Friday, November 27, 2009

Edan! 1,1 Juta Hektar, Laju Kerusakan Hutan Indonesia


Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,1 juta hektar per tahun.

"Sementara kemampuan pemerintah melakukan rehabilitasi hanya 500 ribu hektare per tahun," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta di Banjarmasin, Jumat (27/11).

Kondisi tersebut, dikhawatirkan akan mempercepat dampak pemanasan global yang mengancam kehancuran alam di Indonesia maupun dunia.

Hatta mengatakan, saat ini suhu dunia naik hingga empat derajat, akibatnya permukaan laut naik hingga 80 sentimeter.

Bila kondisi ini dibiarkan berlangsung, maka sebanyak 30-40 juta penduduk Indonesia terancam menjadi korban dampak pemanasan global diantaranya banjir, bencana alam dan dampak lainnya.

"Untuk itu kami meminta seluruh warga Indonesia melakukan penanaman pohon, minimal satu orang satu pohon untuk menahan laju pemanasan global tersebut," katanya.

Kementerian Lingkungan Hidup juga telah melakukan koordinasi dengan kementerian lainnya untuk melakukan perbaikan lingkungan dalam segala segi, baik menteri kehutanan, pertambangan, kelautan dan perkebunan.

Untuk melakukan koordinasi, dia bersama stafnya harus rela mendatangi satu per satu lembaga kementerian terkait, agar bisa mendapatkan dukungan penuh dalam perbaikan lingkungan.

"Kadang teman-teman menteri egonya juga tinggi, sehingga saya harus rela mendatangi satu persatu," katanya.

Sementara itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang juga melakuakan kunjungan kerja ke Banjarmasin, mengatakan, untuk menahan laju kerusakan hutan tersebut pihaknya telah memperketat izin penebangan pohon baik untuk industri, pertambangan maupun perkebunan.

"Masa depan Indonesia bukan kepada harga kayunya, tetapi pada hutannya yang hijau sehingga bisa untuk wisata alam sekaligus paru-paru dunia," katanya.

Rehabilitasi hutan menjadi prioritas dalam program seratus hari kerja Menhut. Untuk menjalankan program itu, pada 2009 ini pemerintah menyiapkan dana reboisasi (DR) sebesar Rp 2 triliun dan 2010 menjadi Rp 2,6 triliun.

Dana tersebut, akan terus ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan industri kayu, akan diambilkan kayu dari hutan tanaman rakyat.

JUMAT, 27 NOVEMBER 2009 | 18:19 WIB



Wednesday, November 25, 2009

Ikat Diri ke "Crane", Enam Aktivis Greenpeace Dibawa Polisi



Sebanyak enam relawan Greenpeace, lima di antaranya warga asing, dibawa ke Polda Riau di Pekanbaru, menyusul aksi lembaga pemerhati lingkungan hidup itu di areal pelabuhan PT Indah Kiat Pulp and Paper, Rabu (25/11) pagi di Perawang, Kabupaten Siak, Riau. Ket.Foto: GREENPEACE/JOHN NOVIS
Sebanyak enam relawan Greenpeace, lima di antaranya warga asing, dibawa ke Polda Riau di Pekanbaru, menyusul aksi lembaga pemerhati lingkungan hidup itu di areal pelabuhan PT Indah Kiat Pulp and Paper, Rabu (25/11) pagi di Perawang, Kabupaten Siak, Riau.

Aksi Greenpeace itu melibatkan 12 aktivis dengan cara mengikatkan diri pada empat alat pengangkat (crane) peti kemas di pelabuhan anak perusahaan Sinar Mas Group itu sehingga seluruh kegiatan bongkar muat menjadi terhenti.

Menurut Hikmat Soerya Tanuwijaya, juru bicara Greenpeace Indonesia, enam relawan Greenpeace yang dibawa ke Polda Riau itu masing-masing adalah Asish Fernandes dari India, Asti Rowesley dari Swiss, Valerie Philip dari Australia, Benoit Calvi dari Belgia, Stepanie Goodwin dari Kanada, dan Bustar Maitar, juru kampanye Greenpeace Indonesia dan Asia Tenggara.

Bustar Maitar yang dihubungi lewat telepon genggamnya mengatakan sedang berada di Markas Polsek Perawang bersama lima aktivis Greenpeace asing lainnya. "Kami masih belum tahu ditangkap polisi atas tuduhan apa. Katanya kami akan dibawa ke Polda Riau di Pekanbaru," ujar Bustar Maitar yang dihubungi lewat telepon genggamnya.

Bustar mengatakan, aksi Greenpeace di lokasi pabrik PT Indah Kiat merupakan protes terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak tegas terhadap komitmen menjaga emisi rumah kaca. Faktanya, Grup Sinar Mas masih juga memakai kayu alam untuk keperluan industrinya dan merusak hutan gambut untuk dijadikan hutan tanaman industri. "Kami meminta SBY mendengar dan melihat protes kami," ujar Bustar.

Komitmen


Humas Sinar Mas, Nurul Huda, yang dihubungi secara terpisah mengatakan mengerti tuduhan Greenpeace terkait aksi yang dilakukan di Perawang. Namun, menurutnya, Sinar Mas sudah mencoba untuk mengurangi dampak rumah kaca dari kegiatan operasional pabrik.

"Kami bukan mau membela diri. Namun, kami juga memiliki komitmen untuk menjaga lingkungan. Faktanya kami sudah menyediakan 72.000 hektar lahan Giam Siak Kecil untuk dijadikan kawasan konservasi yang diakui oleh Badan PBB UNESCO dengan nama Cagar Biosfer Giam Siak Kecil," katanya.

"Kami juga menyediakan 16.000 hektar lahan gambut di Semenanjung Kampar untuk dijadikan kawasan konservasi permanen. Kalau tuduhan tentang penggunaan kayu alam, sejak tahun lalu kami tidak pernah lagi menebang kayu alam. Kalaupun masih ada kayu alam, itu merupakan sisa terakhir kayu tahun 2007 yang sempat berperkara hukum," kata Nurul lagi.

Sampai pukul 11.00 tadi, tiga aktivis Greenpeace masih belum dapat diturunkan dari Crane pelabuhan PT Indah Kiat. Meski sudah dibujuk untuk turun, mereka memilih untuk bertahan.

Sejak awal November 2009, Greenpeace memang getol mengampanyekan pelestarian alam untuk iklim dunia yang lebih baik di masa depan. Lebih dari setengah bulan, Greenpeace melakukan aksi di hutan gambut Semenanjung Kampar, Pelalawan, Riau, yang dirusak oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper.

Sedikitnya, 15 aktivis Greenpeace asing dan dua wartawan asing yang ikut aksi di Semenanjung Kampar dideportasi dari Riau untuk dipulangkan ke negara masing-masing.

RABU, 25 NOVEMBER 2009 | 11:26 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Sahnan Rangkuti



Siapa Bilang Enggak Bisa Peduli Bumi di Tempat Kerja?



Rasa pesimistis terhadap upaya hijau di Jakarta berkembang di kalangan pekerja kantoran. Sebagai individu yang berada di gedung berpuluh-puluh lantainya, apakah ada yang bisa dilakukan untuk peduli pada bumi? Toh pemakaian AC, listrik dan air sudah dikontrol dari sentral. Karenanya, kebanyakan berpikir, mayoritas para pekerja akhirnya cuma bisa 'diam'.  Ket.Foto: KOMPAS.com/Caroline Damanik
Sentosa Green Champion dari The Body Shop menjadi pemenang pertama Anugerah Jakarta Green Office 2009 kategori Owned Office di FX Plaza, Rabu (25/11).

Namun, sejumlah pekerja tak patah arang. Mereka mau dan mereka bisa. Siapa bilang tak bisa peduli bumi dari tempat kerja? Nuansa ini terasa dalam acara Anugerah Jakarta Green Office 2009 di FX Plaza, Rabu (25/11). Enam pemenang bersukacita karena usahanya peduli bumi juga membuahkan bonus jutaan rupiah.

Contohnya Green Team dan Pandan. Dua pemenang kategori Tenant Office ini melakukan upaya peduli bumi. Green Team mendorong orang-orang di kantornya untuk melakukan penghematan air dan listrik lalu juga membuat tempat sampah yang dipilah menurut jenis sampahnya.

Sentosa Green Champion dari kantor The Body Shop sebagai Juara I kategori Owned Office tak jauh berbeda. Social Environmental Values Manager The Body Shop Rika Anggraini mengatakan memang ada tim khusus peduli bumi di kantornya. Tim yang berjumlah 15 orang ini sengaja dibentuk sejak 2008 untuk memotivasi rekan kerja lainnya melakukan penghematan dan aktivitas peduli bumi.

Ada empat hal rutin yang mereka lakukan di kantor, yaitu mengingatkan penghematan air, listrik, dan kertas. Untuk yang terakhir, memang didukung oleh kebijakan kantor. Sekitar 80 persen kertas yang digunakan adalah recycle paper. Sisanya untuk printing internal. Itupun harus dipakai bolak-balik, ungkapnya. "Nah, yang sudah tak dipakai lagi, itu dihancurkan. Kertas yang sudah dihancurkan dipakai lagi untuk packaging karena kami perusahaan kosmetik ya," ujar perempuan berjilbab ini.

Untuk penghematan listrik, mereka selalu giat secara sukarela menjadi reminder bagi rekan kerja lainnya untuk mematikan monitor komputer setiap hendak pergi makan siang. Biasa mereka pergi mengingatkan setiap pukul 11.50. Selain itu, mereka juga secara sukarela mengupayakan kategorisasi sampah sehingga ada empat tempat sampah, yaitu tempat sampah untuk plastik, kertas, makanan atau sampah basah serta botol, baik kaleng maupun plastik.

"Yang plastik kami kasih ke pengambil sampah. Yang makanan atau yang basah kami olah lagi jadi kompos di taman kantor kami," tuturnya.

Di halaman kantor ini pula, Rika dan rekan-rekannya mengupayakan taman yang saat ini sudah ditanami sekitar 100 tanaman. Menurutnya, ketika suasana kantor sangat hijau, di situ timbul inspirasi dan kreativitas bagi para karyawan.

Mereka juga menciptakan satu budaya di kantor. Setiap ada acara internal, baik rapat atau acara tertentu, mereka komitmen tidak menggunakan air kemasan. "Kami minta teman-teman membawa tempat minum masing-masing sehingga kita mengurangi pemakaian botol-botol plastik yang tak bisa didaur ulang," tandasnya.

Seakan belum puas, ke depannya, Rika mengatakan divisinya akan melakukan audit energi untuk mencari tahu berapa besar energi yang selama ini dihabiskan kantor. Dengan mengetahuinya, mereka jadi bisa menghitung berapa energi yang bisa dihemat ke depannya. Rika sangat bersyukur kantornya mendukung dengan kebijakan yang memberi keleluasaan.

