Showing posts with label Pertanian. Show all posts
Showing posts with label Pertanian. Show all posts

Saturday, September 19, 2009

Mitos Organik dalam Era Pertanian Modern


Impian petani dan pendukung kaum tani di dalam melepaskan diri dari jeratan teknologi kapitalis tampak akan terpenuhi dengan mulai maraknya praktik pertanian dengan input produksi organik. Ket.Foto: Pekerja mengemas pupuk cair organik dalam botol 1 liter di pabrik PT Sang Hyang Seri (Persero) di Dusun Lusah, Desa Prawatan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, awal Juni lalu. Kapasitas produksi di pabrik ini mencapai 65.000 liter per bulan.

Di tengah optimisme dan semangat mewujudkan impian tersebut, kekhawatiran muncul bahwa mimpi tersebut akan tetap menjadi mimpi ketika terlalu besar harapan, yang kemudian memunculkan mitos.

Tanpa perhatian yang penuh, mitos ini akan menisbikan program bantuan pemerintah kepada petani, khususnya ketika pasar tidak melihat upaya ini sesuatu yang pantas mendapat premi.

Departemen Pertanian Amerika Serikat pada 1997 mendefinisikan pertanian organik sebagai sebuah sistem manajemen produksi berbasis agroekologi yang memacu dan mendorong keanekaragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah.

Praktiknya adalah penggunaan input luar-lahan minimal dan upaya memperkaya, mempertahankan, serta meningkatkan keharmonisan ekologi. Menurut Organisasi Pangan Dunia (FAO), tujuan utamanya adalah mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling berketergantungan antara kehidupan dalam tanah, hewan, dan manusia.

Klaim atau doktrin yang banyak dianut oleh pelaku paham pertanian organik adalah bahwa organik lebih sehat daripada input kimia seolah ingin memanfaatkan momentum prevalensi pasar yang menuntut bahan makanan yang tidak mengandung unsur-unsur pemicu penyakit serius.

Dalam beberapa tahun terakhir pikiran konsumen secara sukarela dibawa oleh doktrin tersebut walaupun ada banyak kejanggalan dalam logika berpikir para penganut aliran pertanian organik.

Bukti sukses

Sebuah penelitian jangka panjang di Universitas Cornell memberikan gambaran menakjubkan tentang hasil pengamatan selama 22 tahun. Dibuktikan bahwa secara keseluruhan produksi jagung dan kedelai dari perlakuan pertanian organik relatif sama dengan pertanian konvensional yang menggunakan pupuk kimia buatan.

Keuntungannya adalah bahwa pertanian organik menghemat konsumsi energi (bahan bakar minyak) sebesar 30 persen, menahan air lebih lama di musim kering, dan tidak memerlukan pestisida. Namun, hasil yang diperoleh pada empat tahun pertama produksinya 33 persen lebih rendah daripada perlakuan konvensional.

Setelah bahan organik terkumpul di dalam tanah, sejak tahun kelima produksinya mulai sama atau lebih tinggi daripada konvensional, terutama karena lebih tahan selama musim kering.

Dilaporkan pula bahwa pertanian organik mampu menyerap dan menahan karbon (C) sehingga sangat bermanfaat dalam mitigasi pemanasan global. Kandungan bahan organik tanah naik 15-28 persen yang setara dengan 1.500 kilogram CO dari udara.

Walaupun biaya produksi pada sistem pertanian organik 15 persen lebih tinggi daripada konvensional, dengan harga yang cukup baik pada tanaman sereal kenaikan ini tidak terlalu menjadi masalah. Sebaliknya, sistem pertanian organik tidak mampu memberikan keuntungan untuk tanaman anggur, apel, ceri, dan umbi-umbian.

Beberapa keberhasilan sejenis juga dilaporkan di Afrika, India, dan China. Namun, hasil-hasil tersebut masih menimbulkan pro dan kontra, terutama dari para ahli ilmu tanah yang tidak bisa menerima alasan bahwa hal tersebut semata-mata akibat organik versus kimia.

Mitos pertanian organik

Keberhasilan input organik dengan menggeser peran input kimia sebagai sebuah monumen inovasi dari Revolusi Hijau 60 tahun yang lalu semula dipandang sebelah mata oleh para ilmuwan ilmu tanah yang memahami dengan baik hubungan tanah dengan tanaman.

Namun, ketika gejala yang berkembang, khususnya di Amerika Serikat, makin mengkhawatirkan, beberapa pendapat mulai bermunculan. Salah satunya adalah yang diuraikan oleh Throckmorton (2007), seorang dekan dari Kansas State College.

Keberatannya terhadap doktrin pertanian organik adalah bahwa tidak mungkin peran pupuk kimia digantikan sepenuhnya oleh pupuk organik. Pertama, jika hal itu mungkin, dunia akan kekurangan biomassa untuk produksi pupuk organik karena dosisnya luar biasa besarnya.

