Showing posts with label Risk. Show all posts
Showing posts with label Risk. Show all posts

Tuesday, April 10, 2007

Biro Kredit

Urgensi Keberadaan Biro (Informasi) Kredit

By Leonard T. Panjaitan*

Awal tahun ini Bank Indonesia telah mengeluarkan sebuah kebijakan komprehensif yang dikenal sebagai Arsitektur Perbankan Indonesia. Konsep ini sarat dengan strategi-strategi masa depan untuk membentuk sistem perbankan domestik yang tangguh, lincah dan kompeten dalam menghadapi persaingan global yang semakin kuat. Konsep ini terdiri dari enam pilar yakni (a) struktur perbankan yang sehat, (b) sistem pengaturan yang efektif, (c) sistem pengawasan yang independen dan efektif, (d) industri perbankan yang kuat, (e) infrastruktur yang mencukupi, (f) perlindungan konsumen. Arsitektur ini sebenarnya diinspirasikan dari Basle Committe on Banking Supervision (Komite Basle) yang mengandung dua puluh lima prinsip dasar untuk mencapai supervisi perbankan yang efektif.

Inisiatif dalam program API ini cukup lengkap termasuk di dalamnya pembentukan biro kredit pada tahun 2004 - 2005. Memang keberadaan biro kredit ini sangat mendesak mengingat semakin banyak terjadinya risiko perbankan yang mencuat belakangan ini seperti skandal BNI yang mengakibatkan kerugian negara sebanyak 1,7 triliun rupiah, disusul kasus-kasus seperti pembobolan di BRI, Bank Mandiri dan korupsi BLBI Bank Umum Servitia. Pembentukan biro kredit ini secara tak langsung akan membawa dampak positif bagi pencegahan kejahatan perbankan serta untuk menghindari merebaknya kredit macet. Memang tidak ada kata terlambat untuk menuju perbaikan namun alangkah baiknya bila wacana pembentukan biro kredit ini seharusnya telah dikemukakan sejak waktu-waktu yang lampau atau setidak-tidaknya setelah krisis moneter mulai mereda yakni sebelum akhir tahun 2000 lalu. Pembentukan biro kredit ini dalam konsep API ada pada pilar ketiga yang mengandung unsur proses pengawasan seperti persyaratan sertifikasi bagi manajer risiko dan peningkatan good corporate governance. Lalu biro kredit ini juga masuk dalam pilar kelima berupa dukungan sarana perbankan yang memadai serta pilar keenam, misalnya pengawasan melalui mekanisme pengaduan konsumen dan pembentukan lembaga mediasi perbankan yang independen.

Sementara itu dalam prinsip-prinsip dasar Basle (Basle core principles), biro kredit ini secara implisit berada dalam prinsip ketujuh yang berbunyi : An essential part of any supervisory system is the evaluation of a bank's policies, practises and procedures related to the granting of loans dan making of investments and the ongoing management of the loan and investment portfolios. Di sini memang tidak disebutkan biro kredit secara an sich dalam struktur perbankan namun dalam penjelasannya prinsip tersebut mendesak bank agar memiliki suatu proses yang dikembangkan secara baik sehingga bisa memonitor pertalian kredit, termasuk kondisi finansial dari debitur. Elemen kunci dari sistem informasi management (MIS) ini seharusnya berupa data base yang menyediakan detail data-data yang esensial tentang kondisi portofolio pinjaman, termasuk klasifikasi dan angka pinjaman.

Oleh sebab itu seberapa urgenkah pembentukan kredit ini dalam kaitannya dengan perbaikan sistem perbankan di Indonesia ? Untuk itu mari kita elaborasi latar belakang serta manfaat pendirian biro kredit bila kelak beroperasi secara efektif di Indonesia.

