Showing posts with label Nusantara. Show all posts
Showing posts with label Nusantara. Show all posts

Sunday, September 6, 2009

Malaysia Tenggelam dalam Krisis Identitas

Direktur Jenderal (Dirjen) Asean Departemen Luar Negeri (Deplu) Indonesia, Djauhari Oratmangun, menegaskan, Malaysia saat ini sedang mengalami krisis identitas.

"Malaysia sedang mengalami krisis identitas dan sedang dalam proses mencari jati diri," kata Dirjen Oratmangun, saat dikonfirmasi menyangkut klaim Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia, di Ambon, Sabtu (5/9).

Oratmangun yang berada di Ambon sejak Rabu (3/9) dalam rangka melakukan serangkaian pertemuan dengan Pemprov Maluku dan Pemkot Ambon, mengatakan 50 persen penduduk di Malaysia adalah keturunan Melayu dan sisanya dari China dan India. Ia menegaskan, orang Melayu saat ini sedang mencari identitas dirinya.

"Suka atau tidak suka, 50 persen orang Malaysia adalah keturunan Indonesia dan mereka membawa budaya itu ke sana," kata Oratmangun.

Begitu pun tari reog Ponorogo yang pernah menjadi masalah di Malaysia, sebenarnya juga diperkenalkan dan ditarikan oleh orang Ponorogo yang sudah bermukim di sana selama tiga generasi. Khusus tari pendet dari Bali yang diklaim sebagai kebudayaan Malaysia, Djauhari menerangkan, iklan tersebut diproduksi untuk promosi wisata negara itu, tetapi saat diproduksi tidak ada tari pendet.

Namun, Discovery Chanel yang menayangkan iklan tersebut kemudian menambahkan tari itu dalam iklannya.
"Kesalahannya adalah Discovery tidak menyebutkan bahwa tari pendet berasal dari Indonesia," kata Oratmangun.

Ia menegaskan Pemerintah Indonesia sudah mengirim surat protes yang diakui sebagai produk hukum internasional kepada Pemerintah Malaysia dan telah diterima.

"Mereka telah menerima klaim kalau itu (tari pendet) adalah milik kita. Penyelesaian secara diplomasi telah kita lakukan dan itu sudah cukup, apalagi Presiden Susilo Bambang Yudyohono juga telah melakukan pembicaraan dengan Perdana Menteri Malaysia," ujarnya.

Lagi pula, kata Djauhari, Malaysia tidak pernah mengklaim secara resmi bahwa tari pendet adalah milik Malaysia, dan itu hanya klaim di internet. Djauhari Oratmangun meminta seluruh masyarakat Indonesia menilai persoalan ini secara positif bahwa produk budaya Indonesia ternyata sangat laku dijual.

"Ini membuktikan budaya kita sangat kuat dan terkenal di dunia internasional. Kelemahan orang Indonesia adalah jarang memelihara budayanya dan baru akan protes jika pihak luar mengklaim suatu produk budaya kita sebagai budaya mereka," katanya

Dia juga menyesalkan sikap media di Indonesia yang ramai memberitakan aksi protes terhadap budaya Indonesia yang diklaim negara tetangga, termasuk mempengaruhi masyarakat untuk melakukan ganyang terhadap negara tetangga itu.

Dia meminta media di tanah air lebih arif dan bijaksana memberikan masalah ini, mengingat presentase berita seni dan budaya di Indonesia di media nasional sangat jarang dimuat atau diulas secara luas. "Program acara atau berita untuk reservasi budaya kita sangat kurang di media nasional. Tetapi kalau budaya asing banyak," katanya.

Saturday, September 5, 2009

Masa Keemasan Majapahit Diungkap

Masa keemasan Majapahit yang tertuang dalam karya Mpu Prapanca, Nagara Krtagama, ditulis ulang dan diulas oleh Prof I Ketut Riana. Sejauh ini ada 15 versi naskah Nagara Krtagama yang beredar sejak tahun 1902.

Dalam peluncuran dan bedah buku berjudul Kakawin Desa Warnnnana uthawi Nagara Krtagama; Masa Keemasan Majapahit, Kamis (3/9), ahli linguistik, Prof I Ketut Riana mengatakan, buku itu diterbitkan guna melestarikan warisan leluhur yang tinggi dan mulia. ”Melalui karya ini, masyarakat dapat memahami lebih lanjut tentang karya sastra sejarah Nusantara yang mengagumkan,” katanya.

Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tersebut mengulas kejayaan Majapahit yang terkenal di Nusantara, bahkan di negara lain. Buku disajikan lengkap dengan huruf Bali dan salinannya dengan bahasa Jawa Kuna.

Dr HIR Hinzler, asisten guru besar bidang Arkeologi dan Sejarah Purba, Universitas Leiden, mengungkapkan, berdasarkan penelusurannya, terdapat setidaknya 15 versi Nagara Krtagama sejak tahun 1902 hingga kini. Karya tersebut disalin kembali ke daun lontar ataupun ke atas kertas. Tak mengherankan jika kerap timbul pertanyaan naskah mana yang asli dan paling tua. Karya asli diduga hancur bersama runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15.

