GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark)
Senin, 14 Desember 2009 | 03:35 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/14/03355796/negosiasi..kurang.cerminkan.kepentingan

Skema Kehutanan Disepakati, REDD Dituntut Tidak Tinggalkan Masyarakat Adat

Setelah melewati pembahasan alot selama lima hari, panduan metodologi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau REDD disepakati di tingkat Badan Pembantu untuk Advis Teknologi dan Sains Pertemuan Para Pihak Ke-15, Sabtu (12/12) malam.

Pembahasan menyisakan aspek pendanaan dan pendekatan ke kelompok lain. Pencapaian itu dinilai sebagai kemajuan berarti delegasi meski belum selesai.

”Tanpa pencapaian di tahap metodologi, REDD plus tidak dapat diterapkan,” kata negosiator delegasi RI untuk REDD, Wandojo Siswanto, di Kopenhagen, Denmark, Minggu. Indonesia menargetkan, panduan metodologi, pendanaan, dan kebijakan bersama REDD plus yang dapat masuk dalam Kesepakatan Pasca-2012 bersifat jangka panjang.

Kelompok Indigenous Environmental Network menolak REDD dan menyebutnya ”COlonialism of forests”. Skema itu hanya akan merampas kontrol hutan adat dari masyarakat adat kepada pemilik modal dan pengemisi CO melalui negara.

Melalui mekanisme carbon offset, emisi industri di negara- negara makmur dapat berlanjut dengan membeli sertifikat reduksi emisi melalui konservasi hutan di negara berkembang.

Fitrian Ardiansyah dari WWF Indonesia menyebutkan, keputusan itu merupakan awal yang baik. Dengan kerja sama solid di antara negara berkembang, pendanaan REDD yang terpisah dari dana adaptasi lebih mudah dicapai.

REDD plus adalah skema mitigasi yang memungkinkan negara berkembang pemilik hutan, seperti Indonesia, Brasil, Kongo, dan Tanzania, mendapat pendanaan dari negara maju dengan mengurangi pembukaan hutan dan degradasi lahan.

Beberapa kewajiban yang disepakati termasuk pengakuan keterlibatan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengawasan dan pelaporan. Di antaranya, identifikasi penyebab perusakan dan degradasi lahan, berbagai aktivitas penstabil stok CO dalam hutan, dan menggunakan pedoman Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC).

”Kami sedang mengembangkan penerapan metodologi bekerja sama dengan Jerman dan Australia di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa Timur,” kata negosiator RI, Koordinator Substansi REDD Nur Masripatin.

Menurut IPCC, ada beberapa kewajiban teknis yang harus diikuti terkait transparansi sistem pemantauan nasional, yakni perpaduan data penginderaan jauh dan pengecekan di lapangan. Kalkulasi harus transparan, konsisten, akurat, dan mengurangi ketidakpastian.

Kalimat ”pelibatan penuh dan efektif” dikhawatirkan melemahkan posisi tawar masyarakat adat. Pada draf awal, masyarakat adat mengusulkan pengakuan hak-hak kemerdekaan masyarakat adat sesuai dengan asas free, prior, and informed consent (bebas, diinformasikan dulu, dan disetujui) yang dilindungi Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.

Di Yogyakarta, Sabtu, belasan orang asal Jepara dan Madura berunjuk rasa di depan Kantor Badan Tenaga Nuklir Nasional, Sleman. Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir itu menolak usulan penggunaan tenaga nuklir sebagai solusi bidang energi pada konferensi di Kopenhagen. (GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark/IRE)

Senin, 14 Desember 2009 | 03:47 WIB

Kopenhagen, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/14/03473882/skema.kehutanan..disepakati

COP-15 Copenhagen: Negara Afrika Desak Hasil Mengikat

Negara-negara Eropa mendesak negara berkembang berjanji menurunkan emisi, sementara Indonesia menginginkan pendanaan dari luar ditambah.

Indonesia yang masih disebut sebagai pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia, setelah China dan Amerika Serikat, 80 persen emisinya adalah dari kerusakan hutan dan lahan.

Pemimpin Komisi Eropa Jose Manuel Barroso mendesak Indonesia memperkuat kampanye dua jalur untuk merangkul negara maju dan negara berkembang berbuat lebih untuk menyelamatkan kesepakatan.

Demikian ujar Barroso dalam konferensi pers bersama seusai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Brussels, Belgia, Senin (14/12).

