Showing posts with label Green City. Show all posts
Showing posts with label Green City. Show all posts

Thursday, October 14, 2010

Tanah Muara Baru Turun Paling Parah

Delapan tahun terakhir sejak 2002 terjadi penurunan permukaan tanah secara signifikan, khususnya di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara, yang mencapai 116 sentimeter (cm).

"Secara umum terjadi penurunan muka tanah di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat. Tapi, paling dalam di kawasan Muara Baru jika dibanding dengan daerah-daerah lain di Jakarta," kata Herry Andreas, peneliti geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam jumpa pers tentang penanganan dan penanggulangan penurunan muka tanah di Ruang Rapim Utama Balai Kota DKI, Jumat (1/10).

 Selain di tiga wilayah kota madya itu, kata Herry, penurunan muka tanah juga terjadi hingga daerah dataran tinggi Cibubur, Jakarta Timur, dengan kedalaman bervariasi. Selain itu, terjadi penurunan muka tanah di Cengkareng Barat kedalaman 65 cm, Jalan MH Thamrin turun 15 cm, kawasan Kelapa Gading turun 47 cm, dan daerah Cibubur sekitarnya 11 cm.

Di Jalan Kramat Jaya, Jakarta Utara, penurunan ruas jalan menuju Islamic Center itu rata-rata 4 cm tiap tahun, sehingga sering ditinggikan lewat proyek hotmix.

Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI Yusuf Effendi Pohan dalam jumpa pers mengatakan, penurunan tanah di Jakarta terjadi karena empat faktor yakni pengambilan air tanah berlebihan, eksploitasi minyak dan gas, beban bangunan, gaya tektonik dan konsolidasi alamiah lapisan tanah. (Ssr/OL-5)

02 Okt 2010
Source:http://www.mediaindonesia.com/read/2010/10/02/172247/89/14/Tanah-Muara-Baru-Turun-Paling-Parah

Wednesday, November 25, 2009

Akan Ada Aturan Lubang Resapan Biopori


Setelah aturan sumur resapan dan kolam resapan sudah dibekukan satu paket dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB), aturan tentang lubang resapan biopori akan 'naik kelas'. Pejabat Harian Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Ridwan Panjaitan mengatakan pemerintah daerah tengah merencanakan aturan ini diikat dalam ketentuan hukum.

"Sumur resapan dan kolam resapan kan sudah wajib dalam IMB. Sekarang yang imbauan adalah lubang resapan biopori. Itu juga mau dibuat peraturan yang lebih tinggi," ujarnya dalam keterangan pers Anugerah Jakarta Green Office 2009 di FX Plaza, Rabu (25/11).

Pembahasannya masih di tahap awal. Namun, menurut Ridwan, ini akan jadi prioritas karena lubang resapan biofori sangat berperan penting dalam mengantisipasi banjir. Tanpa mendetilkan penjelasannya dengan data, Ridwan mengatakan menurut perhitungan pakar, biopori sangat efektif untuk antisipasi banjir jika volumenya sampai 70 juta lubang di Jakarta.

"Kalau ini dilaksanakan, tentu bagus karena ini begitu murah dan mudah. Dengan membuat biopori di lahan taman kita yang tak terpakai, itu bisa menjadi sumbangan yang efektif," tandasnya.

RABU, 25 NOVEMBER 2009 | 20:13 WIB

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik



Tuesday, November 17, 2009

Ruang Terbuka Harus Ditambah 14.356 Hektar



 Jika jumlah kendaraan di Jakarta tidak dikendalikan, pencemaran karbondiosida yang ditimbulkan oleh lebih dari 10 juta kendaraan bermotor pada 2015 bakal mencapai 38.322,46 ton per hari. Untuk mengatasinya, luas ruang terbuka hijau di Jakarta harus diperluas, dari 6.480 hektar menjadi 20.836 hektar atau 32,04 persen dari total luas lahan.

Pengamat arsitektur lanskap Universitas Trisakti, Iwan Ismaun, Rabu (9/9) di Jakarta Pusat, mengatakan, saat ini jumlah mobil dari berbagai jenis sudah mencapai 2,9 juta unit dan jumlah sepeda motor mencapai 7,08 juta unit. Jumlah itu terus bertambah dengan cepat sehingga Jakarta mencapai salah satu kota dengan polusi terburuk di dunia.

Selain mempercepat pemanasan global, pencemaran gas karbondioksida membahayakan kesehatan masyarakat. Kerugian masyarakat akibat penurunan kesehatan ini pada 2015 dapat mencapai Rp 4,3 triliun. Kerugian itu meningkat 2,5 kali lipat dibandingkan pada 1998, Rp 1,8 triliun.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DKI Jakarta Ubaidillah mengatakan, kondisi ini dapat diatasi dengan dua langkah, pengurangan jumlah kendaraan kendaraan bermotor dan perluasan ruang terbuka hijau. Pengurangan jumlah kendaraan bermotor hanya bakal efektif jika ada angkutan massal.

