Showing posts with label E-Business. Show all posts
Showing posts with label E-Business. Show all posts

Monday, December 13, 2010

Orang Indonesia Mulai Sering Belanja Online

Seiring kian banyaknya pengguna internet di Indonesia, layanan belanja ritel secara online juga ikut tumbuh pesat mengikuti tingginya minat belanja online. Tren pertumbuhannya di tahun 2010 ini terbilang signifkan.

"Pertumbuhan ritel e-commerce akan terus mengalami peningkatan. Peningkatannya cukup tinggi, tahun ini bisa mencapai 50%," kata Direktur Retail Service Nielsen Yongky Susilo dalam keterangan pers, Senin (13/12/2010).

Kehadiran toko online menjadi pesaing bagi peritel lainya yang sudah eksis seperti hipermarket, supermarket, minimarket, dan peritel tradisional. Namun Yongky tak melihat itu sebagai ancaman serius sebab perkembangan ritel bergantung pada minat konsumen. "Konsumenlah yang menentukan," ujarnya.

Jumlah toko online yang terdaftar di indoshopguide.com hingga tahun lalu mencapai 139 unit yang terbagi dalam 12 kategori toko online sesuai dengan barang yang dijual. Yongky menambahkan saat ini, memang pebisnis yang terjun di bidang online shopping adalah pelaku bisnis ritel yang memiliki dana minim, mengingat biaya untuk membuka gerai tak banyak.

"Kalangan dari mahasiswa juga kemungkinan banyak yang menggelutinya, pasarnya juga cukup potensial yakni di kalangan mahasiswa sendiri," ucapnya. Yongky mengakui konsumen ritel online memiliki segmen terbatas, lebih banyak konsumen yang berbelanja online dari kelas menengah ke atas dan yang melek lnternet.

Pertumbuhan toko online yang didukung oleh pertumbuhan jumlah pengguna Internet masuk akal karena penggunanya terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna Internet di Indonesia mencapai 45 juta.

Adapun, data dari Telkomsel pengguna internet tahun ini akan mencapai 57,8 juta pengguna dan menurut data internet-worldstats.com pengguna Internet di Indonesia pada tahun lalu mencapai 12,5% dari total populasi penduduk Indonesia atau setara dengan 30 juta pengguna.

Kendati akan tumbuh, lanjutnya, ketersediaan barang terbatas, mengingat barang yang diperjualbelikan terbatas juga. "Lebih banyak barang jenis pakaian bayi, anak-anak, maupun dewasa," katanya.

Untuk mempertahankan keberlangsungan penjualan secara online, Yongky mengatakan hal itu dapat terjadi jika sistem pembayaran online yang jujur dan dipercaya.

Sejumlah situs belanja online yang sudah cukup lama eksis di Indonesia seperti www.glodokshop.com dan www.glodok-elektronik.com, yang menjual berbagai produk elektronik dan perangkat rumah tangga. Situs belanja komputer seperti www. bhinneka.com bahkan masuk dalam jajaran 100 besar website Indonesia .

Adapun peritel online skala kecil menengah yang baru tumbuh seperti www.griyaendras.com yang menjual berbagai pelengkapan busana muslim, pakaian anak-anak, dan bayi lebih banyak membidik pasar rumah tangga dan reseller.

Menurut Endras Ismiyati, pemilik situs www.griyaendras.com, pihaknya memiliki omzet setiap bulannya sekitar Rp10 juta dan menargetkan jumlah kunjungan rata-rata 200 hit setiap harinya.

Berdasarkan data dari lembaga riset International Data Corporation (IDC), nilai perdagangan lewat Internet di Indonesia sepanjang tahun lalu mencapai US$3,4 miliar atau sekitar Rp 30 triliun. Penyedia layanan e-commerce di Indonesia baru mencapai 3% meski pengguna Internet diperkirakan telah mencapai sebanyak 31 juta orang dan 169 juta orang lainnya Internet berbasis nirkabel.

13 Des 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/12/13/083759/1522895/319/orang-indonesia-mulai-sering-belanja-online/?i991102105

Transaksi Online di Indonesia Tembus Rp 35 Triliun

Transaksi perdagangan online atau e-commerce lewat internet di Indonesia sudah sangat besar. Tahun 2009 lalu saja nilainya menembus angka Rp 35 triliun. Namun sayang, industri ini belum dinikmati pasar dalam negeri.

Demikian diungkap Lembaga Riset Telematika Sharing Vision saat menggelar workshop 'State of The Art Global Electronic & Mobile Micropayment & Mobile Remittance' di Royal Plaza, Singapura.

"Berdasarkan data dari IDC tahun 2009, tercatat nilai perdagangan lewat internet di Indonesia mencapai sekitar $ 3,4 miliar atau setara dengan Rp 35 triliun," kata Chairman Sharing Vision, Dimitri Mahayana kepada detikINET, Sabtu (19/6/2010).

Namun sayangnya, potensi luar biasa besar ini belum bisa ditangkap oleh pemain lokal. Transaksi online tersebut masih dikuasai oleh pemain asing. Pun demikian, dirinya optimistis bahwa pemain lokal bisa berkembang asalkan para pemilik situs e-commerce dapat menyediakan platform transaksi secara global.

"Metode pembayaran pada transaksi internet masih dominan dilakukan melalui kartu kredit dan kartu debet. Berikutnya adalah dengan Paypal, transfer bank serta cash on delivery (CoD)," paparnya.

Ditambahkan oleh pria yang akrab dipanggil Pak Dim ini, dengan mengikuti platform transaksi yang lazim dilakukan, sebenarnya akan semakin membuka peluang bagi e-commerce dalam negeri.