Namun, lanjutnya, faktor penting, adalah motivasi dan kesukarelaan para karyawan di kantor. Jika tidak ada kesukarelaan, sulit mengupayakan program sebagus apapun. Jadi, masihkah sulit peduli bumi di tempat kerja?



RABU, 25 NOVEMBER 2009 | 19:53 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik


Editor: wah

Akan Ada Aturan Lubang Resapan Biopori


Setelah aturan sumur resapan dan kolam resapan sudah dibekukan satu paket dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB), aturan tentang lubang resapan biopori akan 'naik kelas'. Pejabat Harian Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Ridwan Panjaitan mengatakan pemerintah daerah tengah merencanakan aturan ini diikat dalam ketentuan hukum.

"Sumur resapan dan kolam resapan kan sudah wajib dalam IMB. Sekarang yang imbauan adalah lubang resapan biopori. Itu juga mau dibuat peraturan yang lebih tinggi," ujarnya dalam keterangan pers Anugerah Jakarta Green Office 2009 di FX Plaza, Rabu (25/11).

Pembahasannya masih di tahap awal. Namun, menurut Ridwan, ini akan jadi prioritas karena lubang resapan biofori sangat berperan penting dalam mengantisipasi banjir. Tanpa mendetilkan penjelasannya dengan data, Ridwan mengatakan menurut perhitungan pakar, biopori sangat efektif untuk antisipasi banjir jika volumenya sampai 70 juta lubang di Jakarta.

"Kalau ini dilaksanakan, tentu bagus karena ini begitu murah dan mudah. Dengan membuat biopori di lahan taman kita yang tak terpakai, itu bisa menjadi sumbangan yang efektif," tandasnya.

RABU, 25 NOVEMBER 2009 | 20:13 WIB

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik



Belum Ada Standar Green Building di Jakarta


Upaya menjadikan green buildingdi Indonesia sudah banyak terdengar. Bahkan banyak gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, sekolah yang mengklaim sebagai green building. Tapi tahukah Anda, standar apa yang digunakan untuk menunjukkan suatu gedung patut dikategorikan ramah lingkungan?

Direktur Procon Integrated Property Solutions, Gunawan Yonatan mengatakan belum ada standar yang jelas dalam penetapan label green building untuk gedung-gedung di Indonesia, terutama Jakarta. "Green-nya standarnya apa dulu? Usahanya sudah ada tapi standarnya belum ada," tuturnya di sela acara Anugerah Jakarta Green Office 2009 di FX Plaza, Rabu (25/11).

Menerka alasan sejumlah gedung menetapkan diri sebagai green building, dengan berseloroh Gunawan mengatakan para pengelola mungkin menggunakan standar sendiri yang disebutnya 'Standar Jakarta'. Parameternya sendiri tak jelas, lanjut Gunawan.

Gunawan enggan mengatakan karena ketiadaan standar atau pakem maka upaya green building sendiri untuk menjaga bumi sebenarnya tengah mengalami disorientasi. Namun, dia menegaskan bahwa sudah sepatutnya ada suatu standar yang ditetapkan bersama oleh pemerintah daerah dan asosiasi untuk memiliki standardisasi green building.

"Tengah digodok, tapi belum tahu juga kapan dan bagaimana," ungkapnya.

Merespon adanya standardisasi atau aturan tegas soal green building, Pejabat Harian Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta Ridwan Panjaitan mengatakan hal ini tengah dibicarakan.

"Green building akan selabel dengan pergub sedang dalam proses pembahasan dan harus dibahas bersamastakeholder sehingga masukan lebih operasional," ujarnya.

RABU, 25 NOVEMBER 2009 | 20:03 WIB

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik



BNI Terima Asia Responsible Entrepreneurship Award



Sebagai salah satu bank papan atas BNI masih dipercaya publik menjadi bank yang peduli pada isu-isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini terbukti dari penghargaan yang diterima oleh BNI dari NGO Asia Pasifik (Enterprise Asia) untuk dua kategori sbb:

1. Green Leadership Award
2. Community Engagement Award

Malam penghargaan berlangsung pada hari Senin (23/11/2009) di Hotel
Sang-rila dimana BNI diwakili oleh sebelas orang, masing-masing lima orang Pemimpin Divisi, tiga orang anggota Corporate Sustainability Team dan tiga orang SKC Purwakarta termasuk debitur Kampoeng BNI Subang. Tampak pada foto: Intan Abdams Katoppo, Corporate Secretary BNI (mewakili Direksi BNI) menerima Award dari Datuk Seri Dr Fong Chang Onn, Chairman Entreprise Asia.

Kriteria untuk Green Leadership Award adalah sbb:

  1. Partisipan memiliki tanggung jawab yang besar dari dampak bisnis mereka terhadap lingkungan dan berusaha untuk mengurangi atau mengubah dampak itu.
  2. Partisipan secara sadar telah mengimplementasikan program-program atau usaha-usaha yang di dalamnya termasuk (tak terbatas pada): efisiensi energi, tanggungjawab produk, rancangan produk hijau, pengurangan limbah, konservasi air dan daur ulang.
  3. Faktor tambahan akan diberikan kepada partisipan yang memiliki program pengurangan dampak kerugian disertai program untuk mengubah dampak kerugian tersebut.
  4. Partisipan telah melakukan integrasi kinerja lingkungan ke dalam strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development strategy) dan memiliki laporan tahunan yang terstruktur dari kinerja tersebut. 


Kriteria untuk Community Engagement Awad adalab sbb:

  1. Partisipan harus memiliki program atau proyek-proyek yang memasukkan unsur pengentasan kemiskinan, kesempatan pendidikan yang lebih baik, meningkatkan kehidupan orang-orang miskin dan yang tak beruntung serta program-program lain yang melibatkan komunitas masyarakat dalam bisnis mereka.
  2. Partisipan harus dapat menunjukkan secara jelas rencana keterlibatan/keikutsertaan masyarakat secara berkelanjutan, disertai bukti berupa business case (dalam hal ini seberapa besar masyarakat lokal mampu menerima benefit dari bisnis tersebut baik dalam jangka pendek maupun panjang). 


Di Indonesia, pemberian penghargaan dari Enterprise Asia merupakan penyelenggaraan yang kedua kali (pertama tahun 2008). Kalangan CEO dan konglomerat turut hadir dan sebagian mendapatkan penghargaan antara lain sbb: Mochtar Riady (Lippo Group), Chairul Tanjung (TransTV dan Para Group), Bank Mandiri, Jakarta Eye Center, Bosowa Group, PT. Samudera Indonesia (LTP).



BNI Terima Asia Responsible Entrepreneurship Award 2009



Sebagai salah satu bank papan atas BNI masih dipercaya publik menjadi bank yang peduli pada isu-isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini terbukti dari penghargaan yang diterima oleh BNI dari NGO Asia Pasifik (Enterprise Asia) untuk dua kategori sbb:

1. Green Leadership Award
2. Community Engagement Award

Malam penghargaan berlangsung pada hari Senin (23/11/2009) di Hotel
Sang-rila dimana BNI diwakili oleh sebelas orang, masing-masing lima orang Pemimpin Divisi, tiga orang anggota Corporate Sustainability Team dan tiga orang SKC Purwakarta termasuk debitur Kampoeng BNI Subang. Tampak pada foto: Intan Abdams Katoppo, Corporate Secretary BNI (mewakili Direksi BNI) menerima Award dari Datuk Seri Dr Fong Chang Onn, Chairman Entreprise Asia.

Kriteria untuk Green Leadership Award adalah sbb:

  1. Partisipan memiliki tanggung jawab yang besar dari dampak bisnis mereka terhadap lingkungan dan berusaha untuk mengurangi atau mengubah dampak itu.

  2. Partisipan secara sadar telah mengimplementasikan program-program atau usaha-usaha yang di dalamnya termasuk (tak terbatas pada): efisiensi energi, tanggungjawab produk, rancangan produk hijau, pengurangan limbah, konservasi air dan daur ulang.

  3. Faktor tambahan akan diberikan kepada partisipan yang memiliki program pengurangan dampak kerugian disertai program untuk mengubah dampak kerugian tersebut.

  4. Partisipan telah melakukan integrasi kinerja lingkungan ke dalam strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development strategy) dan memiliki laporan tahunan yang terstruktur dari kinerja tersebut. 



Kriteria untuk Community Engagement Awad adalab sbb:

  1. Partisipan harus memiliki program atau proyek-proyek yang memasukkan unsur pengentasan kemiskinan, kesempatan pendidikan yang lebih baik, meningkatkan kehidupan orang-orang miskin dan yang tak beruntung serta program-program lain yang melibatkan komunitas masyarakat dalam bisnis mereka.

  2. Partisipan harus dapat menunjukkan secara jelas rencana keterlibatan/keikutsertaan masyarakat secara berkelanjutan, disertai bukti berupa business case (dalam hal ini seberapa besar masyarakat lokal mampu menerima benefit dari bisnis tersebut baik dalam jangka pendek maupun panjang). 



Di Indonesia, pemberian penghargaan dari Enterprise Asia merupakan penyelenggaraan yang kedua kali (pertama tahun 2008). Kalangan CEO dan konglomerat turut hadir dan sebagian mendapatkan penghargaan antara lain sbb: Mochtar Riady (Lippo Group), Chairul Tanjung (TransTV dan Para Group), Bank Mandiri, Jakarta Eye Center, Bosowa Group, PT. Samudera Indonesia (LTP).



Friday, November 20, 2009

HUTAN Di Brasil: Wilayah Kontestasi Politik Terpanas


Menteri Lingkungan Brasil Carlos Minc menuduh lembaga pemerintah lain yang tidak mematuhi hukum-hukum lingkungan demi proyek-proyek pembangunan Amazon. Kondisi itu pula yang, menurut Reuters dan Associated Press (1/6), menyebabkan mundurnya Menteri Lingkungan Marina Silva setahun sebelumnya. Ket.Foto: Hamparan luas lahan tanaman kedelai terlihat di dekat kota Santarem,Para, Brasil, Desember 2004. Menurut para aktivisling kungan, pertanian kedelaimembuat harga lahanhasil penggundulan hutan membubung tinggi.

Jalan raya itu konon akan memudahkan dan mengefisienkan akses transportasi petani dan peternak ke pasar. Namun, Minc mengingatkan, pengaspalan jalan raya BR-319 yang menembus jantung Amazon dari kota Manaus dan Porto Velho itu adalah bencana lingkungan karena melewati wilayah preservasi terbaik dari Amazon. Karena proses yang bertubi-tubi, pemerintah menunda sementara kontrak pembangunan BR-319, sampai 13 wilayah konservasi dibentuk.