Sementara untuk menyerap gas karbondioksida, Jakarta perlu memperbanyak pepohonan dan memperluas ruang terbuka hijau (RTH). Saat ini, luas RTH publik di Jakarta baru mencapai 9,97 persen dari total luas wilayah Jakarta atau mencapai 6.480 hektar.

Menurut Iwan, luas RTH publik seharusnya mencapai 20 persen dan RTH milik privat 10 persen dari total luas wilayah Jakarta. Kewajiban yang diamanatkan UU Tata Ruang itu sulit dipenuhi oleh Pemprov DKI Jakarta karena terbatasnya lahan yang masih tersedia.

Jika mengharapkan penambahan ruang terbuka hijau dari milik privat, Pemprov harus mencari data yang akurat terlebih dulu dan menetapkan sistem kompensasi. Data akurat diperlukan karena banyak pemilik bangunan yang mengubah lahan terbuka hijau menjadi lahan perkerasan.

Perubahan semacam ini banyak terjadi di berbagai mal, perkantoran, dan bahkan rumah tinggal. RTH privat yang akan digabungkan menjadi RTH kota harus didaftar secara resmi dan pemiliknya diberi kompensasi agar tidak mengubah lahan terbuka hijaunya menjadi lahan terbangun.

Monday, October 19, 2009

Ruang Hijau Tingkatkan Kesehatan

Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa hidup di sekitar ruang terbuka hijau dapat meningkatkan kesehatan. Penelitian di Jurnal epidemiologi dan kesehatan masyarakat mengatakan, pengaruh ruang terbuka hijau terutama dapat mengurangi penyakit mental. Keuntungan kesehatan didapat paling banyak untuk mengurangi penyakit jika ruang terbuka hijau itu berada pada radius 1 kilometer dari rumah. Pengecualian untuk ini adalah kecemasan, penyakit infeksi sistem pencernaan, dan gejala-gejala fisik yang tidak bisa dijelaskan secara medis. Keberadaan ruang terbuka hijau tetap memberi manfaat untuk mengurangi penyakit tersebut meskipun radius ruang terbuka hijau berkisar 3 kilometer dari tempat tinggal.(BBC/ELN)
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/19/03381852/kilas.iptek

Sunday, October 18, 2009

Polusi Debu di Jakarta Turun?

Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta mengklaim kualitas udara di Jakarta terbaik ketiga di Asia. Klaim itu didasarkan pada hasil penelitian Clean Air Initiative yang menyatakan, polusi debu di Jakarta hanya 68,5 mikrogram per meter kubik.

”Berdasarkan penelitian Clean Air Initiative for Asia City, kondisi polusi debu di udara Jakarta hanya lebih buruk daripada Singapura dan Surabaya. Kualitas udara Jakarta masih lebih baik daripada Shanghai, Ho Chi Minh, dan Beijing,” kata Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta Peni Susanti, Jumat (16/10) di Balaikota DKI.

Pernyataan Peni Susanti dikeluarkan untuk memperbarui hasil penelitian pada 2005 yang menyatakan, kualitas udara Jakarta terburuk ketiga di dunia, setelah Meksiko City dan Bangkok. Polusi udara di Jakarta, baik dari debu, karbon dioksida, NOx, maupun timbal, dituding sudah melebihi batas ambang normal.

Clean Air Initiative, kata Peni, adalah lembaga pemerhati lingkungan di bawah organisasi kesehatan dunia (WHO). WHO mengadakan penelitian di 10 kota besar Asia untuk mengukur kadar debu dalam udara.

Kadar debu di Singapura mencapai 30 mikrogram per meter kubik, di Surabaya 60 mikrogram per meter kubik. Ambang batas kadar debu yang ditoleransi adalah 150 mikrogram per meter kubik. Debu dinilai sebagai salah satu polutan utama di udara. Jika kadar debu kecil, kualitas udara dianggap baik.

Menurut Peni, lokasi pengukuran dan jumlah alat ukur yang digunakan Clean Air Initiative dilakukan di lima kota se-DKI Jakarta. Namun, Peni tidak mengetahui jumlah alat ukur dan lokasi pasti pengukuran kadar polusi debu. Alat ukur polusi udara yang dimiliki DKI Jakarta sendiri hanya dua unit yang menetap dan satu unit bergerak.

Penurunan debu di Jakarta, kata Peni, disebabkan perubahan jenis mesin kendaraan dari 2 tak menjadi sistem injeksi, penerapan hari bebas kendaraan dua kali setahun, dan penggunaan gas untuk kendaraan umum.