"Semakin banyak pengakses situs mereka, ini akan mendorong pemilik situs untuk menyediakan global platform payment. Sehingga memudahkan pengakses untuk bertransaksi. Karena semakin mudah, cepat dan aman, maka bisa meyakinkan pengakses untuk transaksi," jelasnya.

Optimisme tersebut cukup beralasan. Pasalnya, berdasarkan rilis yang dikeluarkan oleh Forrester Research, tahun 2010 ini potensi pasar e-commerce secara global mencapai US$ 172,9 miliar.

19 Juni 2010
Source: http://www.detikinet.com/read/2010/06/19/163813/1381940/319/transaksi-online-di-indonesia-tembus-rp-35-triliun

The year of APIs and the reshaping of the payment ecosystem

Hi all – Patrick Gauthier, head of market intelligence, here. I recently joined the PayPal team, and am responsible for identifying industry trends and providing insight into clients’ needs.

It has been over a year since PayPal shook the payment industry with the introduction of Adaptive Payments and the PayPal X platform, making it an opportune time to evaluate how open payment platforms may help further weave payments in the fabric of commerce.

With PayPal X we launched the era of “embedded payments,” potentially profoundly changing the network effects that have governed payment systems. Opening the payment flows enabled a number of transactions in the social and commercial spaces that were difficult if not downright impossible to complete over traditional payment engines. Giving access to account management function built an entirely new set of acquisition channels with application developers and service providers.

The significance of the event was not lost on the industry. In the months following the introduction of PayPal X, other payment networks launched innovation labs and other more or less open platforms. Beyond payments, Yodlee launched its FinApp store for developers; Facebook launched Facebook Credits, its virtual currency system for Facebook Apps. 2010 will go down in history as the year payment platforms burst to the front of the e-commerce scene. As Scott Thompson likes to tell us: “Payments are hot again!”

Why does it matter? The electronification of payments is a seminal trend that fueled the success of payment networks for several decades, and should generate an estimated $3.5 trillion in transactions this year in the U.S. alone. Yet this is a only a fraction of the addressable market, as long as we can extend payment functionality beyond its current reach at simple checkouts and Point of Sales. Much of today’s advanced commerce applications require a richer set of payment instructions, more varied transactions flows and support for many more data types than are used today by traditional retail commerce.

In today’s connected world, the distinction between commerce and payment is increasingly blurred. Already the notion of “checkout,” mimicking that of a physical store, is challenged: app stores and music stores for instance have substituted pre-registration and authentication for the act of approving an order and selecting a form of payment. Increasingly as buyers and sellers connect over mobile or internet connections, they exchange information in a string of activities that include payments as an embedded step.

Consider the not too hypothetical case of a consumer ordering a pizza on a mobile phone, after having received a targeted digital coupon tied to her loyalty card which she will redeem at the restaurant by flashing a 2D bar code while paying with an account linked to her mobile number. Think it is improbable? Think again. Already Domino’s Pizza has experienced serious sales lift from targeted mobile couponing, and the likes of Target and Starbucks are exploring 2D bar codes on smart phones used in the store. These programs are demonstrating that in the single flow from lead generation to post purchase service the consumer is better satisfied with a fully integrated experience. Such integration requires different applications – in this case targeted promotion, loyalty, payments, order management – to share data, potentially across the systems of different services providers. This can only be accomplished by opening up the various platforms involved.

This example shows not only the blurring of the lines between commerce enablement and financial transactions, but also between face-to-face transactions and online ones. There is no denying that our current payment infrastructure has been optimized for face-to-face transaction. Labeling online transactions “card not present” is the best demonstration of that. Buyers and sellers, but also peers involved in a casual transaction, need new tools to establish an account relationship and complete transactions. With its platform PayPal is excited to be at the heart of the creation of the future of money.

05 Desember 2010
source: https://www.thepaypalblog.com/2010/12/the-year-of-apis-and-the-reshaping-of-the-payment-ecosystem-part-1/

------------tulisan 2

In a recent post, we discussed the need for open payment platforms as the lines between commerce and payments continue to blur.

Integration with other online functionality is poised to drive transactions across a number of use cases: first in peer-to-peer payments, whether person to person or business to business, and eventually in buyer-to-seller transactions. Today’s traditional payment networks are essentially closed systems, conceived as “walled gardens” and these services fail to address the needs of the bulk of embedded commerce. Given the infrastructure construct, closed platforms limit the number of use cases serviced. By contrast open platforms will cover for an ever growing variety of clients and use cases by integrating applications and services from multiple providers. In a world where 50,000 developers can register with PayPal X, no single company will have the ability to remain competitive on its own. Of course we are only at the start of the era of open commerce platforms: few solutions exist today that, in addition to flexible payments, bring together the ability to integrate different service providers into a seamless user environment. To achieve such integration, a robust platform requires a combination of developer support, neutrality in the market, and transparency with ecosystem participants.

Developer support is more than documented APIs. The quality of the sandbox in which developers may create and test their applications is critical to the adoption of the platform. In the case where applications are co-hosted on a common platform and run as a service, the certification process of the application is equally important as every new combination of utility may affect the capacity of the platform owner to maintain a level of test coverage compatible with the risks that will be warranted against. Beyond these functional elements, engaging and maintaining the community; providing training but also generally diffusing technical knowledge amongst participants; encouraging and directing community contributions to core platform elements; are all differentiators between viable ecosystems and failed ones.

