Sunday, August 30, 2009

Gelombang Ultrasonik Mampu Bunuh Nyamuk Demam Berdarah

Gelombang ultrasonik ternyata bisa membunuh serangga, salah satunya adalah nyamuk demam berdarah atau aedes aegypti.

Pancaran gelombang ini dengan kekuatan 30 KHz hingga 100 KHz secara terus-menerus dalam ruangan akan mengakibatkan terganggunya fungsi antena pada nyamuk yang berfungsi sebagai indra penerima rangsang.

Ket.Foto: AC LG Terminator diluncurkan produsen elektronik LG, Rabu(19/8). Produk ini diklaim mampu membunuh nyamuk demam berdarah sampai 70 persen. Harganya Rp 4,5 juta.

"Nyamuk akan merasa tidak nyaman dan terganggu keseimbangannya hingga akhirnya mati," kata I Wayan Teguh Wibawan, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam kesempatan peluncuran AC LG Terminator di Jakarta, Rabu (19/8).

LG, perusahaan elektronik, melakukan riset bersama ITB untuk menggabungkan teknologi gelombang ultrasonik ini ke dalam AC. Hasilnya adalah AC LG Terminator. "Kami telah melakukan riset sejak 2007," katanya.

Lebih lanjut, Wayan menuturkan bahwa percobaan dilakukan dengan melepaskan nyamuk-nyamuk aedes aegypti berjenis kelamin betina (strain liverpool) berumur 4-5 hari. Pada saat yang sama, dalam ruangan tersebut AC Terminator memancarkan gelombang ultrasonik.

Pengujian dilakukan dalam ruang pengujian standar penelitian insektisida dari Lembaga Kesehatan Dunia (WHO). "Hasilnya, gelombang ultrasonik mampu membunuh lebih dari 70 persen nyamuk yang ada di dalam ruangan dalam tempo 24 jam," ujar Wayan.

Produk yang baru dilepas di Indonesia ini dibandrol Rp 4,5 juta per unit. "Harga ini tidak mahal kalau dilihat benefit yang diterima. Misalnya melindungi keluarga kita dari nyamuk demam berdarah," kata Budi Setiawan, Direktur Penjualan LG Elektronik Indonesia.

Ia pun menganjurkan, supaya hemat energi, sebaiknya AC cukup distel pada suhu kamar 25-27 derajat celcius. "Kalau pergi, dimatikan saja AC-nya. Namun, fungsi gelombang ultrasoniknya bisa diaktifkan karena berdiri terpisah," tandas Budi.

LIPI Rintis Bioelektrik di Desa Giri Mekar





Indonesia sudah lama mengenal pemanfaatan biogas untuk memasak. Namun, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung mengembangkan biogas yang dikonversi ke energi listrik yang bernama bioelektrik.

"Kami buat ini karena prihatin dengan krisis energi secara global. Selain itu, Indonesia menargetkan tahun 2025 sudah tercipta energi mix dan sudah memakai 30 persen energi terbarukan," kata Aep Saepudin, Kepala Sub Bidang Sarana Rekayasa Tenaga Listrik dan Mekatronik (Telimek) LIPI Bandung, di Bandung, Jawa Barat (14/8).

1.Ket. Foto 1: (mulai dari paling atas) Kotoran sapi yang dicampur dengan air dimasukkan ke dalam digester, semacam septi tank. Setelah kurang lebih 1 bulan, biogas sudah dihasilkan dan siap dipakai untuk bahan bakar kompor dan bioelektrik.
2. Ket Foto 2: Yaya Sudrajat Sumama, peneliti LIPI, menjelaskan pada para wartawan bagaimana kinerja biogas yang dikonversi untuk energi listrik dan bahan bakar kompor biogas.
3. Ket Foto 3: Masyarakat di Kabupaten Bandung, 70 persennya berprofesi sebagai peternak sapi. Ini menjadi potensi besar untuk mengembangkan biogas, sebagaimana ada di Desa Giri Mekar, Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung Jabar (14/8).
4. Ket Foto 4: Peternak di Desa Giri Mekar Kecamatan Cilengkrang Jabar sedang mengisi digester dengan kotoran sapi dan air. Dari dalam digester inilah biogas dihasilkan.

Sejak 2008, ucap Aep, LIPI sudah melakukan penelitian bioelektrik. Tempat yang dipakai untuk percontohan adalah di Desa Giri Mekar, Kecamatan Cirengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Bahan baku energi yang dipakai adalah kotoran sapi. "Daerah sini dominan adalah peternak sapi," kata Aep singkat. Kecamatan Cilengkarang, menurut Marlan, Camat Cilengkrang, memiliki enam desa. Di pedesaan yang sebagian besar penduduknya peternak, memiliki 2.000 ekor sapi yang menghasilkan 300 ton kotoran tiap harinya.

"Selama ini kotorannya dibuang begitu saja. Kalau ke sana udaranya memang bau," tuturnya. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa bioelektrik berbasis kotoran sapi ini sangat relevan karena berdasarkan data 2007, sampai saat ini masih ada 1.500 kepala keluarga dari 11.000 kepala keluarga yang belum bisa menikmati listrik.

"Sebagian besar mereka itu sudah memanfaatkan listrik dengan cara menyambung listrik ke tetangganya yang punya," katanya.

Dengan memanfaatkan biolektrik, Aep melanjutkan, masyarakat bisa mendapatkan energi 700 watt dari tiga ekor sapi. Selain itu, mereka bisa menghemat penggunaan bahan bakar minyak atau gas untuk memasak dan solar sampai 70 persen.

"Biogas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk memasak, listrik, dan juga kompos yang berkualitas baik," tegasnya.

Menurut Kasubid Sarana Peralatan Transportasi LIPI Arifin Nur, proses bioelektrik itu dilakukan sebagai berikut:

Dari setiap kepala keluarga yang memiliki tiga ekor sapi per harinya akan dihasilkan 45 kg kotoran. Selanjutnya, kotoran itu dicampur air dengan perbandingannya 1:2.

Campuran tersebut lalu dimasukkan ke dalam ruang kedap udara yang dinamakan digester berukuran 2 meter persegi. Setelah kira-kira sebulan, lanjut Arifin, dari digester keluarlah gas metan (CH4).

"Gas inilah yang kita sebut sebagai energi biogas. Sayangnya, dengan teknologi sekarang biogas yang dihasilkan dan ditampung dalam plastik polyetilen treptalat baru 60 persen," katanya.

Untuk itu, saat ini LIPI sedang melakukan penelitian supaya gas metan yang dihasilkan bisa mencapai 90 persen. Gas metan tersebut kemudian dialirkan menggunakan pipa paralon ke mesin. Saat inilah biogas dikonversi ke bioelektrik.

Ada dua bentuk biolektrik. Pertama disalurkan ke genset berbahan bakar bensin, yang bisa langsung dimanfaatkan. Kedua ke genset bahan bakar solar, yang dinamakan dual fuel.

"Bioelektrik dual fuel ini dapat menggantikan 70 persen penggunaan bahan bakar solar. 30 persennya solar. Dari satu liter per jam jadi 0,4 liter per jam," tutur Arifin. Kemudian ia melanjutkan, dengan kebutuhan biogas 20 liter/menit pada beban 80 persen, berarti 8 kva (kilovolt ampare), engine membutuhkan biogas sebanyak 20 liter/menit. Atau setara dengan 120 liter/jam.

Diteruskan ke daerah lain

Setelah percontohan di Giri Mekar, menurut Aep, akan diteruskan ke desa-desa terdekat. Sedangkan LIPI berperan sebagai konsultan. "Potensinya, 71 persen penduduk di Kabupaten Bandung adalah peternak sapi. Dan 30 persen kebutuhan susu nasional dipenuhi kabupaten ini," ucapnya.

Untuk itu, ke depan ia berharap masyarakat di desa energinya sudah mandiri. Dan pertaniannya organik, yang pupuknya di dapat dari limbah biogas berbasis kotoran sapi. "Dari sapi yang mereka pelihara, mereka mendapat susunya, listrik, pupuk kompos. Kalau sapi potong, ditambah dapat kulit dan dagingnya," tutur Aep.

Biayanya berapa? Untuk buat reaktor dari fiber dengan kapasitas 2.500-3.000 liter harganya Rp 3,5 juta. Harga segitu sudah mendapatkan satu sistem reaktor, penampung gas, kompor, instalasi sudah terpasang, dan biaya pemasangan.

Untung Rugi Gulma dalam Waduk

Keberadaan gulma yang menutupi 70 persen luas genangan Waduk Batu Tegi dinilai baik karena gulma dapat mengikat unsur-unsur logam dalam air. Namun, gulma harus dikendalikan supaya tidak menutupi seluruh permukaan waduk dan daerah tangkapan air harus terus direhabilitasi untuk menekan laju erosi. Ket Foto: Tiono (40) dan Sakiyem (50) warga Kelurahan Sawah Besar, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Kamis (15/1) mengumpulkan eceng gondok (Eichhornia crassipes) untuk dijual di toko bunga. Sebagai gulma dan juga penyebab banjir karena tumbuh di rawa-rawa yang merupakan tempat penampungan air, eceng gondok mempunyai nilai ekonomis yang tinggi sebagai bahan produk kerajinan.

Peneliti Daerah Aliran Sungai (DAS) dari Universitas Lampung Irwan Sukri Banua, Minggu (30/8) mengatakan, keberadaan gulma jenis kiambang di Waduk Batu Tegi baik secara ekologis. Gulma akan mengikat unsur-unsur logam dan zat kimia di dalam perairan waduk sehingga ikan-ikan bisa berkembang baik di dalam waduk. "Gulma mampu menurunkan kadar unsur-unsur logam dan kimia dalam waduk," ujar Irwan.