Minc juga mengeluhkan usulan perubahan regulasi kehutanan yang melonggarkan upaya-upaya perlindungan lingkungan. Hal itu termasuk penambahan area untuk perubahan tata guna lahan dan mengurangi persyaratan untuk menghutankan kembali wilayah-wilayah hutan yang telah gundul.

Politik-ekonomi

Terkait dengan itu, Koordinator Kebijakan Publik Greenpeace di Brasilia, Rabu (4/11), mengatakan, kabar baik tentang menurunnya tingkat deforestasi tiga tahun terakhir ini tampaknya tak akan bertahan lama,
seiring dengan meningkatnya harga agrokomoditas, seperti kedelai dan daging sapi, yang membuat lesunya ekonomi dalam negeri.

”Deforestasi di Amazon berkelindan dengan siklus ekonomi. Kalau pertumbuhan turun, kegiatan deforestasi juga menurun, pun sebaliknya,” ujar Sergio Leitao, Direktur Kampanye Greenpeace, di Sao Paulo, Selasa (3/11).

Situasi itu digunakan Kongres Brasil yang dipengaruhi oleh sektor agrobisnis dan agroenergi untuk mencuri kesempatan mengubah peraturan dalam Forest Code.

Proposal yang diusulkan itu menambah persentase penggundulan dari 20 persen menjadi 50 persen di properti hutan yang menjadi otoritas petani di Amazon dan mengizinkan Legal Reserve—yakni kawasan yang menurut hukum boleh digunakan untuk kegiatan ekonomi, tetapi spesies lokalnya harus dilindungi—ditanami spesies asing, seperti pohon sawit untuk produksi bahan bakar dan eucalyptus untuk industri bubur kertas (pulp) dan arang.

Wilayah yang sudah kehilangan hampir 18 persen kawasan hutannya karena penebangan dan kebakaran hutan 40 tahun terakhir—lebih besar dari luas Perancis—mengalami kerusakan karena pembalakan dan kegiatan yang bersifat saling memangsa.

”Perubahan yang sedang didiskusikan kongres akan melegalisasi deforestasi 36 persen di tangan sektor swasta,” ujar Nilo.

Situasi itu berpotensi mendorong migrasi lebih besar, perampasan tanah, dan konflik hak-hak atas tanah di Amazon. Jutaan hektar hutan akan dilegalkan untuk ditebang dan dibakar demi kepentingan-kepentingan jangka pendek.

Forest Code 1965

Forest Code yang merupakan produk hukum tahun 1965 telah mengalami amandemen beberapa kali terkait perubahan arah politik-ekonomi di negeri itu. Forest Code mengatur wilayah yang membutuhkan perlindungan penuh (Permanent Protected Areas) di hutan publik maupun swasta untuk melindungi kawasan penyimpan air.

Wilayah yang tersisa boleh digunakan untuk kepentingan ekonomi, termasuk penebangan selektif, tetapi tak boleh dibabat bersih dan diubah tata guna lahannya (land clearing). Izin dari pemerintah dibutuhkan untuk penebangan selektif maupun land clearing di lahan milik swasta. Sampai tahun 1996, regulasi itu menetapkan bahwa Legal Reserve di Amazon sedikitnya meliputi 50 persen dari seluruh properti di pedalaman.

Setelah deforestasi di Amazon mencapai puncaknya tahun 1996, Presiden Hernando Cardoso menambah amandemen Forest Code dengan dekrit yang meningkatkan Legal Reserve sampai 80 persen. Dekrit MP 2166 itu merupakan ketetapan yang seharusnya didukung kongres agar menjadi definitif dan terintegrasi penuh dalam Forest Code.

”Namun, itu tak pernah terjadi,” ungkap Nilo. ”Perlindungan Amazon dan ekosistem lain di Brasil terus dilanggar.”

Hal itu disebabkan insentif pemerintah tidak kompatibel dengan Forest Code dan reforma lahan. Kesulitan lain adalah implementasi hak atas tanah karena banyaknya pendudukan tanah oleh pendatang dan kemungkinan pengambilalihan sehingga pemilik lahan memilih mengabaikan Forest Code.

Forest Code terus menghadapi tantangan dari sektor agribisnis yang punya lobi kuat di parlemen. ”Tahun 2001 muncul versi baru Dekrit MP 2166 yang merekonfirmasi Legal Reserve 80 persen di hutan-hutan Amazon dan 20 persen di ekosistem hutan lainnya di Brasil,” sambung Nilo.

Untuk mengakomodasi kebutuhan lobi pedesaan, MP 2166 mendefinisikan Legal Reserve di sabana-sabana (padang rumput tanpa pohon yang sangat luas) di Amazon boleh 35 persen (sebelumnya 50 persen sampai tahun 1996). Sabana terluas terdapat di Mato Grosso, meliputi sekitar 50 persen wilayah itu. Mato Grosso merupakan penghasil kedelai dan produk daging sapi terbesar di Brasil.

”Praktik peternakan sangat tidak produktif,” ujar Penasihat Senior The Nature Conservacy Bidang Kebijakan Konservasi di Kawasan Amerika Selatan Fernanda Viana de Carvalho. ”Di Negara Bagian Para rata-rata 0,9 kawanan ternak per hektar, rata-rata nasional 1,6.”

Sampai hari Rabu (4/11), kongres membatalkan pembahasan usulan perubahan Forest Code itu. ”Untuk sementara, kita merasa lega,” ujar Nilo.

Namun, Mario Manthovani dari SOS Atlantic Forest mengingatkan kemungkinan pembalasan dari kelompok yang menghendaki perubahan Forest Code. ”Di sini, orang bisa dibunuh karena persoalan ini. Pengusiran suku asli dari hutan mereka juga selalu menggunakan kekerasan,” ujar Mario.

Konflik kepentingan

”Pandangan menteri lingkungan tak bisa sejalan dengan menteri-menteri pembangunan (ekonomi),” ujar Osvaldo Stella Martins, Koordinator Peneliti dari Amazon Environmental Research Institute (IPAM), di Brasilia, Kamis (5/11).

Data resmi Lembaga Penelitian Ruang (INPE) pun bisa digunakan secara berbeda. ”Datanya sangat ilmiah, tetapi kebijakan yang dihasilkan bergantung pada kepentingan politik masing-masing,” ujar Jean Pierre Ometto, peneliti INPE.

Tajamnya konflik kepentingan di antara lembaga-lembaga memperlihatkan terkotak-kotaknya pemahaman tentang masalah hutan dan lingkungan. Hal itu terlihat jelas saat berbincang dengan para pejabat bidang komunikasi Departemen Pertanian, Edit Silva; dari Kementerian Pertambangan dan Energi, Fernando Henrique C Teixertrense; dan dari Kementerian Lingkungan, Ronie Lima.

Edit tidak menyangkal bahwa sektor pertanian (dan peternakan) sebagai penyumbang terbesar deforestasi. Akan tetapi, lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan pangan adalah soal serius dan rumit karena tekanan kependudukan. ”Sekitar 25 juta orang hidup dari hutan. Bagaimana mereka harus hidup,” tanya Edit.

”Memang kebutuhan pangan penting,” tukas Ronie. ”Namun, selama pola konsumsi dan produksi tak berubah, semua upaya menahan laju emisi karbon dioksida (CO) dengan mengurangi deforestasi sampai 80 persen tak ada artinya.”

Fernando mengungkapkan, kebutuhan lahan untuk perkebunan tebu, bahan dasar produksi etanol untuk energi bersih. Namun, disadari, hal itu akan berkonflik dengan kebutuhan lahan untuk pangan manusia dan ternak. ”Namun, dengan teknologi baru, produksi tebu bisa efektif di lahan kecil,” ujar Fernando.

Marina vs Dilma

Persoalan lingkungan tampaknya akan menajam dalam pemilu tahun 2010. Menteri Lingkungan Marina Osmarina da Silva yang mundur dari Partai Buruh akan menjadi calon presiden dari Partai Hijau.

Sementara itu, Presiden Luiz Inácio ”Lula” da Silva yang memenangi dua kali pemilu—menurut konstitusi, tak boleh ikut pemilu lagi—memilih Dilma Rousseff, Head of Staff lembaga kepresidenan, sebagai calon penggantinya dari Partai Buruh.

”Dilma bertanggung jawab atas revolusi pembangunan dengan konsep primitif,” ujar Osvaldo. ”Masalah lingkungan selalu ia pandang dalam perspektif ekonomi,” sambung Cláudio Angelo, editor sains harian terbesar di Sao Paulo, Folha de São Paulo.

Namun, perseteruan dua perempuan itu tampaknya tak akan lama. Menurut Gabriela Goes, mahasiswa tingkat akhir Jurusan Politik Universitas Brasilia,

Marina yang didukung kelompok lingkungan dan Dilma yang didukung partai-partai beraliran kiri tengah akan berkoalisi menghadapi lawan yang tangguh, José Serra, yang didukung partai-partai beraliran kanan tengah.

(MARIA HARTININGSIH)

Jumat, 20 November 2009 | 04:50 WIB

Di Rimba Beton Amazon


”Katanya mau ke Amazon?” Pertanyaan itu akhirnya dilontarkan di Belem pada hari terakhir tugas kami (Jumat, 6/11) setelah berdiskusi dengan 17 narasumber di tempat-tempat terpisah di Sao Paulo, Brasilia, dan Belem di Brasil, untuk mengetahui lebih jauh masalah deforestasi di Amazon dalam kaitannya dengan perubahan iklim.

Kami bahkan sudah siap dengan perlengkapan untuk masuk ke kelebatan hutan hujan tropis terbesar di dunia itu, sesuai dengan penjelasan pejabat bidang komunikasi dan media Kedutaan Besar Inggris di Jakarta sebagai pihak pengundang.

”Anda sedang berada di tengah hutan Amazon,” tukas Bruno Cabral (30) di tengah kekecewaan. Bruno masih kuliah di jurusan hukum universitas swasta di Belem dan penerjemah Portugis-Inggris paruh waktu.

Obrolan yang terpotong-potong itu—karena harus menemui berbagai narasumber yang sudah ditentukan—justru memberikan gambaran yang mengaitkan antara deforestasi di Amazon dengan pengalaman subyektif Bruno sebagai warga Belem.

”Daerah ini,” ia menunjuk wilayah jalan utama di Belem yang sedang kami lewati dalam perjalanan ke lembaga riset Imazon, ”sekitar 20 tahun lalu adalah sungai dengan hutan bakau yang tebal. Saya sering memancing ikan di situ.”

Sebagai warga, Bruno pun takjub melihat perubahan yang begitu cepat di Belem. ”Inilah Amazon, lengkap dengan McDonald’s-nya,” ujar Bruno, terdengar sarkastis, ketika menyebut restoran cepat saji asal Amerika Serikat yang menu utamanya burger daging sapi itu.