Kedua, tanaman tidak hanya ditentukan oleh humus saja, tetapi oleh faktor-faktor lain seperti bahan organik aktif, nutrisi mineral tersedia, aktivitas mikroba tanah, aktivitas kimia dalam larutan tanah, dan kondisi fisik tanah.

Bahan organik tanah memang sering disebut sebagai ”nyawa dari tanah” sebagai ekspresi dari perannya mendukung aktivitas mikroba tanah. Peran lain dari bahan ini memang diakui penting, tetapi bukan satu-satunya, dalam pelarutan hara, pembenah tanah, dan kapasitas menahan air.

Fakta lain adalah bahwa bahan organik mengandung nutrisi tanaman sangat kecil.
Klaim bahwa nutrisi asal bahan organik (kompos, pupuk organik) lebih ”alami” dibandingkan asal pupuk kimia sangat tidak masuk akal, apalagi dihubungkan dengan kesehatan manusia.

Bukti empiris menunjukkan bahwa pada tanah organik (kadar bahan organik sangat tinggi) percobaan gandum, kentang, dan kubis di Amerika Serikat pada yang dipupuk

kimia buatan mencapai 5-54 kali lebih besar daripada yang tidak dipupuk kimia. Satu bukti lain bahwa organik bukan satu-satunya unsur utama dalam produksi tanaman adalah pada sistem hidroponik.

Kebijakan pemerintah, seperti Go Organic 2010, penerbitan SNI Sistem Pangan Organik (01-6729-2002), dan subsidi pupuk organik merupakan langkah-langkah konkret yang perlu diawasi implementasinya. Di samping itu, pertimbangan yang mendalam perlu dilakukan dengan memerhatikan dampak krisis keuangan 2008.

Daya beli masyarakat menurun, seperti yang dilaporkan di Inggris, berdampak stagnasi pada pertumbuhan produk pertanian organik pada tingkat 2 persen. Konsumen yang mengutamakan rupa daripada rasa juga tidak mudah berubah ke produk organik.

Di sisi lain, kemampuan produksi input organik untuk menopang produktivitas pangan yang dibutuhkan jauh dari memadai akibat keterbatasan dan terpencarnya bahan baku. Untuk itu, mitos-mitos yang terkait dengan produk organik harus dihapus dan diberikan pemahaman yang benar kepada petani.

Kombinasi optimal antara input anorganik dan organik akan mampu memenuhi persyaratan berbagai pihak, baik teknis, ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan konsumen.

Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Didiek Hadjar Goenadi Anggota Bidang Agribisnis- Komite Penanaman Modal, BKPM, dan Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia

Kuncinya Mendekat pada Ibu Bumi


Para petani yang menerapkan metode organik tak memiliki resep tunggal untuk meningkatkan kesuburan lahan serta mengatasi gangguan hama dan penyakit tanaman. Masing-masing menemukan teknik sendiri. Kuncinya adalah mendekat pada ibu bumi, memahami keluh kesahnya, dan memberi apa yang dimauinya. Ket.Foto: Pekerja menaruh butiran kompos pada granulator yang berputar sebelum dipanaskan di PT Godang Tua Jaya Farming di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, awal April lalu. Di kawasan tersebut akan dibangun pengolahan sampah terpadu.

Kata kunci itu barangkali terdengar abstrak bagi sebagian orang. Namun, bagi petani yang telah menerapkannya, metode tersebut sangat nyata. Jauh lebih nyata dibandingkan dengan menggantungkan tanah mereka pada rezim pupuk dan pestisida kimia yang datang dari negeri yang entah.

Di samping teknik yang telah dikenal umum, dengan membuat kompos berbahan baku kotoran hewan atau dedaunan, sejumlah petani organik menemukan teknik dan bahan terbaik untuk pupuk sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing.

Misalnya, Purwanto, petani dari Dusun Kleben, Kelurahan Sidorejo, Godean, Sleman, Yogyakarta, menemukan pupuk dari fermentasi telur itik busuk—dipilih dari telur itik yang gagal menetas dari usaha penetasan telur yang dimilikinya.

Petani 34 tahun ini, selain mengolah lahan warisan mertua seluas 450 m, juga mengembangkan usaha penetasan bebek sejak tiga tahun terakhir. Setiap bulan dia menetaskan sekitar 2.500 telur dengan tingkat kegagalan sekitar 5 persen.

Limbah telur ini awalnya biang masalah karena biasanya dia membuang telur busuk itu ke sungai. Tetangganya protes karena muncul bau busuk yang luar biasa. ”Suatu malam saya menemukan ide, kenapa telur itu tidak saya pendam di dalam sawah? Telur kan makanan bergizi bagi manusia, pasti juga baik bagi padi,” demikian logika sederhananya.