Market neutrality is essentially a business model issue pivoting around the ownership of intellectual property created around the platform. A platform provider that would protect its intellectual property while competing with the very developers and service providers it seeks to attract would likely affect the health of the ecosystem it seeks to foster. For instance, in 2006 I tested the potential of CardSpace, as a method for improving the risk profile of online transactions. The solution was promising, but it lacked traction in the marketplace possibly because of the relative success of Vista, certainly because of the concerns that followed the introduction of Passport a few years earlier.

Transparency relates to the rules imposed by the platform owner on its tenants (service providers) pertaining to the application certification requirements and the monetization options. We can all think of a number of platforms where the owner changed the rules in ways that clearly tipped the economic scale in their favor or in favor of its closest allies, only to see defection by the very developers it sought to control.

The success of the first generation of payment solutions came from the facilitation they provided between consumers and merchants: Consumer could more easily access their funds, merchants received a more reliable form of tender. Thus commerce grew.

Today’s consumers and retailers have far more evolved needs. To permit version 2.0 of commerce, new friction points have to be solved, which require a version 2.0 of payments. The potential for creating value by reinventing payments in concert with commerce is enormous.

In the first year, PayPal has seen thousands of applications built using the PayPal X platform, but this is just the beginning. The coming weeks and months will show how we help transform the application of payments.


12 Desember 2010
Source: https://www.thepaypalblog.com/2010/12/the-year-of-apis-and-the-reshaping-of-the-payment-ecosystem-part-2-2/
Penulis: Patrick Gauthier

Monday, November 29, 2010

Strategi Memilih Solusi Unified Communications di Perusahaan

Untuk memaksimalkan produktivitas, organisasi membutuhkan perangkat komunikasi yang memampukan para karyawan untuk saling terhubung melalui teks, suara dan video yang sepenuhnya terintegrasi dan mudah dipakai. 

Penyebaran luas perangkat dan teknologi baru telah membuat proses mengelola komunikasi menjadi lebih menantang. Para manajer TI harus merangkul perangkat dan media komunikasi baru tersebut – termasuk jejaring sosial – dan merancang solusi kolaborasi untuk bisnis. 

Unified Communications (UC) merupakan paduan dari semua bentuk komunikasi suara, video, web, teks, e-mail, desktop dan mobile di jaringan IP yang mendobrak batasan jarak, waktu dan media. Dengan UC, organisasi dapat berjalan lebih efisien, sementara para karyawan menikmati kendali lebih besar tentang kapan dan dengan cara bagaimana mereka mau dihubungi. 

UC menciptakan lingkungan komunikasi yang mulus (seamless), membuat sebarang individu, sumberdaya atau proses bisnis tersedia kapan pun, di mana pun dan dari sembarang jaringan dan sebarang antarmuka, misalnya via PC, telepon atau perangkat mobile. 

Teknologi telah mengubah cara orang bekerja – memicu lebih banyak kolaborasi yang mengantarkan peningkatan produktivitas. Ia juga dapat meningkatkan kinerja proses bisnis, meningkatkan kepuasan pelanggan,  dapat mengurangi biaya dan meringankan resiko. 

Namun, tantangannya adalah menemukan dan menerapkan satu solusi komunikasi yang cocok bagi semua pengguna dan sesuai dengan cara kerja para karyawan. 

Pendekatan yang Tepat


Ketika memilih sebuah solusi UC, organisasi harus memperhatikan bagaimana melakukan pendekatan people-centric dalam berkomunikasi. Artinya, para pengguna teknologi harus dianggap sebagai prioritas pertama dalam menentukan apa dan bagaimana teknologi akan diterapkan. 

Ini akan memberikan peningkatan kinerja, proses yang lebih ramping, pengambilan keputusan yang lebih cepat dan peningkatan produktivitas. Jadi pertimbangan pertama ketika memilih sebuah solusi UC haruslah mendefinisikan kebutuhan kolaborasi Anda. 

Agar tidak terperangkap dari penerapan silo komunikasi lain dalam organisasi, para manajer TI wajib memahami kebutuhan kolaborasi dari setiap departemen atau unit bisnis dan membangun peta komunikasi yang memenuhi kebutuhan tersebut. Ini seharusnya juga mencakup pelatihan bagi pengguna dan rencana adopsi pengguna. 

Platform yang Tepat


Pertimbangan berikutnya haruslah memilih platform yang tepat. Sebuah rangka kerja UC hanya akan sekuat infrastruktur yang menjadi fondasinya. Layanan suara, data dan video harus bertumpu pada infrastruktur sama yang mengantarkan manfaat maksimal bagi bisnis dalam hal biaya, manajemen dan kesederhanaan. 

Bisa saja membuat host dan mengelola jaringan-jaringan yang terpisah untuk setiap elemen tersebut, tetapi itu mahal dan bisa sulit diskalakan. Adalah penting bahwa jaringan data pendukung harus mampu bekerja ketika ada tambahan tuntutan bandwidth dari kebutuhan bisnis yang digerakkan oleh bisnis. 

Untuk mengelola biaya penerapan komunikasi, memperhatikan pemilihan arsitektur dengan standar terbuka menjadi penting. Banyak vendor UC mempromosikan strategi “cabut dan ganti” yang mengharuskan sebuah organisasi mengeluarkan setiap PBX (private branch exchange) yang sudah tua dan menggantinya dengan PBX Internet Protocol (IP) baru ketika organisasi akan menerapkan sebuah solusi UC. 

Strategi ini sebenarnya membatasi nilai dari penerapan dan organisasi harus mencari vendor yang punya strategi “rangkul dan peluk” yang memaksimalkan penggunaan teknologi yang sudah ada. Pendekatan ini berarti penerapan lingkungan UC tidaklah harus beranggaran mahal. 