Dipertanyakan

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup DKI Jakarta Ubaydilah mengatakan, hasil penelitian itu patut dipertanyakan. Jumlah kendaraan terus bertambah dan kemacetan kian parah sehingga tidak mungkin polusi debu turun. Partikel yang mencemari udara bukan hanya debu, melainkan juga karbon dioksida, timbal, dan NOx.

Alat dan mekanisme pengukuran juga perlu dipertanyakan. Jika pengukuran dilakukan dengan alat milik DKI, hasilnya pantas diragukan karena hanya ada tiga alat pengukur. (eca)

Tuesday, October 6, 2009

Hari Habitat Dunia 2009: Kawasan Kumuh Kota 54.000 Hektar

Kawasan kumuh kota secara nasional terus meningkat dan meluas sekitar 54.000 hektar atau lebih dari tiga kali luas Kota Bandung. Ketidaklayakan hunian di perkotaan itu masih ditambah 21,1 persen rumah tangga yang tidak dapat mengakses air bersih dan sebanyak 22,86 persen tidak memiliki akses jamban.

”Kondisi hunian tidak layak seperti itu perlu diperbaiki dengan merencanakan masa depan kota yang melibatkan partisipasi warga,” kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Senin (5/10) di Palembang, dalam puncak peringatan Hari Habitat Dunia Ke-23.

Hari Habitat Dunia diperingati secara global setelah Perserikatan Bangsa-bangsa merumuskan Deklarasi Vancouver pada 1976. Deklarasi itu menekankan prinsip hunian yang layak bagi semua sebagai agenda habitat dunia. Peringatan tahun ini mengambil tema global ”Merencanakan Masa Depan Perkotaan”.

Djoko menekankan, perencanaan dan pembangunan perkotaan itu sekarang bertumpu pada kapasitas pemerintah daerah. Perencanaan ditekankan untuk pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan, yang diharapkan mampu merealisasikan agenda penting habitat di Indonesia pada 2015, meraih 350 kota tanpa kekumuhan.

Pada peringatan di Palembang itu hadir pula Menteri Negara Perumahan Rakyat Muhammad Yusuf Asy’ari dan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Di dalam peringatan itu digelar eksposisi perencanaan dan penanganan kawasan kumuh sembilan kota meliputi Palembang, Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Surabaya, Blitar, Balikpapan, Bontang, dan Tarakan.

Yusuf Asy’ari mengemukakan, pembangunan permukiman layak huni di perkotaan seperti di Jakarta tak jarang juga menemui kegagalan. Dia mencontohkan, beberapa tahun sebelumnya direncanakan pembangunan rumah susun sederhana milik dengan jumlah pendaftar 660 perusahaan, tetapi sampai sekarang hanya terealisasi 35 tower.

”Pembangunan rumah susun sederhana sewa khusus untuk pekerja di Jakarta juga telah direncanakan sebanyak 350.000 unit, tetapi hingga sekarang tidak berjalan. Perusahaan-perusahaan tidak tertarik mengambil kesempatan untuk pembangunan permukiman layak bagi para pekerjanya,” kata Yusuf Asy’ari.

Kriteria kumuh

Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Budi Yuwono menjelaskan, perkembangan kota-kota saat ini masih bersifat reaktif, belum bersifat antisipatif terhadap berbagai persoalan yang mungkin dihadapi warga.

Budi juga menyebutkan, pemerintah, seperti ditetapkan di dalam Deklarasi Vancouver, memiliki tanggung jawab terhadap penyediaan hunian layak bagi warga yang tidak mampu.

Menurut Budi, ada beberapa hal yang menjadi kriteria permukiman kumuh, di antaranya meliputi ukuran bangunan sangat sempit tidak memenuhi standar kesehatan. Kondisi bangunan berimpitan sehingga rawan kebakaran. Kurangnya suplai air bersih serta jaringan listrik tidak tertata dan tidak terpasang dengan baik.

Kriteria berikutnya, sistem drainasenya buruk. Jalan lingkungan juga tidak memadai. Kemudian, ketersediaan sarana mandi, cuci, dan kakus juga sangat terbatas.(ONI/NAW)

Monday, October 5, 2009

Saatnya Pemprov DKI Fokus soal Tata Ruang

DUA TAHUN FAUZI BOWO-PRIJANTO

Bicara soal kota Jakarta, pasti tidak jauh-jauh dari kemacetan dan banjir. Dua masalah itu masih menghantui Jakarta. Masyarakat pun bertanya-tanya kapankah akan berakhir? Dalam dua tahun masa pemerintahan Fauzi Bowo dan Prijanto, masyarakat melihat belum ada kemajuan berarti terkait upaya penanggulangan persoalan itu.

Padahal, selain banjir dan macet masih ada sederet masalah merongrong Ibu Kota, mulai dari kemiskinan, ruang terbuka hijau (RTH) yang tak pernah cukup luasnya, hingga problem layanan kesehatan masyarakat dan pendidikan.

