Showing posts with label Sustainability. Show all posts
Showing posts with label Sustainability. Show all posts

Tuesday, August 24, 2010

Menggapai Kemerdekaan Ekologis

Jakarta - Masih dalam suasana Indonesia 65. Sejenak kita ambil waktu untuk melihat hasil-hasil pembangunan selama 65 tahun terakhir. Selama lebih dari enam dekade pembangunan ekonomi menjadi fokus utama negara meskipun kecepatan dan tingkat pemerataannya berjalan lambat. Selama ini pula kita melihat pembangunan ekonomi tidak banyak mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan hidup yang mengakibatkan banyak sekali kerusakan lingkungan di negeri ini. 

Memang isu-isu lingkungan hidup bukan isu seksi seperti dunia politik. Namun, masalah lingkungan sudah semakin disadari signifikansinya dalam praktek bernegara. Kalimat pertama dalam dasar pertimbangan untuk menetapkan UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) berbunyi sebagai berikut: bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Selain itu terdapat enam buah frase "pembangunan berkelanjutan" dalam UU PPLH ini. Artinya pengarusutamaan isu-isu lingkungan hidup sudah menyetel dengan konstitusi kita. Lingkungan hidup sudah menjadi hak asasi warga negara yang berarti kita berhak menuntut lingkungan yang bersih dan hijau. Seiring dengan perayaan Kemerdekaan RI yang ke-65, dalam konteks perekonomian negara, kemerdekaan ekologis yang berarti merdeka dari lingkungan yang rusak, tercemar, dan terdegradasi masih perlu perjuangan yang keras oleh segenap anak bangsa. 

Dalam salah satu teori green economy (ekonomi hijau) atau ekonomi ekologis (ecological economy), dikenal istilah 'irreversible' (sifat yang tidak dapat dipulihkan kembali) dan 'entropy/ randomness' (ketidakberaturan). Kedua istilah itu mengandung makna bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh memutuskan sifat ketergantungan yang harmonis antara human-economy (digerakkan oleh perilaku manusia dan praktek usaha) dan natural-ecosystem (ekosistem natural).

Secara ilmu fisika energi entropy diambil dari hukum kedua termodinamika yang mengatakan bahwa aliran kalor memiliki arah di mana tidak semua proses di alam semesta adalah 'reversible'  (dapat dibalikkan arahnya). Sebagai contoh jika seekor beruang kutub tertidur di atas salju maka salju di bawah tubuhnya akan mencair karena kalor dari tubuh beruang tersebut. Namun, beruang tersebut tidak dapat mengambil kalor dari salju itu untuk menghangatkan tubuhnya. Dengan demikian aliran energi kalor memiliki arah yaitu dari panas ke dingin. 

Perdebatan tentang ekonomi hijau vs ekonomi konvensional neo klasik sudah muncul sejak era tahun 1970-an ketika salah satu pakar ekonomi hijau Georgescu-Roegen tahun 1971 menerbitkan buku yang berjudul The Entropy Law and Economic Process. Sebelumnya Club of Rome era 1960-an sudah membuat kajian mengenai 'The limits of Growth'. 

Perdebatan sentral ketika itu adalah apakah teori ekonomi neoklasik tentang penggunaan sumber daya alam harus dimodifikasi untuk mengikuti hukum termodinamika kedua --yang disebut dengan hukum entropy. Teori neoklasik memang sudah comply dengan prinsip-prinsip hukum termodinamika pertama (energi adalah bersifat kekal, tidak dapat diciptakan dan dihancurkan, yang bisa hanya dikonversikan ke bentuk energi lain). Bahwa, konservasi energi dan material menunjukkan kondisi di mana harga yang merupakan nilai preferensi dari agen ekonomi rasional, secara akurat telah memasukkan kelangkaan sumber daya alam dan kemudian menciptakan kondisi pasar yang secara efisien mengalokasi sumber daya yang langka itu. 

Meskipun demikian hukum entropi memaksakan batasan-batasan tambahan secara langsung pada proses fisik yang tidak hanya dihasilkan oleh proses konservasi itu sendiri. Entropy memang kemudian menjadi relevan dengan ekonomi penggunaan sumber daya alam jika pertimbangan hukum pertama termodinamika tidak memberikan hasil yang akurat dalam mengukur kelangkaan sumber daya alam dalam rentang perencanaan ekonomi dan pengembangan kebijakan nasional secara jangka panjang.

Inilah juga yang digunakan sebagai deplesi atau penyusutan sumber daya alam. Khususnya dalam perhitungan green PDB (PDB hijau). Pertimbangan entropy ini berkaitan erat dengan jasa lingkungan. Dalam praktek ekonomi sehari-hari pasar tidak dapat menangkap jasa lingkungan dalam menentukan harga barang dan jasa. Oleh sebab itu menurut Prof Emil Salim pasar perlu dikoreksi baik melalui mekanisme pajak, insentif, maupun disinsentif. 