Saat ini, SME (perusahaan dengan skala kecil sampai menengah), dan perusahaan-perusahaan besar memiliki beragam pilihan dan platform yang tidak mahal. Dengan memanfaatkan teknologi SIP (Session Initiation Protocol), investasi yang sudah ditanamkan dalam teknologi dapat dipadukan untuk menciptakan sebuah rangka kerja UC yang baru. 

Vendor yang Tepat


Terakhir, untuk mendapatkan manfaat maksimal dari investasi UC, Anda harus memilih vendor yang tepat. Kekuatan infrastruktur dan pengalaman UC total sangat ditentukan oleh pengetahuan, kemampuan dan dukungan on-ground dari vendor dan mitra jaringan. 

Industri UC memiliki banyak vendor yang menyajikan solusi “ujung-ke-ujung” atau “pilihan terbaik”. Periksa daftar di bawah untuk memastikan bahwa Anda memilih vendor yang tepat untuk organisasi Anda:

  • Platform terbuka: Standar industri yang didasarkan pada platform terbuka harus diutamakan karena menyediakan integrasi yang lebih baik bagi aplikasi-aplikasi bisnis Anda. Banyak solusi UC yang hanya terbuka pada tingkatan tertentu. Contoh, sebuah solusi mungkin menyediakan satu atau dua antarmuka terbuka sebagai fitur dasar, tetapi fitur yang lebih canggih tetap tertutup bagi solusi vendor tersebut.
  • Orientasi servis dan sekuriti: Menerapkan UC di tipe arsitektur yang baru bisa menjadi rumit. Enterpise harus mencari vendor yang punya layanan managed yang kuat, profesional secara global untuk membantu mereka menavigasi transisi.
  • Sekuriti real time:  Solusi UC yang aman harus mencakupkan sekuriti yang terbangun secara internal (built-in), bukan ditambahkan sebagai satu lapisan.
  • Kompatibilitas multivendor: Sebuah solusi yang dapat bekerja dalam lingkungan multivendor merupakan keharusan untuk sebuah implementasi yang kuat dan scalable.
Tentang Penulis: Endang Rachmawati adalah Country Manager Avaya Indonesia

28 Nov 2010

2014, Mobile Commerce Diprediksi Booming

Dibandingkan dengan jumlah pelanggan seluler yang mengarah ke angka 200 juta, pengguna layanan mobile commerce saat ini dianggap masih belum seberapa. Tunggu sampai waktu boomingnya tiba di 2014!

Menurut Indra Lestiadi, Division Head Mobile Commerce PT Indosat, para operator telekomunikasi sejak beberapa waktu lalu terus melengkapi layanan m-commerce miliknya. Meski masih terbatas karena terhadang regulasi.

Pasalnya, potensi pasar untuk transaksi jual-beli dan pembayaran melalui ponsel (mobile commerce) diyakini masih sangat besar.

"Hal itu salah satunya karena kemajuan teknologi dan kemudahan yang ditawarkan dari segi pembayaran dan fasilitas. Saya yakin pada 2014 akan ada perubahan yang luar biasa untuk m-commerce," tukas Indra, kepada wartawan, Kamis (25/11/2010).

Pada waktu tersebut, ponsel diprediksi akan menjadi andalan dalam urusan proses transaksi. Bahkan, Indra berani menyebut bahwa hampir semua pembayaran akan lewat gadget yang sejatinya untuk halo-halo tersebut.

"Operator kini menyiapkan diri untuk pembukaan regulasi yang lebih bebas. Pemerintah sekarang kan masih menggunakan regulasi cara pembayaran yang traditional bagi operator. Belum melakukan perubahan dari sisi digital. Ini yang saya liat perlu ada perubahan dari sisi regulasi pemerintah," tukasnya.

Pengguna mobile commerce sendiri saat ini diproyeksi hanya mencapai 20 juta. Dimana lima juta di antaranya, kata Indra, dimiliki oleh Indosat.

"Jadi kalo dibandingkan dengan jumlah pelanggan seluler yang sampai akhir tahun kira-kira mencapai 200 juta, masih besar kan potensi m-commerce ini," pungkasnya.


25 Nov 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/11/25/165301/1502506/328/2014-mobile-commerce-diprediksi-booming/

Tarik Uang dari ATM Tanpa Kartu

Permata Bank menyediakan layanan transfer uang melalui telepon seluler (ponsel) yang dapat ditarik di anjungan tunai mandiri (ATM) tanpa memerlukan kartu. Layanan mobile cash itu dapat digunakan penerima yang sedang bepergian dan memerlukan uang tetapi tak membawa kartu ATM.
Senior Vice President Head, Wealth Management, and Retail Liability Products Permata Bank Bianto Surodjo di Bandung, Sabtu (27/11/2010), mengatakan, pengirim uang bisa melakukan transfer dengan mengaksesmobile banking melalui ponsel.
Selanjutnya, data mengenai nomor telepon penerima, jumlah uang yang akan dikirim, dan kode identifikasi dimasukkan. Penerima dapat langsung mengambil uang dengan datang ke ATM Permata Bank terdekat dan memencet tombol manapun di samping layar.
Pada layar akan tertera permintaan untuk memasukkan data-data yang diperlukan. Setelah itu, uang akan langsung keluar. Permata Bank berupaya menjadi lembaga keuangan dengan teknologi terdepan. Di Indonesia terdapat 600 ATM Permata Bank.
28 Nov 2010

Thursday, November 11, 2010

84% Transaksi Bank Mandiri Gunakan Fasilitas Elektronik

JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada perbankan. Hal ini dikarenakan Bank Mandiri dalam transaksinya lebih banyak menggunakan elektronic payment.