Prof I Ketut Riana menggunakan naskah lontar koleksi Museum Mpu Tantular, Sidoarjo, Jawa Timur. Naskah itu relatif lebih lengkap karena merupakan hasil revisi dari beberapa naskah yang dianggap kurang lengkap oleh penyadur.

Pembahas yang lain, sejarawan Prof Djoko Suryo, mengatakan, teks itu menjadi menarik karena juga memiliki nilai sejarah. ”Prapanca menggubah karya tidak hanya menggunakan sumber karya-karya masa lampau, tetapi juga pengamatan sendiri, seperti soal tata kota dan pemerintahan. Ini dapat digunakan untuk merekonstruksi Kerajaan Majapahit,” ujarnya.

Prof Riana mengatakan, naskah dapat menjadi sumber informasi yang menghidupkan artefak-artefak yang ada. ”Di candi-candi banyak terdapat relief yang sebetulnya ceritanya dapat dicari di berbagai naskah sehingga relief itu ’berbicara’ dan masyarakat dapat memahaminya,” ujarnya. (INE)

Jumat, 04 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/04035377/masa.keemasan.majapahit.diungkap

Wednesday, September 2, 2009

Prof. Adrian Bernard Lapian, 80 Tahun Nakhoda Sejarah Kelautan


Selasa, 1 September ini, sejarawan Prof Dr Adrian Bernard Lapian genap berusia 80 tahun. Dalam usia senja, lelaki ini masih berbicara dengan jelas dan runut. Ia mampu mencari sendiri di rak bukunya beberapa pustaka dan majalah yang pernah memuat tulisan tentang dirinya. Salah satunya, Itinerario, jurnal sejarah maritim Belanda, yang lima tahun lalu memuat hasil wawancara dengannya.

Kecuali asam urat dan daya pendengaran yang dirasakannya menurun, Lapian relatif tak punya keluhan kesehatan serius. Ia biasa melakukan perjalanan sendiri ke Jakarta dari Tomohon, Sulawesi Utara. Setelah pensiun sebagai peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1994, ia lebih banyak tinggal di kampung halaman.

Beberapa bulan lalu ia kembali tinggal di Jakarta guna menyiapkan penerbitan buku yang akan diluncurkan dalam acara peringatan ulang tahunnya ke-80 ini. Meski, ia sudah memercayakan penyuntingan naskah itu kepada penerbit.

”Mungkin mereka (penerbit) khawatir saya tak puas, jadi minta saya mengedit sendiri,” katanya. Maklum, Komunitas Bambu, penerbitnya, dikelola beberapa mantan mahasiswa Lapian.

Acara peringatan ulang tahunnya bakal diisi peluncuran buku Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Buku ini adalah naskah disertasinya yang pernah diterbitkan menjadi buku pada 2001. Namun, ia tak puas dengan hasilnya.

Salah satu tesis yang dikemukakan Lapian adalah tentang bajak laut. Menurut dia, definisi yang hanya melihat bajak laut sebagai kriminal perlu dikoreksi. Ia mencontohkan Sir Francis Drake, petualang Inggris yang oleh bangsa Spanyol disebut pirate, perompak/bajak laut. Namun, Pemerintah Inggris justru menganggap Drake sebagai
corsair, orang yang diberi hak merompak sebagai tugas negara. Ia bahkan diberi gelar kehormatan, Sir.

Kesimpulannya, seseorang disebut bajak laut atau corsair tergantung dari pihak yang bicara. Ini sama dengan mereka yang disebut teroris dan berkonotasi negatif, tetapi oleh pihak lain malah dianggap pahlawan.

Buku lain yang juga diluncurkan dalam acara sama yang digelar di Auditorium Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta, petang nanti, adalah Kembara Bahari. Antologi esai Kehormatan 80 Tahun Lapian ini didedikasikan untuk dia, dari para rekan dan mantan mahasiswanya, yang menjadi sejarawan dan budayawan Indonesia ataupun asing, seperti RZ Leirissa, guru besar sejarah UI, Pieter Drooglever, sejarawan Belanda, Ajip Rosidi, sastrawan, dan sosiolog Mely G Tan.

Peluncuran kedua buku tersebut membangkitkan gairah Lapian. ”Saya senang karena teman-teman ternyata tidak melupakan saya,” ujarnya.

Tak ada duanya

Apa pun bentuk acara peringatannya, Lapian adalah sosok peneliti dan akademisi Indonesia yang membanggakan. Keberadaannya lebih dari pantas untuk dirayakan. Ia, sejarawan yang lewat penelitian dan karya tulis, ikut mengharumkan nama bangsa di berbagai seminar dan lokakarya internasional.

Lebih spesifik lagi, Lapian adalah maestro di bidang sejarah maritim, sejarah kelautan, dan sejarah bahari. Sampai kini boleh dikata belum ada sosok yang mampu menandingi keempuannya itu, bahkan di Asia Tenggara.