Fauzi Bowo dalam beberapa kali kesempatan menyatakan, demi mengatasi banjir, proyek banjir kanal timur (BKT) terus digenjot pelaksanaannya dan ditargetkan selesai tahun 2010. Mengiringi pembangunan BKT, pengerukan 13 sungai dan perbaikan drainase di seluruh Jakarta juga giat dilakukan.

”Tidak ada yang bisa langsung jadi bagus, semua butuh proses. Saat ini, DKI telah dan sedang melaksanakan program-programnya. DKI juga tengah melakukan perbaikan intern dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Saya yakin, jika orang-orang di pemerintahan dibenahi, pelaksanaan program pun bisa lebih lancar,” paparnya.

Pengembangan tata ruang

Nirwono Joga, arsitektur lanskap dan pengamat perkotaan, menyatakan, penyebab dari segala masalah rumit yang melilit Jakarta tidak lain karena kesalahan pengembangan tata ruang.

”Jakarta kini identik dengan banjir, ini terkait juga dengan kurangnya air bersih, permukaan tanah yang makin turun, dan intrusi air laut. Kemudian kemacetan parah berimbas pada pemborosan bahan bakar, waktu, dan tingginya pencemaran udara. Belum lagi kebakaran yang nyaris terjadi setiap hari. Terakhir, tumbuhnya perkampungan kumuh yang tidak dapat dicegah meski penggusuran terus dilakukan,” papar Nirwono.

Kalau mau dirunut, semuanya kembali ke masalah tata ruang. Daerah aliran sungai yang secara liar ditumbuhi permukiman sekaligus tempat pembuangan sampah dibiarkan selama puluhan tahun. Ini jelas mengingkari rencana tata ruang tata wilayah yang ditetapkan dan diperbarui setiap 10-20 tahun.

Nuzul Achjar, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menambahkan, untuk mengatasi kemacetan, misalnya, DKI lebih memilih membangun jalan tol. Padahal, kemacetan yang terjadi di Jakarta tidak mencerminkan tingginya permintaan akan penambahan jalan.

”Ini bukan sekadar prinsip ekonomi supply and demand. Bukan jalan yang diminta, melainkan sistem transportasi massal yang tepat menyeluruh,” kata Nuzul.

Kebutuhan akan transportasi massal itu, mau tidak mau, hanya bisa dipenuhi jika DKI bisa menata ruangnya dengan tepat, antara lain dengan memanfaatkan bagian bawah tanahnya untuk membangun sistem kereta api bawah tanah (subway). Di atas permukaan tanah, kawasan hijau diperluas sehingga bisa menekan tingkat pencemaran dan kepadatan.

Kesimpulannya, baik Nuzul maupun Nirwono menekankan agar DKI menyusun RTRW 2010-2030 secara saksama dengan memerhatikan berbagai masalah yang ada. Berdasarkan aturan tata ruang itulah, kebijakan lain diturunkan yang berkenaan langsung dengan banjir, macet, kebakaran, RTH, hingga penataan permukiman padat. Kuncinya, tinggal bagaimana menegakkan aturan secara tegas. (NELI TRIANA)

Senin, 5 Oktober 2009 | 04:04 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/04042284/saatnya.pemprov.dki...fokus.soal.tata.ruang

Wednesday, September 30, 2009

Penataan Sampah Butuh Pengaturan Tata Ruang

Penataan sampah di Provinsi DKI Jakarta membutuhkan ketetapan tata ruang. Apabila tata ruang tidak segera dibereskan, pengelolaan sampah di Ibu Kota Jakarta akan sulit diselesaikan.

Pakar Teknologi Lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, Selasa (29/9), mengatakan, selama ini tata ruang di Jakarta mudah berubah karena dibuat untuk mengikuti kebutuhan pasar sehingga penataan kota sulit dilakukan untuk jangka waktu yang panjang. ”Akibat kesemrawutan tata ruang itulah, pengelolaan sampah di Jakarta juga tidak pernah terselesaikan dengan baik,” ucap Firdaus.

Tata ruang yang tidak jelas ini juga membuat kantong-kantong perdagangan serta permukiman penduduk semakin meluas. Sementara tempat pembuangan sampah serta pengolahan sampah tidak dirancang secara berkelanjutan mengikuti perkembangan daerah. Kondisi ini diperparah dengan pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali sehingga volume sampah bertambah. Situasi ini menggambarkan penanganan sampah yang belum menjadi prioritas oleh Pemprov DKI Jakarta.

Firdaus mencatat volume sampah yang dihasilkan di DKI Jakarta mencapai 27.500 meter kubik per hari. Adapun tempat pembuangan sampah tak banyak bertambah. Hampir seluruh sampah yang dihasilkan dari DKI Jakarta justru dibuang ke daerah tetangga.

