Showing posts with label Penghijauan. Show all posts
Showing posts with label Penghijauan. Show all posts

Monday, March 1, 2010

Penghijauan Tidak Asal Menanam Pohon

REBOISASI

Sebanyak 2.767 pohon trembesi ditanam di sepanjang ruas jalan pantai utara Jawa Tengah yang menghubungkan Semarang-Kudus sepanjang 52 kilometer. Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo pada acara penanaman itu mengingatkan, penghijauan tidak boleh asal menanam pohon.

”Kalau sekadar menanam, itu gampang. Yang penting merawatnya sehingga tanaman bisa tumbuh baik,” kata Bibit pada acara penanaman pohon trembesi di jalan raya Kecamatan Buyaran, Demak.

Peneliti trembesi dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Endes N Dahlan, yang turut menghadiri seremonial penanaman trembesi atau ki hujan (Albizia saman) tersebut, mengatakan, trembesi cocok untuk penghijauan di tepi jalan. Selain pertumbuhannya relatif cepat dan dahannya tidak regas, kanopi trembesi juga bisa mencapai diameter 40 meter, bahkan lebih. Selain itu, trembesi juga sangat baik dalam menyerap berbagai polutan di udara.

Meskipun demikian, Endes menyayangkan masih adanya kegiatan penghijauan yang tidak memenuhi syarat. Misalnya, kualitas bibit dan kondisi tanah kurang diperhatikan sehingga bibit yang sudah ditanam mati beberapa saat kemudian.

”Mestinya, untuk daerah yang berlalu lintas ramai dan tingkat polutan udaranya tinggi, bibit yang ditanam ketinggiannya sekitar 2-2,5 meter dengan batang dan akar yang kuat sehingga bisa bertahan hidup dan pertumbuhannya baik,” kata Endes.

Direktur PT Djarum Thomas Budi Santoso mengatakan, pemeliharaan trembesi di sepanjang Semarang-Kudus menjadi tanggung jawab perusahaannya.

Penanaman trembesi, dijanjikan Budi, sebagai kegiatan berkelanjutan hingga sepanjang jalan pantura Jawa Tengah bisa hijau, rindang, dan nyaman dilalui masyarakat. (NAW)

Trembesi Masih Pro dan Kontra

Alasan penanaman massal pohon raksasa trembesi atau Albizia saman yang disarankan pemerintah untuk menunjang program penanaman satu miliar pohon pada 2010 masih pro dan kontra. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan trembesi itu masih membutuhkan dukungan riset yang lebih saksama.

”Kebijakan penanaman pohon idealnya memerhatikan penggunaan dan kebutuhan masyarakat di tiap daerah. Trembesi termasuk jenis pohon dengan evaporasi atau penguapan tinggi sehingga berpotensi mengeringkan sumber air,” kata Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Mochammad Na’im, Senin (22/2) di Yogyakarta.

Hal berbeda diungkapkan dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Endes N Dahlan, di Bogor, kemarin. Menurut dia, trembesi pada mulanya diketahui tumbuh di savana Peru, Brasil, dan Meksiko, yang minim air. ”Kemampuan tumbuh di savana menunjukkan, pohon ini tidak memiliki evaporasi tinggi,” ujarnya.

Endes adalah salah satu akademisi yang diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan pembekalan penanaman trembesi, 13 Januari 2010 di Istana Negara. Endes meneliti daya serap emisi karbon dioksida atas 43 jenis tanaman pada 2008.

Hasil penelitian pada trembesi dengan diameter tajuk 10-15 meter menunjukkan, trembesi menyerap karbon dioksida 28,5 ton per tahun. Ini angka terbesar di antara 43 jenis tanaman yang diteliti, bahkan ditambah 26 jenis tanaman lain, daya serap karbon dioksida trembesi tetap terbesar. Meskipun demikian, Endes belum bisa menjelaskan 68 jenis pohon lainnya yang diteliti.

Dia mengaku, belum meriset secara rinci kapasitas evaporasi trembesi. Diketahui pula, trembesi memiliki sistem perakaran yang mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium untuk mengikat nitrogen dari udara.

Kandungan 78 persen nitrogen di udara memungkinkan trembesi bisa hidup di lahan-lahan marjinal, juga lahan-lahan kritis, seperti bekas tambang, bahkan mampu bertahan pada keasaman tanah yang tinggi. ”Selain tahan kekeringan, juga tahan genangan,” kata Endes.

Menurut dia, pemerintah akan merealisasikan penanaman trembesi di sepanjang jalan Semarang-Kudus, Jawa Tengah. Sebanyak 2.767 pohon akan ditanam di sana hari Rabu besok.

Menurut Na’im, trembesi memiliki tajuk yang luas, sekaligus tebal. Kondisi ini membuat cahaya matahari sulit menembus. ”Tanaman di bawah naungan tajuknya tidak bisa tercukupi cahaya matahari sehingga tidak bisa tumbuh subur, bahkan mati. Jenis tanaman ini sebaiknya untuk perindang,” ujar Na’im.