Jadi pada akhirnya hukum termodinamika kedua tetap relevan dan layak menjadi pertimbangan utama bahwa lingkungan yang rusak dan tercemar akibat efek pembangunan fisik yang masif tidak dapat dipulihkan kembali kondisinya seratus persen seperti sedia kala. Jadi merusak lebih gampang daripada memelihara.

Pembangunan Ekologis

Dalam UU No 27 tahun 2007 tentang RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) Nasional tahun 2005 - 2025, pasal 3 tercantum sebagai berikut: RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.

Bahkan, dalam penjelasan UU ini ditambahkan kalimat sebagai berikut: Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya mencapai tujuan pembangunan sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Untuk itu, dalam 20 tahun mendatang, sangat penting mendesak bagi Bangsa Indonesia untuk melakukan penataan berbagai langkah-langkah. Antara lain di bidang pengelolaan daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup kelembagaannya, sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta yang kuat di dalam pergaulan masyarakat Internasional.

Kalau UU RPJP No 27 tahun 2007 dan UU PPLH No 32 tahun 2009 dipakai sebagai cermin refleksi kemerdekaan RI di bidang ekosistem dan pembangunan maka hasilnya masih jalan di tempat. Pengelolaan lingkungan hidup masih tumpang tindih antara sektor dan sub sektor pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Belum lagi pelaksanaan Amdal di daerah-daerah yang masih asal-asalan sehingga Amdal hanya berupa dokumen lampiran layaknya surat-surat perizinan lainnya.

Sudah banyak kasus rusaknya lingkungan ini. Di antaranya kasus anyar pencemaran merkuri Sungai Cikantor Lampung, debu tambang batu bara Kalsel di atas ambang toleransi, hancurnya hutan-hutan Kalimantan akibat agresivitas kuasa penambang lokal tanpa Amdal yang layak, setiap tahun 1,8% lahan hijau negeri berkurang, selama 15 tahun terakhir 2,3 juta hektar hutan bakau di Indonesia berubah fungsi menjadi tambak, 70 Persen terumbu karang di Sulsel rusak.

Dalam UU PPLH No 32 tahun 2009 ini ada revitalisasi fungsi Amdal secara optimal. Selain itu ada ketentuan di UU ini bahwa apabila izin lingkungan statu entitas bisnis dicabut maka otomatis izin usahanya juga dibatalkan. Ada anggapan bahwa UU ini akan menjadi penghambat investasi asing dan domestik. Namun, anggapan itu sangat keliru karena justru UU ini berniat baik untuk menjembatani antara kepentingan ekonomi-bisnis dengan keberlanjutan lingkungan yakni pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.

Penghambat utama investasi asing yang masuk ke Indonesia bukan disebabkan Amdal yang berat. Namun, adanya biaya-biaya siluman (termasuk pungutan liar) dan proses birokrasi yang panjang ke instansi-instansi terkait. Proses perizinan investasi di Indonesia bisa makan waktu lebih dari 150 hari. Proses yang lama ini dapat menimbulkan korupsi dan praktek suap. Ini berbeda dengan praktek perizinan di negara-negara lain yang lebih cepat, murah, dan efisien. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2008 (Doing Business Report 2008) proses izin investasi di Singapura mencapai 5 hari, Malaysia 24 hari, dan Cina 30 hari.

Green Banking di Indonesia

Tanggal 02 Agustus 2010 Bank Indonesia (bekerja sama dengan Kementerian LH) mengumpulkan 80 bank nasional dan asing untuk sosialisasi UU PPLH No 32 tahun 2009. Forum ini sungguh bermanfaat untuk menjelaskan kepada pihak perbankan bahwa lingkungan sudah menjadi isu utama pembangunan khususnya yang berhubungan dengan sektor pembiayaan kepada debitur-debitur atau korporasi yang bergerak di bidang industri ekstraktif.

Sejalan dengan itu perbankan sebagai urat nadi perekonomian perlu pro aktif dalam membuat kebijakan bisnis, produk, dan layanannya yang sejalan dengan semangat pembangungan berkelanjutan. Salah satu ketentuannya adalah green lending. 