Secara sepintas, Bruno menceritakan tentang empat keluarga tuan tanah yang berpengaruh besar pada perkembangan ekonomi dan politik di Belem, termasuk pengembangan kota yang rakus dan tidak terencana.

”Hutan yang paling dekat kota sudah rusak. Yang di seberang sungai hutannya masih jauh lebih bagus,” Bruno menunjuk hutan lebat di seberang Sungai Para, salah satu cabang Sungai Amazon, dari 8-The Heron Mangrove.

Kota Belem yang berdiri tahun 1616 adalah koloni bangsa Eropa pertama di Amazon. Ibu kota Negara Bagian Para—gerbang Amazon—itu kini berpenduduk sekitar 2,09 juta orang. Belem berada di tepi muara Amazon, di bagian utara Brasil, terletak sekitar 100 kilometer di hulu Laut Atlantik.

Gambar besar

Sekilas kisah Bruno memperlihatkan gambaran besar deforestasi di Amazon, yang tampaknya senantiasa terkait dengan politik kekuasaan. Belem hanya salah satu dalam sejarah kota di Brasil yang dibangun dengan cara ”memakan” hutan.

”Sebelum dibangun sekitar 50 tahun lalu, kota Brasilia adalah bagian dari hutan Amazon,” ujar Arnaldo Carneiro Filho, peneliti pada Socio-Environmental Institute (ISA), di Brasilia, Rabu (4/11) siang.

Kata Arnaldo, antara tahun 1945 dan tahun 2000, hutan di Amazon telah memberikan ”bagian-bagian tubuhnya” bagi pembangunan ratusan kota di Brasil. Jalan besar dan kecil sepanjang 300.000 kilometer yang menerabas Amazon mulai dibangun sejak akhir tahun 1960-an.

”Brasil adalah juara utama deforestasi di Amerika Latin. Selain Amazon, hutan Atlantik di Brasil pun hanya tersisa 5-6 persen,” ujar Arnaldo. ”Padahal, 60 persen penduduk bermukim di kawasan itu,” sambung Mario Manthovani dari organisasi nonpemerintah, SOS Atlantic Forest, di gedung parlemen di Brasilia, Rabu (4/11) pagi.

Selama 15 tahun terakhir, Mario dan kawan-kawannya bekerja menyelamatkan sisa hutan yang merupakan pemasok air bersih dan sumber keragaman hayati.

Hutan Atlantik atau Mata Atlaantica membujur di sepanjang pantai Atlantik Brasil dari Rio Grande utara ke selatan terus sampai ke bagian timur Uruguay dan Provinsi Misiones di timur laut Argentina.

Adapun luas seluruh hutan Amazon mencakup Brasil, Peru, Bolivia, Kolombia, Ekuador, Guyana, Suriname, dan Venezuela. Luasnya sekitar 6,7 juta kilometer persegi, hampir dua kali luas Uni Eropa, dengan 60-65 persennya berada di Brasil. Menurut Kiko Brito dari Greenpeace di Sao Paulo, luas Amazon di Brasil sekitar 72 persen dari 8,51 juta kilometer persegi luas negeri itu.

Hutan Amazon sangat penting dalam ekosistem dunia karena sepertiga dari seluruh spesies di dunia terdapat di hutan rimba Amazon. Berbagai obat kanker berasal dari spesies tumbuhan yang hanya terdapat di Amazon.

Hutan hujan tropis terbesar di dunia itu menghasilkan 15-20 persen air bersih dunia, berasal dari Sungai Amazon yang panjangnya sekitar 6.400 kilometer, terbesar kedua di dunia, meliuk dari Pegunungan Andes terus turun sampai ke Samudra Atlantik.

Sejarah kerusakan

”Peternakan, pertanian, khususnya kedelai, dan pembalakan adalah ancaman terbesar di Amazon di samping kegiatan pertambangan,” ujar Dr Jean Pierre Ometto, peneliti pada Lembaga Nasional Penelitian Ruang (INPE). ”Sekitar 70 persen wilayah hutan yang gundul berwujud padang rumput peternakan sapi.”

Brasil adalah pengekspor produk daging sapi (termasuk produk susu dan kulit) terbesar di dunia, khususnya setelah kasus penyakit sapi gila di negara maju. Begitu dikemukakan Kiko Bruno dari Greenpeace, Sao Paulo. Empat korporasi besar dalam negeri, JBS, Bertin, Marfrig, dan Minerva, menguasai 70 persen pangsa pasar produk daging dunia.

”Antara tahun 1990 dan 2003, pertumbuhan produksi daging meningkat 7 persen setahun. Itu sangat tinggi,” ujar Paulo Bareto, peneliti senior dari Imazon.

Hutan yang dihancurkan sejak tahun 1970-an berjumlah 700.000-750.000 kilometer persegi. ”Tekanan terhadap Amazon juga berasal dari pembangunan dam untuk pusat listrik tenaga air yang merupakan 90 persen sumber listrik Brasil. Jumlahnya sekitar 205, termasuk yang masih rencana,” papar Arnaldo.

Menurut Jean Pierre, persoalan terbesar adalah soal kepemilikan lahan. Ini juga terkait dengan spekulasi lahan yang, menurut Penasihat Senior TNC Bidang Kebijakan Konservasi di Kawasan Amerika Selatan Fernanda Viana de Carvalho, nilainya mencapai 1,3 miliar reis per tahun atau sekitar 450 juta dollar AS. Hutan yang masih bagus pun, seperti di Xingu, terancam segala bentuk kegiatan eksploitatif.

Mario menambahkan, sekitar 70 persen lahan hutan dikuasai orang-orang yang punya ”hak istimewa” meskipun secara teori itu adalah hutan publik. Sedangkan menurut Paulo, 50-80 persen properti di hutan dikuasai swasta.

”Sekitar 94 persen deforestasi adalah ilegal dan menginvasi hutan suku asli yang luasnya hanya sekitar 6 persen,” sambung Arnaldo, yang bersama ISA melakukan pemantauan demi hak-hak suku asli yang populasinya tinggal sekitar 700.000.

Penggundulan hutan di Amazon punya sejarah panjang, dimulai tahun 1940-an ketika Presiden Getúlio Vargas meluncurkan program nasional pembangunan di lembah Sungai Amazon.

”Sebagian besar deforestasi terjadi pada akhir tahun 1960-an ketika pemerintah militer Brasil mulai melakukan pembangunan besar-besaran, termasuk pembangunan kota, dam, dan trans- Amazon, serta mengembangkan agribisnis karena mulai awal tahun 1970-an itu Brasil mulai mendekat ke Amerika,” ungkap Arnaldo.

Pembangunan membutuhkan banyak tenaga kerja. Migrasi besar-besaran dari berbagai wilayah meruyak. Pembangunan trans- Amazon telah membuka kesempatan lebih besar bagi perambah untuk merangsek ke bagian hutan yang makin dalam.

Konflik perebutan lahan memanas, khususnya oleh kaum migran dari selatan. Mereka adalah pemodal, yang punya akses ke lembaga-lembaga keuangan, untuk mengembangkan agribisnis.

”Mereka adalah agen penting dalam perubahan tata guna lahan di wilayah selatan Brasil, khususnya di Mato Grosso,” ungkap Arnaldo.

Para petani besar itu merespons pasar komoditas dunia yang secara politik didorong menjadi infrastruktur baru pembangunan. Mereka difasilitasi untuk melakukan perluasan kegiatan pertanian (dan peternakan) serta deforestasi sampai saat ini.

”Mulai tahun 1969, rezim militer membuka hutan Amazon di Manaus untuk asembling produk-produk korporasi transnasional, seperti Honda, CD, dan lain-lain,” sambung Arnaldo. Kegiatan ekonomi di Manaus memberi sumbangan terbesar kelima pada produk domestik bruto (PDB) Brasil.

Dalam ”The Roles and Movements of Actors in the Deforestation of Brazilian Amazonia” pada jurnal Ecology and Society Vol 13 (Juni 2008), Dr Philip M Fearnside dari National Institute for Research in the Amazon (INPA) mengungkapkan sembilan aktor deforestasi terkait bagaimana mereka membalak hutan, di mana wilayah kegiatannya, dan bagaimana interaksi satu sama lain.

Para aktor itu mencakup dari yang paling miskin (migran tanpa lahan dan migrasi yang disponsori negara) sampai yang kaya (petani dan peternak bermodal besar), mulai dari kelompok oportunis (pemodal besar penambang emas) hingga mereka yang tanpa harapan (penyerobot tanah), dari kapitalis pasar bebas (pedagang lintas batas narkotika dan obat terlarang, para operator penggergajian kayu dan pembalak) sampai mereka yang hanya punya sedikit alternatif hidup (para budak utang).

Kelompok-kelompok itu adalah produk dari migrasi yang, menurut Fearnside, ”melibatkan tak hanya pergerakan manusia, tetapi juga pergerakan investasi.”

Jumat, 20 November 2009 | 04:53 WIB

Oleh Maria Hartiningsih

KONSERVASI: Brasil, Pelopor Pemantauan Deforestasi

”Deforestasi di Amazon adalah urusan orang Brasil. Rakyat tak boleh membiarkan pemerintah minta uang dari luar negeri, apalagi utang, untuk perlindungan dan konservasi hutan.”

Pernyataan keras itu datang dari Sérgio Leitão, Direktur Kebijakan Politik Greenpeace, di Sao Paulo, Selasa (3/11), tentang mekanisme pendanaan di dalam negeri, khususnya Amazon Fund, sebagai upaya mengurangi deforestasi.

Amazon Fund, prakarsa Pemerintah Brasil untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan, merupakan alternatif Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Begitu dinyatakan Sergio Wergellin, Kepala Divisi Lingkungan Bank Nasional untuk Ekonomi dan Pembangunan Sosial Brasil (BNDES), di Sao Paulo, Selasa (3/11) petang.

Sasaran utama Amazon Fund adalah penggalangan dana untuk proyek-proyek melawan deforestasi dan mendorong konservasi serta penggunaan yang berkelanjutan dari ekosistem Amazon. ”Sekitar 20 persen dari Amazon Fund digunakan untuk mendukung pengembangan dari pengawasan hutan dan sistem pemantauan di ekosistem Brasil lainnya serta di hutan-hutan tropis di negara lain,” ujar Sergio.

Diyakini, hutan tropis di dunia diperkirakan mampu menyerap sekitar 100 miliar ton karbon, setara dua kali jumlah karbon di atmosfer. Pengurangan deforestasi karena konservasi dan pengelolaan hutan berkelanjutan diyakini membawa manfaat klimatik.