Maryoto dari LSM Dana Mitra Lingkungan meminta pemerintah membuat rencana jangka pendek dan jangka panjang pengolahan sampah di DKI Jakarta. Untuk jangka pendek, Maryoto mengusulkan agar proses pembakaran sampah dilakukan secara lebih sempurna.

Pengolahan jangka panjang sampah dilakukan dengan sejumlah cara, antara lain memperbaiki manajemen pengelolaan sampah yang melibatkan berbagai instansi, pemberlakuan insentif bagi pihak yang ikut mendaur ulang sampah, serta menguatkan teknis operasional pengelolaan sampah. (ART)

Rabu, 30 September 2009 | 04:26 WIB

Jakarta, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04263142/penataan.sampah.butuh.pengaturan.tata.ruang

Thursday, September 10, 2009

DKI Alami Pulau Panas

Dibutuhkan Pohon yang Cukup untuk Daur Ulang Racun



Tingkat polusi di Jakarta dan sekitarnya sudah amat tinggi. Dengan lebih dari 9 juta kendaraan bersama-sama mengeluarkan asap pembuangan setiap harinya dan minimnya ruang terbuka hijau, warga dipaksa menghirup karbon monoksida dan partikel racun lainnya.

Buruknya lingkungan Jakarta itu terungkap dalam diskusi ”Fenomena Hutan Beton dan Polusi di Jakarta” dengan pembicara Ir Iwan Ismaun MT, IALI, dosen arsitektur lanskap Universitas Trisakti, Jakarta, dan Ubaydillah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, Rabu (9/9) di Jakarta Pusat.

Iwan menyebut Jakarta kini sedang mengalami fenomena pulau panas (urban heat island). Ini adalah masalah lingkungan yang banyak terjadi di kota-kota besar. Fenomena ini akan makin berdampak buruk jika tidak segera ditangani cepat dan tepat.

Kedua pembicara sepakat, selain banyaknya kendaraan, maraknya pembangunan gedung baru yang tidak diimbangi dengan penyediaan ruang terbuka hijau menjadi pemicu makin tingginya polusi Jakarta.

Dengan luas 650 kilometer persegi, sesuai data Biro Perekonomian DKI Jakarta, saat ini ada sekitar 364 pusat perbelanjaan berupa mal, toserba, pertokoan, dan lainnya di DKI Jakarta. Belum lagi bermunculannya kompleks superblok yang menggabungkan hunian, kantor, dan pusat perbelanjaan di banyak lokasi di Jakarta. Pada sebagian besar kompleks bangunan, dipastikan tidak atau belum dirancang untuk melayani dan menampung beban lalu lintas tambahan yang ditimbulkannya.

Saat ini, panjang jalan di Jakarta sekitar 7.650 kilometer dengan luas 40,1 kilometer persegi. Panjang jalan ini, hanya 6,28 persen dari luas wilayahnya. Sementara jumlah kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta mencapai 9.993.867 kendaraan hingga Juni 2009. Dinas Perhubungan DKI mencatat pertumbuhan kendaraan mencapai 10,79 persen per tahun. Padahal, jumlah penduduk DKI Jakarta hanya 8.513.385 orang. Berarti, setiap warga Jakarta rata-rata memiliki satu atau lebih kendaraan bermotor.

”Polusi udara menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta Rp 1,8 triliun,” kata Ubaydillah.

Analisis Iwan Ismaun, berbagai polutan udara, seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), Hidrokarbon (HC), sulfur oksida (SOx) dan partikel/debu, memenuhi udara kota Jakarta. Dari hasil kajian akademis, sektor transportasi merupakan penyumbang emisi gas buang, terutama CO2, terbesar, yaitu 92 persen, sektor industri 5 persen, permukiman 2 persen, dan sampah 1 persen.

Tingginya kandungan racun di udara itu sulit dinetralisir tubuh manusia. ”Dibutuhkan pepohonan yang cukup untuk mendaur ulang racun. Setiap pohon besar dengan luas hijau daun 150 meter persegi dapat menyerap CO2 sebanyak 2,30 kg dan menghasilkan O2 sebanyak 1,70 kg per jam (Singapore Trees, 1989). (NEL)
Kamis, 10 September 2009 | 04:21 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/10/04211113/dki.alami.pulau.panas

Wednesday, September 2, 2009

Jangan Legalkan Pelanggaran Tata Ruang

Direktur Lingkungan Hidup Perkotaan Institut Hijau Indonesia Selamet Daroyni meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memutihkan pelanggaran penggunaan lahan dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 2010-2030. Pemutihan pelanggaran penggunaan lahan, terutama ruang terbuka hijau, dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan melestarikan banjir.