Dia mengatakan, gulma tersebut muncul sebagai akibat terjadinya erosi di daerah tangkapan air di atas waduk. Saat musim kemarau saat ini, di Lampung masih terjadi hujan yang cukup deras.

Hujan saat musim kemarau menyebabkan laju erosi yang kuat. Laju erosi yang cepat yang menyebabkan sedimentasi di waduk telah meningkatkan kadar unsur hara dan mikro atau eutrofikasi di dalam waduk sehingga gulma muncul dan berkembang dengan cepat dalam tiga bulan terakhir.

Berdasarkan data pengelola Waduk Batu Tegi, penyebaran gulma di waduk tersebut saat ini sudah mencapai 70 persen dari luas genangan air seluas 16 kilometer persegi.

Irwan mengatakan, meski gulma baik secara ekologis namun pengelola waduk sebaiknya bisa mengendalikan gulma untuk tidak menutupi seluruh permukaan waduk. Gulma yang terlalu padat dan penuh akan menutupi muka air sehingga air kadar oksigen dalam air rendah dan membuat biota air tidak berkembang dan menurunkan kualitas air sebagai bahan baku air minum.

Pengendalian

Gulma bisa dikendalikan dengan cara manual, mengangkatnya ke atas dari permukan waduk , bukan dengan cara kimia karena akan meracuni air waduk. Dengan cara manual, pengelola bisa melokalisir penyebaran gulma menggunakan dua kapal motor yang dipasang jaring dan meminggirkan gulma.

Edi Sukoso, Pejabat Pembuat Komitmen Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Alam Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji-Sekampung mengatakan, saat ini satu-satunya cara yang dipakai untuk mengurangi gulma adalah meminggirkan gulma dengan jaring setinggi setengah meter sepanjang 200 meter yang dijepit dengan tiga bilah bambu memanjang.

Alat tersebut dipakai secara manual oleh pekerja harian Waduk Batu Tegi. Pekerja meminggirkan gulma ke sudut-sudut waduk kemudian mengangkatnya naik. Akan tetapi, pekerjaan manual dirasa tidak efektif karena pengangkatan gulma tidak cepat. "Kami tengah mengusulkan alokasi anggaran pengendalian gulma kepada pemerintah," ujar Edi.

Lebih lanjut Irwan mengatakan, selain melakukan upaya pengurangan penyebaran gulma, upaya lain yang juga harus dilakukan adalah mencegah laju erosi dengan cara rehabilitasi daerah tangkapan air. Saat ini s ekitar 88,82 persen dari daerah tangkapan air Waduk Batutegi seluas 43.404 hektar didominasi lahan kritis yang menimbulkan erosi.

"Selain mengendalikan persebaran gulma, sebaiknya rehabilitasi lahan dilakukan supaya laju erosi yang menyebabkan peningkatan unsur hara di waduk meningkat bisa dikendalikan," ujar Irwan.

MINGGU, 30 AGUSTUS 2009 | 19:36 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Helena Fransisca

Status Lindung Batang Toru Mendesak Segera Ditetapkan

Status lindung pada Kawasan Hutang Batang Toru mendesak untuk segera ditetapkan. Ancaman terhadap kelestarian kawasan ini terus terjadi. Aktivitas perambahan dan pertambangan di Kawasan Hutang Batang Toru, telah mengancam keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Di sisi lain, Departemen Kehutanan masih belum mengubah status Kawasan Hutan Batang Toru menjadi hutan lindung, meski sudah ada permintaan resmi dari pemerintah daerah.

Menurut Manajer Program Batang Toru, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Tatang Yudha Komoro, dalam waktu dekat memang ada rencana Departemen Kehutanan menurunkan tim verifikasi terkait penerbitan izin hak pengusaan hutan (HPH) di Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT).

YEL bersama konsorsium beberapa lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup, sebelumnya pernah melakukan kajian bersama Pemkab Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara tentang perluasan KHBT. Pemda di ketiga kabupaten yang wilayahnya masuk ke dalam KHBT sepakat mengusulkan penambahan luas kawasan, dari 25.315 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Sumut, menjadi 116.453 hektar.

Dari total 116.453 hektar tersebut, 85,49 persen di antaranya direkomendasikan menjadi hutan lindung berdasarkan kajian konsorsium LSM lingkungan bersama tiga pemkab. KHBT memang bukan kawasan hutan lindung, meski dari aspek keanekaragaman hayati, bentang alam dan topografi, sangat layak dijadikan kawasan lindung.

Di dalam KHBT sudah ada HPH milik PT Teluk Nauli yang sudah tidak beroperasi hampir delapan tahun. Makanya tim Departemen Kehutanan mau memverifikasinya, sekaligus melihat langsung kelayakan usulan pemda yang meminta kawasan ini dijadikan hutan lindung, ujar Tatang di Sibolga, Minggu (30/8).

Menurut Tatang, penetapan status sebagai kawasan hutan lindung sangat mendesak, mengingat saat ini masih banyak terjadi aktivitas perambahan di KHBT. "Perambahan terutama terjadi di KHBT yang masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Masyarakat asal Nias, banyak yang membuka kawasan hutan sebagai tempat perladangan mereka," ujar Tatang.

Sedangkan di KHBT yang masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, masih terdapat aktivitas pertambangan emas dari perusahaan asing. Sebelumnya, perusahaan asal Australia memiliki konsesi di areal KHBT. Namun kata Tatang, belakangan perusahaan tersebut dibeli oleh perusahaan pertambangan asal China.

"Kami jauh lebih khawatir lagi setelah perusahaan pertambangan China tersebut membeli konsesi tambang emas di Batang Toru. Di negeri mereka sendiri, persoalan keselamatan dan lingkungan tak menjadi prioritas, apalagi ini mereka menambang di negeri orang," kata Tatang.

Menurut dia, seandainya Menteri Kehutanan sudah menetapkan KHBT sebagai kawasan hutan lindung, maka aktivitas pertambangan di dalam kawasan bisa dirundingkan untuk tidak menimbulkan dampak lingkungan yang lebih merusak. "Kalau sudah jadi hutan lindung kan bisa disepakati, agar perusahaan pertambangan hanya boleh melakukan pertambangan bawah tanah," katanya.

KHBT selama ini menjadi habitat bagi banyak satawa langka seperti tapir (Tapirus indicus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), kucing batu (Pardofelis marmorata), beruang madu (Helarctos malayanus) hingga kambing hutan (Neamorhedus sumat rensis). Selain itu, di dalam KHBT diketahui terdapat 265 jenis burung, di mana 59 di antaranya merupakan satwa langka khas Sumatera. Bahkan KHBT juga menjadi habitat bagi orangutan yang diduga berbeda jenisnya dengan orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser maupun di Kalimantan.

MINGGU, 30 AGUSTUS 2009 | 20:49 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Khaerudin

MEDAN, KOMPAS.com - http://regional.kompas.com/read/xml/2009/08/30/20494888/Status.Lindung.Batang.Toru.Mendesak.Segera.Ditetapkan

Menangkap Teroris, Satu di Antara Jutaan Orang

"Kongres dan Departemen Pertahanan harus memetik pelajaran dari (apa yang terjadi) delapan tahun terakhir dan mempersenjatai tentaranya dengan teknologi untuk bereaksi dengan cepat menghadapi lawan yang sangat terkoordinasi, luar biasa lincah bergerak, dan menguasai teknologi". (Martin Feuerstein, ”DefenseNews”, 6/7/2009)

Banyak kalangan masyarakat yang penasaran, mengapa setelah lebih dari dua pekan berlalu aparat belum dapat menangkap satu tersangka pun pelaku bom Mega Kuningan. Mencari seorang Noordin M Top di antara lebih dari 200 juta penduduk Indonesia rupanya memang bukan pekerjaan mudah.

Inovator teknologi menyadari, adanya teknologi untuk menemukan buronan amat dibutuhkan. Sebagian didasarkan pada kenyataan, semenjak serangan World Trade Center 11 September 2001, perang konvensional banyak digantikan perang memburu teroris.

Dengan terjadinya bom Mega Kuningan, 17 Juli lalu, Indonesia pun masuk dalam deretan negara yang membutuhkan teknologi pencari atau penemu lokasi seseorang.

Dalam kaitan teknologi yang bisa melacak lokasi teroris ini, uraian Martin Feuerstein, chief technology officer di Polaris Wireless, perusahaan yang bergerak di bidang sistem penetapan lokasi berbasis perangkat lunak, menarik kita simak.

Kemampuan menetapkan lokasi sistem ini tampaknya juga bermanfaat untuk upaya pencegahan.

Sel-sel teroris yang merencanakan dan melaksanakan serangan sangat terkoordinasi dari tengah-tengah penduduk sipil harus diakui merupakan tantangan tersendiri.

Kesulitannya adalah membedakan antara kawan dan lawan. Dengan demikian, kunci sukses untuk mengunci lawan, menurut Feuerstein, adalah merumuskan satu respons cepat dan tepat—dengan bantuan teknologi penetapan tempat/lokasi berpresisi tinggi— sebelum pelaku bisa membaur kembali dengan penduduk.

Sekarang ini ia sebut sebagai saat yang tepat untuk menerapkan teknologi baru yang bisa membantu Angkatan Bersenjata Amerika untuk mengenali dan melacak kelompok perlawanan yang hidup dan berbaur dengan penduduk sipil.