Tak kurang dari begawan sejarah Indonesia, almarhum Prof Sartono Kartodirdjo, memuji Lapian setinggi langit. ”Apa yang dilakukan Lapian dengan karyanya merupakan keberhasilan cemerlang. Ia sudah melakukan prinsip yang mengarah ke excellence. Caranya memegang dan menghayati prinsip ini dalam berkarya sebagai akademisi mengingatkan bahwa only the best is good enough,” kata guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada itu.

Di bawah bimbingan Sartono, Lapian lulus dengan predikat cum laude dalam ujian doktor tahun 1978.

Adapun Anthony Reid, sejarawan senior dan peneliti utama Asia Research Institute, National University of Singapore, menilai Lapian sebagai sejarawan Indonesia yang tak ada duanya.

”Tak ada sarjana Indonesia yang menunjukkan keahlian sebagai sejarawan lebih baik dari Lapian,” kata Reid, seperti dikutip di sampul belakang buku.

Lapian bukan ilmuwan yang hanya meneropong dari menara gading. Saat sebagian di antara kita baru belakangan sadar dan mewacanakan kurangnya perhatian bangsa kepada kebaharian, Lapian sejak 30-an tahun lalu mengingatkan pentingnya mengalihkan orientasi kehidupan bangsa dari darat ke laut.

Indonesia sebagai negara kepulauan, mengacu pada kata archipelago yang diterjemahkan menjadi nusantara. Terjemahan ini, menurut Lapian, salah kaprah.

”Archipelago berasal dari kata arche yang artinya besar dan pelago yang maknanya laut. Jadi, archipelago berarti laut besar, bukan kepulauan atau nusantara, kata yang sebetulnya bermakna pulau-pulau luar atau pulau-pulau di seberang laut,” paparnya.

Penggunaan istilah nusantara menunjukkan cara pandang bangsa yang lebih berorientasi kepada darat daripada laut.

Namun, tambah Lapian, kesadaran kebaharian sudah jauh lebih baik. Ia menunjuk adanya Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai bukti. ”Saya senang karena makin banyak sarjana, termasuk sejarawan, yang berminat terhadap masalah kelautan.”

Dia juga melihat semakin banyak buku sejarah kebaharian, termasuk Angkatan Laut, seperti buku yang ditulis sejumlah purnawirawan perwira tinggi TNI AL, Dan Toch Maar. Buku ini berisi pengalaman anggota TNI AL pertama yang dikirim ke Eropa untuk belajar di Sekolah Tinggi Angkatan Laut Belanda tahun 1950-an.

Dalam seminar sejarah di Jakarta pada 1998, Shahril Talib, guru besar sejarah University of Malaysia, untuk pertama kali menyebut Lapian sebagai ”Nakhoda Sejarah Maritim Asia Tenggara”. Sejak itu ia kerap disapa dengan julukan tersebut.

Julukan nakhoda bagi Lapian tak berlebihan. Ia pelopor sekaligus pengembang utama disiplin sejarah kelautan Indonesia dan Asia Tenggara. Ia menentukan ke mana biduk ilmu pengetahuan itu berlayar. Meski sejarawan maritim muda bermunculan, pengaruh Lapian tetap terasa.

BIODATA 

• Nama: Adrian Bernard Lapian • Lahir: Tegal, Jawa Tengah, 1 September 1929 • Pendidikan: - SD, SMP, SMA/AMS di Tomohon, Sulawesi Utara, lulus ”algemene middelbare school” (AMS), 1950 - Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jurusan Sipil (kini ITB), 1950-1953, tak selesai - Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI, 1956-1961 - Mendalami sejarah maritim di Universitas Leiden, Belanda, 1966 - Doktor ilmu sejarah Universitas Gadjah Mada, lulus 1978 • Karier: - Pustakawan Biro Perancang Negara (kini Bappenas), awal 1950-an - Wartawan ”The Indonesian Observer”, 1954-1957 - Kepala Seksi Sejarah Angkatan Laut dan Maritim, Markas Besar TNI Angkatan Laut, 1962-1965 - Peneliti Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini LIPI), antara lain sebagai Kepala Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan, 1957 sampai pensiun, 1994 - Dosen dan pembimbing kandidat doktor UGM, UI, dan Universitas Sam Ratulangi - Guru besar luar biasa UI, 1992 • Penghargaan: - Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia, 2002

Publikasi Seni Budaya Banyak Karya Asing

Publikasi yang berkualitas tentang seni budaya Indonesia sampai saat ini masih diwarnai oleh para peneliti dan sarjana asing yang karyanya banyak tersebar di berbagai daerah. Adapun di dalam negeri karya seperti itu masih terhambat minimnya dana dan minimnya apresiasi.

Buku-buku yang cukup standar secara akademis tentang Minangkabau, misalnya, selama ini masih merujuk pada karya-karya sarjana asing, yang memang secara mendalam dan sungguh-sungguh melakukan pekerjaannya.