Namun, laju deforestasi tampaknya harus diimbangi dengan penurunan emisi di sektor lain. Inter Press Service (13/11) melaporkan, antara 1994 dan 2007, emisi karbon dioksida (CO) di Brasil meningkat 40 persen, berasal dari kenaikan emisi di sektor industri sebesar 56 persen dan energi 54 persen.

”Kita seharusnya punya target penurunan emisi, tetapi dasarnya harus konkret. Harus ada transformasi di sektor ekonomi, perubahan pola konsumsi dan produksi, serta riset mendalam untuk masalah lapangan kerja,” ujar Paulo Barreto dari Imazon, Belem.

Tak sepi kritik

Usulan Amazon Fund pertama kali dipaparkan dalam Konferensi Para Pihak Ke-12 (COP-12) Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim di Nairobi dan diumumkan dalam COP-13 di Bali.

Amazon Fund merupakan dana privat, dikelola BNDES yang memiliki divisi lingkungan dan menjadi anggota Prakarsa Finansial (FI)—Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP).

Pemerintah Norwegia telah memberikan dukungan dengan sumbangan satu miliar dollar AS dalam tujuh tahun (sampai tahun 2015). ”Bulan April sudah dicairkan 120 juta dollar,” ujar Sergio. Selain itu, Greenpeace, menurut Sérgio Leitão, juga menyumbang 500.000 dollar AS. Target sumbangan diharapkan mencapai 20 miliar dollar AS tahun 2020.

Namun, Amazon Fund tak sepi kritik. ”Amazon Fund tak mampu menyelesaikan semua masalah di Amazon,” ujar Sérgio Leitão. Deforestasi tak hanya menyangkut soal teknis konservasi, tetapi juga mencakup persoalan ekonomi, sosial, dan politik.

Penurunan laju deforestasi di Brasil terkait dengan tiga hal penting, antara lain, larangan menjual produk pertanian (dan peternakan) yang berasal dari kawasan deforestasi di Amazon.

Menurut Kiko Bruno, Greenpeace melakukan advokasi pada masyarakat, korporasi pengguna produk kedelai dan daging (juga produk susu dan kulit sapi), produsen, dan pemerintah sejak tahun 2002. Advokasi itu memberi tekanan pada pasar global untuk menolak produk-produk yang berasal dari deforestasi ilegal di hutan hujan.

Dua hal lain yang menyumbang pada penurunan deforestasi adalah larangan pemberian pinjaman bagi produsen yang melanggar hukum lingkungan dan tindakan keras pemerintah terhadap praktik-praktik deforestasi di 43 kotamadya.

Osvaldo Stella Martins dari Amazon Environmental Research Institute (IPAM) juga merasa kecewa. ”Kami mengajukan proposal, tetapi tampaknya para analisnya lebih tahu pasar modal dibandingkan soal lingkungan. Tak ada transparansi.”

Proposal itu menyangkut peningkatan produktivitas dari 270 lahan kecil (di bawah 200 hektar) yang melibatkan sekitar 300.000 orang. ”Menteri Lingkungan Carlos Minc mengumumkan, proposal IPAM disetujui, tetapi kami tidak diberi tahu. Kabarnya, ada dua proposal disetujui dan akan diumumkan dalam COP-15 Kopenhagen,” ujarnya.

IPAM banyak dikritik karena menerima uang untuk proyek-proyek deforestasi dari korporasi yang dikenal sebagai ”juara pencemar”. Misalnya kelompok Hotel Marriott untuk proyek di Surui dan Proyek Juma yang melibatkan Coca-Cola.

Pionir pemantauan

Brasil adalah satu-satunya negara yang melakukan pemantauan deforestasi secara mendetail berbasis bulanan. ”Brasil adalah pionir dalam pemantauan deforestasi. Datanya menjadi dasar bagi banyak organisasi untuk riset-riset lebih mendalam,” ujar Paulo.

Badan yang berperan penting dalam pemantauan (dan modelling) adalah Lembaga Nasional Penelitian Ruang (INPE), berdiri tahun 1971, di bawah koordinasi Kementerian Sains dan Teknologi.

”Kegiatan ini penting untuk mengetahui berapa banyak perubahan tata guna lahan yang sedang terjadi, di mana, penyebabnya, apa dampak kebijakan publik, dan perkiraan masa depan,” ujar Jean-Pierre bOmetto, peneliti di INPE.

INPE mengembangkan aplikasi pemantauan untuk mendeteksi deforestasi dengan tingkat ketepatan yang tinggi, real time deforestation monitoring system (DETER).Gambar dari satelit dengan resolusi tinggi sangat dibutuhkan untuk memperkirakan total area deforestasi dan mengidentifikasi pembabatan bersih di lahan-lahan kecil (di bawah 100 hektar).

”Kondisi iklim regional banyak bergantung pada apa yang terjadi di Amazon,” sambung Jean-Pierre. Ia menambahkan, INPE mulai mengembangkan program-program prioritas pada tahun 1980-an, khususnya China-Brazil Earth Resources Satellite Program (CBERS), Amazon Research Program (AMZ), dan Center for Weather Forecast and Climatic Studies (CPTEC).

”Lembaga ini mencoba menjadi jembatan antara sains dan pemerintah dalam pembuatan kebijakan,” ujar Carlos Nobre, Direktur CPTEC-INPE.

Ia mengatakan, mekanisme Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sangat membutuhkan data akurat, membutuhkan sistem seperti yang dikembangkan INPE. ”Identifikasi butuh sistem, supaya tahu persis, misalnya berapa kandungan karbon dalam lahan gambut,” sambung Carlos.

Data INPE sangat penting bagi IBAMA, Lembaga Pemerintah untuk Masalah Lingkungan dan Sumber Daya Alam Terbarukan, yang tahun ini berusia 20 tahun. IBAMA mengurus semua hal terkait dengan hutan, termasuk menangkap para kriminal hutan dan lingkungan.

”Tidak ada pengampunan bagi mereka,” ujar Pedro Ferraz Cruz, analis lingkungan IBAMA.

Dengan dana lebih dari 20 juta reis atau sekitar 6,5 juta dollar AS dan anggaran 900 juta reis per tahun untuk semua kegiatannya, IBAMA cukup efektif.

Pada tahun 2007, IBAMA memenangi kasus pertama di pengadilan untuk menghentikan ekspor kayu mahoni. IBAMA berperan dalam menghentikan pabrik proses kedelai oleh Cargill, korporasi multinasional bidang benih asal Amerika Serikat.

IBAMA menangkap pembalak dan menghentikan rencana pembangunan pusat listrik tenaga air di kawasan sensitif. Karena itu, banyak upaya dilakukan untuk melemahkan IBAMA. ”Ancaman tak pernah berhenti,” kata Pedro.

Melengkapi semua kegiatan itu, dibentuk Forestry Service yang bertanggung jawab atas Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dan Registrasi Nasional Hutan Publik (CNFP) untuk kepentingan Konsesi Kehutanan.

”Sampai Juli 2009, sekitar 211 juta hektar hutan diregistrasi, 93 persennya di Amazon” ujar Marco Conde.

Hanya hutan publik yang diseleksi dalam Perencanaan Tahunan Konsesi Hutan, dapat ditawarkan dalam konsesi.

Persyaratan mendapatkan kontrak penggunaan selama lima sampai 40 tahun sangat ketat, khususnya tahu prosedur Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Konsesi ini tak memberikan hak kepemilikan, menambang, penggunaan sumber air, perdagangan ikan dan satwa liar, atau perdagangan karbon.

Undang-undang tahun 2006 menguatkan kompetensi Forest Service dalam menciptakan dan bertanggung jawab atas Sistem Informasi Hutan Nasional (SNIF) untuk mengumpulkan, menghasilkan, mengorganisasikan, menyimpan, memproses dan menyebarkan data, informasi, serta pengetahuan tentang hutan dan kehutanan.

Semua itu penting untuk ”mendamaikan” penggunaan hutan dan konservasi, begitu dinyatakan Johan C Zweede, Direktur Eksekutif Institut Hutan Tropis yang melatih prosedur Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. (MH)

Jumat, 20 November 2009 | 04:51 WIB

Wednesday, November 18, 2009

Pembangunan Broadband Harus Merata

Jakarta - Ketersediaan infrastruktur jaringan telekomunikasi broadband antara wilayah barat dan kawasan timur Indonesia dinilai masih belum merata.

Padahal, menurut Menkominfo Tifatul Sembiring, pembangunan infrastruktur merupakan langkah penting untuk meningkatkan persentase penggunaan telekomunikasi (teledensitas).

Dilihat dari data yang dirilis Depkominfo, teledensitas Indonesia masih terbilang rendah. Penetrasi telepon kabel PSTN   baru 3,78%, fixed wireless access (FWA) 7,7, seluler  60,18%, dan Internet masih 13,34%.

"Itu sebabnya kami terus mendorong pembangunan infrastruktur telekomunikasi di wilayah timur agar bisa seimbang dengan ketersediaan infrastruktur di wilayah barat seperti Pulau Jawa dan Sumatra," ujarnya usai peresmian SKKL Jakabare dan Satelit Palapa D di kantor pusat Indosat, Jakarta, Selasa (17/11/2009).

Langkah para operator yang mau membangun infrastruktur broadband di kawasan timur dinilai sejalan dengan program pemerintah dalam meningkatkan teledensitas melalui peningkatan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi.

Operator yang akan lebih dulu memulai pembangunan backbone di kawasan timur Indonesia adalah Telkom melalui pembangunan tahap pertama Palapa Ring dengan nama Mataram-Kupang Cable System. Pembangunan yang menelan biaya Rp 500 miliar ini mencakup rute Mataram-Kupang, Manado-Sorong, dan Fakfak-Makassar sepanjang 1.041 kilometer.

Sedangkan Indosat baru saja mengoperasikan Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Jakabare yang akan menghubungkan Indonesia dengan Singapura dan Satelit Palapa D. Jakabare merupakan jaringan kabel laut sepanjang lebih dari 1.300 kilometer, meliputi pulau Jawa, Kalimantan, Batam, dan Singapura.

Sementara Satelit Palapa-D yang diluncurkan dari Xichang, China pada 31 Agustus lalu sudah diserahterimakan oleh kontraktor pada Indosat 28 Oktober lalu. Satelit Palapa-D  menelan investasi sebesar US$ 220 juta dan diperkirakan akan break event point alias impas setelah tujuh tahun mengangkasa.

Tifatul berharap, pembangunan infrastruktur tak hanya melalui jalur Singapura dan Malaysia saja. Ia meminta operator juga akan mulai membuka jalur internasional melalui Hong Kong.
( rou / faw ) 

Selasa, 17 November 2009
Source:http://www.detikinet.com/read/2009/11/17/181800/1243591/328/pembangunan-broadband-harus-merata

Rp 500 Miliar untuk Kick Off Palapa Ring


Jakarta - Pembangunan kabel serat optik bawah laut sepanjang 1.041 kilometer di rute Mataram-Kupang, Manado-Sorong, dan Fakfak-Makassar, yang menjadi tahap pertama kick off Palapa Ring, memakan investasi Rp 500 miliar.

