Showing posts with label Tata Ruang. Show all posts
Showing posts with label Tata Ruang. Show all posts

Thursday, February 18, 2010

Hutan Adat Dayak Dibabat

Diduga Tak Ada Izin Pelepasan Kawasan

Sedikitnya 1.420 hektar hutan adat Dayak Iban atau Ibanik di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, dibabat untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Kayu tebangan itu kemudian diselundupkan ke Malaysia.

Demikian pernyataan bersama Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat Sujarni Alloy; juru kampanye hutan Perkumpulan Telapak, Muhammad Yayat Afianto; dan Ketua Badan Perwakilan Desa Semunying Jaya Jamaludin dalam konferensi pers di Pontianak, Kalbar, Selasa (16/2).

”Tindakan perusahaan perkebunan itu seolah-olah kebal hukum mengingat bupati setempat tidak mengeluarkan izin lokasi perkebunan sawit di hutan tersebut. Perusahaan itu juga belum mengantongi izin pemanfaatan kayu (IPK) dinas kehutanan, tetapi sampai sekarang aktivitas mereka tetap berlangsung,” ujar Yayat.

Jamaludin menambahkan, pembabatan hutan adat Dayak Iban itu sudah berlangsung sejak tahun 2005. ”Sejak hutan adat dibabat, masyarakat adat makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena hasil hutan yang biasanya bisa dimanfaatkan tak ada lagi,” katanya.

Masyarakat adat Dayak Iban dulu menggantungkan hidup dari hasil hutan, seperti rotan, damar, kulit kayu pudo, dan tanaman-tanaman untuk obat tradisional. Setelah hutan habis, masyarakat yang tidak terbiasa dengan pertanian budidaya menjadi amat kesulitan.

Alloy mengatakan, kayu-kayu hasil tebangan dari hutan adat Dayak Iban itu diangkut ke Malaysia melalui jalan setapak yang biasanya digunakan untuk mengangkut keperluan logistik masyarakat. ”Konflik dengan masyarakat adat Dayak Ibanik terus terjadi. Masyarakat adat hanya ingin menuntut hak mereka yang dirampas,” kata Alloy.

Tumpang tindih

Hasil pemantauan kalangan aktivis lingkungan pada lembaga Save Our Borneo (SOB), pembabatan hutan untuk perkebunan sawit di Kalimantan Tengah juga parah, seperti perampokan kekayaan alam secara sistematis dan terorganisasi.

Faktanya, kata Direktur Eksekutif SOB Nordin di Palangkaraya, pembabatan hutan di
Kecamatan Kapuas Tengah,
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang berlangsung sejak tahun 2008 luasnya sudah 10.000 hektar.

Ironisnya, lanjut Nordin, kawasan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit oleh tiga perusahaan tumpang tindih dengan kawasan eks hutan milik dua perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan. Selain itu, pembukaan perkebunan


juga ada yang berlangsung di wilayah tanah dan kebun warga, seperti di Jangkang dan Balai Banjang.

”Ketiga perusahaan itu berani beroperasi karena memiliki izin lokasi dari bupati setempat. Tetapi, dalam pembabatan hutan itu diduga tidak punya izin pelepasan hutan dari Menteri Kehutanan sebab ketiga perusahaan tersebut belum memiliki IPK,” ujar Nordin.

Kayu-kayu yang dibabat dari hutan adat Dayak tersebut, kata Nordin, ada yang ditanam dalam tanah, dibakar, dibuang, ditumpuk, atau dipakai untuk perumahan, jembatan, dan keperluan lainnya oleh tiap-tiap perusahaan tersebut. ”Apabila dihitung potensi kayu yang hilang dengan luas konsesi tiap perusahaan perkebunan 20.000 hektar, negara mengalami kerugian Rp 141,5 miliar per perusahaan,” katanya.

Menurut Nordin, pihaknya bersama dengan sejumlah lembaga aktivis lingkungan dan antikorupsi akan melaporkan kejahatan kehutanan ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Aparat instansi terkait tidak peduli lagi mau menegakkan hukum dan menyelamatkan hutan,” katanya. (AHA/FUL)

Rabu, 17 Februari 2010 | 03:43 WIB

Pontianak, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/17/03430475/hutan.adat.dayak.dibabat

Tata Ruang "Food Estate" di Merauke Belum Jelas

PERTANIAN

Masalah tata ruang pada lahan 1,5 juta hektar yang akan digunakan sebagai pusat pengembangan pertanian tanaman pangan (food estate) di Merauke, Papua, hingga kini belum jelas karena pemerintah pusat belum menerima usulan dari Pemerintah Provinsi Papua. Juga belum ada tim terpadu yang dibentuk di level pusat yang bisa memastikan proyek ini berhasil.