Di sini BI harus membuat gebrakan sebagai regulator agar bank segera memiliki aturan dan standar yang sama tentang pengelolaan risiko-risiko lingkungan dengan kelayakan kredit. Singkatnya bagaimana BI membuat regulasi sehingga perbankan dapat 'Incorporated' secara mandatori dalam misi dan strateginya. Isu-isu krusial yang perlu dibahas apabila kelak konsep green banking (definisi: bank yang menempatkan sustainability pada prioritas utama bisnisnya) diterapkan adalah sebagai berikut:

1. BI membuat ketentuan kewajiban penerapan ESRA (Environmental and Sosial Risk Assessment) ke semua bank nasional dan asing di Indonesia. Dengan perangkat ESRA bank dapat melakukan mitigasi risiko-risiko lingkungan yang berhubungan dengan kelayakan proyek yang akan didanai oleh Bank. Dalam ESRA harus tercantum standar credit scoring yang menjadi acuan suatu proposal proyek itu yang secara environmental layak didanai. Jangan sampai Debitur A di bidang tambang, mengajukan kredit ke Bank X ditolak, lalu Debitur A mengajukan lagi proposal ke Bank Y, dan  proposal pengajuan kreditnya diterima. Ini jelas standar ganda. Sebisa mungkin kasus-kasus ini dihindari melalui filter regulasi BI.

2. Ada suatu perusahaan yang kemudian hari melakukan pencemaran berat dan akhirnya Izin LH dicabut oleh KLH atau Pemda. Otomatis izin Usaha juga gugur (UU No 32 Tahun 2009). Sementara perusahaan ini masih punya cicilan kredit ke bank A.

Bagaimana kolektibilitas kreditnya terhadap bank A yang dapat berakibat naiknya NPL (Non Performing Loan, alias kredit macet) Bank A. Ini perlu dibuat skenario buruk kalau suatu saat terjadi, dan apakah mungkin bank diberikan insentif oleh BI baik penghapusan kreditnya maupun ganti rugi. Atau adakah skema asuransi lingkungan yang mengkover kerugian kredit macet tersebut?
 
Kasus serupa, kalau debitur Bank adalah supplier/ vendor utama dari PT X Tambang. Suatu ketika ijin lingkungan PT X Tambang ini dicabut karena mencemari lingkungan, dan otomatis izin usaha gugur. Bagaimana kelanjutan kredit di Bank di mana supplier itu menjadi debiturnya. Sementara core business debitur tersebut adalah dengan PT X Tambang. Ini bisa berakibat pada naiknya NPL bank tersebut.

3. Perlu adanya mekanisme atau sistem informasi AMDAL on-line sehingga pihak Bank bisa mengakses calon-calon debitur yang berisiko merusak atau mencemari lingkungan. Setidaknya bank dapat melihat validitas dan keabsahan dokumen-dokumen lingkungan dari calon debitur. Sistem Amdal On-line ini juga dapat memuat profile atau status PROPER perusahaan tersebut. Jadi semacam mekanisme rating AMDAL ke Pemerintah Pusat/ Pemda. Kalau di dunia banking, ini namanya SID (Sistem Informasi Debitur).Jadi mekanisme ini dibuat layaknya SID untuk AMDAL si calon debitur.
 
Biodiversitas 


Refleksi kemerdekaan ekologis ini patut menjadi renungan HUT RI ke-65. Apakah sudah seharusnya negeri ini putar haluan dengan membangun negeri melalui pemanfaatan biodiversitas (keanekaragaman hayat) yang jumlahnya melimpah ruah. Berdasarkan survey McKinsey yang dilakukan pada periode 15 - 19 Juni 2010 kepada 1.576 respondennya (seluruhnya eksekutif dari berbagai jenis korporasi) di seluruh dunia, ditemukan fakta bahwa dunia bisnis (37%) sudah menyadari betapa pentingnya keanekaragaman hayati bagi masalah keberlanjutan (sustainability) bisnis mereka.

Bahkan, terkait dengan perubahan iklim, sebanyak 59% responden menyatakan bahwa biodiversitas merupakan suatu peluang bisnis ketimbang risiko. Lalu sebanyak 52% responden menyatakan bahwa pemanfaatan energi terbaharukan dalam hubungannya dengan biodiversitas merupakan aksi nyata yang akan mereka lakukan dalam perusahaan mereka.

Meskipun masih carut-marut di lapangan namun harapan pembangunan berbasis lingkungan hidup masih bersinar pada UU PPLH. Paradigma UU PPLH ini adalah pembangunan berkelanjutan yang penuh dengan nilai-nilai wawasan lingkungan hidup. Oleh karena itu sudah saatnya rakyat negeri kita menuntut kemerdekaan ekologis sebagai hak asasi manusia. Kemerdekaan ekologis merupakan cita-cita luhur seluruh anak negeri untuk menuntut negara menciptakan rasa aman dari risiko hancur, cemar, dan rusaknya lingkungan hidup demi generasi sekarang dan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Sekali lagi dengan adanya kesadaran dunia dan tren bisnis global akan pentingya harmoni bisnis dan lingkungan maka selayaknya Indonesia mengambil sikap proaktif untuk memanfaatkan kekayaan alam secara berkelanjutan (sustainable) dalam peningkatan nilai tambah ekonomi. Inilah jati diri bangsa dalam kemerdekaan negeri ini. Kemerdekaan bukan hanya pintar untuk menjual barang mentah namun juga mengolahnya secara optimal untuk kepentingan industri dalam negeri dan daya saing produk kita. Semoga hal ini menjadi kenyataan.

