Showing posts with label Kemerdekaan. Show all posts
Showing posts with label Kemerdekaan. Show all posts

Sunday, October 18, 2009

Target MDGs Sulit Tercapai

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Target pencapaian rencana pemberantasan kemiskinan global di bawah program PBB yang disebut Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun 2015 tersisa enam tahun. Namun, delapan target yang menjadi sasaran masih jauh dari harapan sehingga muncul kekhawatiran target-target itu akan sulit tercapai.

Khusus mengenai angka kemiskinan Indonesia, diharapkan berkurang hingga 7,5 persen pada tahun 2015. Namun, kenyataannya, pada tahun 2008 angka kemiskinan masih 15,64 persen.

Demikian terungkap dalam dialog ”Evaluasi Anggaran Pencapaian MDGs (Tujuan Pembangunan Milenium) dan Agenda Prioritas Pemerintah terhadap Pemenuhan Anggaran Pencapaian Target MDGs”, Kamis (15/10) di Jakarta.

”Kebijakan, perencanaan, dan anggaran sejak dulu memang tidak pernah nyambung sehingga akibatnya target tidak tercapai,” kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan.

Selain kemiskinan, tujuh target MDGs adalah jangkauan layanan pendidikan dasar, pengarusutamaan jender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian anak balita, peningkatan kesehatan ibu, pemberantasan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, penanganan lingkungan berkelanjutan, serta kemitraan global untuk pembangunan.

Kedelapan target MDGs ini dikhawatirkan semakin tak tercapai jika kendala seperti bencana alam terus terjadi. Selain bencana alam, menurut Analis Kampanye dan Advokasi di United Nations Millenium Campaign Jakarta, Wilson Siahaan, perubahan iklim, krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan juga berpotensi jadi kendala utama.

Target sulit tercapai sebenarnya juga akibat kebijakan pemerintah yang tidak difokuskan pada MDGs. Yuna dan Wilson sepakat tidak optimalnya upaya pencapaian target MDGs adalah karena belum ada komitmen dan kontribusi bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, parlemen, media, dan swasta.

”Kita harus terus-menerus mengingatkan pemerintah untuk jangan lagi membuat komitmen tanpa memenuhi. Jika berkomitmen, penuhilah lalu terjemahkan menjadi kebijakan yang masuk akal,” kata Wilson. (LUK)

Jumat, 16 Oktober 2009 | 04:03 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/16/04030063/target.mdgs.sulit.tercapai

Sunday, October 11, 2009

Penduduk Miskin Tersebar di Kawasan Pesisir



Lebih dari 60 persen penduduk miskin di Indonesia tercatat berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau terkecil. Selama 5 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, penduduk miskin di wilayah pesisir Nusantara ini tidak berkurang. Ket.Foto: Toda, anak warga Kampung Nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara, Selasa (14/10), bermain kapal-kapalan dari gabus di genangan air di sekitar tempat rumah orangtuanya. Gubuk-gubuk di tepi laut yang berdiri di atas tumpukan limbah cangkang kerang hijau itu merupakan salah satu potret kampung nelayan miskin di Jakarta.

Demikian disampaikan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Riza Damanik, Sabtu (10/10). "Dalam 5 tahun terkahir, fakta kemiskinan tidak berkurang di daerah pesisir," ujar Riza, saat diskusi Lingkungan Hidup, di Jakarta.

Menurutnya, tingginya tingkat kemiskinan terjadi karena sekitar 90 persen kegiatan perikanan Indonesia merupakan perikanan tradisional. Di mana masih minimnya informasi dan pengetahuan, tidak adanya moda transportasi laut, dan buruknya pengelolaan kesejahteraan nelayan dan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau terkecil di Indonesia.

"Mereka itu yang menangkap ikan di perairan kurang dari 3 mil dengan alat yang minim. Penghasilan juga hanya minim," ujarnya.

Kemudian, laut tempat nelayan ini mencari nafkah juga dicemari oleh kegiatan industri dan pertambangan. Hal ini mengakibatkan wilayah tersebut menjadi rentan terhadap bencana alam.