Selama dua tahun terakhir dia mempraktikkan metode temuannya itu dan sudah sekitar 4.000 telur bebek lengkap dengan cangkangnya yang ditanam di sawah. ”Panenan ternyata bagus,” kata Purwanto.

Di Klaten, sekelompok petani memfermentasi limbah tetes tebu dari pabrik gula, yang sebelumnya menjadi masalah lingkungan. Sedangkan di Margoluwih, Sayegan, Yogyakarta, Kelompok Joglo Tani menggunakan air kencing kelinci untuk membuat pupuk.

Para praktisi organik ini percaya bahwa ibu bumi dan tanaman merupakan sosok yang hidup dan bernapas. Karena itu, kebutuhan terhadap unsur hara juga berlainan pada waktu, jenis tanaman, dan tempat yang berbeda. Dengan mengenal dan membaca tanda-tanda alam, para penggiat organik ini menemukan cara masing-masing.

”Saya pernah dianggap gila karena tiap hari merenung di tengah sawah,” kata Purwanto. Waktu itu tanaman padinya yang mulai menguning dikeroyok tikus. Beberapa resep tradisional dicoba, tetapi tak mempan. ”Tikus itu hewan pintar, mereka juga belajar,” katanya.

Dia akhirnya menemukan teknik merendam sawah saat malam—ketika tikus-tikus itu menyerbu—dan cepat mengeringkan kembali saat pagi. Demikian seterusnya. Untuk sementara padinya aman walaupun mungkin suatu saat tikus itu akan menemukan cara menyerang pada saat tengah hari bolong.

Di Purbalingga, pelopor pertanian organik, Mbah Gatot, menggunakan gula untuk melawan tikus. Pertama-tama, dia mencari liang tikus yang masih aktif, yaitu yang masih ada bekas lalu lintas hewan pengerat itu. Lalu di bagian luar liang ditaruh beberapa sendok gula merah atau gula putih. Tujuannya agar setiap ada tikus yang lewat, rambut tikus itu tertempel gula dan terbawa masuk jauh ke dalam liangnya. Gula akan mendatangkan semut, dan semut akan mengusir tikus. Itulah logikanya. Logika yang dipahami dan ditemukan dari hasil pengamatan sendiri, kemudian dicobakan.

Beberapa teknik itu gagal, sebagian berhasil. Tetapi, pada prinsipnya mereka berdialog, belajar, dan mencoba mandiri.

Teknik paling ampuh mengatasi tikus, menurut Purwanto, sudah dikenal oleh petani sejak lama, yaitu menggunakan predator tikus, misalnya ular, burung hantu, atau elang. ”Tetapi, sekarang predator tikus itu dihabisi oleh predator yang lebih rakus, manusia,” dan sebagai akibatnya, ”petani yang sekarang kesulitan melawan tikus itu,” kata Purwanto menerangkan konsep rantai makanan.

Jejaring hidup

Seperti ditulis oleh Rachel Carson dalam Silent Spring (1962), buku klasik yang mengubah cara pandang dunia Barat terhadap pupuk dan pestisida kimia, sejarah kehidupan adalah interaksi dengan lingkungan. Saling tergantung dan saling dukung. Tak ada yang tak berguna dalam jejaring alam ini, semua memiliki peranan.

Jauh sebelum manusia menjadi dominan, alam telah menemukan keseimbangannya sendiri. Manusia tidak mencipta apa-apa, termasuk tanaman pangan yang sekarang dikenal, mulai dari padi-padian, gandum, jagung, hingga umbi-umbian. Manusia hanya menyeleksi, memodifikasi, dan membiakkan dengan cepat yang diinginkannya serta menyisihkan yang dianggap tak berguna.

Aneka tanaman itu sudah ada di bumi, demikian juga serangga yang tergantung padanya. Dan, seperti manusia, spesies pesaing itu juga beradaptasi. Ketika kemudian manusia menganggap spesies itu sebagai hama dan menyerangnya dengan zat kimia mematikan, mereka pun belajar untuk bertahan dengan kemampuan adaptasi yang jauh lebih canggih dibandingkan dengan manusia karena mereka jauh lebih tua.

Contoh yang populer adalah penggunaan dichloro diphenyl trichloroethane (DDT). Pada tahap awal penggunaannya, DDT dianggap pahlawan yang mampu mengalahkan serangga pengganggu, tetapi hanya sebentar karena muncul berbagai varian baru serangga yang lebih kebal terhadap racun ini. Demikian seterusnya, walaupun jenis dan dosis racun ditambah, spesies pesaing itu tetap bertahan dan semakin kebal.

Rachel Carson mengamati, alih-alih menghabisi hama pengganggu, racun kimia itu justru membunuh aneka spesies yang berguna bagi manusia, seperti lebah penyerbuk dan burung pemakan hama. Pada gilirannya, racun kimia yang ditujukan kepada spesies pengganggu juga menggerogoti tubuh manusia.
Singkatnya, menurut Rachel, ”perang dengan racun kimia tak akan pernah dimenangi manusia”.