Selamat merenungkan kemerdekaan kita.

Penulis: LEAD Associates - Yayasan Pembangunan Berkelanjutan (YPB). Tulisan merupakan pendapat pribadi. 


Source:http://suarapembaca.detik.com/read/2010/08/23/184044/1426168/471/menggapai-kemerdekaan-ekologis?882205470

Saatnya Green Economy, Indonesia!

Jakarta - Apakah green economy atau ekonomi hijau itu? Menurut UNEP (Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup) ekonomi hijau adalah suatu model pembangunan untuk mencegah meningkatnya emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim. Model ekonomi hijau berperan untuk menggantikan model ekonomi 'hitam' yang boros konsumsi bahan bakar fosil, batu-bara, serta gas alam.

Ekonomi hijau dibangun atas dasar pengetahuan akan pentingnya ekosistem yang menyeimbangkan aktivitas manusia sebagai pelaku ekonomi dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas. Inilah esensi ekonomi hijau. Merevitalisasi ketergantungan antara human-economy dengan natural ecosystem yang pada akhirnya mengurangi dampak perubahan iklim.

Ekonomi hijau memiliki mesin penggerak di lapangan yang berbasis pada energi hijau yakni energi yang terbarukan (renewable energy). Energi terbaharukan ini merupakan pengganti daripada energi berbasis fosil yang dalam APBN 2010 sebanyak 20% anggaran malah tersedot untuk subsidi minyak bumi.

Model pembangunan ekonomi hijau diyakini akan dapat menciptakan green jobs dan mengedepankan konsep pembangunan lestari (sustainable development). Selain itu ekonomi hijau menjadi jalan keluar bagi terciptanya lingkungan yang bersih dan bebas polusi, mengatasi sumber daya ekstraktif melalui mekanisme efisiensi energi dan produk ramah lingkungan, serta menghindari terjadinya degradasi lingkungan.

Saatnya negeri ini bangkit! Bangsa ini kaya akan sumber daya alam hayati (biodiversity) terbaik di dunia. Faktanya adalah bahwa bahwa negara-negara di jalur khatulistiwa yang berhujan lebat dan matahari bersinar sepanjang tahun sangat kaya dengan keanekaragaman hayati dibandingkan dengan negara-negara bermusim empat.

Tiga negara yang tergolong paling kaya keanekaragaman hayatinya adalah Brasil (Amerika Selatan), Indonesia (Asia), dan Zaire-Congo (Afrika). Indonesia dengan 17.000 pulau lebih adalah archipelagic-nation terbesar di dunia melalui keanekaragaman hayati maritim yang menakjubkan. Melalui biodiversitas yang hebat seharusnya Indonesia bisa mengelola kekayaan sumber daya alam terbarukan secara dasyhat.

Pro Poor, Pro Jobs, Pro GrowthSekjen PBB Ban Ki Moon dalam suatu kesempatan pernah mengatakan, "we are now in the threshold of a global transformation which is the age of green economics". Pernyataan ini dia katakan ketika membahas konsep "A Green New Deal" bersama pemimpin negara-negara besar tahun 2009. Konsep "Perjanjian Baru Hijau" ini merupakan konsep ekonomi hijau.

Ekonomi hijau tidak lagi menempatkan investasi pada surat-surat berharga yang spekulatif seperti seperti hot paper, saham, obligasi dan produk derifatifnya namun lebih mengarah kepada investasi bersih (clean and green investment) yang bertumpu pada teknologi bersih untuk mengurangi emisi karbon.

Pendekatan ekonomi hijau sudah mulai menjadi tren kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara maju. Khususnya Eropa yang tidak banyak memiliki sumber daya alam terbaharukan dan apalagi biodiversitas.

Ironisnya, Indonesia, belum memiliki konsep ekonomi hijau yang jelas melalui kebijakan yang terpadu antara seluruh sektor dan sub-sektor Pemerintahan. Padahal konsep ekonomi hijau menjadi benefit negara ini dengan kapasaitas sumber daya alam terbaharukan yang luar biasa besar potensinya. Selain biodiversitas kita juga memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada yang dapat menjadi sumber energi listrik sel surya maupun tenaga ombak.

Dengan berbagai potensi yang besar ini ekonomi hijau dapat menjadi jaminan terciptanya lapangan pekerjaan (pro jobs) dan menjadi motor perekonomian bangsa yang senantiasa tumbuh secara berkelanjutan (pro growth). Sebagai contoh: Indonesia punya lahan kritis sebesar 19,5 juta hektare (dalam kawasan hutan) dan 10,6 juta hektare (luar kawasan hutan).