Budayawan dan mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat, Edy Utama, mengatakan hal itu ketika dihubungi Senin (31/8) di Padang.

”Kalau ada yang ingin melakukan penelitian tentang teater tradisional Minangkabau, randai, misalnya, kita masih harus merujuk kepada karya Prof Kirstin Pauka dari Hawaii University serta tentang silat Minangkabau pada karya Dr Hiltrud Cordes dari Jerman. Atau, kalau mau mempelajari sijobang, sebuah teater tutur dari Payakumbuh, kita masih terpaksa menggunakan hasil penelitian Nigel Philyps dari SOAS Inggris,” katanya.

Edy menjelaskan, kita nyaris tak bisa menemukan karya-karya yang dipublikasikan yang ditulis secara mendalam tentang seni budaya kita oleh orang Indonesia sendiri. Jika mau mempelajari budaya masyarakat Mentawai, hampir 100 persen buku rujukannya karya orang asing.

Dihubungi secara terpisah, sastrawan asal Bali, Tan Lioe Ie, mengatakan, pemerintah harus memberi apresiasi lebih terhadap seni budaya, dengan mendorong kalangan akademisi atau peminat kebudayaan untuk meneliti dan menulis buku seni budaya.

”Upaya pendokumentasian berbagai seni budaya yang kita miliki perlu digalakkan, termasuk di dalamnya penerbitan buku seni budaya, penerjemahan ke dalam berbagai bahasa, dan pendistribusiannya ke berbagai negara,” katanya. ”Jika seni budaya kita dikenal luas di dalam dan luar negeri, besar kemungkinan rakyat akan bangga dan mencintainya,” ujar Lioe Ie.

Minim dana dan apresiasi

Menurut Edy Utama, kurangnya publikasi atau penerbitan buku-buku tentang seni budaya di Indonesia, umumnya, dan Sumatera Barat, khususnya, selain dana sangat kurang, juga disebabkan belum ada orang yang sungguh-sungguh mau mengabdikan hidupnya untuk mengamati, meneliti, dan menulis seni budaya itu sendiri.

Kalau orangnya pun ada, ia juga akan terbentur dengan minimnya dana dan apresiasi dari pemerintah serta masyarakat sehingga hasil karyanya tidak cukup mendalam dan kurang komprehensif. Sebetulnya, berbagai bentuk penelitian awal tentang seni budaya di Sumatera Barat telah banyak dilakukan, terutama untuk keperluan akademis.

Banyak dosen yang telah membuat tesis dan bahkan juga disertasi tentang seni budaya, tetapi belum banyak yang dipublikasikan, dengan alasan tidak adanya dana penerbitan.

”Memang tidak semua hasil penelitian akademis punya kualitas, tetapi sebagai bahan awal untuk menelusuri kekayaan khazanah seni budaya di daerah, dapat dikatakan sudah cukup memadai. Tinggal lagi melakukan penelitian lanjutan sehingga dapat dijadikan bahan publikasi dalam bentuk buku yang dapat dikonsumsi oleh umum,” tutur Edy Utama.

Sementara itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat masih menginventarisasi seni budaya yang ada di setiap kabupaten dan kota. Diharapkan pada tahun 2010 seluruh seni tradisi yang ada bisa didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

”Tahun ini tidak bisa karena tidak ada anggarannya,” kata Kepala Bidang Kesenian dan Perfilman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat Oden Effendi. Berdasarkan pendataan tahun 2004, ada 398 kesenian tradisi yang ada di Jawa Barat, mencakup seni tari, pertunjukan, hingga alat musik.

Ketergantungan

Dia berpendapat, minimnya publikasi tentang seni budaya kita, apalagi yang berkualitas, telah menyebabkan kita terjebak ketergantungan terus-menerus terhadap hasil pengetahuan orang asing (Barat).

Padahal, kalau mau memahami budayanya secara mendalam sebagai hasil pergulatan kreatif anak bangsa, mau tidak mau, kita harus mendorong penelitian, kajian, dan publikasi oleh bangsa sendiri.

Perspektif orang dalam di sisi lain akan bisa mengungkap banyak hal dari karakteristik budaya kita yang unik, plural—yang orang luar belum tentu dapat menangkap ruhnya sepenuhnya.

”Saya percaya, jika para sarjana, seniman, dan wartawan kita diberi peluang dan dukungan pendanaan yang cukup, akan dapat menghasilkan karya-karya penulisan tentang seni budaya kita, yang siap dipublikasikan ke dunia. Dengan cara itu, kita telah menyatakan kepada dunia bahwa berbagai seni budaya yang sangat kaya ini adalah milik kita meskipun belum dipatenkan atau didaftarkan,” katanya.

Selain untuk mempertahankan dari klaim bangsa lain, penelitian, kajian, dan publikasi tersebut juga berguna bagi pewarisan budaya—salah satu masalah paling krusial dalam kehidupan bangsa kita dewasa ini.