Investasi itu digelontorkan Telkom melalui proyek yang dinamakan Mataram-Kupang Cable System. Untuk pembangunannya yang akan dimulai pada 30 November 2009 mendatang, Telkom telah menunjuk vendor penyedia jaringan Huawei Marine.

"Kami menginvestasikan dana Rp 500 miliar untuk membangun backbone tersebut. Penyedia jaringan yang ditunjuk adalah Huawei Marine," ungkap Chief Operating Officer Telkom, Ermady Dahlan, di Jakarta, Rabu (18/11/2009).

Upaya Telkom memperkuat backbone tak lain didorong oleh transformasi bisnis layanan yang dikembangkan perusahaan. Bila pada masa lalu layanan Telkom lebih banyak berbasis suara, maka dewasa ini telah berubah menjadi Telecommunication, Information, Media dan Edutainment (TIME).

Oleh Telkom, perubahan itu disebut New Wave. "Wilayah timur Indonesia tentu juga ingin menikmati juga New Wave ini," tukas Ermady.

New Wave yang dimaksud adalah lini bisnis di luar telekomunikasi dasar berbasis seluler atau kabel. Bisnis ini identik dengan penggunaan internet dan solusi teknologi informasi.

Pada 2008 lalu, bisnis New Wave Telkom tumbuh 51%. Sedangkan sumbangan terhadap total revenue meningkat menjadi 8,9% pada kuartal ketiga 2009 dibandingkan pada periode sama 2008 yang hanya 6,3 %.
( rou / rou ) 

rabu, 18/11/2009
source:http://www.detikinet.com/read/2009/11/18/025840/1243705/328/rp-500-miliar-untuk-kick-off

Konsorsium Wimax Boleh Molor Sampai 2010

Jakarta - Dari enam perusahaan yang terancam dicabut izinnya untuk Wimax, ada dua yang ternyata bisa mengulur waktu pemenuhan kewajiban hingga Januari 2010.

Dua perusahaan tersebut adalah Konsorsium Wimax Indonesia (kini PT Wireless Telecom Universal), serta Konsorsium PT Comtronics Systems dan PT Adiwarta Perdania.

"Hanya dua konsorsium ini yang boleh mengulur waktu pembayaran hingga 26 Januari 2010. Lainnya tidak," jelas Kepala Pusat Informasi Depkominfo Gatot S Dewa Broto, kepada detikINET, Rabu (18/11/2009).

Sebelumnya diberitakan ada enam perusahaan yang terancam dicabut izin prinsip Wimax yang dimenanginya lewat tender broadband wireless access (BWA) di pita frekuensi 2,3 GHz.

Keenam perusahaan itu dinilai telah melewati batas akhir pembayaran up front fee dan biaya hak penyelenggaraan (BHP) frekuensi tahun pertamanya yang jatuh tempo 17 November 2009.

Gatot pun kemudian mengklarifikasikan pernyataan sebelumnya. "Dua konsorsium ini bisa molor sampai 2010 karena mereka harus terlebih dulu mengurus badan hukum di Departemen Hukum dan HAM."

Namun ia tetap menegaskan, bahwa ancaman pencabutan izin tetap akan berlaku jika komitmen pembayaran belum juga dipenuhi sampai batas waktu yang telah disepakati bersama.
( rou / rou ) 

RABU, 18/11/2009
SOURCE:http://www.detikinet.com/read/2009/11/18/095513/1243803/328/konsorsium-wimax-boleh-molor-sampai-2010

WiMax dan LTE Tidak Akan Gusur 3G

Jakarta - Implementasi teknologi berbasis WiMax dan Long Term Evolution (LTE) belakangan menjadi buah bibir penggiat industri telekomunikasi dunia dan Tanah Air. Pun demikian, kehadiran kedua teknologi baru tersebut tetap diyakini tidak akan menggusur eksistensi 3G.

Menurut John Stefanac, Presiden Qualcomm Asia Tenggara dan Pasifik, ekosistem yang telah dibuat teknologi 3G sudah sangat mapan. Hal itu salah satunya mengacu pada jumlah pengguna 3G yang telah menembus angka 885 juta pelanggan di seluruh dunia.

"Artinya, volume pengguna berperan besar di sini, yang selanjutnya akan mengarah pada harga (yang akan terus turun)," tukasnya dalam temu media di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis (12/11/2009).

Kemudian jika dilihat dari sisi pemain, lanjut John, sederet operator telekomunikasi di dunia juga sudah mendukung 3G. Sementara untuk WiMax dan LTE masih sebatas uji coba.

"Diperlukan pengalaman dan pengetahuan di situ, sedangkan konsumen hanya ingin tahu mendapat layanan yang baik," tukasnya.

Memang di atas kertas, WiMax dan LTE menjanjikan transfer data yang jauh lebih cepat ketimbang 3G. Jika 3G hanya mampu bermain di angka 3,6 Mbps, maka LTE bisa sampai 100 Mbps.

Kendati begitu, lanjut John, hal itu juga harus dilihat dari kaca mata investasi. Berapa dana yang harus dikucurkan untuk membangun jaringan baru dan menyediakan perangkat baru?. Hal itu juga harus ditunjang dari segi perangkat yang nantinya dipegang konsumen.

Tak ayal, bagi beberapa operator -- termasuk di Indonesia yang diwakili oleh Telkomsel dan Indosat-- pilihan menapak lebih dulu di tangga HSPA+ dianggap menjadi pilihan yang lebih bijak. Teknologi ini sudah memasuki HSPA+ rilis 7 yang mampu mendistribusikan data dengan kecepatan 21 Mbps, sedangkan untuk yang versi rilis 8 bisa sampai dua kali lebih cepat.

Namun yang pasti, ditegaskan John, WiMax ataupun LTE hanya akan jadi pelengkap 3G, bukan malah menggusurnya. "Lihat saja teknologi 2G yang sudah ada sejak beberapa tahun lalu, sampai saat ini masih ada kan?" pungkasnya. ( ash / faw ) 

Kamis, 12/11/2009 17:01 WIB ; SOURCE:http://www.detikinet.com/read/2009/11/12/155806/1240649/328/-wimax-dan-lte-tidak-akan-gusur-3g-

5 Ponsel Pintar Terbaik Dunia

Jakarta - Ada banyak ponsel pintar di dunia saat ini yang punya kemampuan begitu hebat. Namun jika hanya lima saja yang dianggap layak masuk katagori terbaik, apa saja alasannya, dan mengapa?

Simak jawabannya dalam review yang disarikan dari Cnetberikut ini:

5. Samsung i8910 Omnia HD

Samsung, vendor ponsel asal Korsel ini belakangan giat membanjiri pasar dengan deretan ponsel kelas atas. Salah satu yang patut diperhitungkan jelas Omnia HD. Meski berukuran cukup besar, dengan berat 148 gram, ponsel ini tetap nyaman digenggam, bahkan terkesan elegan.

Aplikasi dan fitur yang ada memang bikin ngiler, di antaranya layar AMOLED besar dengan tampilan cemerlang. Kameranya 8 megapiksel dengan kemampuan video recording HD (high definition). Layar sentuh berbasis TouchWiz disebut-sebut sebagai yang terbaik dibanding milik ponsel Samsung lainnya. Masih kurang? Masih ada fitur Wi Fi, Bluetooth dan GPS.

4. HTC HD 2

HTC merilis HTC HD 2 atau kode namanya Leo, yang siap membuat vendor lainnya iri. Salah satu alasannya, layar touchscreen-nya yang berukuran 4,3 inch terbilang impresif. HTC HD 2 adalah ponsel berbasis Windows pertama yang ditautkan dengan interface HTC Sense yang sebelumnya menyambangi HTC Hero.

Ponsel ini juga dibekali prosesor dahsyat dari Qualcomm, yakni 1Ghz Snapdragon yang menjamin penggunaan aplikasi secepat kilat. Selain itu, masih ada fasilitas kamera 5 megapiksel, Bluetooth 2.1 dan jack headphone 3,5 mm.

3. BlackBerry Storm 2

Jika BlackBerry Storm edisi perdana boleh dibilang gagal meraih minat konsumen, tidak demikian halnya dengan Storm 2. Storm 2 tampil memuaskan dengan antarmuka touchscreenberbasis SurePress yang disempurnakan, sehingga lebih presisi dan nyaman saat digunakan.

Edisi ini juga sudah menyertakan Wi-Fi, memori yang lebih besar, serta sistem operasi yang lebih update. Dengan bodi yang terkesan premium, Storm 2 adalah pilihan yang bagus bagi penggemar BlackBerry.

2. Motorola Droid

Setelah cukup lama terpuruk, Motorola menghantam balik dengan Droid, sebuah handset high end berbasis sistem operasi terkini dari Google, yakni Android 2. Ponsel ini menjanjikanbrowsing web yang lebih cepat dan layanan dari Google (Mail, Apps, Search, Talk) nyaris tanpa cacat.

Bodinya cukup mewah dan solid, dibekali keyboard QWERTY sliding dengan tombol besar yang nyaman untuk mengetik. Layar sentuh WVGAnya terbilang besar dan berkualitas tinggi, memanjakan pengalaman mobile user. Tak hanya itu, kamera 5
megapikselnya tangguh untuk memotret.

1. iPhone 3GS

Singgasana iPhone sebagai rajanya ponsel tampaknya masih belum tergoyahkan. Meski sudah cukup lama beredar, handset andalan Apple ini masih laris manis bak kacang goreng.

Apa yang ditawarkan iPhone 3GS memang boleh dibilang belum ada tandingannya meski sudah banyak vendor coba menyaingi. Layar sentuh amat mumpuni, pemrosesan yang cepat serta utamanya, aplikasi melimpah ruah dari App Store, membuat handset ini masih terfavorit. ( fyk / rou ) 



Rabu, 18/11/2009 07:54 WIB , SOURCE:http://www.detikinet.com/read/2009/11/18/075423/1243745/317/5-ponsel-pintar-terbaik-dunia?topnews

Izin Wimax 6 Perusahaan Terancam Dicabut

Jakarta - Enam perusahaan pemenang tender broadband wireless access (BWA) di pita frekuensi 2,3 GHz terancam dicabut izin prinsipnya jika tak juga berhasil memenuhi kewajiban pembayarannya.

Kewajiban pembayaran yang dimaksud adalah pembayaran up front fee dan biaya hak penyelenggaraan (BHP) frekuensi layanan Wimax tahun pertama.