Lahan kritis ini bisa dimanfaatkan untuk membuat kebun kelapa sawit yang ramah lingkungan, bahan bakar etanol, dan lahan pertanian organik. Bahkan kualitas bioetanol yang diperoleh dari lahan kritis diprediksi dapat memenuhi kebutuhan BBM di Indonesia setiap hari. Bioetanol yang dihasilkan diperoleh dari sumber tanaman jagung, ketela, gandum, dan tebu. Betapa banyak masyarakat lokal di sekitar lahan kritis ini yang akan terserap apabila pembangunan ekonomi hijau dikelola dengan sungguh-sungguh.

Brazil sebagai contohnya sudah mempraktekkan industrialisasi biotenanol sepuluh tahun lalu dan bahkan kini di Brazil, terdapat sekitar 10 juta kendaraan yang menggunakan bioetanol sebagai bahan bakarnya. Luar biasa!

Tetapi, apa lacur di negeri ini! Konsep pembangunan kita masih mengandalkan ekspor sumber daya alam yang dijual secara mentah ke negara-negara kaya. Kita tidak memiliki ciri khas industri yang bernilai tambah tinggi sehingga negara ini bagai terkena "the curse of the plenty". Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak memiliki daya saing produk manufaktur yang tinggi.

Kita lebih senang menjual barang mentah ketimbang mengelolanya dengan benar di dalam negeri sebagai barang jadi yang unggul. Bahkan, ekonomi hijau bisa langsung dilakukan di depan mata. Indonesia adalah negara kaya sampah. Lebih-lebih sampah basah karena setiap hari rakyat makan nasi.

Di Jakarta bahkan rata-rata sampah individu yang dihasilkan adalah 1 kg. Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta orang maka setiap hari dihasilkan sekitar 220 juta kg sampah. Setelah dipilah sebagian besar sampah-sampah tersebut dapat diproses sampah organik dan menjadi kompos alias pupuk sampah.

Bisnis sampah dalam ekonomi hijau di akar rumput dapat dijalankan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang biasanya hampir tiap kecamatan punya TPA. Berdasarkan data per 2004 Indonesia punya 5.263 kecamatan. Sekali lagi, luar biasa!

Success Story Ekonomi Hijau di Negara BerkembangDunia saat ini dihuni oleh sekitar 6,8 miliar populasi. Masalah energi, pangan, dan air adalah masalah yang paling rawan dan mengancam eksistensi manusia karena keterbatasan alam dalam memproduksi segala macam kebutuhan manusia yang semakin konsumtif dan rakus energi. Oleh karena itu beberapa negara berkembang, berdasarkan laporan UNEP di situsnya tahun 2010, telah melakukan pratek ekonomi hijau yang konsisten sehingga menjadi benchmark buat negara kita (sayang sekali Indonesia tidak masuk.

Negara berkembang di sini adalah: China, Kenya, Uganda, Brazil, India, Nepal, Ekuador, dan Tunisia). Sebagai berikut: sampel diambil empat negara saja.

1. China.
Negara komunis ini serus sekali dalam menerapkan pembangunan ekonomi yang rendah karbondioksida. Dalam "repelita"-nya yang ke-11 (2006-2011), China mengalokasikan secara signifikan jumlah investasi di sektor hijau dengan menekankan pada pemanfaatan energi yang terbaharukan serta melakukan efisiensi energi.

Bahkan, China merencanakan secara hitungan per unit GDP bahwa konsumsi energinya tahun 2010 akan menurun sebesar 20% dibandingkan tahun 2005. Selain itu, Pemerintah RRC berkomitmen akan memproduksi 16% dari kebutuhan energi utamanya akan berasal dari sumber-sumber terbaharukan sebelum tahun 2020.

2. Kenya
Negara di Afrika ini adalah negara yang kaya akan energi biomassa. Namun, selama beberapa tahun terakhir kebutuhan energinya sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil. Namun, sejak Maret 2008, Kementerian Energi Kenya mengadopsi kebijakan yang disebut "feed-in tariff" (FIT). Kebijakan ini mirip di Indonesia. FIT mewajibkan perusahaan energi dan utilitis memenuhi kebutuhan jaringan listrik nasional dengan membeli listrik yang berasal dari energi terbaharukan.

Penetapan harga diberlakukan dengan tarif yang menarik untuk menstimulasi investasi baru di sektor terbaharukan. Penerapan kebijakan RES (Renewable Energy Sources) termasuk matahari, angin, mini hydro, biogas, dan pemanfaatan energi sampah perkotaan terbukti meningkatkan pendapatan masyarakat. Kebijakan ini juga membuka banyak lapangan pekerjaan di sana. Selain itu kebijakan RES terbukti dapat memenuhi kebutuhan energi listrik dari berbagai sumber bukan hanya pembangkit listrik berbasis fosil.