Tercatat, dari 84 persen kawasan yang rentan terhadap bencana alam di Indonesia, sekitar 80 persennya merupakan kawasan pesisir dan pulau terkecil. Dia mencontohkan, hampir sebagian besar korban bencana gempa dan tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta, serta gempa di Padang merupakan kawasan pesisir dan nelayan.

"Ini karena eksplorasi pertambangan kita tidak dihentikan. Kita harus menghentikannya," tandasnya.


SABTU, 10 OKTOBER 2009 | 13:10 WIB

Saturday, September 5, 2009

Konfrontasi Lagi?

Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mempermaklumkan ”Trikomando Rakyat” di Alun-alun Lor Yogyakarta, di tengah-tengah hujan lebat. Komando kedua berbunyi, ”Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia!”

Setahun kemudian, tanggal 1 Januari 1963 pukul 00.00, ayam belum berkokok, Sang Saka Merah Putih berkibar di Papua. Berakhirlah lima tahun ketegangan dan kobaran emosi bangsa untuk ”merebut Irian Barat” dari tangan Belanda.

Bahwa Belanda 1949 tidak bersedia keluar dari Papua merupakan blunder politik paling besar. Papua Belanda tak lain bagian ”Hindia Belanda”. Belanda tidak mau melepaskannya karena jengkel harus angkat kaki dari Indonesia.

Mulai tahun 1957—bersamaan dengan meningkatnya krisis politik di Indonesia—kampanye untuk merebut kembali Papua kian memanaskan situasi Tanah Air, menyingkirkan orang berkepala dingin seperti Mohammad Hatta. Angkatan Bersenjata pun kian mendapat peran, di lain pihak, membuka lebar pintu bagi Partai Komunis Indonesia untuk muncul sebagai jago anti-neo-kolonialis-imperialis (antinekolim) paling radikal.

Pada tahun 1963, untuk sementara, masyarakat merasa tenang. Saat itu mulai dipikirkan beberapa usaha untuk membenahi perekonomian nasional yang kian mengkhawatirkan. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Federasi Malaya, Singapura (yang dua tahun kemudian memisahkan diri), Sabah, dan Sarawak bersama membentuk ”Malaysia”. Kehadiran Malaysia ini juga untuk ”membendung” Indonesia (yang ”kiri” dan ”anti-Barat”)?

Ganyang Malaysia

Bagaimanapun, Presiden Soekarno tidak bisa menerima. Sesudah beberapa usaha diplomatik tidak membawa hasil, Bung Karno pada 3 Mei 1964 memaklumkan ”Dwikomando Rakyat” dan ”Ganyang Malaysia”.

”Konfrontasi” terhadap Malaysia menjadi awal kejatuhan Soekarno. Di Indonesia sendiri berbagai ketegangan meningkat. Rapat-rapat besar ”ganyang Malaysia” sudah menjadi machtsvertoning masing-masing ormas, seperti PKI, NU, Pemuda Katolik yang mau menunjukkan kemampuan memobilisasikan massa. Mantra Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) tidak termakan rakyat. Rakyat sebaliknya makin terpecah, saling ketakutan, dan memuncak pada tragedi nasional, Gerakan 30 September.

Konfrontasi mengasingkan Indonesia dari negara-negara sahabat, baik dalam kelompok nonblok maupun blok Soviet. Indonesia keluar dari PBB. Tinggal China yang juga di luar PBB yang bisa dirangkul, lalu muncul ”poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang”. Sebuah PBB baru dipimpin Indonesia, akan menyatukan Nefos (New Emerging Forces, ”berisi” negara-negara dunia ketiga plus negara komunis) melawan Oldefos (Old Established Forces, negara-negara Barat), tinggal impian. Di Jakarta juga digelar Ganefo (Games of the New Emerging Forces), November 1963, untuk menandingi Olimpiade (Indonesia keluar dari Komite Internasional Olimpiade). Uni Soviet dan beberapa negara hanya mengirim atlet kelas tiga, tak ingin diskors dari Olimpiade.