Walaupun tak pernah membaca Silent Spring atau buku-buku sejenis itu, Purwanto tahu betul bahwa racun kimia memang bukan jawaban untuk pertanian. ”Kita cukup mendekat pada alam untuk tahu bahwa metode pertanian organik adalah yang terbaik untuk kehidupan,” kata petani muda dari dusun kecil ini. Dia sangat yakin gerakan menuju organik adalah perjuangan ”untuk keberlangsungan lingkungan, dan akhirnya untuk keberlangsungan hidup manusia di bumi juga”.

Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Ahmad Arif

Pembajakan Gerakan Organik?


Mereka yang dulu merusak unsur hara tanah dengan pupuk kimia kini berlomba memproduksi pupuk organik. Sebuah pertobatan atau bentuk lain dari strategi pemasaran belaka yang ujungnya hanya akan membuat petani bergantung pada input pertanian dari luar? Ket.Foto: Petani memupuk tanaman bawang di areal pertanian yang curam di Desa Gondosuli, Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (3/9). Meski jumlahnya belum banyak, petani di wilayah ini mulai menggunakan pupuk organik untuk menyuburkan tanaman yang sebagian besar berupa sayuran.

elihat peluang pasar organik yang terbuka lebar, perusahaan-perusahaan besar yang dulu bermain di sektor pupuk kimia kini masuk ke pasar yang baru terbuka ini. Misalnya, PT Pupuk Kalimantan Timur telah membangun pabrik pupuk organik berkapasitas 3.600 ton per tahun di Banyuwangi, Jawa Timur. Pupuk mereka diberi merek Zeorganik. Ke depan, mereka menargetkan bisa memproduksi pupuk organik hingga 10.000 ton per tahun.

PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) juga mengembangkan pupuk organik yang diberi nama Pusri Plus. Mereka mengklaim produknya berfungsi untuk memperbaiki tekstur dan struktur tanah karena mengandung bahan tambahan berupa strain mikroba, hayati yang berfungsi sebagai fiksasi nitrogen serta pelarut fosfor dan kalium.

Setelah membangun pabrik pupuk organik di Palembang tahun 2005, Pusri baru-baru ini juga membangun pabrik di Cianjur, Jawa Barat, di Lumajang, Jawa Timur, dan di Sragen, Jawa Tengah. Masing-masing pabrik mampu memproduksi hingga 3.000 ton per tahun.

Adapun Petrokimia Gresik telah memiliki 40 pabrik pupuk organik bermerek Petroganik dengan total kapasitas 400.000 ton per tahun, yang sebagian besar berlokasi di Jawa. Petrogres juga sedang membangun 33 pabrik di beberapa daerah, antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

Tak hanya pemain besar, bisnis pupuk organik juga dilakukan pemain-pemain kecil dan menengah. Bahkan, sejumlah pemain menggunakan sistem multilevel marketing untuk menembus rumah tangga petani, misalnya NASA dari Yogyakarta.

Pupuk adalah bisnis yang menjanjikan. Berdasarkan data Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, konsumsi urea nasional pada 2008 mencapai 5.699.951 ton, TSP sebesar 585.883 ton, ZA sebanyak 775.983 ton, dan NPK sebesar 1.175.027 ton.

Belum ada data pasti kebutuhan pupuk organik secara nasional. Namun, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran petani menuju organik dan gerakan Go Organik 2010 dari pemerintah, prospek ke depan tentunya sangat menjanjikan.

Apalagi awal bulan ini Komisi IV DPR telah menyetujui alokasi anggaran Rp 6,2 triliun untuk pengembangan pupuk organik yang diusulkan Departemen Pertanian. Alokasi anggaran ini digunakan untuk menutup kebutuhan pupuk anorganik tahun 2010 yang akan dikurangi subsidinya.

Benarkah ini menjadi angin segar bagi gerakan pertanian organik di Indonesia?

”Narkoba” jenis baru

”Kalau saya tidak akan mau membeli pupuk organik dari pabrik. Kalau bisa membuat sendiri dengan gampang dan gratis, kenapa harus beli?” kata W Riyanto, petani organik di Klaten.

Menurut Riyanto, pupuk organik pabrikan hanya akan membuat petani bergantung pada pihak luar. ”Itu seperti narkoba jenis baru. Seolah-olah baik, tapi tetap saja akan membuat kecanduan,” katanya. ”Petani memiliki semua bahan untuk dijadikan pupuk sendiri. Kemandirianlah yang dibutuhkan petani,” lanjutnya.

Direktur Cindelaras Fransiscus Wahono menyebutkan, gejala masuknya pemain-pemain besar dalam bisnis pupuk organik adalah upaya pembajakan terhadap gerakan organik. ”Ini adalah penyelewengan konsep dasar pertanian organik,” katanya.