"Seperti yang saya bilang kita transaksi itu sudah 100 juta per bulan, itu 84 persen itu elektronik, sudah tidak dicabang," ujar Direktur Mikro dan Ritel Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin, Gedung BI, di Jakarta, Kamis (11/11/2010).

Menurutnya, sistem pembayaran elektronik memang harus ditingkatkan lagi dan nasabah harus juga diberi kemudahan dalam melakukan transaksinya kepada perbankan.

Dengan perkembangan teknologi saat ini, perbankan nasional harus mampu menyediakan kemudahan, efisiensi dan keamanan sistem pembayaran yang mereka lakukan. Sistem pembayaran elektronik merupakan solusi yang tepat untuk mempermudah akses transaksi nasabah, karena itu nasabah lebih berminat pada transaksi elektronik dibandingkan dengan transaksi langsung.

"Transaksi cabang kita sebulannya itu Rp13-15 juta, itu sudah kesusul dengan transaksi lewat SMS. SMS itu sudah 15-16 juta transaksi," jelasnya.

Untuk transaksi lewat ATM, jika dirata-ratakan setiap bulan, Bank Mandiri tercatat jumlah transaksi ATM sebanyak 50 juta. Sedangkan volume transaksi kartu lebih rendah. "Transaksi e-toll kalau data BI itu sudah 56 persen lebih, jadi udah lebih dari transaksi saingan kita transaksinya udah menembus 1,2-1,3 juta per bulan transaksi," pungkas.(adn)(rhs)

11 November 2010
Source:http://economy.okezone.com/read/2010/11/11/320/392443/84-transaksi-bank-mandiri-gunakan-fasilitas-elektronik

Tuesday, October 19, 2010

BI Perketat Aturan Internet Banking

Bank Indonesia (BI) tengah menggodok aturan tambahan bagi bank penyelenggara jasa electronic banking (e-banking) khususnya layanan via internet atau internet banking. Pasalnya, bank sentral melihat nilai transaksi melalui internet banking telah mencapai puluhan miliar.

Demikian disampaikan oleh Kepala Biro Pengembangan dan Kebijakan Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI Aribowo kepada detikFinance di Jakarta, Senin (18/10/2010).

"Kami sedang fokus untuk internet banking, regulasi tambahannya sedang digodok. Terutama untuk pengaturan security (keamanan)," ujar Aribowo.

Menurutnya, regulasi yang tengah digodok nantinya akan dilakukan untuk menjaga keamanan para pengguna internet banking. Karena, lanjut Aribowo nilai transaksi melalui internet banking sudah sangat besar.

"Nantinya kita akan mewajibkan para bank untuk menyediakan tingkat keamanan yang seragam sesuai aturan BI. Saat ini kan baru beberapa bank yang menggunakan token nantinya semua akan diwajibkan seperti itulah contonhnya," papar Aribowo.

"Karena jika dilihat nilai transaksinya sudah mencapai puluhan miliar. Orang-orang sudah banyak yang menggunakan layanan internet banking oleh karena itu bank sentral akan mengatur ulang regulasinya agar aman," imbuh Aribowo.

Aribowo menuturkan saat ini volume transaksi internet banking memang belum mencapai 500.000 namun ke depan akan lebih besar lagi. Untuk itu, Aribowo mengatakan pihaknya dalam waktu dekat akan segera merilis regulasi tersebut.

"Tidak bisa tahun ini, namun diusahakan tahun depan regulasi tambahan untuk internet banking sudah siap," tukasnya. (dru/dnl)

18 Okt 2010
Source:http://www.detikfinance.com/read/2010/10/18/131021/1467715/5/bi-perketat-aturan-internet-banking

Tuesday, April 10, 2007

E-Commerce dan Cyber Fraud

Potensi E-Commerce dan Antisipasi Cyber Fraud

By Leonard T. Panjaitan*

Penetrasi Internet

Dalam abad informasi ini segala sesuatunya menjadi borderless, serba cepat, dan efisien. Tak terkecuali dalam e-commerce, suatu bisnis yang menggunakan jaringan digital alias internet. Dalam perdagangan dengan internet ini, potensi yang terkandung di dalamnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Menurut eMarketer, suatu lembaga riset dan analisis e-business yang berpusat di New York, pendapatan e-commerce di wilayah Aisa Pasifik saja diperkirakan tumbuh dari US$ 76,8 miliar pada akhir 2001 menjadi US$ 338,5 miliar sampai akhir 2004. Sumbangan terbesar pada pendapatan tersebut ada pada sektor B2B (business to business) dengan volume diperkirakan mencapai US$ 300,6 miliar sampai tahun 2004. Sebaliknya, B2C (business to consumer) masih cukup rendah dengan pencapaian revenue diperkirakan hanya US$ 38 miliar di tahun 2004. Kondisi seperti ini bisa disebabkan oleh belum meratanya customer yang memilih internet sebagai sarana untuk bertransaksi disamping cara berbisnis ini pun tidak menggunakan uang cash melainkan pembayaran dengan kartu kredit atau cek.