Hanya beberapa pekan setelah peristiwa G30S, Soeharto diam-diam mengirim Benny Moerdani ke Kuala Lumpur. Pesan Soeharto, menjamin Indonesia tidak akan menyerang Malaysia.

Politik luar negeri Soeharto memang berbeda. Indonesia kembali ke PBB, kembali masuk IOC. Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi sponsor utama ASEAN. Soeharto menjadikan Indonesia amat berpengaruh karena tidak berbicara dengan nada tinggi. Secara konsisten Indonesia mendukung perdamaian di wilayah ASEAN. Dengan sikap low profile, Indonesia justru berpengaruh dan terhormat. Negara sebesar Indonesia tidak perlu memamerkan ototnya untuk diakui. Semua presiden sesudah Soeharto memahami hal itu.

Konfrontasi lagi?

Namun, kini, apa kita akan konfrontasi lagi dengan Malaysia? Apa karena lagu atau tarian dibajak, lalu kita bereaksi seperti anak puber? Begitu rapuhkah kepercayaan diri kita?

Bukankah kita negara besar keempat di dunia, demokrasi paling mantap di Asia Tenggara, berhasil keluar dari krisis pasca- Soeharto, sukses dalam mengembalikan keamanan dalam negeri, luar biasa dalam menindak terorisme, dan perekonomian yang menunjukkan daya tahan?

Memang, dari semua itu masih ada sisi lemah, banyak yang amburadul, dan tak ada alasan untuk puas diri. Namun, jika orang lain mengakui kita, kita boleh bereaksi sedikit lebih dewasa terhadap ulah negara lain! Masak ada yang menyangka, Malaysia sengaja mendukung terorisme di Indonesia? Yang benar, dong! Masyarakat dan Pemerintah Malaysia masih tetap baik dan sahabat kita, maka kecurigaan seperti itu memalukan diri sendiri.

Kini, mahasiswa Malaysia akan diusir dari Indonesia. Menembak kaki sendiri? Bukankah mereka yang akan menceritakan segi positif Indonesia ke negaranya, sama seperti kisah tamu dari luar negeri (asal selamat dari pesawat sampai hotel) tentang Indonesia? Apa mau dikata jika beberapa universitas terkemuka tak akan lagi menerima mahasiswa Malaysia? Sepicik itukah? Universitas adalah pusat nalar dan akademis.

Ah, njelehi tenan harus menulis hal-hal seperti ini pada abad ke-21. Malaysia (sedikit) menginjak kaki kita. Apa kita langsung menangis? Apa ruginya Malaysia atau negara lain menyanyikan lagu-lagu indah dari Indonesia? Benar bahwa kepentingan ekonomis harus kita jaga. Namun, negara besar tidak perlu terus mengatakan bahwa dia negara besar.

Jumat, 04 September 2009
Penulis: Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/02523327/konfrontasi.lagi

Perang dengan Malaysia?

Pada awal tahun 1950-an ada lelucon. Jika ada sejumlah orang sedang berselisih, datanglah seseorang yang akan memisah dengan mengatakan, ”Sudahlah jangan bertengkar. Itu tentara Belanda akan datang menyerang.” Ajaibnya, konon, pertikaian berakhir karena semua siap menghadapi musuh.

Inti lelucon itu adalah bangsa Indonesia akan bersatu bila ada musuh bersama. Lelucon ini menyakitkan karena kita dianggap baru bersatu bila ada musuh bersama.

Gampang tersulut

Tampaknya, itulah yang terjadi. Ketika kasus Ambalat muncul dan konon Malaysia akan menyerobot pulau Indonesia itu, orang menyerukan untuk mengganyang Malaysia. Saat lagu ”Rasa Sayange”, kain batik, dan reog ponorogo didaku milik Malaysia, masyarakat menggusari Malaysia. Bumbu kemarahan lain adalah nasib tenaga kerja Indonesia yang kabarnya di sana banyak dizalimi. Terakhir, saat tari pendet masuk program pariwisata Malaysia, orang siap mengamuk melawan jiran serumpun itu.