”Jika memang ada wilayah hutan yang berubah untuk food estate, sebelumnya harus ada tim terpadu yang di dalamnya ada menteri dalam negeri, menteri pekerjaan umum, menteri lingkungan hidup, menteri kehutanan, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), hingga perguruan tinggi. Tim ini yang harus mengkaji seluruhnya,” ujar Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Jakarta, Selasa (16/2), seusai menghadiri Rapat Koordinasi Tata Ruang Nasional dan Food Estate Merauke.

Menurut dia, pada tahap awal harus ada usulan dari Papua terkait dengan kawasan yang akan digunakan sebagai food estate yang ditetapkan melalui sebuah peraturan daerah. Setelah itu, tim terpadu mengkaji usulan tersebut, kemudian dibuat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

”Jika amdal sudah ada, harus dibawa ke DPR untuk mendapatkan persetujuan mengenai perubahan status lahan hutan menjadi food estate. Jadi, masih lama sebelum bisa ditawarkan kepada investor. Tim terpadunya saja belum terbentuk,” ungkap Zulkifli.

Secara terpisah, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan, pemerintah masih harus memastikan agar proyek food estate ini tidak mengganggu lahan hutan lindung dan hutan konservasi. Pemerintah hanya ingin memanfaatkan lahan yang tidak terpakai untuk pengembangan pertanian tanaman pangan.

”Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Amdal harus mantap, sesuai dengan target emisi karbon dioksida yang harus diturunkan 26 persen,” ujarnya.

Hatta menegaskan, pemerintah tidak ingin pengalaman di Kalimantan Tengah pada era Orde Baru terulang lagi. Pemerintah Orde Baru menetapkan lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah sebagai lahan sawah baru, tetapi gagal karena kondisi lahan yang terlalu asam.

Terdapat 1,5 juta hektar lahan di Merauke yang cocok dikembangkan sebagai kawasan ekonomi yang fokus pada lahan pertanian tanaman pangan.

Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia sekaligus anggota Komisi IV DPR, Siswono Yudo Husodo, di Jakarta, Selasa, mengingatkan, pengembangan food estate di Merauke dan wilayah lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman jangan sampai memarjinalkan petani.

”Konsep food estate harus mendorong petani memiliki lahan garapan yang lebih luas agar pendapatan mereka meningkat dan kehidupan lebih baik,” katanya. (MAS/OIN)

Tuesday, February 2, 2010

Penambangan di Kalimantan: Kami Tak Sanggup Menghentikan Kerakusan Ini

Rakus. Begitu kesan pertama saat melihat sebagian hutan pendidikan dan penelitian milik Universitas Mulawarman, Samarinda, di kawasan Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto, digerogoti.

Pihak kampus tak bisa berbuat banyak, bahkan ketika hutan yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tersebut ditambang secara liar oleh berbagai kalangan. ”Kami tidak mampu menghentikan kerakusan ini. Kewenangan kami cuma memakai hutan ini untuk kepentingan pendidikan dan penelitian, tidak lain dari itu,” kata Direktur Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul) Chandradewana Boer.

Tanggal 14 Januari lalu, Boer menunjukkan seluk-beluk hutan di wilayahnya, termasuk melihat seberapa parah penambangan yang telah berlangsung saat ini. Benar saja, hati tersayat melihatnya.

Betapa tidak. Hutan seluas lebih dari 40 kali lapangan sepak bola atau sekitar 40 hektar dari 20.271 hektar hutan yang dikelola Unmul itu sedang dihancurkan. Permukaan tanah dikupas dan materialnya dipindah-pindah. Perut bumi diacak-acak dan dibongkar agar batu bara bisa diambil dan dijual.

Pertambangan masih berlangsung, tetapi sudah menyisakan lubang galian (pit) yang amat lebar dan sangat dalam, mencapai 150 meter. Dasar dan dinding pit itu hitam sebagai bukti bahwa hutan Unmul itu mengandung batu bara yang melimpah. Buldoser, eskavator, traktor, truk, dan mobil gardan ganda berseliweran di jaringan jalan dalam pit, seperti berlomba.