”Indonesia bisa memberi tahu negara berkembang lain, termasuk negara berkembang yang pesat ekonominya, bahwa mereka harus berbuat lebih,” ujar Barroso tanpa menyebut India dan China. ”Kami juga akan mengatakan hal sama kepada negara-negara maju,” ujarnya. Dengan kekisruhan negosiasi saat ini, dia mengingatkan kemungkinan gagal ada kesepakatan berarti. Untuk menembus kebuntuan, solusinya adalah ”bertanya kepada setiap orang sebagai upaya mencari kemungkinan lain”.

Presiden COP-15 Connie Hedegaard minta bantuan Rachmat Witoelar dan Menteri Jerman memfasilitasi pertemuan agar terus berjalan. Pasalnya, sidang pleno terancam buntu karena negara berkembang terus menekan negara maju berkomitmen dengan angka penurunan emisi.

Penundaan pleno

Pada Senin sore di Kopenhagen terjadi penundaan sidang pleno. Delegasi Afrika menolak melanjutkan persidangan bila Presiden Pertemuan Para Pihak Ke-15 tidak mendahulukan pembahasan keberlanjutan Protokol Kyoto-sudah krusial sejak awal.

Protokol itu merupakan satu-satunya kesepakatan berkekuatan hukum yang mewajibkan negara maju menurunkan emisi gas rumah kaca, penyebab pemanasan global, dalam jumlah besar. ”Kami datang dengan posisi jelas, yakni ada kesepakatan mengikat dan melanjutkan Protokol Kyoto seperti kesepakatan di Bali,” kata salah satu wakil kelompok Afrika, Victor, kepada wartawan. Periode pertama Protokol Kyoto berakhir pada 2012.

Ada upaya negara maju ”membunuh” protokol Kyoto karena sejumlah negara maju mendorong negosiasi ke satu hasil keputusan yang menggabungkan dua jalur pembahasan, berarti menggantikan Protokol Kyoto.

Dalam persidangan, menurut wakil delegasi RI, Presiden COP-15 mendahulukan pembahasan draf teks soal Aksi Kerja Sama Jangka Panjang (LCA), yang banyak membahas kepentingan negara-negara maju. Adapun pembahasan Protokol Kyoto memberi peluang bagi negara berkembang menekan negara maju dengan komitmennya.

”Sikap Indonesia sama, kedua jalur harus berjalan bersamaan dengan dua hasil. Bukan penggabungan atau menggantikan Protokol Kyoto,” kata juru bicara delegasi RI, Tri Tharyat. Posisi Indonesia sama dengan Afrika dan kelompok G-77 plus China.

Dukungan kepada Afrika bermunculan. ”Ini bukan soal menghalangi persidangan. Ini soal kesiapan negara maju menjamin akan berbuat sesuatu untuk membantu keberlanjutan Afrika dan seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif Oxfam International Jeremy Hobbs. (GSA/DAY/AFP/ISW)

Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB

BRUSSEL, KOMPAS -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10444938/negara.afrika.desak.hasil.mengikat

Matahari dan Pemanasan Bumi Saling Menguatkan

Terjangan radiasi Matahari lebih dari 60 tahun lalu telah menyebabkan lapisan es di puncak gunung di Swiss meleleh lebih cepat daripada saat ini walaupun sekarang pun terekam ada kenaikan temperatur. Demikian hasil penelitian sejumlah ilmuwan yang dipaparkan pada Senin (14/12).

Penelitian mereka tentang dampak radiasi Matahari pada gletser Alpen membawa pada ”penemuan mengejutkan”. Penemuan tersebut adalah pada tahun 1940-an, terutama pada musim panas 1947, volume es yang meleleh adalah terbanyak sejak diukur dari 95 tahun lalu.

Penelitian yang dilakukan Zurich’s Federal Institute of Technology (ETHZ) ini juga mencatat kenaikan temperatur yang mempercepat proses melelehnya es pada tingkat yang tak terduga sebagai akibat pemanasan global. ”Yang baru adalah paradoks tersebut dapat dijelaskan dengan adanya radiasi,” ujar Matthias Huss, salah seorang peneliti.

Penelitian tersebut dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters sebagai laporan dari penelitian besar yang dilakukan terkait dampak perubahan iklim dan peran radiasi Matahari dalam model iklim.

Dari penelitian ditemukan bahwa level radiasi Matahari pada tahun 1940-an adalah 8 persen lebih tinggi daripada radiasi rata-rata. Hal itu mengakibatkan salju meleleh sekitar 4 persen. (AFP/ISW)

Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB

Geneva, Senin -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10441561/matahari.dan.pemanasan.bumi.saling.menguatkan

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...