Lembaga kebudayaan

Tan Lioe Ie mengatakan, perlu peran media yang punya akses luas ke masyarakat dalam memublikasikan berbagai hal menyangkut seni budaya. Pemerintah juga perlu memberi apresiasi lebih kepada seni budaya kita, termasuk senimannya, begitu pula dunia usaha, seperti sektor pariwisata yang ”diuntungkan” oleh seni budaya kita.

”Perlu lembaga kebudayaan Indonesia di berbagai negara untuk mempromosikan seni budaya kita, semacam Goethe Institute dan Erasmus Huis, mendukung penerbitan karya seni, pengiriman seniman ke luar negeri, tradisional ataupun modern, untuk ditampilkan kepada warga negara setempat, selain ditampilkan di berbagai ajang festival seni budaya di dalam negeri sendiri serta ditayangkan/dipublikasikan secara luas agar masyarakat kenal dan cinta seni budayanya, baik yang tradisional maupun modern,” katanya.

Untuk teknis pelaksanaan, pemerintah bisa bermitra dengan swasta dan memiliki kurator yang bagus sehingga festival itu bermutu dan layak berita, baik bagi media dari Indonesia sendiri maupun media asing. Tentu upaya ini perlu dilakukan terus-menerus karena sulit berharap hasilnya secara instan. (NAL/JON)

Friday, August 28, 2009

Kelautan: Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011

Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.

Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.

Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.

Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.

Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.

HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.

Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Bisa dialihkan

HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.

Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.

Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)

Thursday, August 20, 2009

"Harta Karun" Bawah Laut Dijual Rp 550 Miliar

Direktorat Peninggalan Bawah Air Departemen Kebudayaan dan Pariwisata meminta para pemimpin dan masyarakat di daerah pesisir turut melindungi benda-benda yang ditemukan di dalam laut. Sejak tahun 1985-2000 sejumlah orang asing telah mengambil dan menjual ”harta karun” itu ke negara lain seharga 55 juta dollar AS atau sekitar Rp 550 miliar.

”Nilai transaksi itu adalah yang diketahui Direktorat Peninggalan Bawah Air. Masih banyak transaksi bernilai tinggi yang tidak terdata dan terlacak,” kata Kepala Subpengendalian dan Pemanfaatan Direktorat Peninggalan Bawah Air R Widiati di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Selasa (18/8).

Direktorat Peninggalan Bawah Air mencatat, ada tiga transaksi utama ”harta karun” yang ditemukan di perairan Indonesia. Pada tahun 1980-an seorang warga negara asing bernama M Hatcher menemukan dan mengangkut 100 batang emas dan 20.000 buah porselen China zaman Dinasti Ching di perairan Kepulauan Riau senilai 15 juta dollar AS.

Pada 1999 di perairan Batu Hitam, Bangka Belitung, sebuah perusahaan asing mengambil ratusan batang emas dan 60.000 porselen China zaman Dinasti Thang senilai 40 juta dollar AS. Setahun kemudian perusahaan asing yang diduga di bawah kendali M Hatcher itu mengangkut dan melelang 250.000 keramik China dari Bangka Belitung ke Nagel, balai lelang Jerman.

Secara terpisah, Sekretaris Daerah Kabupaten Rembang Hamzah Fatoni mengatakan, pemerintah melarang masyarakat menggali atau menyelam untuk mengambil benda-benda peninggalan yang tersimpan di bawah air. (HEN)

Rabu, 19 Agustus 2009 | 08:13 WIB

REMBANG, KOMPAS.com —http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/19/08135399/harta.karun.bawah.laut.dijual.rp.550.miliar

Friday, August 14, 2009

Kepulauan Riau: Ladang Empuk Eksploitasi Alam

Kepulauan Riau merupakan provinsi yang berbatasan dengan empat negara, yaitu Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Kepri memiliki luas laut 242.497 kilometer persegi (95 persen) dan luas darat 10.104 kilometer persegi dengan 2.408 pulau. Kekayaan sumber daya alam pun berlimpah. Dari minyak dan gas bumi (migas) di Kabupaten Natuna hingga bauksit di Kabupaten Bintan. Ikan dan hasil laut ada di seluruh perairan Kepri, khususnya perairan Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna. Ket Foto: Bauksit yang dibawa tongkang kemudian diangkut ke kapal-kapal tanker yang menunggu di beberapa titik di perairan Kepulauan Riau, seperti Pulau Telang, Bintan. Tongkang bermuatan bauksit yang ditarik dengan tugboat, akhir Juli lalu, dengan bebas dan leluasa keluar dari Sungai Hulu Riau, Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, menuju kapal tanker yang menunggu di perairan Selat Malaka.