Di laih pihak kini berbagai perusahaan di Asia Pasifik melihat e-commerce sebagi potensi yang tak bisa dielakkan di masa depan. Berkembangnya e-commerce ini tidak terlepas dari adanya penetrasi internet yang begitu luas sehingga kesempatan berbisnis di dunia maya ini pun sangat besar. Hal ini berimbas pada Jepang yang mendominasi ladang bisnis cyber meski beberapa tahun terakhir ekonomi negeri bushido ini agak lesu.. Namun secara global penetrasi internet ini diperkirakan akan mencapai 15,8 % pada tahun 2006. Data tersebut bisa dilihat di bawah ini :

Internet Penetration Worldwide, by Region, 2001, 2002

& 2006

2001

2002

2006

Western Europe (1)

31,2%

37,9%

51,4%

North America

62,3%

66,7%

81,0%

Latin America

3,1%

5,4%

9,1%

Asia-Pasific

3,5%

6,4%

13,3%

Eastern Europe (2)

5,7%

7,0%

15,4%

Africa/Middle East (3)

0,8%

1,1%

3,1%

World Wide

7,9%

9,8%

15,8%

Note : (1) includes Scandinavia; (2) includes Rusia; (3) include Turkey

and South Africa

Source : IDATE, January 2003

Data di atas menunjukkan bahwa potensi e-commerce sangat besar sekali karena mereka yang melek dan aktif menggunakan internet relatif masih sangat sedikit dibandingkan dengan wilayah lain yang lebih maju seperti Eropa dan Amerika. Oleh sebab itu e-commerce masih merupakan pasar yang sangat potensial dan menggairahkan. Sementara itu negara-negara Asia Pasifik seperti Jepang, Korea, dan Cina masih sangat agresif untuk merebut pangsa pasar e-commerce. Menurut Global Reach dalam laporannya di bulan Maret 2004 lalu, Jepang yang berpenduduk sekitar 130 juta jiwa memiliki penetrasi 9,0 % (65,6 juta) disusul Cina dengan lebih dari 1,2 miliar jiwa mampu menyerap 14,1 % (102,79 juta) kemudian Korea Selatan dengan populasi 47 juta meraih sekitar 4,1 % (29,9 juta). Bagaimana dengan Indonesia ? Data yang tersedia di bawah ini memasukkan Indonesia bersama dengan Malaysia dalam satu rumpun maka dengan total populasi keduanya yang mencapai 252 juta, tingkat penetrasi internet sebesar 1,9 % baru menghasilkan 13,8 juta user. Data tersebut secara keseluruhan dapat dilihat di bawah ini :




Melihat kedua table di atas maka potensi e-commerce untuk kawasan Asia Pasifik tetap terbuka lebar. Walaupun masih didominasi oleh 5 macan Asia (Jepang, Korea, Singapore, Taiwan, Cina), peluang Indonesia untuk terjun ke dalam kancah e-commerce masih besar. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar di kawasan Asia Tenggara, perolehan 13,8 juta pengguna internet masih terasa kecil sekali. Bahkan menurut Donny B.U dari ICT Watch, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) akan mengalami kesulitan ketika diminta meningkatkan penetrasi internet di Indonesia. Disadari atau tidak, sekian banyak ISP (Internet Service Provider) di Indonesia berebut pasar yang kian lama kian jenuh yang mana cukup banyak ISP yang tutup, menciutkan diri, mentransfer pelanggannya ke ISP lain, atau memaksa hidup kembang kempis. Oleh sebab itu untuk mendapatkan revenue yang besar, Indonesia perlu menambah porsi pengguna internet secara optimal. Pertama, sosialiasi internet dan edukasi teknologi informasi harus merambah semua tingkat pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi karena mereka ini adalah pasar paling potensial. Dari sini diharapkan tercipta internet mindedness yang menjadikan internet sebagai salah satu alat belajar-mengajar yang positif dan kaya akan sumber-sumber pengetahuan. Sayangnya, meski tidak memiliki data, saya meyakini bahwa tingkat melek huruf dan pendidikan orang Indonesia belum mencapai harapan yang ideal alias masih rendah. Sebagai perbandingan, di Korea Selatan tingkat enrollment (orang yang mendaftar sekolah) mencapai 90 % dari jumlah penduduk plus mereka yang melek huruf sebesar 98 %. Kedua, ISP (Internet Service Provider) yang ada harus terus menerus melakukan penetrasi sampai ke kota-kota kecamatan bahkan hingga desa-desa sehingga pasar menjadi tidak jenuh. Menurut data yang dilansir ICT Watch, sampai saat ini pengguna telepon di Indonesia masih sangat rendah sekali yakni berkisar 3 % - 4 % dari total penduduk Ironisnya, pemerintah justru menaikkan tarif telepon hingga 30 % sehingga tak heran bila penetrasi internet menjadi rendah. Oleh karenanya, untuk mengatasi lambannya penggunaan internet ini pemerintah perlu menunjang lewat kebijakannya untuk menyediakan tarif pulsa telepon yang murah sehingga menarik minat orang untuk memasang pesawat telepon, merangsang para pelanggan telepon yang sudah ada untuk berlangganan internet baik perorangan, perkantoran, sekolah-sekolah maupun pendirian usaha warnet. Diharapkan warnet dapat menjadi ujung tombak dalam pemanfaatan e-commerce asal paradigma usaha warnet sekarang ini tidak mengikuti cara berpikir sebuah toko, yang penting sekedar untung. Warnet harus dikelola secara profesional dan taktis, ibarat orang membuka pom bensin atau mini market, harus ada perencanaan, lokasi yang strategis, pelayanan yang bagus serta ikut mendidik masyarakat untuk memanfaatkan internet sebagai samudera informasi yang selayaknya diakses untuk hal-hal yang positif, bertanggungjawab bukan untuk pornografi atau kejahatan lainnya.