Namun hingga tenggat waktu pembayaran berakhir 17 November 2009, keenam perusahaan tersebut tak juga berhasil memenuhi kewajibannya selaku pemenang tender.

Perusahaan yang mangkir itu adalah PT Internux, PT First Media, PT Jasnita Telekomindo, PT Berca Hardayaperkasa, Konsorsium Wimax Indonesia, serta Konsorsium PT Comtronics Systems dan PT Adiwarta Perdania.

Kepala Pusat Informasi Depkominfo, Gatot S Dewa Broto, menyatakan pihaknya masih akan memberi toleransi pembayaran hingga tiga hari ke depan, Jumat 20 November 2009.

"Namun jika sampai Jumat nanti mereka tak juga memenuhi komitmennya, izin prinsip yang telah kami berikan pada mereka akan kami cabut kembali," tegasnya saat dihubungi detikINET, Rabu (18/11/2009).

Depkominfo sendiri punya rencana untuk menender ulang sisa zona dan paket wilayah di luar area yang dimenangkan Telkom dan Indosat Mega Media (IM2). Kedua perusahaan yang juga menang tender itu dinyatakan telah memenuhi komitmen pembayarannya tepat waktu.

"Kami di internal juga memikirkan opsi untuk mencabut dan menenderkan kembali hak mereka selaku pemenang tender jika enam perusahaan tersebut tak jua bisa membayar sampai Jumat minggu ini," tandas Gatot.

Catatan: Dari enam perusahaan yang terancam dicabut izinnya untuk Wimax, ada dua yang ternyata bisa mengulur waktu pemenuhan kewajiban hingga Januari 2010. Simak lengkapnya dalam artikel 'Konsorsium Wimax Boleh Molor Sampai 2010'. 
( rou / rou ) 

Rabu, 18/11/2009 09:55 WIB , SOURCE:http://www.detikinet.com/read/2009/11/18/023635/1243703/328/izin-wimax-6-perusahaan-terancam-dicabut

Tuesday, November 17, 2009

Hasil Pertemuan Kopenhagen Hanya 4 Kesepakatan Politik?

Konferensi perubahan iklim PBB yang akan diadakan di Kopenhagen, Denmark, Desember mendatang, kemungkinan tidak akan menghasilkan sebuah draft kesepakatan baru pengganti Protokol Kyoto.

Executive Secretary of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Yvo de Boer mengatakan, hasil yang paling memungkinkan adalah empat keputusan politik yang akan memberikan kejelasan, khususnya bagi dunia usaha.

Dalam wawancaranya dengan Environment & Energy Publishing (E&E), Yvo de Boer mengungkapkan, empat keputusan politik itu adalah pertama, berapa besar negara-negara industri akan menurunkan emisi gas rumah kacanya. Kedua, seberapa besar negara berkembang seperti China dan India akan membatasi pertumbuhan emisinya. Ketiga, bantuan seperti apa yang dibutuhkan negara berkembang untuk mengurangi emisi dan mengadaptasi pengaruh perubahan iklim dalam skala pendanaan. Dan keempat, bagaimana bantuan tersebut didistribusikan.

Yvo de Boer memandang, masih diperlukan adanya hal-hal yang disepakati di Kopenhagen, tetapi tidak mungkin hasil tersebut merupakan keputusan final dan mendetil tentang sebuah kesepakatan baru. Protokol Koyoto, yang berakhir masa komitmennya pada 2012 mendatang, berisi seperangkat peraturan mengenai target pengurangan emisi gas rumah kaca yang diratifikasi oleh 184 negara yang merupakan bagian dari konvensi iklim PBB. Pengecualian untuk Amerika Serikat yang hingga saat ini tidak meratifikasi kesepakatan tersebut.

Akan tetapi, Yvo de Boer mengapresiasi langkah Amerika Serikat yang kembali ke proses perundingan perubahan iklim dan turut mengikatkan diri di dalamnya. "Pelajaran besar yang saya dapatkan dari era Protokol Kyoto adalah pentingnya peran delegasi pemerintah yang mewakili Amerika Serikat dakan berkomunikasi dengan senat, mengenai hal apa saja yang bisa diterima dan tidak," kata Yvo de Boer.

Menurut pandangannya, penolakan Amerika Serikat atas Protokol Kyoto didasari dua alasan utama. Pertama, ketentuan dalam kesepakatan itu tidak melibatkan peran aktif dari negara-negara berkembang dan kedua, kesepakatan itu dirasakan merugikan bagi perekonomian Amerika Serikat.

Konferensi di Kopenhagen, tambah de Boer, akan menerapkan skenario yang jauh berbeda. Ia percaya, Presiden AS Barack Obama mampu meyakinkan China dan India untuk turut menandatangani perjanjian baru. Ketika ditanya, apakah resesi global akan mempengaruhi negosiasi di Kopenhagen, de Boer tak menampiknya, "Mari kita lihat, investasi dalam proyek energi terbarukan mengalami goncangan. Terutama, karena menurunnya harga minyak dan menurunnya aktivitas ekonomi," ujarnya.


MINGGU, 15 NOVEMBER 2009 | 16:39 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/11/15/16394819/hasil.pertemuan.kopenhagen.hanya.4.kesepakatan.politik

Prihatin! Lahan Kritis Indonesia Capai 51,03 Juta Hektar

Kondisi lahan kritis Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, dengan jumlah total mencapai 51,03 juta hektar. 31,53 juta hektar dalam kondisi agak kritis, 14,72 juta hektar kritis, dan seluas 4,78 juta hektar yang tergolong sangat kritis.

Hal tersebut disampaikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat membuka Rapat Koordinasi dan Konsultasi Penyuluhan Kehutanan di Gedung Manggala Wana Bakti, Senin (16/11).

Menurut Zulkifli, illegal logging merupakan salah satu faktor yang memperburuk kondisi lahan kritis, selain pembakaran hasil hutan dan sampah yang juga menimbulkan emisi. “Membakar hasil hutan dan sampah dapat menimbulkan emisi dan merusak lingkungan,” ujar Zulkifli.

Lebih lanjut ia mengimbau masyarakat untuk menghentikan budaya membakar hutan untuk pembukaan lahan baru. “Kebiasaan masyarakat untuk membakar hutan harus diubah,” jelasnya.

Untuk mengatasi illegal logging menurutnya harus dilakukan upaya membangun hubungan yang bagus, sinergi yang positif dengan lembaga terkait seperti dengan angkatan laut, gubernur, dan bupati. “Harus ada harmonisasi hubungan,” jelasnya.

Selain itu ia juga berupaya memperkuat Lembaga Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di daerah-daerah. “Kita hanya akan mendidik dan mengawasinya,” tambahnya.

IATA Targetkan Pertumbuhan Nol Karbon Tahun 2020

Kuala Lumpur Asosiasi Penerbangan Udara Internasional (The International Air Transport Association/IATA), menargetkan pertumbuhan nol karbon pada tahun 2020. Komitmen yang dirancang dua tahun lalu kini diwujudkan, kata General Manager & CEO IATA, Giovanni Bisignani dalam Pertemuan Tahunan IATA ke-65 di Kuala Lumpur, Malaysia pada Senin (8/6).

Giovanni menyebutkan, industri penerbangan merupakan industri yang pertama menyatakan komitmen secara resmi untuk mendukung pengurangan emisi gas karbon. Alasannya emisi gas karbon membahayakan kehidupan manusia. Komitmen ini tidak lepas dari kondisi di mana industri penerbangan menyumbang emisi gas buang yang lumayan besar.

Guna mencapai target pertumbuhan nol karbon tersebut, ada tiga tahap yang digunakan oleh industri aviasi. Pertama, efisiensi penggunaan bahan bakar setiap tahun 1,5 persen sejak 2009 sampai 2020. Kedua, pertumbuhan karbon nol persen mulai 2 020. Ketiga, pengurangan emisi karbon hingga 50 persen pada 2050.

Proses pengurangan emisi karbon kata Giovanni, bisa dilakukan melalui empat pilar yakni fokus pada perkembangan teknologi, operasional yang efektif, penggunaan infrastruktur yang efisien, dan menggunakan pertimbangan ekonomi yang positif. Apalagi, karbon yang dihasilkan seluruh pesawat yang beroperasi pada 009 mencapai 7 persen dari total karbon yang beredar.
Jika industri penerbangan menerapkan empat pilar tadi, maka 2 persen dari emisi karbon tersebut bisa dikurangi dalam waku dekat.

Komitmen industri penerbangan untuk mengurangi emisi gas buang ini tidak akan efektif jika tidak mendapat dukungan dari pemerintah. Langkah ini tidak terlepas dari peran pemerintah di negara masing-masing. Maka, The International Civil Aviation Organization (ICAO) perlu membuat standar emisi gas buang untuk industri manufaktur pesawat yang akan memproduksi pesawat terbaru.

Upaya lain IATA mendesak pemerintah membuat aturan pendukung pembuatan bahan bak ar alternatif (biofuel) secara berkelanjutan. Pemerintah juga disarankan bekerja sama dengan provider jasa penerbangan untuk membangun proyek yang ramah lingkungan seperti Single European Sky dan NextGen.

Komitmen industri terhadap pertumbuhan nol karbon sangat penting. Apalagi pemerintah harus mempersiapkan program Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim di Copenhagen, Denmark, Desember 2009. IATA mendukung secara total upaya pengurangan emisi gas buang, agar masyarakat mendapatkan hidup lebih baik.

SENIN, 8 JUNI 2009 | 18:00 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Agnes Swetta Br. Pandia

KUALA LUMPUR, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/06/08/18004771/iata.targetkan.pertumbuhan.nol.karbon.tahun.2020.

Ruang Terbuka Harus Ditambah 14.356 Hektar



 Jika jumlah kendaraan di Jakarta tidak dikendalikan, pencemaran karbondiosida yang ditimbulkan oleh lebih dari 10 juta kendaraan bermotor pada 2015 bakal mencapai 38.322,46 ton per hari. Untuk mengatasinya, luas ruang terbuka hijau di Jakarta harus diperluas, dari 6.480 hektar menjadi 20.836 hektar atau 32,04 persen dari total luas lahan.

Pengamat arsitektur lanskap Universitas Trisakti, Iwan Ismaun, Rabu (9/9) di Jakarta Pusat, mengatakan, saat ini jumlah mobil dari berbagai jenis sudah mencapai 2,9 juta unit dan jumlah sepeda motor mencapai 7,08 juta unit. Jumlah itu terus bertambah dengan cepat sehingga Jakarta mencapai salah satu kota dengan polusi terburuk di dunia.