Di sisi lain, kasus itu menunjukkan sampai tahap tertentu, rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme masih kuat pada bangsa Indonesia. Namun, kasus itu juga mengungkap, kemarahan gampang disulut dan kita mudah terpancing untuk bertindak irasional. Seruan-seruan untuk mengganyang Malaysia, yang dulu pernah didengungkan saat Trikora dideklarasikan, merupakan contoh irasionalitas itu.

Namun, kita juga disadarkan. Ingatan kolektif bangsa tentang masa konfrontasi dengan Malaysia ternyata masih ada dan kuat. Sentimen anti-Malaysia mudah disulut meski generasi sudah berganti.

Apa yang terjadi pada kita? Bila mawas diri, soul searching, kita merasa, kekesalan kepada Malaysia sebenarnya tercampur perasaan lain, di antaranya perasaan tersinggung karena merasa dilecehkan saudara serumpun yang lebih muda. Juga ada rasa iri dan cemburu karena kini Malaysia lebih maju dan lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia, padahal kita merdeka lebih dulu. Dan pada awal kemerdekaan, mereka ”berguru” kepada Indonesia. Juga ada rasa kecewa karena Malaysia dianggap kurang tenggang rasa dan menganggap enteng saudara tua, Indonesia.

Selama ini, banyak di antara kita merasa lebih unggul dibandingkan dengan Malaysia karena Indonesia merebut kemerdekaan dengan darah dan keringat? Sedangkan Malaysia ”diberi” kemerdekaan oleh bekas penjajahnya

Mendadak, kita disadarkan, kini dunia sepertinya memakai parameter berbeda, bagaimana cara suatu negara merdeka kurang diperhatikan. Yang lebih penting dan diperhitungkan adalah kemajuan dan kesejahteraan rakyat negara itu.

Kita masih bisa berbangga diri, Indonesia adalah negara demokrasi nomor tiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Sedangkan Malaysia dan Singapura bukan negara demokratis. Apalagi di dua negara itu masih berlaku ketentuan seperti Internal Security Act yang memungkinkan orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang. Namun, apakah hal itu dapat membuat kita lebih unggul?

Sedang galau

Hati kita sebagai bangsa sedang galau. Kita seperti menggapai-gapai dan mencari-cari apa yang dapat mengangkat martabat bangsa. Kemiskinan dan pengangguran terserak di mana-mana. Korupsi di Indonesia masih bertengger di papan atas. Prestasi bidang olahraga yang memungkinkan atlet kita meraih medali emas hingga lagu ”Indonesia Raya” dikumandangkan tak juga kunjung tiba. Olahraga kita sedang jeblok. Karena itu, kini kita cenderung menjulangtinggikan prestasi-prestasi ”anak bangsa” yang lumayan tetapi tak terlalu tinggi, seperti medali emas di lomba fisika internasional atau kemenangan penyanyi di festival.

Kita juga gusar jika ada suara-suara yang mau mengecilkan atau meniadakan kebanggaan nasional seperti Candi Borobudur atau komodo dari daftar keajaiban dunia. Singkat kata, sebagai bangsa, kita sedang gampang tersinggung. Dalam hati, sebenarnya kita ingin tinggi menjulang dengan prestasi-prestasi besar, tetapi realitas menyadarkan, kita belum mampu. Meniadakan orang antre minyak tanah pun belum mampu, apalagi menghapus korupsi. Perjalanan masih jauh.

Dalam keterbatasan, apakah kita malu karena tidak bisa menepuk dada?

Tidak. Seperti bayi belajar berjalan, kita masih tertatih-tatih, harus puas dan bangga dengan prestasi-prestasi ”kecil”. Untuk mencapai prestasi besar, kita harus lebih banyak belajar dan bekerja lebih keras.