Menurut Wahono, pertanian organik tidak hanya untuk memperbaiki struktur tanah dan menjaga keseimbangan alam, tetapi juga gerakan untuk membuat petani merdeka dari ketergantungan input pertanian.

Pertanian organik atau konvensional adalah pilihan teknologi, tetapi struktur pertanian organik jauh lebih besar dari itu. ”Organik adalah bagian dari gerakan kedaulatan pangan yang komponen dasarnya adalah reformasi agraria karena tanpa ada lahan yang memadai, petani organik tak akan mampu menguasai pasar,” ujarnya.

Selain itu, aspek lain yang harus dipersiapkan adalah memberikan akses modal kepada petani, kemandirian benih, teknik tanam dan pemeliharaan alami, pemrosesan hasil, hingga tata niaga yang adil.

Kesatuan konsep ini, menurut Wahono, yang tidak dipahami oleh pemerintah sehingga ketika kemudian pemerintah meluncurkan Go Organik 2010, yang mereka lakukan adalah banyak membuat proyek pelatihan kepada petani sambil mempromosikan pupuk organik bersubsidi buatan pabrik.

Enday, petani organik dari Garut, Jawa Barat, mengatakan, pelatihan organik kepada petani biasanya disisipi dengan promosi pupuk organik tertentu yang siap pakai. ”Kalau memang mau mendidik petani, kenapa tidak mengajari mereka membuat pupuk dan memberi modalnya juga?” kata Enday yang pernah menjadi pendamping proyek pemerintah untuk organik di wilayah Garut.

”Daripada menyubsidi pabrik untuk memproduksi pupuk organik, kenapa tidak pabriknya saja yang diberikan kepada petani? Sapi itu, lho, pabrik pupuk organik,” kata TO Suprapto, praktisi organik dari Godean, Yogyakarta.

Sikap pemerintah untuk beralih ke pupuk organik sepertinya juga masih setengah hati. Dengan melonjaknya harga minyak dunia, biaya untuk menyubsidi pupuk kimia akan semakin tinggi. Menteri Pertanian Anton Apriyantono, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Rabu (2/9), mengatakan, jika semua kebutuhan pupuk kimia dipenuhi, dibutuhkan anggaran subsidi sebesar Rp 24 triliun.

Oleh karena itu, pemerintah bermaksud mengembangkan pupuk organik sebagai substitusi pupuk anorganik. Seiring dengan itu, subsidi untuk pupuk anorganik 2010 diturunkan menjadi Rp 11,3 triliun dari tahun sebelumnya Rp 17,5 triliun. Selisih subsidi sebanyak Rp 6,2 triliun akan dialihkan ke pupuk organik.

Wahono menambahkan, produsen besar tersebut boleh-boleh saja memproduksi pupuk organik. Tetapi sebaiknya mereka mengorientasikan produknya untuk perusahaan-perusahaan perkebunan besar, bukan untuk petani skala kecil, yang membutuhkan gerakan kembali ke organik sebagai gerakan ekonomi untuk mengurangi ketergantungan input pertanian dari luar.

Jika petani tetap dipaksa untuk menggunakan input pertanian dari luar, ini merupakan bentuk lain dari upaya memangkas kedaulatan petani. Dan, gerakan pertanian organik hanya akan menguntungkan para pebisnis, tetapi tak mengubah nasib petani menjadi lebih baik dan merdeka.

Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Ahmad Arif

Narasi tentang "Bio" dari Brodowin


Teknik pertanian organik telah membawa sukses kelompok petani di Oekodorf Brodowin, Jerman. Dipadu dengan sistem penjualan langsung ke konsumen dan dikemas dalam jalinan narasi besar bahwa produk organik itu sehat dan perlu, mereka menerobos pasar. Ket.Foto: Susanne Ponke, pekerja di desa pertanian Brodowin, Jerman, mengelus anakan sapi dengan lembut. Dia seolah mendemonstrasikan bagaimana Brodowin memperlakukan sapi-sapinya, tak hanya sebagai perahan, tetapi juga kawan. Sebab, narasi tentang organik mengharuskan hal itu.

Pagi itu rinai hujan membasahi hamparan rumput menghijau. Angin dingin menusuk. Desa Brodowin tetap bernapas dengan gairah. Suara lenguh sapi berbaur dengan deru traktor. Di sudut lain suara bising berasal dari mesin pengolahan susu dan keju.

Di kafe kecil nan asri, terlindung dari kandang sapi dan pabrik, dua perempuan muda dengan senyum ramah menyiapkan segelas susu ”bio” hangat—di Jerman istilah ”bio” untuk menunjukkan produk organik—irisan keju yang juga bio, atau kalau mau bisa ditambah madu yang juga bio. ”Genießen sie ihre mahlzeit, Herr,” kata sang pelayan mempersilakan mencicipi segelas susu itu.