Menurut skenario, bisa saja pada satu titik militer AS bekerja sama dengan pemerintah sahabat dan perusahaan telepon lokal untuk menggunakan penyadapan sah (lawful intercept/LI) guna memonitor komunikasi nirkabel lawan/teroris, melacak pembicaraan, dan transmisi data untuk membongkar serangan mendatang.

Sekarang ini teknologi yang ada sudah bisa secara teliti menetapkan lokasi telepon genggam yang menerima dan mengirimkan sinyal sampai ketelitian puluhan meter.

Dengan menambahkan informasi lokasi sangat akurat pada solusi LI di atas, hal itu bisa membuat tentara AS dan penegak hukum lokal dapat mengidentifikasi dan mengunci teroris secara lebih baik, selain dapat menangkap komunikasi mereka.

Dalam uraian Feuerstein disimulasikan, apa jadinya jika sekelompok perlawanan yang bersembunyi di pegunungan di perbatasan Afganistan-Pakistan menggunakan telepon genggam untuk meledakkan bom di luar satu hotel sibuk di kota seperti Kandahar?

Dengan menggunakan solusi LI, militer AS bekerja sama dengan pihak berwenang lokal bisa mendirikan pagar (geo-fence) di sekeliling hotel dan memplot semua aktivitas nirkabel yang terjadi di dalam zona tersebut. Mereka akan dengan cepat mengenali telepon genggam atau mobile device lain di dekat zona ledakan yang menerima transmisi pada saat bersamaan dengan bom meledak. Dari informasi tersebut, mereka bisa mengungkap nomor teleponponsel dimaksud, juga nomor SIM card, nomor ID perangkat keras, dan berikutnya petunjuk lebih jelas tentang alat tersebut.

Deretan panggilan (call log) kemudian bisa dianalisis untuk menentukan nomor telepon pemicu detonator dan lokasi tepat dibuatnya panggilan itu. Dari situ, keberadaan pengguna ponsel yang digunakan untuk memicu bom dapat dilacak dengan memplot transmisi nirkabel yang dipancarkan pada peta.

Satu hal yang diunggulkan di sini adalah bahwa solusi LI dapat melacak lokasi hingga beberapa puluh meter. Bahkan, sekalipun penyerang membaur dengan penduduk sipil, sistem bisa menetapkan lokasi eksaknya hingga ke gedung tertentu, atau bahkan ruangan tertentu.

Pasca-GPS

Tampak bahwa akurasi merupakan pembeda teknologi penentu lokasi ini dengan teknologi terdahulu. Dalam skenario di atas, teknologi penentu lokasi GPS (global positioning system) tidak dapat dipergunakan karena lawan tidak akan menggunakan ponsel berfasilitas GPS, atau kalaupun ada, fasilitas itu akan dimatikan. Lalu, kalaupun ada kemungkinan penggunaan GPS, di wilayah yang padat penduduk atau di antara gedung-gedung, masih akan ada masalah dengan penglihatan langsung.

Sekadar catatan, teknologi lokasi sebelum ini, seperti Cell ID, yang menggunakan menara sel untuk menetapkan lokasi, hanya punya ketelitian beberapa ratus meter. Sementara itu, kini ada teknologi WLS (wireless location signature), didasarkan pada temuan, setiap lokasi punya ciri atau tanda tangan frekuensi radio unik.

Seiring dengan kemajuan teknologi nirkabel, ciri khas satu lokasi semakin bisa dikenali dan itu artinya ketelitian penetapan lokasi pun bisa ditingkatkan.

Munculnya tulisan Feuerstein menyiratkan, untuk AS pun, adanya teknologi yang memungkinkan angkatan bersenjatanya bertindak cepat amat mendesak. Ini karena lawan yang dihadapi juga semakin canggih dalam koordinasi, luar biasa mobil, dan semakin piawai memanfaatkan teknologi.

Kita pun menghadapi masalah yang sama hari-hari ini, yakni menangkap pelaku peledakan bom Mega Kuningan dan melengkapi diri untuk menghadapi ancaman serupa pada masa depan.

Friday, August 28, 2009

Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011

Kelautan

Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.

Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.

Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.

Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.

Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.

HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.

Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Bisa dialihkan

HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.

Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.

Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)

Kelautan: Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011

Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.

Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.

Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.

Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.

Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.

HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.

Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Bisa dialihkan

HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.

Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.

Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)

Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011

Kelautan

Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.

Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.

Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.

Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.

Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.

HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.

Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Bisa dialihkan

HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.

Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.

Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)


Kelautan
Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011
Jumat, 28 Agustus 2009 | 06:18 WIB
Jakarta, Kompas - Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.
Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.
Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.
Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.
Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.
Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.
Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.
HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.
Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.
Bisa dialihkan
HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.
Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.
Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.
Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.
Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)

Indonesia Mampu Sumbang 2,3 Giga Ton Per Tahun

EMISI KARBON

Hasil analisis 150 ahli emisi karbon terhadap enam sumber emisi, terhitung emisi karbon Indonesia pada 2005 mencapai 2,3 giga ton per tahun. Jika tidak dilakukan kebijakan pencegahan, pada tahun 2030 emisi karbon Indonesia diperkirakan menjadi 3,6 giga ton per tahun.

Emisi karbon tahun 2005 itu menempatkan Indonesia sebagai emiter terbesar ketiga di dunia, setelah China dan Amerika Serikat. Jejak karbon di atmosfer sejak era industrialisasi, sumbangan AS dan negara maju masih jauh lebih besar daripada negara di kawasan Asia.

”Dengan kebijakan mitigasi yang didukung dunia internasional, Indonesia mampu berperan besar menurunkan emisi karbonnya,” kata Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim yang juga Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, pada peluncuran ”Kurva Biaya Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia”, yang dihadiri sejumlah wartawan media nasional dan asing di Jakarta, Kamis (27/8).

Hingga tahun 2030, hasil penelitian yang dilakukan konsultan internasional yang digunakan di 15 negara itu, Indonesia berpeluang menurunkan emisi karbon 2,3 giga ton atau 2,3 miliar ton. Jika terwujud, tahun 2030 emisi karbon Indonesia tersisa 1,3 giga ton per tahun.

”Hasil penelitian ini menjadi tantangan bagi para pengambil kebijakan pada masa depan,” kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo. Peluang penurunan emisi ada di enam sektor, yakni kehutanan dan lahan gambut, energi, transportasi, pertanian, semen, serta gedung.

Kehutanan terbesar

Dari keenam sektor, potensi terbesar pengurangan emisi yaitu dari sektor kehutanan dan lahan gambut, di antaranya melalui pencegahan konversi hutan (deforestasi), penanaman kembali, dan rehabilitasi lahan gambut.

Emisi dari pembukaan hutan dan lahan gambut mencapai 80 persen emisi nasional. Oleh karena itu, Indonesia berkepentingan agar mekanisme reduksi emisi akibat deforestasi dan degradasi lahan (REDD) diadopsi dalam rezim baru pasca-Protokol Kyoto di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009.

Sejumlah langkah murah mereduksi emisi, di antaranya perbaikan mesin pembakaran internal kendaraan umum, menggunakan bola lampu hemat energi (LED), dan menggunakan peranti elektronik yang lebih efisien.

Acuan nasional

Rachmat Witoelar mengatakan, penelitian McKinsey yang digarap empat bulan itu akan dijadikan acuan nasional. Di antaranya akan dibawa dalam beberapa forum menteri lingkungan, para pemimpin G-20, dan pertemuan tingkat tinggi yang akan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di New York, Amerika Serikat, September 2009.

Meski demikian, seperti dikatakan Agus Purnomo, hasil penelitian itu lebih banyak digunakan untuk kepentingan dalam negeri. Tidak ada kaitannya dengan komitmen Indonesia di Kopenhagen pada Desember mendatang.

”Indonesia tidak berniat mengurangi emisi seperti target negara-negara Annex-I (negara maju). Mereka wajib mengurangi emisi dalam jumlah besar (deep cut),” katanya. (GSA)

Pemda Bantah Mentawai Diperjualbelikan

Kedaulatan Negara

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai membantah penjualbelian pulau di Mentawai seperti dilansir sebuah situs di internet. Data yang disebutkan di situs itu tidak akurat.

Penjualan pulau dilansir oleh situs privateislandsonline.com. Di situs itu, ada tiga pulau yang ditawarkan, yaitu Pulau Macaroni, Siloinak, dan Kandui.

Asisten Sekda Sumatera Barat Sinang Subekti, Kamis (27/8), mengatakan, data situs itu tidak benar. Dia memastikan tidak ada penjualan pulau di Mentawai.

”Kami sudah mengonfirmasi persoalan ini ke pengelola tempat wisata itu. Mereka menyatakan tidak ada penjualan pulau. Kami juga tidak menemukan ada pelanggaran hukum yang dilakukan operator wisata di Mentawai,” kata Sinang.

Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet mengatakan, tiga pulau yang disebutkan di situs itu tidak benar. Macaroni merupakan nama resor seluas enam hektar di Tanjung Sinai, Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara. Resor ini dimiliki PT Internusa Bahagia yang merupakan investasi penanaman modal asing (PMA) tahun 2004.

Kandui adalah nama resor di Pulau Karangmajat Besar. Resor mengantongi izin tahun 2007 seluas 9,1 hektar. Luas Pulau Karangmajat Besar 60 hektar.

Adapun Pulau Siloinak dikelola PT Mentawai Surak Wisata sejak tahun 2009. Perusahaan PMA ini tidak mengelola seluruh pulau seluas delapan hektar, melainkan mengelola kawasan wisata seluas satu hektar.