Dengan kata lain untuk menambah devisa negara dari sektor e-commerce ini maka pengguna internet secara kualitas dan kuantitas harus digenjot. Semakin banyak pengguna internet maka akan semakin besar pula devisa negara yang bisa direbut. Menurut Verisign, penyedia infrastruktur dan jasa keamanan bertransaksi, perdagangan on line meningkat sebanyak 59 % di seluruh dunia selama liburan antara tanggal 1 November 2003 sampai 31 Desember 2003 dibandingkan periode yang sama 2002. Nilai transaksi yang diproses mencapai angka US$ 6,4 miliar dibandingkan dengan US$ 4 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Namun di lain pihak, secara kualitas kita perlu mengkaji potensi risiko e-commerce yang bisa mengundang kejahatan masuk. Sisi negatif ini harus segera diantisipasi oleh publik karena hal ini berhubungan dengan faktor keamanan dalam e-commerce terutama kebanyakan transaksi lewat internet dilakukan dengan menggunakan kartu kredit.

Antisipasi Bahaya Cyber Crime

Tidak ada salahnya sejenak kita mengetahui apa saja yang disebut kejahatan komputer itu. Menurut European Union Convention on Cybercrime ada 4 tipe computer crimes yang masuk dalam kategori melanggar kerahasiaan (confidentiality), integritas, serta ketersediaan data dan sistem komputer (availability of computer data and systems). Keempat tipe ini sebagai berikut : illegal access (akses terhadap sebagian atau seluruh sistem komputer tanpa hak), illegal interception (mengambil secara sengaja dan tanpa hak melalui transmisi non publik data komputer ke, dari dan diantara sistem komputer), data interference (merusak, menghapus, mengubah data komputer tanpa hak), system interference (menggangu secara serius dan tanpa hak fungsi-fungsi sistem komputer dengan cara transmisi, input, merusakkan, menghapus, mengubah, memperburuk data komputer). Salah satu contoh pelaku kejahatan cyber yang terkenal adalah Maxim Kovalchuk (25 thn) yang berasal dari Ternopol Ukraina, yang ditangkap di Bangkok dan dijuluki "the best hacker" pada Oktober 2003 lalu. Para ahli mengatakan ia merupakan hacker paling berbahaya di dunia yang telah menyebabkan kerugian US$ 100 juta pada perusahaan komputer di AS.

Dalam sub judul ini saya hanya mempersempit fokus pada kejahatan internet melalui kartu kredit yang menurut saya termasuk dalam illegal access atau illegal interception. Sama seperti maling, fraudster alias pelaku kejahatan kartu kredit tidak segan-segan untuk mencuri dan memakai nomor kartu kredit secara ilegal. Hati-hatilah ! Sebab bertransaksi di merchant internet tidak perlu memperlihatkan kartu kredit secara fisik layaknya membayar di kasir namun cukup dengan memasukkan nomor kartu ditambah expire date, alhasil transaksi anda setelah otorisasi sesaat akan di-approved dan anda tinggal menunggu barang sampai pada tujuan. Sederhana bukan ? Ya, bahkan tak perlu tanda tangan di stroke pembelian. Barang-barang seperti handphone, pda, note book, pc, gitar listrik dan alat-alat elektronik yang lain biasanya merupakan incaran para carder. Bahkan kini mereka sudah merambah pada uang tunai yang ditransfer ke rekening sah milik para carder ini. Inilah salah satu risiko fatal yang harus diperhatikan oleh para pengguna internet maupun penggiat e-commerce. Yang lebih mengagetkan, akhir-akhir ini muncul berita menyedihkan di masyarakat khususnya komunitas internet bahwa Indonesia merupakan penghasil cyber fraud nomor satu di dunia. Modus operandi yang dipakai kebanyakan carding alias pembobolan kartu kredit milik orang lain. Inilah salah satu cyber crime paling sering dilakukan oleh para carder yang biasanya beroperasi lewat warnet. Ironisnya, warung internet yang sejatinya dimaksudkan sebagai tempat untuk mengakses internet secara mudah, murah dan cepat malah digunakan untuk melakukan aktivitas kejahatan.

Lagi-lagi menurut Verisign seperti yang dilansir detik.com, berdasarkan penelitian mereka ada peningkatan sebesar 176 % serangan hacker. Lebih lanjut dalam studi tersebut diketahui merchant e-commerce menolak sekitar 7 % transaksi on line yang terlalu berisiko. Sebagian besar dibatalkan karena nomor kartu kredit yang meragukan atau kemungkinan pencurian identitas. Namun, ditambahkan bahwa sebagian besar penolakan itu dilakukan oleh sistem otomatis. Ini mengakibatkan kemungkinan vendor e-commerce yang luput dari serangan tersebut mengkategorikan penjualan on line yang sah menjadi fraud. Yang lebih mencengangkan, selain kita nomor satu negara paling korup di dunia ternyata citra ini setali tiga uang dalam urusan internet fraud . Untuk lebih jelasnya maka ditampilkan tabel di bawah ini :

Top Countries * By Total Volume

Top Countries * By Percentage


of Fraudulent Transactions - Januari 04

of Fraudulent Transactions - Januari 04


Country

Ranking

Country

Ranking


USA

1

Indonesia

1


Canada

2

Nigeria

2


Indonesia

3

Pakistan

3


Israel

4

Ghana

4


United Kingdom

5

Israel

5


India

6

Egypt

6


Turkey

7

Turkey

7


Nigeria

8

Lebanon

8


Germany

9

Bulgaria

9


Malaysia

10

India

10


* negara asal ini ditentukan oleh IP Address yang digunakan utk bertransaksi.

Kemungkinan hacker menggunakan proxy atau memakai infrastruktur ISP

negara-negara lain untuk menyembunyikan identitas negara asalnya.