3. Uganda
Uganda mengambil inisiatif untuk mentransformasikan produksi pertanian yang konvensional ke dalam sistem pertanian organik. Hasilnya adalah benefit yang signifikan bagi ekonomi, masyarakan dan lingkungan hidup di sana.

Organic Agriculture (OA) berdasarkan definisi Codex Alimentarius Commission adalah sistem pengelolaan pertanian holistik yang bertujuan meningkatkan dan memperbaiki kehidupan ekosistem agrikultur, termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologis dan aktivitas lahan. Pendekatan OA ini juga mencegah pemakaian bahan-bahan sintetik dan kimiawi untuk mempercepat produksi lahan pertanian.

4. Brazil
Melalui pendekatan sustainable urban planning (SUP) Brazil sukses dalam mengendalikan kepadatan penduduk di perkotaan. Sebagaimana kita ketahui Brazil adalah negara keempat di dunia setelah China, India, dan AS, yang memiliki pertumbuhan penduduk urban per tahun sebesar 1,8% antara tahun 2005 dan 2010.

Proyek ini sukses dilaksanakan di Kota Curitiba Ibu Kota Negara Bagian Parana. Pendekatan yang dipakai adalah inovasi dalam urban planning, pengelolaan kota, dan transportasi umum. Curitiba berhasil mengendalikan pertumbuhan penduduk dari 361.000 (1960) menjadi hanya 1,828 juta (2008) tanpa timbulnya kegagalan akibat padatnya penduduk, tanpa timbulnya polusi, dan tanpa mengurangi ruang-ruang publik.

Kepadatan populasi di kota memang meningkat tiga kali lipat dari tahun 1970 sampai 2008. Namun, pada saat yang bersamaan, area-area hijau malah meningkat dari 1 km persegi menjadi 50 km persegi. Pendekatan SUP ini juga dipakai di kota-kota Brazil lainnya. What a remarkable policy!

So, dengan contoh-contoh green economy dari negara berkembang di atas, bisakah Indonesia mendapatkan pelajaran? Seharusnya negara kita bisa lebih hebat dari Uganda, Kenya, bahkan Nepal sekali pun. Apa yang kurang di negeri ini adalah kita terlalu banyak berpolitik ria, korupsi, dan tidak fokus pada apa yang sebenarnya kita mampu lakukan.

Indonesia harus "do what we know" secara optimal. Maksudnya, secara kodrati, kita negara agraria, negara kehutanan, negara keanekaragaman hayati! Manfaatkanlah itu untuk menciptakan produk kebanggaan bangsa. Yang bernilai kompetitif tinggi untuk kemakmuran rakyat secara berkelanjutan (sustainable).

Leonard Tiopan Panjaitan
Jl Durian 2 No 39 Depok
leonardpanjaitan@gmail.com
081510008779

Penulis: Anggota Corporate Sustainability Team (CST) Bank BNI, juga LEAD Cohort-15. Tulisan adalah pendapat pribadi.


Source:http://suarapembaca.detik.com/read/2010/07/19/084450/1401687/471/saatnya-green-economy-indonesia

Sustainable Development dan Piala Dunia

Sungguh. Piala Dunia 2010 Afrika Selatan merupakan pesta meriah manusia sejagad empat tahun sekali. Sepak bola menjadi magnet tersendiri yang menyihir miliaran manusia bumi ini untuk bermimpi. Ya. Bermimpi tim kesayangannya menjadi juara dunia. Setidak-tidaknya tidak kalah memalukan. Pesta ini selalu berkelanjutan empat tahun sekali.

Apa yang menyebabkan sepak bola menjadi olah raga nomor satu di jagad ini. Padahal yang dipermainkan adalah satu bola, satu lapangan, dua tim dengan dua puluh dua orang. Jawabannya adalah karena spirit permainan. Kreativitas, kerja sama tim, skill individu, strategi pelatih, dan mentalitas pemain menjadi atraksi yang menarik dari sepak bola. Tak lupa animo dan fanatisme fans menambah daya magis sepak bola menjadi olah raga yang tak akan pernah ada matinya.

Sepak bola yang indah. Bukan hanya sekedar mengejar kemenangan belaka sebagai tujuan akhir. Adalah permainan yang harmonis antar lini dalam satu tim. Nilai harmonisasi ditambah unsur sportivitas atau fair play akan menambah permainan sepak bola bukan hanya drama yang menegangkan di lapangan. Namun, juga pelajaran akan satu hakekat pembangunan yakni pembangunan fisik tanpa merusak lingkungan.