Pertumbuhan Kredit

Sekitar bulan Maret lalu muncul kritikan dari IMF bahwa bank-bank Indonesia terlalu agresif menyalurkan kreditnya. Kritikan ini cukup mengagetkan kalangan perbankan mengingat justru kredit yang disalurkan ke sektor riil sangat rendah sehingga fungsi intermediasi bank berkesan tidak berjalan dengan optimal. Dari di bawah ini (lihat tabel 1),

Tabel 1 - INDIKATOR PERBANKAN NASIONAL

(dalam Triliunan Rupiah)

Items

Des-03

Jan-04

Feb-04

Mar-04

Apr-04

1

Penghimpunan Dana

975,40

969,90

963,50

963,70

959,30

2

Penyaluran Dana

765,40

781,80

794,30

769,90

786,70

a. SBI

101,40

130,40

136,80

133,20

120,30

b. SB lainnya **)

68,70

67,20

71,30

71,60

71,80

c. Aktiva Antar Bank

112,20

103,20

102,80

100,20

91,80

d. Penyertaan

5,90

6,00

6,00

6,10

6,80

e. Kredit *)

477,20

475,00

477,30

485,90

496,10

- dlm Rupiah

362,60

358,20

361,00

367,60

375,70

- dlm Valuta Asing

114,60

116,80

116,40

118,30

120,30

3

Kinerja

a. NPL

- Nilai

39,10

39,00

39,60

37,70

38,40

- Ratio thd total kredit (%)

8,20

8,20

8,30

7,80

7,70

*) Termasuk kredit penerusan

**) Tidak termasuk obligasi pemerintah dalam rangka rekapitalisasi

Sumber : Bank Indonesia - diolah kembali

di perbankan sendiri ada ekses likuiditas sebesar Rp 400 triliun lebih yang kemudian ditanamkan di Sertifikat Bank Indonesia, obligasi pemerintah, aktiva antar bank, penyertaan, surat berharga lainnya, yang hasilnya juga masuk atau berputar-putar di dalam sektor keuangan itu sendiri dan bukannya ke sektor riil. Mungkin sentilan Kepala Perwakilan IMF di Jakarta, Daniel Citrin itu ada benarnya sebab kredit yang beredar di pasar sampai Mei 2004 mulai didominasi oleh kredit konsumtif yakni sebesar 25,28 % dari total credit yang revolving. (lihat tabel 2).

Tabel 2- Kredit Konsumsi Bank Umum

(dlm miliar Rp)

Tahun

Nilai

2000

40.093

2001

58.435

2002

79.805

2003

112.063

2004*)

125.442

*) sampai Mei 2004

Sumber : Bank Indonesia

Kenyataan seperti inilah yang membuat IMF khawatir terjadinya kembali krisis moneter gelombang kedua di Tanah Air ini bila hal ini tidak diantisipasi oleh kalangan perbankan dan pemerintah.

Dari tabel 1 di atas, terjadi fluktuasi NPL gross yang mana persentase terhadap total kredit tidak mengalami penurunan secara signifikan. Sampai dengan April 2004, secara nasional terdapat sekitar 38,40 triliun rupiah kredit yang macet atau 7,70 % dari total kredit. Rasio NPL gross ini lalu meningkat sebesar 0,1 % sehingga menjadi 7,80 % di bulan Mei 2004. Hal ini perlu diantisipasi semaksimal mungkin sebab jangan sampai kredit macet ini mengancam stabilitas perekonomian nasional. Tahun lalu, BI menetapkan ketentuan NPL net perbankan tidak boleh melebihi 5 % dari total kredit yang disalurkan. Bahkan ketika itu Burhanuddin Abdullah mengatakan bahwa bank yang memiliki rasio NPL net melebihi 5 % akan segera dimasukkan ke pengawasan intensif BI. Ancaman kredit macet juga menghampiri Bank Mandiri yang mana kuartal pertama tahun 2004 ini, rasio kredit bermasalah (NPL) gross di bank terbesar di negeri ini sudah mencapai 8,4 %. Ini jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata bank BUMN yang hanya 5,6 % atau bank swasta yang 5,2 %.