Ironisnya, kekayaan alam di daerah itu tidak mampu menggerakkan ekonomi dan pembangunan daerah. Misalnya, pembangunan infrastruktur listrik dan air bersih di Kabupaten Bintan, termasuk Kota Tanjung Pinang, sebagai daerah produsen bauksit seperti berjalan di tempat. Sebagian besar masyarakat di Bintan masih mengandalkan genset. Produksi dan distribusi air bersih terbatas. Waduk dari Sungai Pulai untuk memasok air bersih pun susut hingga 4 meter.

Contoh lain, ladang gas di Natuna belum mampu membuat Kepri dan wilayah lain di Sumatera terlepas dari ”penyakit akut”: krisis listrik! Kekayaan sumber daya kelautan belum digarap maksimal dan cenderung hanya menjadi potensi dan wacana seminar kelautan.

Intinya, tidak ada industri yang mampu memberikan nilai tambah dari kekayaan sumber daya alam yang ada. Hampir tidak ada industri yang dibangun dengan berbasis sumber alam dan berorientasi ekspor.

Industri di Batam, Bintan, dan Karimun lebih banyak merupakan industri ”tukang jahit” atau industri rakitan dan industri berat, seperti galangan kapal. Industri tersebut sarat dengan bahan baku impor dan mengandalkan tenaga buruh murah.

Industri yang berbasis bahan baku lokal dan kekayaan alam di daerah yang memberikan nilai tambah dan berorientasi ekspor tidak tergarap. Akibatnya, terjadi defisit neraca perdagangan di Kepri, yang punya tiga daerah—Batam, Bintan, dan Karimun—sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.

Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri menunjukkan, total nilai ekspor—baik migas maupun nonmigas—tahun 2008 sebesar 7,47 miliar dollar AS. Dari nilai itu, Batam memiliki kontribusi terbesar, yaitu sekitar 70 persen.

Akan tetapi, total nilai impor Kepri pada tahun yang sama— baik migas maupun nonmigas— mencapai 12,17 miliar dollar AS. Itu berarti, terjadi defisit neraca perdagangan sebesar 4,7 miliar dollar AS. Dengan asumsi nilai tukar dollar AS Rp 10.000, defisit neraca perdagangan mencapai Rp 47 triliun.

Jika nilai impor dapat dihemat 50 persen, secara teori, setidaknya devisa sebesar Rp 20 triliun dapat dihemat dan uang berputar di dalam negeri lebih besar. Devisa sebesar Rp 20 triliun itu jauh lebih tinggi daripada nilai Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah di Provinsi Kepri dengan lima kabupaten dan kota yang masih di bawah Rp 5 triliun.

Eksploitasi

Salah satu sumber kekayaan alam di Kepri yang banyak dieksploitasi adalah bauksit. Tambang bauksit tumbuh sporadis di beberapa tempat di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang. Tambang bauksit dibuka oleh perusahaan swasta, baik asing maupun domestik.

Bauksit dari daerah-daerah tambang diangkut dengan truk ke dermaga-dermaga tongkang. Bauksit kemudian dimasukkan ke dalam tongkang di dermaga tongkang di pinggir-pinggir hutan-hutan bakau.

Tongkang yang membawa bauksit kemudian mengangkutnya ke kapal-kapal tanker yang menunggu di beberapa titik perairan Kepri, seperti Pulau Telang. Tongkang-tongkang yang ditarik dengan tugboat dengan bebas dan leluasa lalu lalang di selat-selat kecil menuju kapal yang menunggu di perairan.

Persoalannya, siapa yang bisa mengawasi volume ekspor bauksit yang diangkut dengan tongkang dari dermaga-dermaga kecil di hutan-hutan bakau ke kapal-kapal tanker? Pengawasan masih sangat lemah sehingga diduga kuat ada penyelewengan volume ekspor.

Penyelewengan itu memang sulit ditunjukkan dengan data pasti. Akan tetapi, ada beberapa data yang dapat mengindikasikan adanya penyelewengan ekspor bauksit, termasuk di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang, sebagai salah satu daerah penghasil bauksit.

Sebagai gambaran, dari laporan Shipping Intelligence Network disebutkan, Indonesia menjadi pemasok bauksit terbesar ke China. Dari 9,3 juta metrik ton (MT) impor bauksit China tahun 2006, sebesar 90,5 persen atau sekitar 8,4 juta MT diimpor dari Indonesia.

Dari data BPS yang diolah Departemen Perdagangan, volume ekspor bauksit dari Indonesia ke China tahun 2006 hanya tercatat 7,2 juta MT. Itu berarti, ada selisih nilai ekspor dari Indonesia ke China dengan nilai impor bauksit China dari Indonesia sebesar 1,2 juta MT.

Dari laporan Bloomberg juga terlihat volume ekspor bauksit dari Indonesia ke China cukup tinggi. Dari 12,5 MT impor bauksit China selama tujuh bulan pada tahun 2007, 8,81 MT diimpor dari Indonesia. Sementara dari laporan World Aluminium Market, pada periode Januari-Juni 2009 atau dalam semester I-2009 total volume impor bauksit China sebesar 7,15 juta MT. Dari jumlah volume itu, China mengimpor bauksit dari Indonesia 4,99 juta MT.