Selain mempercepat pemanasan global, pencemaran gas karbondioksida membahayakan kesehatan masyarakat. Kerugian masyarakat akibat penurunan kesehatan ini pada 2015 dapat mencapai Rp 4,3 triliun. Kerugian itu meningkat 2,5 kali lipat dibandingkan pada 1998, Rp 1,8 triliun.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DKI Jakarta Ubaidillah mengatakan, kondisi ini dapat diatasi dengan dua langkah, pengurangan jumlah kendaraan kendaraan bermotor dan perluasan ruang terbuka hijau. Pengurangan jumlah kendaraan bermotor hanya bakal efektif jika ada angkutan massal.

Sementara untuk menyerap gas karbondioksida, Jakarta perlu memperbanyak pepohonan dan memperluas ruang terbuka hijau (RTH). Saat ini, luas RTH publik di Jakarta baru mencapai 9,97 persen dari total luas wilayah Jakarta atau mencapai 6.480 hektar.

Menurut Iwan, luas RTH publik seharusnya mencapai 20 persen dan RTH milik privat 10 persen dari total luas wilayah Jakarta. Kewajiban yang diamanatkan UU Tata Ruang itu sulit dipenuhi oleh Pemprov DKI Jakarta karena terbatasnya lahan yang masih tersedia.

Jika mengharapkan penambahan ruang terbuka hijau dari milik privat, Pemprov harus mencari data yang akurat terlebih dulu dan menetapkan sistem kompensasi. Data akurat diperlukan karena banyak pemilik bangunan yang mengubah lahan terbuka hijau menjadi lahan perkerasan.

Perubahan semacam ini banyak terjadi di berbagai mal, perkantoran, dan bahkan rumah tinggal. RTH privat yang akan digabungkan menjadi RTH kota harus didaftar secara resmi dan pemiliknya diberi kompensasi agar tidak mengubah lahan terbuka hijaunya menjadi lahan terbangun.

Pemanasan Global: Ilmuwan Pun Masih Bingung


Negara-negara maju (baca: negara-negara industri) saat ini kebingungan. Mereka khawatir ditagih janjinya oleh negara-negara berkembang atas ”utang karbon dioksida” sejak abad ke-18. Hal itu karena salah satu mekanisme untuk menahan laju pemanasan global adalah mengerem emisi karbon dioksida. Ket.Foto: Foto di atas diambil pada 7 November lalu. Divisi Antartika Australia memublikasikannya pada Jumat (13/11). Foto ini menunjukkan potongan es yang meluncur di Teluk Bauer, pantai barat Australia di bagian sub-Antartika di Pulau Macquarie. Ahli es Divisi Antartika Australia, Neal Young, mengatakan, potongan es tersebut merupakan bagian besar yang terlepas dari Dasar Es Ross sekitar satu dekade lalu.

Karbon dioksida (CO) telah menjadi ”penjahat pemanasan global”. Pemanasan global adalah pemicu berbagai fenomena iklim ekstrem yang membuahkan berbagai bencana di berbagai belahan dunia.

Untuk mengerem emisi CO, negara-negara maju diwajibkan mengurangi emisi gas rumah kaca—diekuivalenkan dengan emisi CO atau emisi karbon—melalui kesepakatan Protokol Kyoto. Ternyata sulit. Mereka mengeluhkan turunnya laju pertumbuhan ekonomi akibat mengerem emisi karbon. Alhasil, janji itu tak terpenuhi.

Yang sekarang dihadapi dunia adalah pada Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) dari Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC), 7-18 Desember 2009 di Kopenhagen, Denmark, (nyaris) bisa dipastikan tak akan ada kesepakatan baru. Padahal Protokol Kyoto akan berakhir masa berlakunya pada 2012.

Untuk memenuhi janji tersebut, mereka juga bisa ”membeli” pengurangan emisi karbon dari negara berkembang atau miskin. Dengan itu, dana akan mengalir ke negara berkembang.

Jelas bahwa negara-negara kaya tidak akan mau menyerahkan dana ratusan miliar dollar kepada negara miskin hanya atas dasar kepercayaan.

Di balik itu semua sebenarnya para ilmuwan pun masih kebingungan. Padahal, skema ”membayar utang karbon” tersebut membutuhkan bukti-bukti konkret pengurangan emisi.

Masalahnya, saat ini belum dimungkinkan memonitor emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil atau deforestasi.

”Sistem kami saat ini tidak cukup bagus untuk bisa membandingkan (emisi karbon) satu negara dengan negara lain. Saya rasa densitas pengamatan itu membutuhkan dua tingkatan magnitude (ukuran),” ujar Pieter Tans dari badan kelautan dan atmosfer nasional Amerika Serikat (NOAA) di Boulder, Colorado, AS.

Butuh audit

Ketika kepercayaan belaka tak cukup untuk mengatasi persoalan pemanasan global dan emisi karbon dunia, yang dibutuhkan adalah sebuah proses audit, pelaporan, dan pengukuran emisi karbon di suatu negara.

Hal itulah yang kemudian menjadi fokus dari pembicaraan kesepakatan global yang dilakukan maraton dan tampaknya menemui jalan buntu.

Yang pasti, pihak PBB berharap konferensi di Kopenhagen bisa menghasilkan kesepakatan dengan kewajiban yang lebih berat bagi negara-negara maju.

Negara-negara berkembang sekarang menekan negara maju. Mereka menginginkan, dalam kesepakatan baru yang berlaku 2013 itu negara maju bersedia mengurangi emisi karbonnya pada tahun 2020 dengan 25-40 persen di bawah emisi karbon tahun 1990. Juga, negara maju dituntut mengucurkan dana miliaran dollar serta memberikan teknologi ramah lingkungan kepada negara-negara berkembang.

Negara-negara berkembang yang maju ekonominya dituntut menekan emisinya. Negara-negara itu adalah China, India, Indonesia, dan Brasil. Emisi karbon dari negara-negara tersebut masuk dalam 10 besar emiter terbesar dunia. ”Jika tak ada sistem obyektif untuk menakar kesuksesan (suatu negara), bisa-bisa orang menuntut hal-hal di luar kemampuan negara tersebut,” ujar Tans dari Laboratorium Riset Sistem Bumi, NOAA.

Sangat bervariasi

Kemampuan dari setiap negara untuk mengukur emisinya jelas berbeda-beda tergantung dari kemajuan iptek tiap negara.

Negara-negara kaya, seperti Australia dan Amerika Serikat, telah mengembangkan metode pelaporan yang bisa diandalkan. Laporan itu mengenai penggunaan energi dan emisi bahan bakar fosil.

Menurut Pep Canadell dari Global Carbon Project, ”Sangat bervariasi. Di negara berkembang laporannya tidak terlalu akurat.” Menurut dia, sampai sekarang emisi China dari batu bara, minyak, dan gas dilaporkan 20 persen lebih rendah.

Pihak NOAA membangun jaringan pengujian udara global untuk menunjukkan betapa konsentrasi gas rumah kaca terus berubah seiring waktu. Saat ini konsentrasi karbon mendekati 390 bagian per juta (ppm)—bandingkan dengan 280 ppm pada awal era revolusi industri pada abad ke-18. Jika konsentrasi mencapai 450 ppm, temperatur Bumi akan meningkat 2 derajat celsius.

Berbagai negara telah melaporkan emisi gas rumah kaca ke Pusat Data Global Badan Meteorologi Dunia. Tujuannya, untuk mendapatkan peta emisi karbon musiman dan tahunan.

Namun para ilmuwan mengakui, butuh sekurangnya satu dekade atau dua dekade untuk menemukan sistem pengawasan yang akurat agar mampu menghitung emisi dari bahan bakar fosil, deforestasi, dan perubahan tata guna lahan. Persoalan lain adalah bagaimana menghitung besar penyerapan karbon oleh pohon dan lautan—keduanya sekaligus berfungsi sebagai emiter karbon.

Kesulitan lain, gas karbon selalu bergerak ke mana-mana akibat embusan angin. Bagaimana prosesnya, para ilmuwan belum menemukan jawabannya. Yang sudah dilakukan adalah melakukan simulasi ”sederhana” dengan model komputer.

Akibat dari segala kebingungan ilmiah tersebut adalah, ”Bagi saya tak ada hubungan antara perdagangan emisi dan verifikasi yang dibutuhkan untuk itu, dengan apa yang sebenarnya kita ukur,” ujar Britton Stephens dari NCAR di Boulder.

Para ilmuwan saat ini memang masih kalah dalam bernegosiasi dengan para politikus dunia. Buktinya, perdagangan karbon terus saja mendapat dukungan. Padahal...??? (ISW)

Editor: wsn

Monday, November 2, 2009

BCA Targetkan 2 Juta Pengguna Flazz

Sukabumi - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menargetkan 2 juta pengguna kartu Flazz sampai akhir tahun, sampai Oktober 2009 pengguna kartu Flazz sudah mencapai sekitar 1,4-1,5 juta orang

Hal ini disampaikan Manager Consumer Bankin Division BCA Sinta Handajani dalam Diskusi Forum Diskusi Wartawan Ekonomi dan Moneter (FORKEM) di Lido, Sukabumi siang ini, Sabtu (31/10/2009).

"Sekarang sudah 1,4-1,5 juta pengguna, target akhir tahun sampai 2 juta," ujar Sinta.

Produk Flazz yang diluncurkan sejak Juni 2008 baru beroperasi di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Bandung, dan Surabaya. Belum semua daerah bisa mengakses produk ini, karena BCA masih memerlukan waktu untuk mempersiapkan sarananya dengan sistem bank di daerah-daerah lain.

"Untuk menjalankan produk ini, kita memerlukan waktu men-set up sistemnya," jelas Sinta.

Untuk tahun depan, Sinta menambahkan targetnya bisa mancapai 2 kali lipat, yaitu sekitar 4 juta pengguna kartu Flazz. Rencananya, produk ini bisa diakses di seluruh kota di Jawa dan kota-kota besar di Indonesia. BCA juga sedang mempersiapkan sistem SMS banking untuk mempermudah pengguna kartu dalam melakukan top up saldo ke dalam kartu Flazz.

"Kita secara teknologi sudah punya, kami sedang mengusahakan top up dengan SMS banking, tetapi saat ini belum karena sistem kami harus mempertimbangkan agar bisa digunakan di daerah lain," jelas Sinta.

Gencarnya BCA memasarkan Flazz ini adalah karena saat ini BCA meraup Rp 750 juta per hari dari penggunaan BCA Flazz. Para pengguna BCA Flazz melakukan transaksi rata-rata sebesar Rp 30 ribu. Sedangkan, rata-rata penggunaan sekitar 25 ribu-35 ribu kali per hari.

"Transaksi itu per hari sekitar 25 ribu-35 ribu dengan nilai penggunaan setiap kali rata-ratanya Rp 30 ribu," jelas Sinta. (nia/dnl)
Source: http://www.detikfinance.com/read/2009/10/31/141511/1232374/5/bca-targetkan-2-juta-pengguna-flazz

 

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...