Di samping itu, tingkat suku bunga juga memberikan tekanan terhadap naiknya potensi kredit bermasalah. Sampai saat ini spread (rentang) antara suku bunga dana pihak ketiga dan suku bunga kredit sangat lebar. Kalau kita lihat suku bunga deposito per Desember 2003 lalu yang sekitar 6,53 % maka rata-rata suku bunga kredit masih di atas 16 % dan semestinya rentang tersebut paling besar 3-4 % bahkan di beberapa negara lain ada yang 2-3 %. Apalagi akhir-akhir ini inflasi mulai naik dari bulan April 5,92 %, Mei 6,47 % dan Juni 2004 sebesar 6,83 % sehingga BI perlu menaikkan suku bunga SBI untuk meredam gejolak moneter. Bila suku bunga SBI naik otomatis suku bunga dana pihak ketiga pun naik sehingga dampak dominonya suku bunga kredit ikut naik untuk menjaga spread karena overhead cost bank yang masih besar untuk menutupi pencadangan aktiva produktif. Dengan suku bunga kredit yang meningkat ini, indikasi adanya potensi gagal bayar dari para debitur semakin besar.

Sedangkan di sektor kredit konsumtif khususnya industri kartu kredit juga mengalami pertumbuhan pesat. Menurut data Mastercard, seperti yang dilansir oleh majalah BusinessWeek edisi Juni 2004, sampai akhir kuartal IV 2003, pemegang kartu Mastercard yang diterbitkan di Indonesia sebesar 2,82 juta kartu, meningkat 55,10 % dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah ini, total transaksinya tercatat $ 22,73 juta, meningkat 23,4 % dibandingkan tahun sebelumnya. Di lain pihak, kartu Visa yang beredar di Tanah Air baik itu kartu kredit maupun kartu Visa Debit/Electron mencapai lebih dari 6 juta kartu. Dari jumlah ini, sebanyak lebih dari 3 juta adalah kartu kredit Visa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 20-30 % per tahun untuk kedua jenis kartu pembayaran. Lalu PCE (Personal Consumption Expenditure) mencapai 1,3 %, yang berarti belanja yang dibayar dengan kartu secara keseluruhan menurut Visa International masih berkisar 1,3 %. Dari data ini berarti sekitar 98,7 % pembayaran masih didominasi oleh uang tunai. Dengan demikian berdasarkan diagram pie yang bersumber dari majalah warta ekonomi, sepanjang tahun 2003 lalu pangsa pasar kartu kredit secara nasional besar sekali dan ini sangat memacu para issuer untuk meningkatkan akuisisi kartu kredit yang sampai saat ini masih




dikuasai oleh Citibank sebesar 28,9 % dari total 4,8 juta pemegang kartu, disusul Bank BNI pada posisi runner-up (14,9 %) dan BCA di tempat ketiga (13,2 %). Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta orang dan daya serap angkatan kerja yang diharapkan kembali meningkat di masa-masa mendatang maka potensi kartu kredit untuk terus tumbuh semakin besar pula.

Dari beberapa uraian di atas yang mana laju pertumbuhan kredit secara keseluruhan mulai menunjukkan peningkatan yang ditopang oleh kredit konsumsi yang besar serta agresivitas bank-bank dalam memasarkan kartu kreditnya maka sudah sangat mendesak adanya tindakan untuk mengerem atau setidak-tidaknya memonitor pertumbuhan kredit ini untuk tidak sampai mengalami masalah atau bahkan macet. Untuk itu pembentukan biro kredit atau biro informasi kredit secepatnya direalisasikan dan ini perlu mendapat dukungan dari dunia perbankan dan pemerintah secara tulus dan maksimal.

Pembentukan Biro Kredit

Bagi kebanyakan orang awam di ibu pertiwi ini jargon biro kredit mungkin masih asing di telinga kita. Di beberapa negara lain keberadaan biro kredit ini sudah berlangsung lama. Di AS terdapat tiga biro kredit yang terkenal dan berdiri sendiri-sendiri yakni Experian berbasis di Allen Texas, Equifax di Atlanta Georgia dan TransUnion di Fullerton California. Sementara di Inggris bernama Dun and Bradstreet. Bahkan sejak tahun 1982 negara tetangga kita Malaysia sudah mengoperasikan biro kreditnya yang berada dalam struktur Bank Negara Malaysia yang sekaligus adalah bank sentral mereka.