Direktur Utama PT Mentawai Surak Wisata Novi Leni Safitri menyatakan tidak pernah memberikan data pulau untuk situs itu. ”Kami beroperasi seperti biasa dan tidak pernah berniat menjual perusahaan, apalagi pulau ini,” kata Novi.

Novi mengaku tidak akan menggugat pemilik situs itu karena persoalan sudah ditangani pemerintah. Desas-desus penjualan pulau, menurut Novi, sudah terdengar sejak dua tahun lalu.

Hal senada disampaikan Direktur Utama Kandui Resort Mentawai Anom Suheri. Dia mengaku tidak pernah memberikan informasi seputar resornya kepada pengelola situs.

Direktur Jenderal Pengawasan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Aji Sularso mengatakan, pemerintah akan mengusut iklan penjualan pulau ke pengelola situs di Toronto, Kanada.

”Kami akan memakai hubungan diplomatik dengan Kanada untuk meminta klarifikasi tentang munculnya iklan penjualan pulau di situs itu. Kalau terungkap sesuatu yang lebih jauh, bisa saja pemerintah mengajukan gugatan hukum,” ucap Aji.(ART)

Kerja Sama dengan Telkom, Himbara Tingkatkan Efisiensi dan Pendapatan

Untuk meningkatkan efisiensi hingga 30 persen dan menaikkan pendapatan sebesar Rp 9,3 miliar per bulan, anggota Himpunan Bank-bank Negara (Himbara) menggandeng PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom).

Kerja sama ini untuk mengimplementasikan transaksi elektronik dengan Telkom sehingga menciptakan efisiensi biaya dan kemudahan transaksi bagi nasabah bank anggota Himbara yang terdiri dari Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN ini.

"Kerja sama ini akan terus dikembangkan untuk meningkatkan nilai bisnis (bussiness value) bagi bank-bank negara dan Telkom, sekaligus mendukung program Bank Indonesia mewujudkan less-cash society," kata Ketua Himbara Agus Martowardojo, di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (28/8).

Realisasi itu, tambahnya, menciptakan efisiensi biaya transaksi sebesar 30 persen dan menyumbang pendapatan Rp 9,3 miliar setiap bulan bagi semua anggota Himbara.

Saat ini, jumlah kartu debit yang diterbitkan bank-bank anggota Himbara sampai dengan Juli 2009 mencapai 16 juta kartu atau 47 persen dari total kartu debit yang beredar di Indonesia. Transaksi yang terjadi antarnasabah bank milik negara sebanyak 3 juta transaksi setiap bulan melalui 10.449 ATM yang dimiliki bank anggota Himbara.

Sementara total electronic data capture (EDC) milik bank-bank negara mencapai 46.000 EDC atau 29 persen dari total EDC di Indonesia. "Jumlah transaksi yang sangat besar ini akan memberikan potensi yang sangat baik bagi peningkatan pendapatan fee based income bank-bank anggota Himbara serta pendapatan Telkom," ujar Agus Martowardojo.

Implementasi sinergi Himbara dan Telkom ini dimulai pada 21 Juni 2009 berupa pemindahan pengelolaan switchingATM dari Artajasa ke Telkom. Layanan yang sudah berjalan saat ini adalah informasi saldo dan penarikan tunai.

Layanan transfer di ATM bank-bank negara serta layanan pembayaran grup usaha Telkom akan berjalan dalam waktu dekat.

Pengembangan selanjutnya akan diperluas dengan penambahan fitur layanan transaksi, implementasi di channel electronic lainnya, seperti EDC, internet banking, dan SMS Banking.

Kerja sama itu juga akan diarahkan untuk mendukung independent self regulatory organization (SRO).

Direktur Utama Telkom Rinaldy Firmansyah mengemukakan, Telkom siap mendukung kerja sama transaksi elektronik ini sehingga seluruh nasabah bank-bank anggota Himbara mendapatkan layanan terbaik. "Kami gembira dapat meningkatkan kerja sama lebih lanjut dengan Himbara dan kami akan mendukung sepenuhnya dengan kemampuan serta pengalaman yang dimiliki," ujar Rinaldy Firmansyah.

Di tempat yang sama, Menteri Negara BUMN Sofyan A Djalil mengatakan, sinergi Himbara dan Telkom ini merupakan contoh sukses sinergi Indonesia dan akan diikuti dengan sinergi lainnya dalam waktu dekat. "Saya sangat mendukung dan memacu agar tercipta sinergi yang lebih besar sehingga tercipta keuntungan dan layanan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Indonesia," kata Sofyan Djalil.

Jum'at, 28 Agustus 2009

Karena Century, Negara Bisa Jeblok Rp 5 Triliun

Penyelamatan Bank Century berpotensi merugikan negara, dalam hal ini Lembaga Penjamin Simpanan, sebesar Rp 4,5 triliun-Rp 5 triliun pada tahun 2011 saat LPS harus melepas kepemilikannya. Proses penyelamatan yang diawali pernyataan Bank Century sebagai bank gagal yang berpotensi sistemik juga dipertanyakan.

”LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) harus mendivestasi saham Century paling lambat tiga tahun sejak pengambilalihan pada 21 November 2008, yaitu paling lambat November 2011. Artinya, dengan ekuitas yang sekarang mencapai Rp 500 miliar, saat dijual tiga tahun lagi diperkirakan hanya menjadi Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun,” ujar anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dradjad H Wibowo, di Jakarta, Kamis (27/8), dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dan Pejabat Sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution.

Rapat yang juga dihadiri Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani itu diwarnai keraguan anggota Dewan atas keputusan BI dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang menyatakan Bank Century merupakan bank gagal yang berpotensi sistemik (bisa menyebabkan kegagalan bank lain jika dibiarkan mati). Penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berpotensi sistemik diputuskan dalam rapat KSSK pada 21 November 2008.

Sejak itu, ada empat kali suntikan dana dari LPS ke Bank Century, yakni pertama pada 23 November 2008 senilai Rp 2,776 triliun (modal yang digunakan untuk mengembalikan rasio kecukupan modal/CAR Bank Century dari negatif 3,53 persen menjadi 8 persen). Kedua, pada 5 Desember 2008 senilai Rp 2,201 triliun.

Ketiga, pada 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,155 triliun untuk menutup kekurangan CAR berdasarkan hasil perhitungan BI. Keempat, pada 21 Juli 2009 senilai Rp 630 miliar. Dengan demikian, total suntikan dana yang dikucurkan LPS mencapai Rp 6,762 triliun.

Dengan total dana yang sudah dikucurkan ini, potensi kerugian sebesar Rp 4,72 triliun hingga Rp 5,22 triliun. Nilai kerugian ini karena harga jual saham Bank Century saat didivestasi tahun 2011 diperkirakan Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun.

Dradjad mempertanyakan dasar pencairan dana sebanyak empat kali itu. Setiap kucuran modal biasanya disebabkan munculnya kewajiban baru bagi Bank Century dan harus ditanggung LPS.

LPS dicurigai meloloskan kucuran dana 18 juta dollar AS dari Bank Century kepada pihak tertentu, yang memiliki hubungan utang piutang dengan pemegang saham lama, tetapi masih dalam proses pengadilan.

”Jika klaim sepihak seperti itu dibayar juga, penambahan modal LPS ke Century patut dicurigai legitimasinya. Atas dasar itu perlu audit investigasi untuk memastikannya,” ujar Dradjad.

Alasan sistemik

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Sofyan Mile, mempertanyakan alasan penetapan status bank gagal yang berpotensi sistemik pada Bank Century oleh BI dan KSSK pada 21 November 2008. Saat itu definisi bank gagal yang berpotensi sistemik belum disepakati dengan DPR, tetapi BI dan pemerintah telah mendahului dengan dasar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

”Padahal, sebelumnya DPR sudah jelas-jelas menolak proposal untuk menolong Bank Indover yang juga disinyalir bisa berpotensi sistemik akibat krisis keuangan global,” ujarnya.

Sri Mulyani menyebutkan, seluruh dana yang disuntikkan LPS ke Bank Century tidak menyedot dana APBN karena semuanya murni dari dana kelolaan LPS. Penyelamatan Bank Century juga tidak menyebabkan BI harus menggunakan wewenang yang diberikan Perppu No 4/2008, yakni Fasilitas Pendanaan Darurat (FPD) pada Bank Century.

”Dengan demikian, tidak ada implikasi terhadap APBN dan tidak membutuhkan FPD oleh BI. Dan seluruhnya masih masuk dalam koridor hukum,” ujarnya.

Firdaus Djaelani menegaskan, upaya penyelamatan Bank Century sudah mulai memberikan hasil, antara lain kembalinya CAR ke level sehat, yakni 9,28 persen pada 31 Juli 2009. Itu jauh di atas CAR pada posisi 20 November 2008, atau saat Bank Century diambil alih LPS, yakni negatif 153,66 persen.

”Hingga saat ini LPS masih merupakan pemilik, sementara pengawasan harian atas Century tetap ada di BI,” ujarnya.

Darmin Nasution mengatakan, Bank Century diselamatkan karena jika dibiarkan mati, dikhawatirkan menyebabkan 23 bank lainnya juga bermasalah akibat di-rush nasabahnya.

Ke-23 bank tersebut merupakan bank-bank yang selevel dan memiliki hubungan bisnis dengan Bank Century. Di tengah krisis keuangan, kebangkrutan sebuah bank bisa merembet cepat ke bank lain yang selevel.

Selain meminta audit investigasi, Komisi XI DPR juga akan meminta pandangan hukum tentang legal tidaknya penyuntikan dana oleh LPS pada 3 Februari 2009 dan 21 Juli 2009.