”Semua produk di sini bio. Sebagian besar ditanam dan diolah sendiri, yang lain dari rekanan yang dibeli dengan sistem perdagangan yang adil (fair trade),” kata Susanne Ponke, karyawan bagian pemasaran.

Brodowin, yang terletak sekitar 70 kilometer dari Berlin, Jerman, tak hanya ladang pertanian dan peternakan seluas 1.200 hektar, tetapi juga pabrik pengolah hasil pertanian, toko yang menjual produk organik, desa wisata, kawasan konservasi, hingga tempat penelitian kalangan akademis tentang keanekaragaman hayati. Dan, lebih dari itu, petani telah menjadi tuan di atas tanahnya sendiri.

Brodowin dirintis pada tahun 1990 oleh para petani yang memperoleh kembali hak atas lahannya setelah penyatuan Jerman Barat-Jerman Timur. Sebelumnya, lahan itu dikuasai oleh Pemerintah Jerman Timur yang menerapkan sistem sosialis. ”Begitu dikembalikan kepada petani, mereka sepakat untuk membentuk kelompok tani dan memulai sistem pertanian organik,” kata Susanne.

Mengapa memilih organik?

Susanne mengatakan, ”Daerah ini hanya menerima sedikit hujan. Saat dikembalikan kepada petani, tanahnya juga berpasir dan tidak subur karena penggunaan pupuk kimia berlebihan. Karena itu, para petani terdorong untuk memperbaiki kualitas tanah dengan metode organik.”

Tak hanya teknik bertanam alami yang berarti tanpa pupuk kimia dan pestisida, bio adalah juga sebuah narasi, bahkan sebuah ”konsep ideologi” tentang produk-produk pertanian yang lebih sehat, enak, perlu, dan karena itu (boleh) lebih mahal.

”Semua orang di Jerman tergila-gila dengan produk berlabel ’bio’. Mereka rela membeli mahal. Bahkan, gula merah kelapa dari Indonesia dijual di sini dengan label ’bio’. Apakah ada gula kelapa yang tidak organik?” kata Miranti Hirschmann, perempuan asal Indonesia yang kini menetap di Jerman. Sebab, organik adalah juga permainan citra.

Brodowin juga melengkapi narasinya dengan rangkaian riset dan pengembangan, kegiatan pascapanen, pemrosesan, pemberian label, sampai strategi pemasaran langsung kepada konsumen, serta sistem perdagangan yang adil (fair trade) dengan rekanan.

”Brodowin adalah salah satu contoh lahan pertanian yang mampu bersanding dengan lingkungan. Masing-masing akhirnya mendapat keuntungan. Keanekaragaman hayati terpelihara, produk pertanian juga lebih baik,” kata Gert Berger, ilmuwan dari Leibniz Centre for Agricultural Landscape Research, yang banyak meneliti perlindungan keanekaragaman hayati di Jerman. Legitimasi dari akademisi menambah validitas Brodowin sebagai produsen ramah lingkungan.

Sapi bahagia, susu sehat

Susanne, perempuan tinggi berambut pirang itu, mengelus anakan sapi dengan lembut. Dia seolah mendemonstrasikan bagaimana Brodowin memperlakukan sapi-sapinya: tak hanya sebagai perahan, tetapi juga kawan. Sebab, narasi tentang organik mengharuskan hal itu. ”Kami harus menciptakan suasana agar sapi menjadi bahagia,” ujarnya.

Kesehatan sapi, menurut Susanne, adalah segalanya. Misalnya, anakan sapi baru dipisah dari induknya setelah 29 bulan. Untuk menyembuhkan sapi yang sakit, mereka juga menggunakan obat-obatan herbal. ”Kuncinya adalah memberikan perhatian lebih kepada sapi sehingga penyakit bisa dideteksi di awal,” katanya.

Makanan dan minuman untuk sapi dikontrol ketat agar bebas dari bahan kimia. ”Semua perlakuan itulah yang menyebabkan susu di sini lebih berkualitas, lebih sehat,” kata Susanne.

Dengan promosi kualitas lebih sehat itu, Brodowin sukses menikmati harga produk susu mereka yang lebih mahal, yaitu 40 sen euro per liter dibandingkan dengan produk konvensional yang hanya 16 sen euro.

Brodowin memproses sendiri susu mentah melalui pasteurisasi, yaitu menggunakan pemanasan dengan suhu 63°C (145°F) selama 30 menit, dilanjutkan dengan dikocok cepat (quick cooling) sampai sekitar 4°C (39°F).

”Pasteurisasi lebih baik karena tidak membunuh semua bakteri di susu dibandingkan dengan UHT (ultra-high temperature) yang mematikan semua bakteri, termasuk bakteri yang baik,” kata Susanne. Jika sudah dikemas dan diberi label, harga jual susu Brodowin pun mencapai 1,1 euro, tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan susu biasa.