”Sejak 1985, Pemprov DKI Jakarta cenderung memutihkan pelanggaran tata ruang melalui penyusunan RUTR (rencana umum tata ruang) yang baru. Pemutihan selalu terlihat dari mengecilnya luas untuk ruang terbuka hijau dan berganti dengan lahan terbangun,” kata Selamet.

Pada Rencana Induk Djakarta 1965-1985, alokasi lahan kota untuk ruang terbuka hijau (RTH) mencapai 37,2 persen. Luas RTH berkurang menjadi 26,1 persen pada RUTR 1985-2005 dan berkurang lagi menjadi 13,94 persen pada Rencana Tata Ruang Wilayah 2000-2010.

Selamet mengatakan, tekanan pengusaha untuk memanfaatkan setiap jengkal lahan Jakarta menjadi area bisnis membuat para pejabat pemprov sering mengesahkan perubahan tata guna lahan, terutama dari RTH. Perubahan peruntukan lahan kemudian sering dilegalkan atau diputihkan dalam rencana tata ruang yang baru.

Selamet mencontohkan, lahan ruang terbuka hijau di Senayan dijadikan hotel. Lahan hutan bakau di Jakarta Utara juga diubah menjadi permukiman besar.

Menurut Ketua Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia Rudy P Tambunan, RUTR 2010-2030 harus berkonsentrasi pada transportasi, banjir dan sanitasi, sampah, dan permukiman. Pemprov harus memerhatikan dampak lingkungan yang mungkin timbul dari perencanaan tata ruang yang disusun.

Kawasan Jakarta Utara merupakan dataran rendah yang tidak mungkin mengalirkan air banjir secara gravitasi dan harus didominasi oleh tanaman bakau. Namun, kawasan tersebut justru dipenuhi oleh lahan terbangun.

”Untuk mengatasi dampak banjir yang timbul karena kesalahan perencanaan kota itu, Pemprov DKI harus menyediakan banyak polder untuk menyedot dan membuang air banjir,” kata Rudy.

Banjir

Selamet mengatakan, menyusutnya ruang terbuka hijau karena berubah menjadi lahan terbangun menyebabkan daya serap tanah terhadap air menurun. Daya serap tanah hanya 26,6 persen sehingga 73,4 persen air hujan mengalir ke laut.

Masalahnya, saluran drainase di Jakarta dalam kondisi buruk karena tidak terawat dengan baik. Bahkan, jumlah situ di Jakarta yang berada dalam kondisi baik untuk menampung air hanya 16 situ dari 45 situ yang ada.

Sebanyak 23 situ dalam kondisi rusak, satu situ sedang direhabilitasi, sedangkan lima situ sudah hilang. Situ yang hilang sudah diuruk dan dijadikan permukiman. (ECA)

Selasa, 1 September 2009 | 04:37 WIB

Thursday, August 27, 2009

Target Ruang Hijau Jakarta Tercapai 680 Tahun Lagi?

Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta, Pemprov DKI menargetkan pencapaian target pembukaan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 13,94 hektar hingga tahun 2010. Sayangnya, sepertinya target itu baru bisa tercapai 680 tahun lagi. Lho, kok bisa? Ket Foto: Ketua Kelompok Studi Arsitektur Lanskap Indonesia Nirwono Joga mengatakan perbandingan sisa target Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan rata-rata penambahan RTH tiap tahun menghasilkan perkiraan bahwa RTH ideal di Jakarta baru bisa tercapai 680 tahun lagi. Hal ini disampaikan dalam diskusi bertajuk 'Ruang Terbuka Hijau Jakarta vs Kepentingan Bisnis' di Mayapada Tower, Kamis (27/8).

Ketua Kelompok Studi Arsitektur Lanskap Indonesia Nirwono Joga mengatakan bahwa data penambahan RTH beberapa tahun belakangan menguatkan pesimistis terhadap target Pemprov DKI.

Data menunjukkan penambahan RTH rata-rata 4 hektar per tahun. Padahal, sisa RTH yang harus dipenuhi untuk mencapai target adalah 2.718,29 hektar atau 3,97 persen. Sementara itu, RTH yang baru tersedia 6.826,52 hektar atau 9,97 persen. "Kalau dibagi antara sisa dan rata-rata penambahan, maka didapat angka sekitar 680 tahun baru bisa tercapai sisa target itu," ujar Nirwono dalam diskusi bertajuk Ruang Terbuka Hijau Jakarta vs Kepentingan Bisnis, di Mayapada Tower, Kamis (27/8).

Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan RTRW Jakarta untuk tahun 2030, pemprov menargetkan kebutuhan RTH hingga 30 persen dari total wilayah.

Yoga mengatakan, pemda kerap beralasan, anggaran untuk perluasan RTH terbatas. Namun, menurut Yoga, pemprov hanya tidak hendak menjadikannya program prioritas, seperti bus transjakarta dan Banjir Kanal Timur (BKT). Di sisi lain, pemprov dinilai tidak mampu mengendalikan okupasi di jalur hijau.