Distribusi benih

Saat ini pemerintah telah mendistribusikan benih trembesi. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Anik Indarwati, mengatakan, pihaknya sudah menerima 40 kg benih trembesi pada awal Februari 2010.

”Trembesi dikenal dengan nama munggur. Tanaman ini tidak diarahkan untuk perkebunan rakyat karena khawatir membunuh tanaman lain,” kata Anik.

Trembesi dikenalkan pemerintah kolonial Belanda. Biasa ditanam sebagai perindang, termasuk perindang pada penampungan kayu kehutanan.

Trembesi cepat tumbuh, dalam lima tahun diameter batang bisa mencapai 25 sentimeter-30 sentimeter. Tetapi, keunggulan yang sama juga dimiliki berbagai pohon spesies asli Indonesia, di antaranya keluarga meranti, jabon, ketapang, atau pulai.

Menurut peneliti senior Biotrop Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Supriyanto, jenis trembesi saat ini juga belum diteliti apakah termasuk jenis yang invasif atau bukan. Jenis invasif itu mampu mendesak atau mematikan jenis tanaman lain di sekitarnya.

Hal ini seperti terjadi pada jenis tanaman akasia yang ditanam di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Tanaman ini mengakibatkan rumput sebagai sumber pakan kerbau liar tidak tumbuh. (IRE/GSA/NAW)

Selasa, 23 Februari 2010 | 03:42 WIB

jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/23/03423295/trembesi.masih.pro.dan.kontra

Wednesday, July 22, 2009

Barter Untuk Selamatkan Pohon

Ilmuwan mulai menggelar eksperimen ekosistem yang radikal, yakni membarter pohon ke daerah baru.



Greg O’Neill, seorang ahli genetika British Columbia Ministry of Forests and Range, sedang berupaya agar kawasan hutan di Amerika Utara diubah menjadi laboratorium lapangan untuk perubahan iklim.



Dengan bertolak dari secuil teori tentang adaptasi, dia berupaya mengembangkan uji coba berapa lama kiranya satu spesies pohon bisa bertahan dalam daerah dengan iklim yang tidak bersahabat.



Uji coba itu dimulai dari pohon kayu western larch yang kayunya mempunyai alur tebal dan daunnya menyerupai jarum-jarum hijau. Pepohonan tersebut banyak tumbuh di sekitar lembah dan tebing curam di pegunungan Amerika Utara. Sekarang, ahli kehutanan asal Kanada berusaha membesarkannya di wilayah yang lebih dingin, yakni di sekitar lingkaran Kutub Utara.



Beberapa jenis bibit yang juga dimulai dipindahkan adalah pohon yang senang tumbuh di daerah lembab seperti cemara sitka dan western red cedar yang biasa tumbuh di hutan hujan pesisir British Colombia. Sekitar 20%-30% spesies dunia saat ini menghadapi kepunahan. Mungkin pada 2100 saat suhu permukaan global naik sesuai dengan estimasi laporan IPCC, upaya konservasi tidak sanggup memenuhi tuntutan adaptasi dari perubahan iklim.



Itu sebabnya eksperimen yang radikal mulai bermunculan. Memindahkan bibit seperti yang dilakukan O’Neill amat dibenci beberapa penggiat konservasi. Upaya semacam itu dinilai mendahului mekanisme alam.



Dua dekade lampau, remis zebra (Dreissena polymorpha) yang tanpa disengaja terintroduksi ke Great Lakes kini menjadi hama. Akibatnya, setiap tahun jutaan remis tersebut menyumbat pipa air. Namun kalangan yang mendukung eksperimen O’Neill justru berpendapat upaya memindahkan pepohonan termasuk strategi intervensi yang bertanggungjawab. Apabila tidak dipindahkan, pepohonan ini mungkin rontok akibat meluasnya hama yang terpicu oleh pemanasan global.



“Sebatang pohon yang ditanam hari ini seharusnya bisa beradaptasi terhadap iklim 80 tahun ke depan, jangan cuma iklim hari ini saja,“ tegas Greg O’Neill seperti dikutip kantor berita AP. Menurut dia, strategi kehutanan sudah saatnya memikirkan tantangan jangka panjang. Itulah alasan ia menggelar eksperimen pemindahan pohon, teknik yang dalam ilmu kehutanan dikenal juga dengan nama “migrasi dengan bantuan”.



“Tentunya, kami ingin agar spesies berpindah secara alami, tetapi pada kondisi tertentu hal itu tidak akan terjadi sebab beberapa spesies terisolasi dan kondisi membuatnya terperangkap, “imbuh ahli biologi konservasi Stuart Pimm.