Kita juga harus becermin. Setelah beberapa jenis produk budaya Indonesia di klaim Malaysia, kita baru sadar selama ini telah melalaikan harta pusaka budaya. Dalam arus globalisasi dan pendewaan materi yang kini makin bersimaharajalela, secara setengah sadar kita telah mencampakkan kebudayaan nasional.

Celakanya, tampaknya kita juga masih melakukan kealpaan yang sama dengan retorika yang juga sama. Sekadar contoh, kita membanggakan diri, wayang kulit sejak 2003 diakui Unesco sebagai warisan budaya Indonesia. Kenyataannya, wayang kulit kita sebagai seni pertunjukan sudah bertahun-tahun sekarat dan kalau dibiarkan akan makin remuk.

Mengajak perang dengan Malaysia jelas bukan solusi. Agaknya yang perlu dilakukan adalah menyerukan kepada seluruh bangsa untuk kembali ke akal sehat dan lebih memelihara warisan budaya. Mungkin seraya memekikkan, ”Awas, itu Malaysia sudah mulai mengiklankan produk budaya kita!”



Sabtu, 05 September 2009


Penulis: Susanto Pudjomartono - Wartawan Senior

Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/02525244/perang.dengan.malaysia

Wednesday, September 2, 2009

TNI: Pulau Jemur Bagian dari NKRI


Tentara Nasional Indonesia (TNI) menegaskan, Pulau Jemur yang berada di gugusan Kepulauan Arwah di perairan Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ket.Foto: Pulau Jemur, Provinsi Kepulauan Riau

"Tidak benar jika itu bagian dari wilayah Malaysia, tetapi bagian dari NKRI," kata Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso di Kabupaten Bekasi, Rabu (2/9).

Ia menegaskan, TNI akan terus menjaga dan mempertahankan seluruh wilayah RI, termasuk di titik-titik terluar yang berbatasan dengan sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan lainnya.

"TNI senantiasa berupaya menghadirkan unsur-unsurnya di seluruh wilayah RI, termasuk di Pulau Jemur. Di sana, telah ada Pos TNI Angkatan Laut. Patroli di laut dan udara juga kami lakukan rutin," ujar Djoko.

Situs traveljournals.net mencantumkan lokasi dan peta Pulau Jemur sebagai bagian dari tujuan wisata wilayah Selangor, Malaysia.

Panglima TNI mengatakan, seluruh persoalan yang berkaitan dengan wilayah perbatasan RI dengan negara lain akan diselesaikan melalui jalur diplomasi.

"TNI hanya bertugas menjaga keutuhan wilayah NKRI, dan jika ada persoalan itu akan diselesaikan secara diplomatik oleh pemerintah," katanya.

Dalam situs Travel Journal dicantumkan lokasi dan peta Pulau Jemur yang dikatakan masuk dalam wilayah Selangor, Malaysia. Namun, informasi mengenai penanggung jawab situs pariwisata tersebut tidak bisa diketahui.
RABU, 2 SEPTEMBER 2009 | 14:15 WIB

Friday, August 28, 2009

Pemda Bantah Mentawai Diperjualbelikan

Kedaulatan Negara

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai membantah penjualbelian pulau di Mentawai seperti dilansir sebuah situs di internet. Data yang disebutkan di situs itu tidak akurat.

Penjualan pulau dilansir oleh situs privateislandsonline.com. Di situs itu, ada tiga pulau yang ditawarkan, yaitu Pulau Macaroni, Siloinak, dan Kandui.

Asisten Sekda Sumatera Barat Sinang Subekti, Kamis (27/8), mengatakan, data situs itu tidak benar. Dia memastikan tidak ada penjualan pulau di Mentawai.

”Kami sudah mengonfirmasi persoalan ini ke pengelola tempat wisata itu. Mereka menyatakan tidak ada penjualan pulau. Kami juga tidak menemukan ada pelanggaran hukum yang dilakukan operator wisata di Mentawai,” kata Sinang.