Kegiatan seperti itu bukan hanya di lahan Unmul saja. Di sekeliling Tahura Bukit Soeharto beroperasi 19 perusahaan pemilik kuasa pertambangan dengan izin dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Yang ironis, 12 kuasa pertambangan di antaranya mengelola lahan konsesi yang ternyata tumpang tindih, seluas 1.156 hektar, dengan hutan Unmul.

Meskipun ditunjuk sebagai pengelola oleh Kementerian Kehutanan, Unmul tidak mampu menghentikan pertambangan. Yang mengenaskan, operasi tambang batu bara itu ternyata legal akibat adanya tiga Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan yang saling berbeda mengenai koordinat tata batas Tahura Bukit Soeharto. Padahal, SK-SK itu menjadi dasar bagi Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk meminta rekomendasi Kementerian Kehutanan guna penerbitan kuasa pertambangan.

Dalam konteks itu, SK terbaru bernomor 577 Tahun 2009 membatalkan SK 270/1991 dan SK 419/2004. Namun, kuasa-kuasa pertambangan yang telanjur keluar berdasarkan dua SK terdahulu tetap berlaku sampai izinnya habis.

Untuk mencapai pelabuhan harus melalui jalan-jalan dalam hutan ini. Boer dan kami pun harus ditanyai ini-itu oleh satuan pengamanan perusahaan tambang batu bara untuk masuk ke kawasan Unmul tersebut. Tuan rumah ternyata tidak leluasa menyusuri hutan milik mereka.

Di hutan Unmul bahkan juga ada ladang, permukiman, menara telekomunikasi, dan instalasi listrik. Kerusakan bertahun-tahun akibat pembalakan, perambahan, dan pertambangan mengakibatkan tidak lebih dari 6.000 hektar hutan Unmul yang masih berkondisi baik meskipun tidak terlalu lebat.

Tidak ada lagi hutan perawan karena Tahura Bukit Soeharto pernah terbakar hebat. Hutan berkondisi baik yang tersisa adalah generasi kedua yang masih selamat dari ancaman penghancuran. ”Kami berharap diberi kewenangan mengelola hutan secara mandiri, meski tidak luas, cukup yang 6.000 hektar yang masih bagus ini,” tambah Boer.

Kerakusan perlahan juga memangsa bumi Samarinda. Tidak hanya dirasakan kampus yang notabene memiliki kepentingan penelitian, yang memiliki kepentingan jauh ke depan, batu bara juga meresahkan warga. Warga di RT 25 Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda, contohnya.

Saat ini, permukiman RT 25 yang berjarak sekitar 25 meter dari bekas pertambangan batu bara sering kebanjiran akibat tiga danau bekas galian (pit) tidak direklamasi. Setiap sehabis hujan, air tiga danau yang bercampur lumpur dari erosi tanah bekas tambang meluap ke permukiman warga.

Masih di Kecamatan Samarinda Utara, tambang batu bara sudah tiga tahun ini menyusahkan warga RT 28 Kelurahan Tanahmerah. Sebelum ada tambang, warga memanfaatkan Sungai Rimbawan di belakang permukiman untuk mandi dan mencuci. Warga kadang berani mengonsumsi air sungai itu.

Namun, setelah ada tambang, sungai mendangkal akibat endapan lumpur dan pasir yang tebal dan hampir setinggi permukaan jalan. Air sungai masih ada, tetapi sangat sedikit. ”Kalau air dipakai mandi bisa membuat badan gatal-gatal. Air tidak bisa dipakai minum lagi sehingga kami harus membeli air isi ulang,” kata warga RT 28, Dominicus.

Pemerintah Kota Samarinda telah menerbitkan 76 kuasa pertambangan pada lahan konsesi 50.808 hektar atau 71 persen dari luas Kota Tepian yang 71.823 hektar. Sebanyak 55 kuasa pertambangan di antaranya sudah berproduksi pada lahan konsesi 38.814 hektar atau lebih dari separuh luas Samarinda. Kuasa-kuasa pertambangan itu ada di sekeliling bahkan di segala penjuru dalam kota.

Padahal, dari batu bara, Samarinda cuma mendapat pendapatan asli daerah Rp 399 juta atau 4 persen dari total PAD tahunan yang Rp 112 miliar.