Dan memang biro ini suatu organisasi yang masih baru yang beberapa waktu terakhir ini didorong oleh BI agar eksis dalam kancah industri keuangan nasional. Secara sederhana, Biro (Informasi) Kredit adalah lembaga atau perusahaan yang menyediakan database para debitur demi kepentingan perbankan atau lembaga keuangan lainnya. Database ini terdiri dari informasi mendetail seputar nasabah dan profilnya seperti nama, jenis kelamin, alamat, tanggal lahir, pekerjaan, jumlah hutang (kewajiban), batas kredit, jenis kredit dan lain-lain. Menurut Brio Kredit Experian, secara umum informasi yang ada dalam database dibagi dalam beberapa bagian seperti :

Ø Personal Profile à informasi yang diperoleh yakni data-data pribadi seperti nama, tanggal lahir, alamat pekerjaan dll.

Ø Credit Summary à informasi yang diperoleh adalah data-data tentang status kredit saat ini maupun masa lalu. Di sini kita bisa menemukan total account yang telah ditutup atau yang masih aktif, lalu jumlah hutang apakah masuk dalam kategori bermasalah (delinquency), dan jumlah frekuensi inquiry atau yang pernah membuka file kredit ini dalam 6 bulan terakhir. Contoh :

Real Estate Accounts:

Collection Accounts:

Count:

0

Count:

0

Balance :

0

Balance :

0

Current:

0

Current:

0

Delinquent:

0

Delinquent:

0

Other:

0

Other:

0

Revolving Accounts:

Total Accounts:

Count:

0

Count:

0

Balance :

Rp 2.000.000

Balance :

Rp 2.000.000

Current:

0

Current:

0

Delinquent:

0

Delinquent:

0

Other:

0

Other:

0

Installment Accounts:

Accounts Summary:

Count :

0

Open Accounts:

7

Balance :

0

Closed Accounts:

1

Current:

0

Public Records:

2

Delinquent:

0

Inquiries (Prev 6 Months):

0

Other:

0

Other Accounts:

Count:

0

Balance :

0

Current:

0

Delinquent:

0

Other:

0

Ø Public Records à informasi ini berisi data-data kebangkrutan baik yang ada di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu ditampilkan pula informasi tentang pajak, pegadaian, dan penilaian moneter. Rekam publik ini di beberapa negara maju menyertakan catatan tentang penyantunan anak-anak yang telah lewat jatuh tempo. Rekam publik ini berada dalam database selama 7-10 tahun. Contoh :

Type

Bankruptcy : CH-13 Filed

Date Filed

17/08/2004

Reference #

CN12345

Court

Pengadilan Tinggi Jakarta

Plaintiff

Gatot Megyantoro

Liability

Rp 50.000.000

Asset Amount

Rp 80.000.000

Ø Credit Inquiries à Bagian ini berisi informasi nama-nama yang menggunakan data-data dari laporan kredit debitur. Informasi ini berada dalam database paling lama sampai 2 tahun.

Ø Account History à Bagian ini berisi informasi yang spesifik tentang setiap account (rekening) yang dibuka oleh debitur di waktu yang lampau. Informasi yang positif tetap tinggal selamanya dalam database ini.

Ø




Credit Score à Skor ini adalah representasi numerik dari kelayakan kredit para debitur. Mayoritas kreditur mengunakan beberapa model penilaian kredit ini untuk membantu mereka memprediksikan jenis risiko kredit apa yang terjadi pada debitur. Contoh : Skor kredit anda adalah 900 maka berdasarkan skala 0 - 1000 maka kategori kredit anda ialah :

Di Indonesia saat ini baru ada satu biro kredit yakni Biro Kredit Indonesia yang didirikan oleh beberapa kalangan pengacara dan pengusaha seperti Lubis Ganie Surowidjojo, Hosea Sanjaya, hingga salah satu ekonom terkenal Dr Cyrillus Harinowo dan kita paling belakangan memilikinya diantara negara Asia Pasifik. Biro Kredit Indonesia ini mulai beroperasi sejak Agustus 2003 dan salah salah satu senjata pamungkasnya adalah database SIDIK (Sistem Informasi dan Investigasi Kredit) yang berisikan Informasi Kredit Negatif Nasabah (Negative Financial Information System - NFIS). Adapun manfaat dari pembentukan biro kredit adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan efisiensi dan mengurangi kredit macet. Dengan adanya database yang dikelola oleh biro ini maka potensi kredit macet dapat dikurangi sebab para kreditur akan selalu dapat memonitor perkembangan portfolionya setiap saat sehingga risiko kredit bermasalah dapat dicegah.