Peternakan sapi perah merupakan jantung Brodowin. Seluas 500 hektar lahan digunakan untuk menanam pakan ternak sapi. Sekitar 500 hektar digunakan untuk menanam tanaman pangan, sayur, dan obat-obatan. Sisanya untuk pabrik, toko, serta kandang.

Dengan menerapkan metode keanekaragaman fungsi lahan, hampir tak ada yang dibuang di Brodowin. Kotoran sapi untuk pupuk, tanaman herbal untuk obat-obatan, dan sisa panen untuk kompos serta pakan sapi.

Tak hanya sapi yang mendapat perhatian lebih, pekerjanya juga. Susanne, yang sudah 10 tahun bekerja di Brodowin, mengatakan, ”Saya dibayar 900 euro tiap bulan. Lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan lain sejenis yang rata-rata 750 euro. Yang lebih penting lagi, saya suka dengan pertanian organik. Organik telah memberikan pertanian jiwa baru, kamu bisa melihat di sekitar sini. Semuanya hidup dan bernapas dengan sehat.”

Teknik pertanian organik, yang membutuhkan lebih banyak pekerja dibandingkan dengan pertanian konvensional, ternyata membawa jiwa baru bagi warga desa itu. Menurut Susanne, setelah penyatuan Jerman, banyak pemuda lari ke kota karena tak ada pekerjaan di desa, tetapi, ”Sekarang mereka kembali karena Brodowin menawarkan pekerjaan dengan pendapatan yang baik,” katanya.

Brodowin kini dimiliki 80 keluarga petani dibantu oleh 70 karyawan, sebagian bekerja di ladang, pabrik, dan pemasaran. Bisnis mereka terus tumbuh dengan pesat.

Penjualan langsung

Sebanyak 2,5 juta liter susu diproses tiap tahun di pertanian ini. Produknya meliputi susu cair, keju, dan mentega. Mereka menjajakan sendiri produknya melalui penjualan langsung. Sebanyak 1.500 keluarga di Berlin menjadi pelanggan mereka. Pemesanan bisa dilakukan lewat internet.

”Pasar barang organik tumbuh cepat di Jerman sekarang,” kata Susanne. Pertumbuhan ini berasal dari meningkatnya kesadaran konsumen. Brodowin sukses memanfaatkan ceruk pasar dan menjual produk mereka dengan harga dua hingga empat kali lipat dibandingkan dengan produk konvensional karena label ”organic” atau ”bio” telah menjadi merek dagang kuat untuk hidup lebih sehat di Jerman.

Penelitian dari Agromilagro Reserach Institute Universitas Kassel, Jerman, menunjukkan, permintaan produk organik di negeri ini tumbuh lebih dari dua kali lipat selama tujuh tahun, yaitu 2 triliun euro pada 2002 menjadi lebih dari 5 triliun euro pada 2007.

Belajar dari Brodowin, pengorganisasian petani menjadi perkumpulan yang kuat adalah kunci menjadikan mereka menembus pasar. Dibutuhkan juga modal yang kuat dari dunia perbankan yang percaya kepada petani dan pemerintah yang memberikan ruang bagi kedaulatan petani.(Ahmad Arif )

Jakarta, 18 September 2009

Berdaulat dengan Pertanian Organik

Kini kita dihadapkan pada dua jalan bercabang. Jalan yang satu, yang telah kita tempuh selama ini, adalah jalan tol yang mulus yang memungkinkan kita memacu kecepatan, tapi pada akhirnya menuju bencana. Jalan lainnya untuk ditempuh—sangat sepi—tapi hanya itulah yang akan membawa kita ke tujuan akhir pelestarian bumi ini. (Rachel Carson dalam Silent Spring, 1962)

Jalan pertama yang dimaksud Rachel Carson adalah metode bertani yang mengandalkan pupuk kimia dan pestisida. Sebaliknya jalan kedua adalah metode bertani selaras alam atau yang kemudian dikenal dengan pertanian organik.

Hampir 50 tahun sejak Rachel mengingatkan bahaya pupuk kimia dengan kalimatnya yang terkenal, ”perang dengan kimia tak akan kita menangkan”, tetapi kita tetap memilih jalan menuju bencana itu. Dan, tepat seperti diramalkan Rachel, berpuluh tahun sejak perangkat kimia berbasis bahan bakar fosil—yang awalnya diciptakan untuk tujuan peperangan—digunakan di pertanian, hama tanaman tak berkurang. Bahkan, muncul banyak spesies baru yang semakin merusak.

Racun kimia itu justru membunuh spesies yang berguna bagi manusia, seperti lebah dan burung pemakan serangga. ”Kini dunia di ambang kepunahan lebah madu,” tulis Allison Benjamin dan Brian McCallum dalam A World without Bees, The Guardian Book, 2009. ”Dan ini berarti bencana besar bagi manusia,” tambah mereka. Pada gilirannya, racun kimia dari lahan pertanian juga menggerogoti kesehatan manusia.