Lalu apakah hubungannya sepak bola Piala Dunia dengan pembangunan berkelanjutan? Dalam sepak bola ada tiga elemen yang menjadi roh permainan. Kerja sama dan mentalitas tim, leadership dan strategi pelatih, dan kedisiplinan pemain (dalam dan luar lapangan). Tiga unsur ini bersatu padu membentuk kesebelasan yang kompak, kreatif di lapangan, dan taat aturan. Inilah spirit sepakbola disertai asas fair play yang senantiasa dikampanyekan FIFA.

Sama halnya dengan pembangunan berkelanjutan, prinsip lawas tapi relevan - triple bottom line of development (TBL) - menjadi roh pembangunan yang lestari yang mengaitkan erat elemen people (manusia), profit (laba), dan planet (kelestarian lingkungan). Bumi itu satu, dihuni oleh lebih dari 6 miliar penduduk. Maka sustainable development (pembangunan berkelanjutan/ lestari) bukan lagi sekedar paradigma melainkan jalan keluar (a way out) untuk menjadi "permainan" yang berdisiplin dan punya aturan.

Singkatnya pembangunan lestari adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Intinya adalah pembangunan fisik tanpa merusak!
 
TBL (Triple Bottom Line)

Tidak seperti sepak bola yang digandrungi oleh seluruh golongan manusia maka perhatian pada "people" dalam pembangunan lestari masih jauh panggang dari api. Dunia bisnis yang menganut prinsip Triple Bottom Line (TBL) tidak akan menggunakan buruh super murah. Apalagi anak-anak sebagai modal untuk mengurangi fixed cost.

Jelas eksploitasi anak-anak dihindarkan. Upah buruh diperhatikan dan dibayar secara manusiawi. Lingkungan kerja memadai dengan jam kerja yang sehat. Bisnis yang berbasis TBL akan membayar kembali value kepada masyarakat sebagai kontribusinya dalam pembangunan komunitas lokal. Entah itu dalam bentuk CSR maupun program kemitraan yang bersifat empowering masyarakat.

Ibarat bumi itu bagaikan bola yang bundar, 24 jam berotasi, disertai aturan-aturan alam (kapasitas lingkungan atau carrying capacity). Tim sepak bola bermain 2 x 45 menit plus adu pinalti untuk pemenang akhir. Inilah siklus pertandingan bola. Pembangunan berkelanjutan dalam unsur "planet" memiliki siklus "cradle to grave" yakni sistem daur hidup produk dari mulai saat awal hingga akhir. Atau bahasa gaulnya adalah mekanisme end to end.

Singkatnya dalam sistem ini ada suatu ukuran biaya lingkungan dimulai dari tahap membuat dan mengumpulkan bahan baku, memproduksi di pabrik, distribusi ke pelanggan, hingga dibuang (tidak dipakai kembali) oleh pelanggan. Selain itu perusahaan atau organisasi yang menganut asas ini tidak akan membuat barang-barang berbahaya. Baik secara kesehatan mengandung material racun maupun bersifat merusak lingkungan. Intinya, mereka menerapkan asas ecological foot print dalam produk-produknya.

Selama ini profit selalu diukur dari uang yang merupakan nilai ekonomis suatu bisnis atau organisasi. Dalam prinsip TBL ini profit dihitung setelah mengkover biaya-biaya input termasuk biaya modalnya. Jadi sedikit berbeda dengan prinsip akuntansi tradisional. Di sini profit dilihat sebagai benefit ekonomis yang dapat dinikmati bukan hanya oleh perusahaan tersebut tetapi oleh masyarakat sekitar.

Intinya out put ekonomis yang menghasilkan profit harus selaras dengan daya dukung lingkungannya. Tidak bisa eksesif dan exploitatif terhadap alam. Jadi prinsip ini memperhatikan kualitas profit bukan sebanyak-banyaknya profit tetapi lingkungan rusak-tercemar.

Sustainability

Sustainability satu kata bermakna dalam. Diambil dari bahasa latin "sustinere" (artinya bertahan lama, berlangsung lama). Kalau sepak bola secara sustainable bermain dalam liga-liga profesional dan amatir yang bersifat reguler maka pembangunan lestari sudah sepantasnya menjadi arena bisnis yang seimbang, selaras, dan sejalan dengan lingkungan sekitar.

Inilah tujuan akhir dari prinsip TBL yakni mencapai keberlanjutan atau kelestarian pembangunan fisik yang beradab dan adil terhadap semuanya. Sustainability bukanlah utopia pembangunan tetapi suatu strategi "jogo bonito". Inilah permainan indah bukan hanya mengejar tujuan akhir laba sebesar-besarnya tetapi tujuan akhir yang mulia yakni pembangunan yang bertahan selama-lamanya hingga kiamat.