Wakil Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet mengatakan, tiga pulau yang disebutkan di situs itu tidak benar. Macaroni merupakan nama resor seluas enam hektar di Tanjung Sinai, Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara. Resor ini dimiliki PT Internusa Bahagia yang merupakan investasi penanaman modal asing (PMA) tahun 2004.

Kandui adalah nama resor di Pulau Karangmajat Besar. Resor mengantongi izin tahun 2007 seluas 9,1 hektar. Luas Pulau Karangmajat Besar 60 hektar.

Adapun Pulau Siloinak dikelola PT Mentawai Surak Wisata sejak tahun 2009. Perusahaan PMA ini tidak mengelola seluruh pulau seluas delapan hektar, melainkan mengelola kawasan wisata seluas satu hektar.

Direktur Utama PT Mentawai Surak Wisata Novi Leni Safitri menyatakan tidak pernah memberikan data pulau untuk situs itu. ”Kami beroperasi seperti biasa dan tidak pernah berniat menjual perusahaan, apalagi pulau ini,” kata Novi.

Novi mengaku tidak akan menggugat pemilik situs itu karena persoalan sudah ditangani pemerintah. Desas-desus penjualan pulau, menurut Novi, sudah terdengar sejak dua tahun lalu.

Hal senada disampaikan Direktur Utama Kandui Resort Mentawai Anom Suheri. Dia mengaku tidak pernah memberikan informasi seputar resornya kepada pengelola situs.

Direktur Jenderal Pengawasan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Aji Sularso mengatakan, pemerintah akan mengusut iklan penjualan pulau ke pengelola situs di Toronto, Kanada.

”Kami akan memakai hubungan diplomatik dengan Kanada untuk meminta klarifikasi tentang munculnya iklan penjualan pulau di situs itu. Kalau terungkap sesuatu yang lebih jauh, bisa saja pemerintah mengajukan gugatan hukum,” ucap Aji.(ART)

Tuesday, August 25, 2009

Stop Impor Bahan Pangan: Perlu Kebijakan Berani

Komoditas Beras Bisa Menjadi Pelajaran Berharga
 
Perlu ada kebijakan berani dari pemerintah untuk menghentikan impor bahan pangan secara bertahap. Tanpa itu, selamanya Indonesia berkubang dengan impor pangan. Dalam kasus ini, komoditas beras bisa dijadikan pelajaran berharga.

”Kalau tidak ada keberanian dari pemerintah, apalagi kalau hanya saling menyalahkan antarmenteri maupun departemen, dalam lima tahun ke depan tidak akan tercapai keinginan untuk swasembada pangan,” ujar Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat, Senin (24/8) di Jakarta.

Indonesia kini tergantung cukup dalam pada impor pangan. Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa dikeluarkan untuk mengimpor pangan. Indonesia, yang punya panjang pesisir 95.181 kilometer dengan luas perairan 5,7 juta kilometer persegi dari luas total sekitar 8 juta kilometer persegi, bahkan harus mengimpor 1,58 juta ton garam per tahun senilai Rp 900 miliar. Indonesia juga mengimpor ikan kembung.

Keberanian itu, kata Hidayat, bisa dalam bentuk penghentian kebijakan impor bahan pangan secara bertahap. ”Atau dengan memberikan disinsentif terhadap importir. Kalau itu dilakukan, tahun-tahun mendatang, saya yakin satu demi satu swasembada akan tercapai,” katanya.

”Saya ingat ketika bangsa kita ada masalah dengan impor beras. Kemudian kita bertekad impor distop dan Bulog diberi kewenangan penuh (membeli beras dalam negeri). Ada upaya bersama antardepartemen dan akhirnya berhasil swasembada dan ekspor,” katanya.

Hidayat juga mengungkapkan rasanya malu sebagai negara maritim Indonesia harus mengimpor garam dan ikan. Padahal, laut terbentang luas dan kalau mau, kita mampu melakukannya.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati menegaskan, kondisi pangan dalam negeri tidak separah yang diberitakan.