Koefisien dasar bangunan (KDB) jauh melebihi koefisien daerah hijau (KDH) yang ditargetkan 20-30 persen. Bahkan, bangunan pusat perbelanjaan, perkantoran, atau perhotelan yang seharusnya menyisihkan 10 persen luas areanya untuk RTH malah menghabiskannya untuk basement atau lapangan parkir.

Kamis, 27 Agustus 2009 | 12:13 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com —http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/08/27/1213470/target.ruang.hijau.jakarta.tercapai.680.tahun.lagi

Thursday, August 20, 2009

10.000 Hektar Hutan Bakau NTT Rusak

Kepala Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Timur (NTT) Joseph Diaz mengatakan, sekitar 9.989 hektar (2,25 persen) hutan bakau di provinsi itu rusak dari 40.695 hektar yang ada. Ket Foto: ilustrasi

"Dari 40.695 hektar luas hutan mangrove di NTT ini sudah banyak yang mengalami tekanan di antaranya akibat penebangan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar," katanya di Kupang, Minggu (16/8).

Menurut Diaz, hasil survei yang dilakukan Dinas Kehutanan, Univesitas Nusa Cendana (Undana), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan, potensi mangrove di Nusa Tenggara Timur cukup besar dapat ditemukan di perairan NTT.

Pada wilayah ini, ekosistem ini pada beberapa lokasi lebih menonjol bila dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya.

Hutan mangrove di NTT tidak sebanyak di pulau-pulau besar di Indonesia karena kondisi alam di NTT yang membatasi pertumbuhan mangrove, seperti kurangnya muara sungai yang besar di NTT sehingga pertumbuhan mangrove yang ada sangat tipis.

"Di beberapa lokasi mangrove dapat tumbuh dengan baik karena didukung muara sungai besar dengan sedimentasi yang cukup tinggi seperti di muara sungai Benenain di Kabupaten Belu dan muara sungai Noelmina di Kabupaten Kupang," katanya.

Mantan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) NTT ini lebih lanjut mengatakan, hasil survei Dinas Kehutanan, UNDANA, dan IPB juga berhasil mengidentifikasikan 11 spesies mangrove di Pulau Timor, Rote, Sabu, dan Semau.

"Hasil survei itu juga menemukan hutan mangrove di NTT, terdapat kurang lebih sembilan famili yang terbagi dalam 15 spesies bakau genjah (Rizophora mucronata), bakau kecil (Rizophora apiculata), bakau tancang (Bruguera), bakau api-api (Avecinnia), bakau jambok (Xylocorpus), bakau bintaro (Cerbera mangkas), bakau wande (Hibiscus tiliacues)," katanya.

Namun, keberadaan spesies ini, sebagai salah satu sumber daya pesisir dan laut NTT, terdegradasi yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) dalam mendukung pembangunan daerah.

Di NTT, degradasi sumber daya pesisir dan laut ini disebabkan tidak saja oleh faktor manusia, tetapi juga oleh faktor alam, seperti perubahan suhu dan salinitas air laut, perubahan iklim, dan ombak keras.

Namun dari data yang diperoleh, kerusakan yang lebih banyak dan lebih parah diakibatkan pengaruh antropogenic (aktivitas manusia), antara lain tumpahan minyak dan sampah, tangkapan berlebih (overfishing), penambangan terumbu karang, konservasi menjadi tambak, serta pengeboman ikan dengan potasium dan sianida.

Minggu, 16 Agustus 2009 | 13:23 WIB

KUPANG, KOMPAS.com —http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/16/13234767/10.000.hektar.hutan.bakau.ntt.rusak

Tuesday, July 28, 2009

MESIN KOMPOS KIAT HILANGKAN KOTA TERKOTOR

BEKASI - Pemërintah Kota (Pemkot) Bekasi terus berupaya menghilangkan citra Kota Bekasi sebagai kota terkotor. Salah satunya dengan menyediakan mesin pengolala sampah di pasar-pasar. Sampah diolah menjadi kompos. Piala Adipura menjadi target program ini.

Sampah pasar yang selama ini menjadi sebuah persoalan pelik dihadapi pemeritah daerah, termasuk di Kota Bekasi, secara berangsur mulai teratasi. Sekalipun belum semua sampah pasar dapat dijadikan pupuk kompos, setidaknya di lima pasar terbesar milik Pemkot Bekasi telah ditempatkan mesin pengolah sampah.