Perubahan iklim saat ini adalah akibat ulah manusia dalam praktek business as usual as it can be to make profits as much as possible. Apabila mengambil analogi sepak bola maka mirip-mirip fenomena efek negatif kapitalisme sepak bola, yang bisa membuat klub-klub bangkrut dan negara kehilangan identitas tim nasionalnya karena invasi pemain-pemain asingnya.

Pembangunan lestari tidak boleh mengesampingkan kearifan lokal. Illegal logging dan deforestasi bisa dicegah dengan mengajak masyarakat lokal untuk berpartisipasi di dalam value chain sektor kehutanan. Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal adalah pekerjaan yang layak. Kalau tidak mereka juga akan ikut-ikutan membabat hutan untuk dijual kepada cukong.

Pekerjaan yang layak di sini adalah berkaitan dengan kelestarian hutan. Peran serta masyarakat menjaga dan memanfaatkan hutan secara lestari dimasukkan dalam perhitungan cost-benefit buat mereka. Jadi mereka menjadi stake holder pertama dalam rantai nilai kehutanan.

Kedisiplinan dan Leadership

Dalam sepak bola peran pelatih sangatlah dominan. Kepemimpinan dan strategi pelatih menentukan arah permainan anak-anak asuhnya di lapangan. Di lapangan kepemimpinan seorang play maker dan atau sang kapten menjadi sesuatu yang vital untuk membentuk orkestra permainan tim yang variatif sesuai instruksi pelatih. Begitu juga halnya dalam pembangunan lestari. Sang Presiden di tingkat nasional dan sang Gubernur - Bupati harus memiliki visi yang jelas dan komitmen yang kuat.

Kerusakan lingkungan di negeri ini seperti di Bangka dan Kalimantan yang miris hati akibat strategi dan kepemimpinan Pemimpin kita yang lemah. Komitmen memang ada. Tetapi, mengejahwantakannya di lapangan ibarat berteriak di padang pasir. Aturan saling tumpang tindih dan bisa diubah-ubah. Rencana tata ruang dan tata wilayah propinsi bisa saja berubah-ubah demi meraup pendapat asli daerah secara instan. Konversi hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan sawit serta pemberian izin kuasa kepada penambang-penambang lokal tanpa uji kelayakan lingkungan yang optimal menjadi contoh strategi pembangungan yang lemah.

Dalam sepak bola ada aturan, kartu kuning, kartu merah, pun ada sanksi buat individu pemain bahkan klub. Lihat contoh kasus calciopoli. Juventus terdegradasi tahun 2006 lalu karena menyuap wasit. Dalam soal pembangunan lestari di negeri ini pelaku kejahatan lingkungan tidak pernah diberikan efek jera. Kita juga tidak pernah bisa menyeret korporasi yang merusak hutan dan perairan ke meja hukum. Apalagi sang pembuat kebijakan. Tidak pernah ada hukum yang adil kepada mereka manakala mereka mengeluarkan izin yang bertabrakan dengan undang-undang.

Jadi mungkin ini naifnya saya. Bisa saja pembangunan lestari akan sulit terwujud di negeri ini apabila dibandingkan dengan kisruhnya PSSI dalam mengelola sepak bola di negeri ini. So, adakah harapan buat terciptanya lingkungan dan pembangunan yang selaras di republik ini? Jawabannya adalah lihatlah sepak bola yang profesional di negara lain. Mungkin terasa naif dan tidak relevan terhadap isu utama ini. Tetapi, sekali lagi apabila pembangunan lestari sama menariknya dengan sepak bola mungkin kita bisa bangga menjadi bangsa sendiri.

Negeri ini kaya akan keanekaragaman hayati dan dapat menjadi bangsa yang mandiri, terdifferensiasi, dan memiliki daya saing tinggi. Tirulah Brazil. Timnasnya superior di dunia negara berkembang dan pemimpinnya konsisten terhadap pembangunan lestari. Who knows!

Leonard Tiopan Panjaitan
Jl Durian 2 No 39 Depok
leonardpanjaitan@gmail.com
081510008779

Penulis adalah Anggota Corporate Sustainability Team (CST) Bank BNI. Tulisan ini pendapat pribadi.


Source:http://suarapembaca.detik.com/read/2010/07/13/094916/1398011/471/sustainable-development-dan-piala-dunia

Laporan Keberlanjutan BNI 2009 - Sustainability Report BNI 2009

Growing towards Sustainability, The Creation of Value from Values. Laporan Keberlanjutan Bank BNI atau BNI Sustainability Report 2009. BNI adalah bank nasional dan bank BUMN pertama di Indonesia yang membuat laporan keberlanjutan (Sustainability Report). Please download at this URL:





Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...