Dengan asumsi besaran volume impor bauksit China dari Indonesia pada semester II-2009 sama dengan semester I-2009 itu, volume impor bauksit China dari Indonesia tahun 2009 bisa mencapai 10 juta MT. Sayangnya, masih sulit mendapatkan data volume ekspor bauksit dari Indonesia ke China versi BPS. Apalagi data volume ekspor bauksit dari Kabupaten Bintan. Data volume ekspor bauksit di Bintan selama ini cenderung ditutup-tutupi.

Perikanan

Selain bauksit, masih ada kekayaan alam yang ”dieksploitasi”. Produk perikanan selama ini dicuri oleh nelayan-nelayan asing di perairan Kepri, seperti di Natuna. Perairan laut Natuna merupakan perairan yang selalu menjadi incaran nelayan Vietnam dan Thailand.

Sayangnya, dari sekian banyak kapal asing yang ditangkap aparat TNI Angkatan Laut dan petugas dari Departemen Kelautan dan Perikanan, keberadaan dan pemanfaatan kapal-kapal tidak jelas. Sebagian besar kapal yang ditangkap dan disita itu kemudian rusak dan menjadi bangkai di beberapa pelabuhan.

Tarmizi, Ketua Ikatan Kerukunan Nelayan Kepulauan Anambas, mengungkapkan, saat ini setidaknya ada 24 kapal nelayan asing—baik Thailand maupun Vietnam—yang bersandar di Tarempa, Kabupaten Kepulauan Anambas. Kapal-kapal itu masih diproses secara hukum sehingga kapal dilego di Tarempa. Setelah diproses secara hukum, kapal-kapal asing itu dilelang. Pemenang lelang umumnya pengusaha kapal di Batam dan Tanjung Pinang.

”Saya mencurigai ada tangan-tangan perusahaan ikan Thailand dan Vietnam di Batam yang ikut lelang. Jadi, setelah dilelang, kapal beroperasi lagi di laut Anambas,” katanya.

Jika saja ratusan kapal yang ditangkap selama ini digunakan untuk kepentingan di daerah, manfaat yang diperoleh sangat besar. Misalnya, untuk menangkap ikan di perairan yang lebih jauh oleh para nelayan kita.

Selama ini, nelayan-nelayan pesisir hanya mengandalkan perahu kecil atau perahu pancung untuk menangkap ikan di perairan pulau-pulau, seperti Batam, Bintan, dan Karimun. Penangkapan ikan oleh kapal-kapal besar dilakukan pengusaha ikan dengan mempekerjakan nelayan lokal.

Berangkat dari kondisi itu, memang perlu ditinjau ulang strategi besar kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di daerah, khususnya di Kepri yang juga menjadi daerah perbatasan.

Sejauh mana kontribusi kekayaan alam, baik itu migas, bauksit, maupun komoditas lain, yang dikelola bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat? Sejauh mana pula pengelolaan kekayaan laut, termasuk pulau-pulau kosong dan terluar, untuk menyejahterakan rakyat. Tanpa itu, daerah-daerah perbatasan yang kaya sumber alam justru hanya jadi ladang eksploitasi....

Kamis, 13 Agustus 2009 | 05:27 WIB

Penulis: Ferry Santoso

Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/05273471/ladang.empuk.eksploitasi.alam.

Simbol Pertahanan Negara Kepulauan

Pulau Nipah merupakan satu dari 19 pulau terluar di Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya di antara Pulau Batam dan Pulau Karimun. Di bagian utara, di perairan Selat Philip, Pulau Nipah berbatasan dengan negara Singapura. Ket Foto: Pulau Nipah seluas 60 hektar di Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipah merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan Singapura, dan selesai direklamasi akhir tahun 2008. Pemerintah Indonesia akan mengembangkan pulau ini dengan zonasi pertahanan, ekonomi terbatas, dan konservasi.

Pulau seluas sekitar 1,5 hektar saat air laut pasang ini sebelum direklamasi berupa karang saja, tidak berpenghuni, dan nyaris ”tenggelam” bila air laut pasang. Saat air laut surut, luas Pulau Nipah menjadi 60-an hektar.

Meskipun berbatasan dengan Singapura, tahun 1960-an para nelayan dari wilayah Kepulauan Riau leluasa melintas di perairan Singapura. Sebaliknya, nelayan-nelayan dari Singapura—sebagian besar juga merupakan orang Melayu—dapat memasuki perairan Indonesia.

Menurut Musa Jantan (68), warga Pulau Belakang Padang, Batam, tahun 1960-an nelayan lokal dapat menjual langsung hasil tangkapan laut ke pulau-pulau di Singapura, seperti Pulau Sekijang, Semakau, dan Senang.

Akan tetapi, menurut Musa, Penasihat Lembaga Adat Melayu Batam, tahun 1980-an Singapura mulai memperketat pengawasan wilayah perairannya. Mobilitas nelayan Riau pun semakin terbatas. Pulau-pulau yang dulu lahan penghidupan nelayan kian hari ditinggalkan karena mobilitas nelayan berkurang. Lambat laun, kerawanan perbatasan itu semakin terasa.