Walaupun sangat terlambat, kini sebagian petani beralih ke jalan, yang disebut Rachel, sangat sepi itu. Pemerintah yang sebelumnya menjadi agen racun kimia dengan Revolusi Hijau-nya, telah pula mencanangkan proyek Go Organik 2010.

Namun, kembali ke pertanian organik bukan hanya berarti kembali pada teknik bertani tanpa pupuk kimia dan pestisida. Gerakan organik adalah juga sebuah kedaulatan bertani. Sudahkah kita menuju jalan yang itu?

Kedaulatan petani

Kedaulatan itu diperjuangkan Kelompok Tani Balak Gumregah di Desa Balak, Cawas, Klaten, Jateng. Sepetak tanaman padi tumbuh di halaman rumah. ”Ini padi merah putih turunan ketiga. Minggu lalu saya panen, tapi sekarang saya tumbuhkan kembali,” kata W Riyanto (46), anggota kelompok tani itu.

Mereka juga berkreasi mencipta pupuk kompos—salah satunya memakai limbah tetes tebu—dan pestisida organik, mengolah produk, mengemas, dan memasarkannya. Salah satu produk mereka adalah minuman instan bekatul—ekstrak beras—dan jahe. Mereka memberi label produk itu ”JAKAT”, singkatan dari jahe-katul, lengkap dengan narasi ”minuman sehat dan bergizi untuk seluruh keluarga”.

Sejauh ini, produk ini masih dipasarkan dari tangan ke tangan. ”Tujuan utama produk organik kami untuk dimakan sendiri, kalau sisa baru dijual,” kata Riyanto. Dia tak setuju cara pikir petani yang menjual beras organiknya dengan alasan harga jual lebih tinggi, tetapi membeli beras kualitas buruk untuk dimakan sendiri.

Sedangkan untuk kemandirian energi, didampingi Cindelaras, Lembaga Pemberdayaan Pedesaan dan Kajian Global, kelompok tani ini membangun kompor biogas dari kotoran sapi. Limbahnya kemudian dipakai untuk pupuk.

”Dengan biaya bertani lebih murah, kami bisa menjual beras organik lebih rendah dibandingkan beras biasa,” kata Riyanto. Tiga tahun pertama setelah beralih ke teknik organik, hasil panen belum memuaskan karena tanah yang kecanduan kimia tiba-tiba tak diberi obat. ”Persis orang kecanduan narkoba,” kata Riyanto, tetapi ”Sekarang, setelah lima tahun, hasilnya setara, bahkan lebih tinggi dibandingkan yang pakai kimia,” katanya.

Sekitar 60 kilometer ke selatan, di perbukitan kapur Gunung Kidul yang kering dan gersang, lumbung petani dipenuhi padi. ”Walaupun desa-desa lain sering kelaparan, dusun kami tak pernah kelaparan lagi karena ada lumbung yang selalu terisi sepanjang tahun,” kata Marsudi (32), Ketua Kelompok Tani Cipto Makaryo, Dusun Jetis, Desa Pampang, Kecamatan Paliyan, Gunung Kidul, yang mengelola lumbung itu.

Unsur hara yang tipis di atas batu kapur membuat petani hanya bisa mengandalkan teknik organik. ”Dulu kami memakai pupuk kimia, awalnya bagus, tetapi kemudian merosot. Tanah jadi rusak, kami kembali ke pupuk kandang,” kata Marsudi.

Dengan pupuk organik, mereka menjawab masalah penggurunan (desertification), yang oleh badan dunia United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) disebut sebagai ancaman terhadap ketahanan pangan dunia ke depan.

Pembajakan

Melihat tren pasar produk organik yang makin terbuka, para produsen pupuk kimia kini berlomba membuat pupuk organik. Mereka menawarkan obat untuk menyembuhkan tanah petani yang sebelumnya dihancurkan pupuk kimia. Beberapa pemodal juga menanam padi dan sayur organik. Sebagian sukses menguasai pasar dalam negeri, bahkan mengekspornya, sementara itu petani kecil tetap kesulitan.

”Kami harus memakai perantara untuk masuk ke supermarket karena mereka hanya mau berurusan dengan penyalur besar yang sanggup dibayar di akhir. Sertifikasi produk organik juga mempersulit kami,” kata Johan Arifin, petani padi organik dari Kelompok Joglo Tani Godean, Yogyakarta.

Beras organik dari petani Rp 5.500-Rp 6.500 per kg menjadi Rp 10.000-Rp 20.000 per kg di supermarket. Fransiscus Wahono, Direktur Cindelaras, mengatakan, telah terjadi pembajakan gerakan organik oleh pemodal. Jika saja Rachel Carson melihat perkembangan saat ini, dia pasti akan melengkapi tulisannya tentang jalan kedua itu tak hanya sepi, tetapi juga banyak pembajaknya.

Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Ahmad Arif

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...