Gagasan untuk merelokasi spesies sebagai langkah pre-emptive strike terhadap perubahan iklim sesungguhnya berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Sejumlah kelompok ilmuwan sudah menerapkan “migrasi dengan bantuan” dalam skala terbatas.



Contohnya, beberapa sukarelawan tahun lalu menanam pohon langka jenis torreya yang biasa tumbuh di iklim panas Florida, Amerika Serikat, di kawasan pegunungan Appalachian selatan, Amerika Utara. Sementara itu, ilmuwan di Kanada juga sudah memulai memindahkan pepohonan yang biasa tumbuh di Yukon, dekat Alaska, ke daerah yang lebih hangat di selatan Oregon, Amerika Serikat.



Intervensi



Di masa lampau, pemanasan bumi telah mendorong sejumlah spesies bermigrasi demi bertahan hidup tanpa bantuan manusia. Sebagian sanggup beradaptasi dengan lingkungan baru, sementara sisanya punah. Dengan diperhadapkan pada perubahan iklim yang lebih dasyhat, ilmuwan beranggapan bahwa spesies tidak memiliki kemampuan untuk berpindah ke lingkungan baru. Itu sebabnya perlu sedikit bantuan manusia untuk menjaga keragaman hayati yang tersisa.



Di Amerika Utara, sejumlah spesies mulai bergerak ke daerah dingin di utara. Kupu-kupu Edith’s checkerspot yang mulai lenyap dari wilayah selatan sekarang sudah berpindah 75 mil ke daerah pegunungan. Adapun rubah merah juga telah hijrah ke Kanada Utara dan mengusir kawanan rubah kutub.



Dalam kelompok tumbuhan, hutan cemara kini menyerbu pada rumput Kutub Utara dan berdampak pada kehidupan karibu dan biri-biri yang menghuni kawasan tersebut. Tahun lalu, untuk menjamin adaptasi tumbuhan terhadap iklim, pemerintah British Columbia mulai menanam bibit pohon pada ketinggian 1.600 kaki di atas habitat mula-mula. Mereka berupaya mempelajari bagaimana manusia bisa membantu pepohonon pindah ke kawasan lebih dingin menyusul memanasnya suhu permukaan akibat perubahan iklim.



Musim semi kali ini, penanaman sudah dilakukan sekitar kawasan selatan British Columbia dan lahan privat di sekitar Pegunungan St.Helens. Tiap kawasan ditanami 3.000 bibit dan menurut rencana lima tahun kemudian ilmuwan akan kembali mengamati dan mendokumentasikan pertumbuhannya. Sementara itu, keseluruhan proyek mencakup 48 plot sekitar British Columbia, Washington State, Oregon, Montana, dan Idaho. Masing-masing akan menjadi lapangan uji coba bagi 15 spesies pohon untuk beradaptasi pada suhu yang lebih dingin dan hangat daripada biasanya.



Penulis: Clara Rondonuwu

Sumber: Harian Media Indonesia, Selasa-21 Juli 2009, Hal.21

Link:http://www.wargahijau.org/index.php?option=com_content&view=article&id=595:barter-untuk-selamatkan-pohon&catid=7:green-product&Itemid=12

Saturday, July 18, 2009

Pasca Penanaman Pohon Hari Bumi 2009

Laporan Hasil Pengecekan Tanaman Pasca Penanaman Pohon Dalam Rangka Menyambut Hari Bumi 2009 (Penanaman Pohon Dilaksanakan oleh YPHL bekerjasama dengan BNI tanggal 26 April 2009 di Buperta

Cibubur)

Hari / Tanggal : Senin / 13 Juli 2009

Bersama ini kami sampaikan hasil pengecekan kondisi tanaman di Buperta Cibubur.

Kondisi tanaman yang ditanam di area Buperta Cibubur mengalami kerusakan dan sulit untuk tumbuh subur.

Hal ini disebabkan karena cuaca yang memasuki musim kemarau dan hampir semua tanaman dimakan oleh hewan ternak (kambing) yang bebas berkeliaran di area Buperta (Lingkungan 1 & 2). Hasil pemantauan kami, tanaman Jati Mas dapat tumbuh subur di area kempa 2, dikarenakan tanaman tersebut tahan terhadap panas dan tidak disukai oleh kambing ( Jati Mas 1 s/d 4 & tanaman 1).

Penanaman bibit pohon yang rencananya akan ditanam pada bulan Juni yang lalu, sebagian masih tersimpan di area pembibitan, mengingat kondisi lingkungan yang tidak memungkinkandan menghindari tanaman tidak tumbuh dengan semestinya (Penyimpanan bibit).

Untuk itu pihak Buperta menyarankan agar setiap tanaman diberikan geronjong yang fungsinya untuk melindungi tanaman dari hewan ternak.


Demikian Laporan ini kami sampaikan.

Terima kasih


-Ketua Panitia Hari Bumi 2009-

Yoseph Kristianto

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...