Suria Dharma dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unmul mengatakan, Samarinda kian rentan kebanjiran karena dikepung tambang. ”Reklamasi memang mahal, tetapi dampak bencana bagi masyarakat sebenarnya jauh lebih mahal sebab menyangkut kerugian material dan sosial,” katanya. (wer/ful)

Senin, 25 Januari 2010 | 03:59 WIB

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso dan A Handoko

Sunday, October 11, 2009

PERBAIKAN KOTA: Konsep Megapolitan Sudah Ketinggalan Zaman

Konsep megapolitan dinilai sudah ketinggalan zaman dalam pembangunan urban. Pakar European Urban Knowledge Network, Mart Grijsel, yang ditemui seusai Kongres International Urban Development Association di Taipei, Jumat (9/10), menjelaskan, pembangunan urban di Eropa dan beberapa negara maju sudah melangkah ke arah megaregional.

”Pembangunan urban di Eropa Barat sudah masuk tahap megaregional. Konsep megapolitan sudah dilampaui di sana,” kata Mart.

Mart menekankan pentingnya pembagian peran yang saling menunjang di antara megapolitan yang ada. Hal itu sudah dilakukan di antara negara-negara Eropa Barat. Semisal, Rotterdam menjadi pelabuhan peti kemas terbesar. Bisnis perkapalan besar dijalankan di Denmark dan lain-lain.

Saat ini, konsep megapolitan Jakarta yang mencakup Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok tidak kunjung terwujud. Padahal, pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda sudah mengatur megapolitan dengan mengatur kesatuan wilayah Batavia yang membawahi Tangerang, Karawang, Bekasi, hingga Buitenzorg (kini Bogor).

Pengaturan wilayah masa itu didasarkan pada kesatuan ekologi yang sangat penting demi menjamin keberlangsungan pembangunan dengan mengurangi kerusakan dampak lingkungan serta polusi.

Presiden International Urban Development Association (INTA) Budiarsa Sastrawinata mengatakan, pihaknya siap membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan daerah terkait untuk membangun megapolitan.

”Kalau diminta, kami siap membantu berdasar pengalaman dan kerja sama yang dimiliki INTA di 60 negara. Kami memiliki pengalaman negara maju hingga negara-negara Afrika,” kata Budiarsa yang sudah hampir dua tahun memimpin INTA.

Pembagian peran dan pembangunan yang saling menunjang merupakan kunci keberhasilan megapolitan. Budiarsa mengatakan telah menghubungi arsitek dan pakar urban senior, Pingki Pangestu, untuk membicarakan kemungkinan pengembangan Megapolitan Jakarta dengan Gubernur Fauzi Bowo.

Menurut Budiarsa, pembangunan Megapolitan Jakarta sudah mendesak untuk dilakukan. Daerah-daerah terkait antara Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi tidak dapat berjalan sendiri-sendiri.

Iklim global

Perubahan iklim global berdampak negatif terhadap seluruh negara di dunia. Kerusakan lingkungan salah satunya karena pertumbuhan industri tidak ramah lingkungan dan penataan kota dengan tingkat polusi tinggi. Kerusakan ini hanya bisa dilawan dengan kesepakatan bersama untuk mengembangkan sistem perekonomian rendah karbon.

Pernyataan ini menjadi kesimpulan dalam diskusi panel yang digelar di awal The Asia Pacific Weeks 2009 di Berlin, Jerman, Jumat (9/10).

Asisten Direktur sekaligus Kepala Divisi Integrasi Keuangan Sekretariat ASEAN Alladin D Rillo mengatakan, tingkat pertumbuhan ekonomi negara ASEAN umumnya cukup baik. Bahkan, dalam menghadapi krisis ekonomi dan finansial dunia yang datang bertubi, ASEAN cukup tanggap untuk mengantisipasinya. Hanya saja tidak semua lapisan masyarakat di Asia Tenggara menikmati pertumbuhan ekonomi.

Menanggapi persoalan itu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan, ada ketimpangan tingkat kualitas hidup yang amat lebar karena ketidakseimbangan pembangunan di negara-negara Asia, seperti di Indonesia. Pembangunan masih dilakukan semata demi menarik keuntungan, lingkungan dan masyarakat kecil jadi korban. Menerapkan pembangunan berbasis pelestarian lingkungan kini sedang ditingkatkan meskipun tentu saja masih banyak kekurangan.

”Untuk atasi masalah global sekaligus persoalan diri sendiri, menjadi perlu bekerja sama karena akan lebih mudah mendapatkan dana, informasi, dan asistensi,” kata Fauzi.

Secepatnya, setiap negara harus sepakat menerapkan sistem perekonomian rendah karbon dengan mengubah pola pikir bahwa banting setir industri dan penataan kota berbasis lingkungan tidaklah mahal. (Iwan Santosa dari Taipei, Taiwan, dan Neli Triana dari Berlin, Jerman)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...