Komisi XI DPR memandang tindakan LPS itu ilegal karena Perppu No 4/2008 tentang JPSK yang menjadi dasar penyelamatan Bank Century dinilai tidak lagi berlaku 18 Desember 2008 atau ketika perppu tersebut ditolak DPR menjadi undang-undang.

Sementara pemerintah menganggap penyelamatan yang dilakukan LPS legal karena sudah sesuai dengan Undang-Undang LPS. (OIN/FAJ)

Jakarta, 28 Agustus 2009

Bank-bank BUMN Bakal Satukan ATM

Nasabah Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN ke depan tidak perlu repot lagi bila harus melakukan transaksi lewat ATM. Sebab, perbankan yang masuk dalam Himpunan Bank-bank Negara (Himbara) ini berencana untuk menyatukan mesin ATM.

Nantinya, himpunan bank pelat merah ini hanya akan megeluarkan satu jenis kartu ATM, yakni ATM Himbara.

Menurut Dirut Bank Mandiri Agus Martowardojo, saat ini pihaknya tengah mengkaji lebih jauh terkait rencana ini. "Nanti tidak ada lagi Bank Mandiri, BRI, BNI, atau BTN. Adanya cuma Bank Himbara. Ya tapi itu nanti belum. Kan tidak boleh ketahuan. Saat ini kita masih bicara sambil minum teh, atau kopi," kata Agus, di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (28/8).

Agus memang belum bisa memastikan kapan rencana tersebut akan terwujud. Namun, dia mengakui penggabungan ATM tersebut membutuhkan persiapan yang matang termasuk untuk sistem teknologi informasi (IT). "Nanti kalau sudah dekat, kami kasih tahu," pungkasnya.

Thursday, August 27, 2009

2030, Indonesia Potensi Kurangi 60 Persen Emisi Karbon

Indonesia berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 60 persen hingga tahun 2030 dengan menggabungkan kebijakan lingkungan hidup yang tepat dan dukungan internasional.

Perubahan kebijakan dan kelembagaan di sektor kehutanan, pembangkit listrik, transportasi, dan pengelolaan lahan gambut merupakan peluang bagi Indonesia untuk beralih ke jalur ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Demikian paparan Menteri Lingkungan Hidup dan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar kepada para wartawan, Kamis (27/8) di Jakarta. Data ini merupakan hasil kajian sementara DNPI tahun ini.

"Indonesia mengakui adanya ancaman yang dihadapi semua bangsa dari pemanasan global, dan akan mengupayakan pengurangan emisi dalam negeri sepanjang hal tersebut sesuai dengan tujuan pembangunan nasional," ujar Rachmat.

Data DNPI menunjukkan, jumlah emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2005 mencapai 2,3 giga ton. Emisi ini akan meningkat sebesar 3,6 giga ton pada 2030 apabila tidak terdapat perubahan dalam cari pengelolaan di beberapa sektor.

Indonesia sendiri, salah satunya, akan fokus pada sektor kehutanan, pertanian, transportasi, bangunan, dan semen. Dari sektor ini, Indonesia berpeluang mengurangi gas rumah kaca sebesar 2,3 giga ton pada 2030.

Seperti diketahui, lahan gambut dan kehutanan merupakan sumber terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia, yaitu mencapai 45 persen. Untuk menekan emisi tersebut, Indonesia akan merehabilitasi lahan gambut yang rusak.

"Selain itu, Indonesia akan secara aktif memengaruhi negosiasi internasional tentang emisi gas, mengembangkan strategi perubahan iklim di dalam negeri yang handal, serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko dan peluang perubahan iklim," ujar Rachmat.

Warga Pasir Tetapkan 61.000 Hektar Kawasan Hutan Adat

Kalangan warga tujuh kampung di hulu Sungai Kandilo dan Sungai Telake di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, berinisiatif menetapkan 61.000 hektar kawasan hutan mereka sebagai hutan adat. Inisiatif itu diambil untuk menyelamatkan hutan dari kehancuran akibat perluasan hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit serta pertambangan.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur (Kaltim) Isal Wardhana mengatakan hal itu di Kota Samarinda, Kamis (27/8). Pengukuhan dilaksanakan dalam suatu pertemuan antarwarga hulu Telake dan Kandilo pada 20-21 Agustus di Kampung Muara Payang, Kecamatan Muara Komam.

"Pengelolaan dan pemanfaatan hutan dalam perspektif adat sudah dikenal warga Pasir berabad-abad lamanya. Namun, pemerintah hingga kini belum mengakui keberadaannya," kata Isal.

Hutan sumber kehidupan masyarakat asli itu terancam rusak akibat kegiatan di sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan atas izin pemerintah di dekatnya.

Isal mengatakan, sejumlah tanda hancurnya lingkungan sudah tampak. Misalnya, pertambangan batu bara di hulu Telake dan Kandilo oleh perusahaan berizin dari pemerintah pusat mengakibatkan air sungai keruh. Ikan sulit didapat. Binatang buruan juga kian sedikit di hutan dekat tambang.

Untuk mencegah kerusakan lebih besar, lanjut Isal, warga berinisiatif melindungi kawasan sumber kehidupan mereka sebagai hutan adat. "Diharapkan pemerintah daerah mengukuhkan kawasan lewat peraturan daerah atau paling tidak keputusan bupati," katanya.

Kawasan-kawasan kelola itu terletak di Kampung Muluy seluas 10.000 hektar hutan adat dan 3.000 hektar kawasan perladangan dan perburuan. Kampung Sekuan Makmur menetapkan 100 hektar hutan adat. Kampung Long Sayo menetapkan 8.000 hektar hutan adat dan 2.000 hektar kawasan perladangan. Kampung Muara Payang menetapkan 10.000 hektar hutan adat.

Kampung Lusan menetapkan 7.500 hektar hutan adat untuk berkebun dan berburu. Kampung Telake menetapkan 10.000 hektar hutan adat, 5.000 hektar kawasan perladangan, dan 5.000 kawasan perburuan. Kampung Muara Samu menetapkan 300 hektar kawasan Gunung Belaung untuk perkebunan (rotan, kopi, durian, langsat, dan pohon madu) dan berinisiatif melindungi kawasan Danau Kreketa dan Danau Toramais.

KAMIS, 27 AGUSTUS 2009 | 16:51 WIB

El Nino Berdampak Positif pada Perikanan

Gejala El Nino yang sedang berlangsung tidak hanya mendatangkan kerugian akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Namun, di perairan, seperti di selatan Pulau Sumatera, Jawa, hingga Nusa Tenggara, dapat menguntungkan atau berdampak positif karena biota ikan dari kedalaman akan berenang lebih dekat ke permukaan laut.

”Pengaruh El Nino memang bisa mengakibatkan musim penangkapan ikan menjadi lebih banyak. Namun, nelayan juga harus dipersiapkan untuk menghadapi musim paceklik setelah itu,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi pada konferensi pers, Rabu (26/7) di Jakarta.

Freddy di dalam konferensi pers menekankan perlunya program kelautan dan perikanan menjadi bidang pembangunan tersendiri. Dia menyampaikan capaian kinerja pembangunan kelautan dan perikanan selama lima tahun terakhir, termasuk keberhasilan penyelenggaraan kegiatan bertaraf internasional Konferensi Kelautan Dunia (WOC) dan Sail Bunaken di Sulawesi Utara pada Agustus ini.

Tak bisa dilawan

Secara terpisah, dampak positif El Nino juga dipaparkan Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian. ”Selama ini publik disuguhi informasi dampak El Nino masih dari sisi yang tidak menguntungkan saja,” kata Edvin.

Menurut dia, alam, termasuk fenomena El Nino, tak bisa dilawan. Tindakan adaptif atau memanfaatkan nilai keuntungan yang ditimbulkannya menjadi sangat penting.

Pada sektor perikanan, fenomena El Nino mengakibatkan suhu laut menjadi lebih dingin. Biota laut, termasuk ikan-ikan bernilai ekonomis, seperti ikan tuna dari kedalaman, akan berenang mendekati permukaan
laut.

Dengan kondisi air laut seperti itu, industri rumput laut juga lebih diuntungkan. Termasuk pula industri garam karena mendapatkan penyinaran matahari yang lebih lama sehingga produksi juga akan lebih menguntungkan petani.

Perburuan sirip hiu

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi juga menyinggung perburuan sirip ikan hiu di wilayah perairan Indonesia timur bagian selatan. Pihak Australia pun sering melayangkan protes atas tindakan yang merusak keseimbangan ekosistem kelautan tersebut.

”Nelayan-nelayan tradisional penangkap ikan hiu, yang hanya mengambil siripnya, itu hanya dimanfaatkan oleh ’mafia’ saja,” kata Freddy.

Freddy mengatakan bahwa ”mafia” yang dimaksudkan tersebut adalah para pedagang yang mengambil keuntungan dari perolehan sirip ikan hiu. Ia menyebutkan, ”mafia” itu berperan hingga membelikan kapal nelayan untuk menangkap ikan hiu dan hanya mengambil siripnya saja.

”Satu kapal yang diberikan ke nelayan tradisional harganya paling-paling hanya Rp 30 juta. Namun, pendapatan ’mafia’ dari hasil sirip ikan hiu bisa mencapai Rp 5 miliar,” kata Freddy.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik menyatakan, untuk masalah perburuan sirip ikan hiu ini, pemerintah dituntut lebih tegas menerapkan kebijakannya dalam hal konservasi atau penyelamatan lingkungan.(NAW)

Defisit Anggaran Amerika Serikat 9 Triliun Dollar

Dalam Jangka Panjang Perekonomian Terganggu

Defisit anggaran Pemerintah AS diperkirakan akan mencapai 9,05 triliun dollar AS dalam 10 tahun mendatang. Dampak defisit yang menggelembung ini, program reformasi Presiden Barack Obama dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang akan terganggu.