Misalnya, di Pasar Kranji dan Pasar Baru. Di sana, mesin tersebut sudah difungsikan. Sampah pasar yang umumya sisa-sisa sayuran kini diolah menjadi pupuk kompos. Hanya saja, kemampuan mesin untuk mengolah semua sampah tersebut masih tebatas. Tetapi setidaknya, upaya mengolola sampah menjadi barang yang bernilai ekonomis sudah dimulai di daerah ini

Bahkan, pengolahan sampah menjadi pupuk kompos tidak hanya dilakukan di lima pasar terbesar di daerali tersebut. Kini, 100 unit mesin pengolah sampah berkapasitas kecil sedang dipesan Pemkot Bekasi. Mesin itu akan ditempatkan di sekolah-sekolah, termasuk di kantor-kantor kelurahan. Selain dapat mengolah dan menghancukan sampah menjadi pupuk kompos, mesin itu juga dapat memilah sampah organik dan non-organik.

Di tempat pembuangan sampah milik Pemkot Bekasi, TPA Sumur Baru di Kecamatan Bantar Gebang, sampah pun sudah sejak lama diolah menjadi pupuk kompos. Sementara itu, tumpukan sampah di TPA yang sudah puluhan tahun dan menghasilkan gas metan; kini diolah menjadi tenaga pembangkit listrik bekerja sama dengan pihak ketiga PT Gikoko Indonesia.

Jika selama ini sampah menjadi persoalan pelik di daerah ini seperti dikeluhkan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad; kini sampah menjadi barang berharga dan memiliki nilai ëkononiis tinggi setelah dilakukan pengolahan..Tidak hanya dijadikan kompos, tetapi industri pengolah sampah juga telah berdiri di Kota Bekasi. Pengolahan sampah menjadi barang benilai ekonomis terkait juga dengan program kebersihan di daerah ini. Asal tahu saja, Kota Bekasi dua tahun terakhir mendapat predikat menjadi kota metropolitan terkotor di Indonesia.

Bekasi Berubah

Predikat kota metropolitan terkotor se-Indonesia itulah yang membuat Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad pusing tujuh keliling. Karena itulah, Mochtar yang dikenal
orang dekat Dewan Pimbina PDI Perjuangan Taufiq Kiemas itu mulai menggalakkan gerakan kebersihan. “Saya ingin Kota Bekasi ini berubah dari daerah terkotor menjadi terbersih,” katanya kepada SH saat mengitari 12 lokasi se Kota Bekasi terkait dengan
gerakan kebersihan yang kini digalakkan, Sabtu (2 1/2) siang.

Sekarang pun, di daerah perbatasan Ibu Kota ini, Pemkot Bekasi sedang menggalakkan Jumat dan Sabtu Bersih. Setiap Jumat pagi, semua kantor pemerintahan melakukan gerakan kebersihan setidaknya di lingkungan kantor masing-masing. Sebelum masuk kantor, semua karyawan di lingkungan Pemerintahan Kota Bekasi wajib terjun ke lapangan untuk melakukan gerakan kebersihan. Gerakan Jumat Bersih tersebut selama ini sudah terlupakan.

Sementar itu, setiap hari Sabtu, gerakan kebersihan dilakukan di setiap wilayah kecamatan dan wilayah sekolah negeri se-Kota Bekasi. Gerakan kebersihan setiap Sabtu ini melibatkan masyarakat, termasuk para pelajar yang wajib melakukan gerakan kebersihan, radius 500 meter dari lingkungan sekolah.

Terkait gerakan kebersihan itu, para pejabat di lingkungan Pemkot Bekasi merasa terusik sebab bagi pejabat penangungjawab dinas instansi, tidak ada lagi alasan hari Sabtu untuk berlibur. Semua pejabat yang terkait dengan jabatannya sebagai pimpinan unit kerja harus terjun ke lapangan.

Tidak hanya sekadar terjun ke lapangan, tetapi bagi pejabat yang lingkungan kantornya kotor, mereka pun disetrap (kena sanksi), bahkan disuruh push up seperti yang di lingkungan Kantor Dinas Kebersihan, Dinas Pertamanan, Pemakaman, dan Penerangan Jalan Umum (DPP-PJU), serta Dinas Pendidikan. Tiga pejabat eselon II di-setrap oleh Wali Kota Bekasi di hadapan semua bawahannya. Sang Wali Kota dengan nada tinggi juga mengancam jika hingga Juni 2009 lingkungan kantor setiap dinas masih kotor, pejabatnya akan dicopot untuk di-nonjob-kan.

Kota Bekasi kini terus berusaha keras untuk mengubah citra kota metropolitan terkotor di Indonesia menjadi kota metropolitan terbersih dan menyabet Piala Adipura. Tetapi, apa bisa hanya dengan mesin pengolah sampah tanpa mengubah perilaku warga Kota Bekasi yang se-enak perutnya membuang sampah sembarangan?

Sumber : JONDER SIHOTANG, SINAR HARAPAN / 24 Februari 2009, Hlm. 9

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...