Sumber : Verisign's Report selama tahun 2003, dikeluarkan pada Januari 2004




Tabel di atas menunjukkan bahwa secara kuantitatif berdasarkan volume transaksi yang fraud, AS masih memimpin perolehan terbesar dikuti oleh Indonesia pada posisi tiga. Di lain pihak secara kualitatif, pada setiap transaksi yang menggunakan kartu kredit atau lewat e-commerce, persentase untuk menjadi fraud atau ilegal dimenangi oleh Indonesia sehingga keluar sebagai kampiun. Indonesia kini terkenal sebagai sumber terbesar internet fraud. Prestasi ini sungguh memalukan meski beberapa sumber di kalangan carder mengatakan bahwa mereka menggunakan kartu kredit milik orang asing alias WNA. Jahat adalah jahat meski itu yang dibobol adalah pihak asing namun kejahatan seperti ini harus ditumpas seefektif mungkin hingga menghasilkan efek jera yang memadai. Kejahatan internet seperti ini sangat merusak kredibilitas Indonesia di mata internasional apalagi di tengah-tengah keterpurukan dan kemiskinan bangsa kita. Perlu diketahui bahwa di Indonesia saat ini diperkirakan jumlah pemegang kartu kredit mencapai 4,5 juta. Bila para bandit itu berhasil membobol 0,1 % saja dari total pemegang kartu yang ada maka bisa kita bayangkan efek kerugian yang akan menimpa industri kartu kredit nasional. Sementara itu, tahun lalu menurut perkiraan AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia) total kerugian akibat fraud kartu kredit mencapai Rp. 50 - 60 miliar, suatu jumlah yang signifikan dan memerlukan energi besar dari semua pihak untuk mengatasinya.

Oleh sebab itu masyarakat harus waspada terhadap cyber fraud dan melaporkan kepada pihak berwajib bila melihat adanya indikasi penggunaan kartu kredit yang mencurigakan yang dilakukan di warnet-warnet atau tempat lainnya. Mengapa koq warnet jadi tertuduh ? Kenyataannya memang warung internet merupakan tempat nyaman untuk beraksi. Oleh sebab itu, sepatutnya ada regulasi dari pemerintah setidak-tidaknya memaksa setiap warnet harus meregistrasi siapa saja yang masuk dan memakai internet sehingga setiap saat bila ada kasus bisa segera ditelusuri. Sementara itu salah satu kerugian yang ditanggung oleh Indonesia adalah kemungkinan IP Address kita ini diblokir oleh pihak-pihak di luar negeri sehingga bisa mematikan potensi e-commerce yang sekarang sedang digalakkan. Dunia internasional bisa tidak mempercayai kita lagi dan akhirnya seluruh pihak di dalam negeri akan dirugikan karena revenue perdagangan on line ini bisa hilang percuma akibat ulah orang-orang jahil ini. Dalam riset yang dilakukan Gartner G2 ditemukan bahwa risiko internet payment fraud setidaknya 12 kali lebih besar daripada transaksi langsung (face to face transactions).

Untuk dapat mencegah kejahatan seperti ini, Indonesia harus memiliki payung hukum yang komprehensif dan itu sebabnya RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) harus segera disahkan menjadi UU. Kita berharap pemerintah pasca pemilu ini serius membenahi masalah ini sebab kalau tidak Indonesia bisa dikucilkan oleh komunitas internet global. Sejak sekarang sudah harus diantisipasi secara ketat karena ada indikasi kuat carding ini sudah menjelma menjadi organized crime seperti jaringan mafia. Namun disini saya tidak membahas teknik-teknik carding secara detail dan saya hanya memberikan beberapa tips bagi para pembaca untuk menghindari kemungkinan identitas personal seperti nomor kartu kredit, PIN, billing statement anda terekam atau terbaca oleh mereka yang berniat jahat melakukan carding. Tips sebagai berikut :

1. Bila anda membuang sesuatu yang berisi informasi pribadi bahkan itu hanya alamat, pastikan itu telah dihancurkan.

2. Hindarkan berbelanja atau menggunakan kartu kredit yang mana tanda terimanya tidak menghilangkan nomor kartu kredit, namun justru meninggalkan beberapa digit terakhir nomor kartu kredit anda.

3. Jangan memberikan informasi pribadi kepada telemarketer terutama nomor kartu kredit termasuk nama ibu kandung anda.

4. Jangan merespon email yang anda terima dengan informasi pribadi terutama nomor kartu kredit, nama ibu kandung anda.

5. Gunakan kartu kredit hanya kepada bank yang memberikan akses billing on line dan di-update setiap hari. Setiap beberapa hari, lakukan cek pada b/s itu dan pastikan bahwa transaksi anda itu benar.

6. Anda harus pelit dan hati-hati dalam memberikan informasi termasuk nama ibu kandung. Sebab adakalanya cara ini merupakan metode identifikasi untuk mencuri data-data pribadi anda.

7. Jangan pernah mengirim informasi finansial anda lewat email atau instant message. E-commerce sangat aman bila menggunakan situs-situs yang memanfaatkan proteksi enkripsi. Sementara email dan instant message tidak dienkripsi.

8. Proteksi dan ubahlah sewaktu-waktu password anda setiap 6 sampai 12 bulan. Jangan pernah menyimpan password anda di komputer. Password seharusnya terdiri dari 8 karakter dan agar lebih aman kombinasikanlah huruf besar, kecil dan angka-angka.

9. Jangan gunakan password yang sama untuk beberapa kartu.

Demikian tulisan ini disampaikan sehingga bisa bermanfaat bagi para pembaca untuk melihat potensi e-commerce yang masih luas serta risiko yang membayanginya.

* Pengguna-pemerhati internet dan juga pegawai Divisi PBK

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...