Besaran perkiraan defisit itu bertambah 2 triliun dari perkiraan sebelumnya. Defisit terus membesar karena Pemerintah AS memerlukan banyak sekali dana untuk memperbaiki sistem finansial dan stimulus fiskal untuk mengerakkan kembali perekonomian.

Untuk menutupi defisit, pemerintah perlu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di dalam jangka panjang, meningkatkan penerimaan pajak, serta memangkas pengeluaran. Persyaratan ini tampaknya akan sulit dilakukan dalam masa krisis seperti ini.

Semua ini merupakan warisan dari kebijakan buruk mantan Presiden AS George W Bush. Di dalam negeri, Bush mengurangi penerimaan pajak korporasi. Di luar negeri Bush menjalankan dua perang, di Irak dan Afganistan, yang menelan triliunan dollar AS dana Pemerintah AS. Di sisi keuangan, rezim Bush tidak mengekang perilaku liar korporasi, yang termasuk memicu krisis ekonomi.

Keadaan diperkirakan akan memburuk karena produktivitas ekonomi AS akan menurun seiring dengan meningkatnya warga berusia tua. Hal ini juga akan membuat Pemerintah AS memerlukan lebih banyak pengeluaran, sementara penerimaan berkurang.

Seiring dengan membengkaknya defisit anggaran, total utang Pemerintah AS juga akan mencapai 11,6 triliun dollar AS. Besaran defisit dan potensi peningkatan utang ini akan menimbulkan debat politik.

Kubu Partai Republik meminta Obama meninggalkan rencana mengenai program pembiayaan pelayanan kesehatan agar terjangkau masyarakat. Obama juga diminta menangguhkan program pengurangan pemanasan iklim global.

Ini adalah program yang juga dilakukan George W Bush, pendahulu Obama. Namun, usulan Republik ini membuat AS tidak diskukai dunia dan juga dicaci warga sendiri karena warga miskin tak mampu berobat.

Sebelumnya, Obama sudah mengatakan akan memangkas defisit hingga setengah dari yang diwarisinya dari Bush di akhir masa jabatannya pada tahun 2013 mendatang.

Akan tetapi, popularitas presiden baru ini semakin merosot karena mendapatkan kritik pedas dari lawan-lawan politik mengenai cara membiayai reformasi kesehatan yang sedang disusun.

”Pemerintah sangat khawatir soal defisit ini dan berupaya agar defisit itu tetap terkendali. Itu merupakan prioritas,” ujar Direktur Anggaran Gedung Putih Peter Orszag.

Republik berceloteh

Kubu Republik mulai berceloteh dengan mengatakan defisit itu sangat mengkhawatirkan. ”Sirene fiskal kita telah berbunyi,” ujar anggota Senat dari Republik Mitch McConnell. Beban ini akan memberatkan generasi mendatang dan makin tidak terkontrol.

”Defisit anggaran yang permanen dan besar ini sangat negatif dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Defisit akan mendorong tingkat suku bunga naik dan mengurangi jumlah modal yang tersedia untuk investasi serta mengurangi pertumbuhan produktivitas,” ujar Augustine Faucher, Director Ekonomi Makro pada Moody’s Economy.com. Defisit yang ditutup dengan utang, di masa datang membuat anggaran terkuras untuk membayar cicilan utang.

Biro Manajemen dan Anggaran (OMB) memperkirakan perekonomian AS akan terkontraksi sebesar 2,8 persen tahun ini,
lebih dalam dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 1,2 persen.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan penyerapan tenaga kerja rendah. Tingkat pengangguran diperkirakan akan mencapai puncak pada akhir 2009 menjadi 10 persen.

Perkiraan defisit, yang diluncurkan pemerintah, lebih kurang sama dengan perkiraan dari Biro Anggaran Kongres AS (CBO). Badan milik Kongres AS ini menaikkan perkiraan defisit pada 10 tahun mendatang menjadi 7,1 triliun dollar AS.

Walau sebagian besar defisit itu merupakan buah dari kebijakan Bush, kebijakan populis Obama juga menambah sisi bahaya. Obama sudah menyatakan bahwa dia akan memperpanjang beberapa bentuk penghapusan pajak, yang pernah diluncurkan Bush. Hal ini justru membuat penerimaan negara rendah, sementara pengeluaran meningkat, terutama di masa resesi.(AP/AFP/Reuters/joe)

Aktivitas Pertambangan Mengkhawatirkan

Aktivitas pertambangan, khususnya pertambangan rakyat di Indonesia Timur, telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang mengkhawatirkan. Pertambangan rakyat berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan lebih besar daripada pertambangan perusahaan besar.

Hal itu dinyatakan Menneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar seusai membuka Rapat Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua di Makassar, Suawesi Selatan, Rabu (26/8).

”Di Indonesia Timur, ada banyak pertambangan skala besar, seperti Freeport, Tangguh, atau Inco. Mereka memiliki rencana pascatambang dan melakukan pertambangan sesuai amdal. Pertambangan rakyat kecil-kecil, tetapi banyak dan sangat sulit dikendalikan. Ke depan, aktivitas pertambangan harus tunduk kepada Kajian Lingkungan Hidup Strategis,” kata Rachmat.

Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua, Ridwan D Tamin menyatakan, aktivitas pertambangan rakyat yang menimbulkan kerusakan lingkungan terparah terjadi di Bombana, Sulawesi Tenggara.

”Jumlah penambang begitu banyak dan tersebar luas. Aparat keamanan kesulitan mengendalikan,” kata Ridwan. Ia mengakui, jumlah izin pertambangan yang dikeluarkan bupati/wali kota sangat banyak.

Rachmat menyatakan, penanganan aktivitas pertambangan rakyat harus menggunakan pendekatan berbeda dengan penanganan aktivitas pertambangan perusahaan besar. ”Kalau perusahaan besar melanggar aturan, harus dikenai sanksi hukum tegas. Tetapi, untuk penambangan rakyat harus ditangani dengan pendekatan perbaikan kesejahteraan,” katanya.

Ia menyatakan, pengelolaan lingkungan hidup di kawasan Indonesia Timur menghadapi sejumlah tantangan, antara lain kemiskinan dan buruknya infrastruktur. ”Padahal, Indonesia timur memiliki ekosistem khas, keanekaragaman hayati yang tinggi dan harus dilindungi,” kata Rachmat.

Tidak bohong

Terkait presentasi kepada publik tentang penelitian dugaan pencemaran laut di Teluk Buyat, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengatakan, ilmuwan tak mungkin bohong dalam menanggapi hasil penelitian sebuah obyek. Kesalahan dalam penelitian tak bisa dikategorikan kebohongan.

”Masyarakat diminta memahami penelitian pascatambang limbah tailing di Teluk Buyat oleh tim independen,” kata Kusmayanto di Manado, Sulawesi Utara, Rabu. Teluk Buyat merupakan lokasi pembuangan limbah tailing oleh PT Newmont Minahasa Raya.

Ketua Panel Ilmiah Independen (PII) Dr Irene Umboh mengatakan, berdasarkan kajian ilmiah dan hasil penelitian sejak September 2008 diperoleh fakta, kadar arsenik dan merkuri di Teluk Buyat di bawah ambang batas. ”Kadar arsenik di bawah 12 ppm, sedangkan logam merkuri hampir tidak terdeteksi. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Irene.

PII merupakan gabungan para peneliti dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Sam Ratulangi, Manado. (ROW/ZAL)

Negara Ambil Alih 47.000 Hektar Lahan DL Sitorus

Pemerintah secara resmi mengambil alih lahan seluas 47.000 hektar dari Derianus Lunggung Sitorus. Lahan tersebut berada di dalam Register 40 di Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.

Proses eksekusi dilangsungkan di Kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Sumut), Rabu (26/8). Dengan adanya eksekusi ini, operasional dan manajemen beberapa perusahaan yang ada di Register 40 itu beralih ke pemerintah.

Saat ini perusahaan perkebunan yang ada di lahan tersebut, antara lain, Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan, PT Torganda, Koperasi Parsub, dan PT Torus Ganda.

Selaku eksekutor, Kejaksaan Tinggi Sumut kemarin menyerahkan berita acara eksekusi kepada pihak yang mewakili pemerintah, yaitu Dinas Kehutanan Sumut. ”Berita acara ini menjadi titik awal kami melangkah. Kami akan menyomasi manajemen lama untuk meninggalkan lokasi secara baik-baik,” kata Kepala Dinas Kehutanan Sumut James Budiman Siringoringo.

Saat proses eksekusi berlangsung, ratusan orang, yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa dan Masyarakat Adat Simangambat Ujung Batu, menyatakan penolakan. Dalam unjuk rasanya, kelompok yang dikoordinasi Sutan Ahmad Sayuti Haisuban itu menyatakan, lahan di Register 40 merupakan tanah ulayat yang dilindungi hukum. Pemakaian tanah oleh DL Sitorus sejak tahun 1998 berlangsung atas permintaan warga. (NDY)

Target Ruang Hijau Jakarta Tercapai 680 Tahun Lagi?

Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta, Pemprov DKI menargetkan pencapaian target pembukaan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 13,94 hektar hingga tahun 2010. Sayangnya, sepertinya target itu baru bisa tercapai 680 tahun lagi. Lho, kok bisa? Ket Foto: Ketua Kelompok Studi Arsitektur Lanskap Indonesia Nirwono Joga mengatakan perbandingan sisa target Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan rata-rata penambahan RTH tiap tahun menghasilkan perkiraan bahwa RTH ideal di Jakarta baru bisa tercapai 680 tahun lagi. Hal ini disampaikan dalam diskusi bertajuk 'Ruang Terbuka Hijau Jakarta vs Kepentingan Bisnis' di Mayapada Tower, Kamis (27/8).

Ketua Kelompok Studi Arsitektur Lanskap Indonesia Nirwono Joga mengatakan bahwa data penambahan RTH beberapa tahun belakangan menguatkan pesimistis terhadap target Pemprov DKI.

Data menunjukkan penambahan RTH rata-rata 4 hektar per tahun. Padahal, sisa RTH yang harus dipenuhi untuk mencapai target adalah 2.718,29 hektar atau 3,97 persen. Sementara itu, RTH yang baru tersedia 6.826,52 hektar atau 9,97 persen. "Kalau dibagi antara sisa dan rata-rata penambahan, maka didapat angka sekitar 680 tahun baru bisa tercapai sisa target itu," ujar Nirwono dalam diskusi bertajuk Ruang Terbuka Hijau Jakarta vs Kepentingan Bisnis, di Mayapada Tower, Kamis (27/8).

Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan RTRW Jakarta untuk tahun 2030, pemprov menargetkan kebutuhan RTH hingga 30 persen dari total wilayah.

Yoga mengatakan, pemda kerap beralasan, anggaran untuk perluasan RTH terbatas. Namun, menurut Yoga, pemprov hanya tidak hendak menjadikannya program prioritas, seperti bus transjakarta dan Banjir Kanal Timur (BKT). Di sisi lain, pemprov dinilai tidak mampu mengendalikan okupasi di jalur hijau.

Koefisien dasar bangunan (KDB) jauh melebihi koefisien daerah hijau (KDH) yang ditargetkan 20-30 persen. Bahkan, bangunan pusat perbelanjaan, perkantoran, atau perhotelan yang seharusnya menyisihkan 10 persen luas areanya untuk RTH malah menghabiskannya untuk basement atau lapangan parkir.

Kamis, 27 Agustus 2009 | 12:13 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com —http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/08/27/1213470/target.ruang.hijau.jakarta.tercapai.680.tahun.lagi

IPB Resmikan Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim

Institut Pertanian Bogor (IPB) meresmikan Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim Kawasan Asia Pasifik (CCROM SEAP). Fasilitas ini akan digunakan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai perubahan iklim, risiko, dan peluangnya.

CCROM SEAP diresmikan oleh Rektor IPB Dr Ir Herry Suhardiyanto di Bogor, Rabu (26/8), bersamaan dengan digelarnya lokakarya mengenai metodologi skema pengurangan emisi dari penggundulan dan pengrusakkan hutan (REDD) bekerja sama dengan Pusat Studi Kehutanan Internasional (CIFOR).  Lokakarya yang digelar pada 26-27 Agustus tersebut bertujuan untuk mendiskusikan metodologi dan pendekatan dalam menentukan emisi referensi REDD, untuk mengukur keberhasilan Indonesia menekan emisi gas rumah kaca.

Direktur CCROM Prof Dr Rizaldi Boer mengatakan, pusat kajian yang terbentuk pada April 2009 ini mempunyai misi membantu masyarakat untuk memahami perubahan iklim serta dampaknya bagi manusia.

"Kegiatan yang dilakukan tidak hanya di bidang pertanian, tetapi juga sektor-sektor lain yang terpengaruh oleh perubahan iklim seperti kehutanan, perikanan, kelautan, kesehatan," katanya. Dalam mengembangkan pusat kajian ini, katanya, IPB memperoleh banyak dukungan diantaranya dari Columbia University AS dan CIFOR.

"Hasil kajian dari kami akan direkomendasikan kepada Dewan Nasional Perubahan Iklim sebagai bahan untuk negosiasi terkait perubahan iklim. Diharapkan nantinya CCROM ini tidak hanya memainkan perannya di Indonesia tetapi juga di kawasan Asia Tenggara," ujarnya.
Dalam pertemuan negara penandatangan konvensi perubahan iklim (UNFCCC) telah disepakati bahwa keberhasilan dalam menekan emisi dari kegiatan tersebut bisa mendapatkan kompensasi baik dalam bentuk pendanaan, alih teknologi, maupun pembangunan kapasitas. Rizaldi mengatakan, sampai saat ini belum ada metodologi yang disepakati untuk menentukan referensi tersebut.

"Ada beberapa cara untuk menentukan emisi referensi, diantaranya dengan menggunakan laju emisi historis, model pendugaan kemungkinan risiko hutan dikonversi ke depan, memperkirakan perubahan faktor penyebab deforestasi, atau dengan cara melakukan penyesuaian emisi referensi setiap periode waktu tertentu dengan mempertimbangkan perubahan kondisi yang ada," katanya.

Herry Suhardiyanto mengatakan, apabila emisi referensi yang digunakan adalah rata-rata emisi historis dari tahun 2000-2005, maka apabila Indonesia mampu menurunkan tingkat emisi sampai setengah dari referensi tersebut, dengan harga karbon sekitar 10 dolar AS per ton CO2, Indonesia bisa memperoleh kompensasi sekitar 3,3 miliar dolar AS per tahun.

Sementara itu, Direktur Jenderal CIFOR Frances Seymour menyambut baik diresmikannya CCROM dan menekankan pentingnya peningkatan kapasitas penelitian di bidang kehutanan dan perubahan iklim. Kerja sama terkait perubahan iklim difokuskan pada tiga hal yaitu metode manajemen serta pemantauan REDD, implementasi REDD dengan melibatkan masyarakat lokal sehingga mereka bisa mengambil keuntungan, serta kebijakan yang mendukung.

Rabu, 26 Agustus 2009 | 22:24 WIB
BOGOR, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/26/22241251/ipb.resmikan.pusat.pengelolaan.risiko.dan.peluang.iklim

Foto Google Earth Ungkap Keberadaan Monster Loch Ness

Selama berabad-abad, banyak orang yang mengatakan pernah melihat monster Loch Ness. Namun, tidak pernah ada bukti nyata tentang keberadaan monster di Danau Ness tersebut. Nessie yang diperkirakan adalah seekor plesiosaurus tetap menjadi sebuah misteri. Ket Foto: Gambar rekaman Google Earth yang diduga sosok Nessie, monster danau Loch Ness di Norwegia.

Namun, akhirnya seorang pembaca harian Sun, Jason Cooke, secara tak sengaja memberikan buktinya. Bukti tersebut adalah foto dari Google Earth. Jason Cooke yang bertugas sebagai petugas keamanan di Nottingham itu sedang melihat-lihat foto situs Google Earth ketika ia mencatat keberadaan Nessie, begitu julukan monster danau tersebut. “Saya tidak bisa memercayainya. Ini seperti deskripsi Nessie,” katanya.

“Ini benar-benar membangkitkan minat. Ini perlu penelitian lebih lanjut,” tutur Adrian Shine, peneliti di Loch Ness Project, seperti dikutip Sun.

Ingin melihatnya sendiri? Silakan masukkan koordinat Latitude 57°12'52.13"N, Longitude 4°34'14.16"W di Google Earth. Atau klik alamat di Google Map di http://maps.google.com/maps?ll=57.214408,-4.5706609&z=18&t=h&hl=en

Kamis, 27 Agustus 2009
Source: http://tekno.kompas.com/read/xml/2009/08/27/09520292/foto.google.earth.ungkap.keberadaan.monster.loch.ness.

Wednesday, August 26, 2009

REDD Bukan Upah Rawat Hutan

Pendanaan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi atau REDD perlu dipahami sebagai pendanaan iklim. Model pendanaan dari luar negeri tersebut bukan upah karena Indonesia memiliki hutan luas.

”Dengan kata lain, Indonesia dapat uang karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo pada peluncuran situs REDD-I kerja sama Center for International Forestry Research (Cifor), World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, dan PILI-Green Network, atas biaya Yayasan David serta Lucile Packard di Jakarta, Selasa (25/8).

Hutan luas tanpa dibarengi kemampuan menjaga peran hutan sebagai penyeimbang iklim dan penyimpan karbon tidak akan menghasilkan apa pun. Pemahaman itu perlu diketahui para pihak, baik pemerintah daerah, LSM, maupun swasta.

Di daerah, REDD sebagai pendanaan iklim membawa konsekuensi pendataan kawasan. ”Data yang detail untuk memastikan unsur gas rumah kaca tetap tersimpan di hutan,” kata Agus.

Oleh karena itu, peningkatan pemahaman dan kemampuan swasta dan daerah patut terus dilakukan. Keengganan berbenah akan membuat proyek REDD jauh dari harapan.

Salah satu bentuk menjaga hutan di daerah, lanjut Agus, adalah pemerintah daerah diharapkan tidak asal menerima ajakan kerja sama berupa nota kesepahaman (MOU) dengan siapa pun. ”Jangan dulu menyerahkan hak penguasaan hutan ke pihak lain,” kata Agus.

Di tempat yang sama, peneliti Cifor, Daniel Murdiyarso, menyatakan, potensi hutan amat besar menyeimbangkan iklim. Sekitar 20 persen persen emisi dihasilkan dari hutan.