2. Menyediakan sumber informasi kredit yang aktual dan memadai terutama untuk kepentingan publik. Biro kredit ini juga berfungsi sebagai customer service bagi para user seperti bank, lembaga pembiayaan non bank, kantor pajak, pegadaian, kepolisian dan kejaksaan sehingga peluang-peluang para debitur, nasabah, konsumen, pemegang kartu kredit untuk melakukan kejahatan ekonomi bisa diperkecil. Di kalangan card center, peranan yang mirip seperti ini atau tukar menukar informasi ini disebut rating.

3. Penilai kelayakan kredit (credit worthiness). Informasi yang ada dalam biro kredit ini bisa berguna sekali untuk menilai sejauh mana seorang debitur, pemegang kartu kredit itu layak mendapatkan kredit dari bank atau lembaga keuangan lainnya. Database ini seperti yang disinggung di atas bisa memasukkan kategori dan skor dari kredit yang diajukan oleh debitur atau calon debitur lainnya.

4. Solution Management. Biro kredit ini juga bisa berfungsi sebagai lembaga yang bisa menganalisis, memonitor portfolio dan risiko serta memberikan solusi kepada perusahaan yang menjadi pelanggan sehingga ini menjadi salah satu tools bagi perusahaan tersebut dalam memonitor kebijakan, pengelolaan risiko (risk management) serta pengambilan keputusan (decision making) berkenaan dengan pengendalian kreditnya.

Beberapa biro kredit yang ada di beberapa negara kebanyakan hanya memberikan informasi berupa data-data negatif (negatif list) nasabah, debitur atau pengguna kartu kredit. Saya menyarankan agar informasi menjadi komprehensif perlu juga diberikan data-data positif (positif list) sehingga fungsi biro kredit bukan hanya sebagai lembaga "cegah-tangkal" dalam sistem perkeditan nasional namun juga lembaga yang berperan luas sebagai solusi managemen yang handal dan terpercaya. Baik informasi negatif maupun positif penting dibuat kedua-duanya karena data-data ini sangat diperlukan oleh para user sebagai jaminan portfolio yang sehat dan prospektif dalam aktiva perusahaan mereka.

Saya berharap data-data yang masuk ke dalam database biro kredit di negeri kita ini bukan hanya berasal dari jenis-jenis transaksi semisal kredit umum (bank loan), pembiayaan konsumen, sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), kartu kredit (credit card), namun juga harus mampu menyediakan informasi seputar pajak dan pegadaian. Khususnya informasi pajak, ini penting sekali ada sebab para penunggak pajak harus diawasi karena justru mereka inilah yang bisa menambah risiko kredit bermasalah. Sebisa mungkin biro kredit dapat bekerjasama dengan instansi pajak dalam penyediaan database ini. Di samping itu perlu khusus ada undang-undang biro kredit yang bisa menjamin aspek legalitas, validitas dan kompetensi biro ini dalam memberikan informasi yang valid dan komprehensif sehingga tidak menyesatkan para penggunanya serta bisa maksimal membantu pemerintah dan kalangan perbankan dalam mencegah kredit bermasalah.

Biro kredit yang ada di Indonesia diharapkan tidak hanya ada satu saja melainkan beberapa biro agar penyediaan informasi lebih luas dan tidak dimonopoli oleh sebuah lembaga. Dengan lebih dari satu biro serta berdiri masing-masing maka pengendalian kredit di kalangan perbankan bisa dilakukan secara optimal dan tidak lupa harus ada sinergi satu sama lain diantara biro kredit yang ada sehinggga akses kepada informasi kredit bisa dilakukan secara cepat, mudah dan tepat.

* Pegawai Divisi PBK

NPP : 23348; No Telp : 5729664/9949

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...