Apalagi Singapura terus mereklamasi wilayah, seperti di daerah Tuas, dan Jurong, termasuk di pulau-pulau seperti Pulau Semakau dan Pulau Sentosa. Di sisi lain, sampai akhir 2008, batas wilayah perairan Indonesia-Singapura belum juga disepakati.

Nilai strategis

Pada 10 Maret 2009, Pemerintah RI dan Singapura menandatangani perjanjian batas wilayah laut di antara kedua negara untuk segmen barat. Perundingan untuk menyepakati batas laut di atas Pulau Nipah. (Kompas, 11/3).

Kesepakatan itu memiliki arti penting bagi Indonesia. Apalagi Indonesia sudah diakui dunia internasional sebagai negara kepulauan (archipelagic state) melalui ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 dengan UU No 17/1985 tentang Pengesahan UNCLOS.

Arti pentingnya adalah bahwa ”secuil” Pulau Nipah yang tidak terlihat di dalam peta Indonesia itu memiliki nilai strategis di bidang pertahanan. Keberadaan pulau Nipah—yang hampir lenyap saat air laut pasang sebelum direklamasi—menunjukkan betapa penting pulau terluar sebagai titik batas wilayah NKRI, termasuk titik tolak perundingan batas wilayah.

Itulah yang menjadi alasan kuat mengapa Pulau Nipah direklamasi sejak 2004. Dari sekian banyak pulau terluar di Indonesia, hanya Pulau Nipah yang direklamasi secara besar-besaran. Pulau Nipah jadi simbol pertahanan di wilayah perbatasan.

Direktur Rawa dan Pantai Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Jaya Murni mengungkapkan, biaya reklamasi Pulau Nipah sejak 2004 mencapai Rp 365 miliar.

Saat ini ada beberapa bangunan di Pulau Nipah. Misalnya, Pos TNI Angkatan Laut (AL), rumah kosong untuk istirahat, dermaga, jalan kecil yang mengitari sebagian Pulau Nipah, mercusuar, dan beberapa bangunan sementara untuk para pekerja. Pada umumnya, Pulau Nipah masih berupa lahan kosong dan gersang. Tanaman sangat sedikit karena baru ditanam.

Menurut Jaya, pemerintah merencanakan mengembangkan tiga zonasi di Pulau Nipah, yaitu pertahanan, kegiatan ekonomi terbatas, dan konservasi. Untuk zonasi pertahanan, pemerintah tetap menempatkan pos TNI AL dan dermaga TNI AL. Untuk zonasi ekonomi, kemungkinan dibuat tempat transit kapal-kapal tanker untuk pengisian bahan bakar, air, dan kebutuhan pokok. Untuk zonasi konservasi, ditanam tanaman bakau.

Dengan pengelolaan seperti itu, diharapkan Pulau Nipah makin memiliki fungsi pertahanan, fungsi ekonomi, ataupun konservasi.

Mampu mengelola

Sebagai negara kepulauan, Pemerintah Indonesia seharusnya mampu menunjukkan kemampuan mengelola wilayah laut sesuai ketentuan UNCLOS. Bahkan, pemerintah pusat, termasuk pemerintah daerah, perlu memprioritaskan kebijakan yang berbasis negara kepulauan. Misalnya, sektor minyak dan gas bumi di lepas pantai, sektor perikanan, pariwisata, pengelolaan pulau-pulau tak berpenghuni, dan industri pelayaran nasional.

Dengan meratifikasi UNCLOS, Pemerintah Indonesia dimungkinkan mendapat perlakuan khusus dari dunia internasional melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional.

Dalam putusan Mahkamah Internasional, tahun 2002, pada kasus Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, Malaysia menyatakan pihak Indonesia tidak memiliki perhatian terhadap Sipadan dan Ligitan. Bahkan, Malaysia menyatakan, Indonesia ”tidak menunjukkan eksistensi (presence) di wilayah itu, tak berupaya mengelola pulau, tidak membuat UU, dan tidak membuat peraturan atas kedua pulau itu”.

Sebaliknya, untuk menunjukkan eksistensi, Malaysia mengontrol pengambilan penyu dan pengumpulan telur penyu. Pengumpulan telur penyu dianggap aktivitas ekonomi paling penting selama bertahun-tahun.

Dari argumentasi Malaysia itu terlihat bahwa di Sipadan dan Ligitan—dua pulau kecil di ujung Nunukan, Kalimantan Timur—sudah terdapat aktivitas ekonomi.

Karena itu, pengelolaan pulau terluar harus lebih konkret melalui pembangunan ekonomi di daerah yang lebih luas.

Penulis: Ferry Santoso

Rabu, 12 Agustus 2009 | 12:55 WIB, Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/12/03175578/simbol.pertahanan.negara.kepulauan

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...