Namun, butuh upaya global sebelum REDD diadopsi dalam rezim baru setelah Protokol Kyoto. ”Kalaupun disetujui di Kopenhagen, butuh waktu menerapkan REDD,” kata dia.

Salah satu cara mempercepat kemungkinan penerapan adalah pembelajaran melalui proyek percontohan. Di sana dipelajari metode penghitungan lepasan karbon, pengukuran serapan karbon, pengawasan, dan verifikasinya.

”Selain metodologi, perlu pembelajaran juga soal peraturan terkait legitimasi proyek,” kata Daniel. Untuk itu, Cifor mengembangkan riset di lima negara, termasuk Indonesia.

Indonesia tergolong salah satu negara dengan faktor kesulitan tinggi. Keragaman fisik dan biologis membutuhkan metode pengukuran dan pengawasan yang berbeda-beda sehingga butuh waktu.

Di Indonesia, setidaknya ada dua proyek percontohan (demonstration activities) di Kalimantan hasil kerja sama Indonesia dengan Jerman dan Australia.

”Jumlah itu jauh dari cukup,” kata Koordinator Substansi REDD, yang juga mantan Sekretaris Badan Litbang Departemen Kehutanan Nur Masripatin. Idealnya, proyek percontohan ada di setiap provinsi yang memiliki hutan. Pembelajaran penting lain di proyek percontohan adalah pendistribusian insentif. ”Baik berupa uang atau transfer teknologi, model pendistribusiannya harus dipelajari sejak sekarang,” kata dia.

Direktur Iklim dan Energi WWF Indonesia Fitrian Ardiansyah memperingatkan agar pemerintah mewaspadai persoalan tumpang tindih pengelolaan lahan di Indonesia. Kejelasan status lahan menjadi pertimbangan penting lolos-tidaknya proyek. (GSA)

Rabu, 26 Agustus 2009 | 04:45 WIB

Bulan, Galileo, dan Sumbangan Ilmiahnya

Bola kristal yang berisi planet dan bintang-bintang yang menempel di kulit bola telah dipecahkan oleh Galileo. Revolusi yang lahir karena itu sejajar dengan penemuan evolusi oleh seleksi alam Charles Darwin dalam pemahaman diri manusia di tengah alam (The Economist, 15/8/2009).

Pada pekan pertama Ramadhan 1430 Hijriah ini, bayangan tentang Bulan yang menentukan awal dan akhir bulan suci ini selalu muncul gamblang dalam ingatan. Bulan yang mengilhami manusia dalam banyak hal sejak dulu kala mendapatkan perspektif baru setelah ilmuwan Italia, Galileo Galilei (1564-1642), mengarahkan teropong astronomi yang baru ditemukan untuk menyibak rahasia langit.

Seperti pernah disinggung dalam rubrik ini (13/8/2008), tahun 2009 ini oleh Majelis Umum Ke-62 PBB, 20 Desember 2007 telah ditetapkan sebagai Tahun Astronomi Internasional. Penetapan tahun astronomi adalah sebagai penghormatan terhadap penggunaan teleskop pertama untuk astronomi oleh Galileo pada tahun 1609. Sejak itu, dengan teleskop yang makin lama makin kuat dan canggih, para astronom melahirkan temuan baru selama 400 tahun terakhir yang memicu revolusi ilmu pengetahuan yang memengaruhi pandangan manusia tentang alam semesta.

Tahun 1609 itu Galileo menjadi manusia pertama yang dapat mengamati dengan gamblang kawah-kawah di permukaan Bulan. Selain itu, dengan teleskopnya, ia juga dapat melihat empat bulan planet Yupiter yang paling besar, yakni Io, Europa, Ganymede, dan Callisto. Galileo melihat keempat bulan Yupiter yang kini dikenal sebagai bulan-bulan Galilean mengitari planet induknya, dan itu pula yang ia jadikan bukti untuk mendukung sistem heliosentrik—menempatkan Matahari sebagai pusat (tata surya), bukan Bumi—yang dimajukan oleh Copernicus. Temuan Galileo, dan kemudian dukungannya pada Teori Heliosentrik, amat mengguncangkan dunia pada waktu itu.

Setelah 400 tahun

Saat yang bersejarah itu sendiri dimulai ketika tanggal 25 Agustus 1609 Galileo memperlihatkan teleskop yang baru selesai dibuat kepada saudagar Venesia, dan tak lama setelah itu ia arahkan ke langit. Galileo pun melihat pegunungan yang menghasilkan bayangan di permukaan Bulan, dan ia pun menyadari bahwa benda langit itu merupakan sebuah dunia sebagaimana Bumi yang memiliki permukaan yang kompleks.

Selain bulan-bulan Yupiter, Galileo juga melihat fase-fase Venus yang serupa dengan Bulan. Hal itu juga menandakan bahwa planet itu mengelilingi Matahari, bukan Bumi. Baik bulan-bulan Yupiter maupun fase planet Venus menguatkan paham heliosentrik yang saat itu tidak didukung ajaran Gereja. Galileo juga melihat bintik Matahari, memperlihatkan bahwa Matahari bukan satu bola sempurna seperti dituntut kosmologi Yunani. Hal lain yang juga dilihat Galileo, tetapi banyak dilupakan adalah bahwa galaksi Bima Sakti, sabuk putih yang menyilang di langit, adalah tersusun dari banyak sekali bintang.

Pengamatan Galileo tersebut menyiratkan bukan saja Bumi bukanlah pusat segalanya, tetapi juga semua yang terlihat Galileo amat jauh lebih luas dan besar daripada apa yang bisa dibayangkan oleh orang pada saat itu.

Selain lebih besar, obyek langit tersebut —sejak saat itu—juga lebih tua. Para astronom dewasa ini mematok umur alam semesta pada kisaran 13,7 miliar tahun, atau sekitar tiga kali lebih tua dibandingkan Bumi, atau sekitar 100.000 kali rentang kehidupan manusia modern sebagai spesies. 

Lalu, kalaupun umurnya sudah bisa diperkirakan, tetapi ukuran alam semesta sebenarnya masih belum diketahui. Dengan pengetahuan yang ada sekarang ini, manusia tidak dapat mengetahui jarak yang lebih jauh dari 13,7 miliar tahun cahaya.

Dari cabang fisika, yang selama ini setia mengawal perkembangan astronomi, berkembang pemikiran bahwa alam semesta, betapapun mahaluasnya, boleh jadi hanya satu dari banyak struktur serupa, yang satu dan lainnya diatur hukum-hukum yang tak jauh berbeda. Ringkasnya, sesungguhnya ada banyak alam semesta, atau juga disebut multiverse, bukan universe (The Economist, 15/8/2009).

Sejajar Darwin

Apa yang dilihat Galileo pada tahun 1609 ibaratnya telah membedah batas penglihatan dan—dengan itu—pemahaman manusia atas alam kosmos. Jagat tempat manusia hidup di zaman Galileo bisa dikatakan ukuran yang telah diketahui. Orang Yunani saja sudah punya cukup gambaran mengenai ukuran Bumi dan jarak ke Bulan. Namun, semua itu masih merupakan jarak-jarak yang bisa dikatakan terjangkau imajinasi. Namun, setelah Galileo, lalu terbangun kosmos yang skalanya sulit dibayangkan. Belum lagi kalau argumen seperti multiverse kita perhitungkan.

Masa 400 tahun telah berlalu semenjak penemuan teleskop Galileo, dan para astronom terus berkiprah mempelajari dan menemukan hal baru, mulai dari planet yang mengelilingi bintang-bintang nun jauh di bagian lain galaksi, yang mungkin didiami makhluk asing, hingga materi gelap dan energi yang belum diketahui apa arti dan konsekuensinya. Bisa jadi, kelak juga akan lahir penemuan yang mengubah dunia sebagaimana penemuan Galileo.

Berkah pengetahuan

Berangkat dari penemuan Galileo yang kini dihormati sebagai Tahun Astronomi Internasional, pengetahuan manusia akan kosmos kini telah berkembang beraneka ragam. Sudut-sudut gelap semesta yang semula tidak diketahui setapak demi setapak mulai terkuak.

Kita di Indonesia juga telah memiliki dan mengembangkan tradisi astronomi. Ada komunitas astronom yang—meski tidak banyak relatif terhadap jumlah penduduk, dan bekerja dengan fasilitas yang bisa dikatakan ala kadarnya—terus mendedikasikan diri bagi upaya pengungkapan rahasia semesta, dan dengan itu juga semakin meningkatkan pemahaman manusia dan posisinya di semesta ini.

Sebagian dari mereka juga mendalami pemanfaatan instrumen untuk pengamatan benda-benda langit. Dalam kaitan ini kita berharap pada bulan suci Ramadhan ada berkah pengetahuan yang dapat kita simak dari kemajuan astronomi, bersamaan dengan rangkaian peringatan 400 tahun teleskop Galileo.

Dengan menyerap berkah pengetahuan itu pula kita beranjak menjadi bangsa yang semakin maju, dengan rasionalitas yang makin berkembang. Sebagaimana manusia pascapenemuan teleskop yang menyerahkan otoritas pengamatan alam dari mata telanjang ke instrumen, dalam hal-hal lain pun kita juga tidak perlu ragu untuk memercayakan sejumlah urusan kita pada instrumen ilmiah yang dilandasi oleh pengetahuan yang memadai. Tradisi yang telah diturunkan oleh Galileo hingga kini masih diikuti oleh pewaris intelektualnya yang juga cemerlang.

Rabu, 26 Agustus 2009 | 03:12 WIB
Oleh NINOK LEKSONO

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...