Menurut Sri Mulyani, hal itu karena pemerintah sudah memiliki sejumlah program prioritas yang dilakukan untuk mengamankan pasokan dan memperkuat industrinya, yakni untuk komoditas daging sapi dan kedelai.
”Pemerintah sudah memiliki program mendorong produksi daging sapi dan kedelai menjadi prioritas di Departemen Pertanian. Lalu pemberian subsidi bunga kepada peternak sapi dan petani kedelai. Itu adalah kebijakan pemihakan.

Memang pada saat harga di luar tinggi, petani akan bersemangat bertahan di komoditas ini. Namun, pada saat harga turun, para petani juga memiliki persepsi risiko terhadap harga itu,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Kompas, program peningkatan populasi sapi dilakukan dengan memberikan bantuan subsidi bunga kredit. Anggaran yang diberikan Rp 145 miliar. Adapun impor daging dan jeroan sapi per tahun mencapai Rp 4,8 triliun.

Begitu pula target peningkatan produksi kedelai Departemen Pertanian pada tahun 2008 dan 2009 tidak pernah tercapai. Nilai impor kedelai per tahun mencapai 595 juta dollar AS atau setara Rp 5,95 triliun.
Guru besar ekonomi pertanian Universitas Negeri Lampung, Bustanul Arifin, mengungkapkan, Indonesia tidak tepat mendesain kebijakan politik pertanian selama ini.

Sejak gerakan revolusi hijau dimulai, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, tahun 1970-1980, mengadopsi desain kebijakan politik pertanian negara maju dengan alih teknologi yang melupakan kearifan lokal.

Di satu sisi Indonesia berhasil meningkatkan produksi beras secara tajam, tetapi rupanya adopsi teknologi tak pernah sampai di level paripurna. Saat negara maju sampai di level aman karena kebutuhan pangan bisa dipenuhi dari dalam negeri, Indonesia tak sanggup mewujudkannya. Strategi mekanisasi produksi pangan tidak sesuai dengan kearifan lokal bangsa yang mengutamakan sistem kekerabatan. Akibatnya, Indonesia terus tertinggal.

”Cara mereka (negara maju) agak sulit dipaksakan di sini sehingga kita sulit menyamai negara-negara yang sudah aman dalam pangan. Karena itu, kita tak bisa melepaskan masalah-masalah yang dirancang dari kacamata mereka,” ujar Bustanul.

Impor ikan kembung

Selain mengimpor garam, Indonesia dengan luas laut 5,7 juta kilometer persegi juga masih mengimpor ikan kembung. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Jumat, mengakui, industri perikanan di Indonesia mengimpor beberapa komoditas yang sebenarnya bisa diproduksi oleh pelaku usaha di dalam negeri, di antaranya ikan kembung. Padahal, Indonesia juga mencatat sebagai pengekspor komoditas serupa.
”Pasti ada kebutuhan-kebutuhan terhadap produksi. Memang kita harus share (impor) juga, tetapi seberapa jauh impor harus kita pertanyakan juga,” ujar Freddy.

Besaran impor, ujar Freddy, harus dipantau untuk tetap menjaga pasar dalam negeri. Karena itu, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan instansi, di antaranya Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan.

”Pembatasan impor produksi perikanan perlu memikirkan dampak terhadap industri dan tenaga kerjanya. Karena itu, diperlukan solusi yang paling tepat,” ujar Freddy.

Impor produk perikanan menunjukkan tren meningkat. Tahun 2008, volume impor produk perikanan 280.179,34 ton dengan nilai 268 juta dollar AS. Nilai impor itu naik 68 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya 160 juta dollar AS dengan volume impor 120.000 ton.

Kenaikan impor perikanan antara lain dari produk ikan segar dan beku yang naik 150 persen dibandingkan dengan tahun 2007.

Tahun 2008, produk ikan kembung yang diimpor dari Pakistan yang beredar di pasaran domestik terbukti mengandung formalin.

Menurut Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung, pemerintah hingga kini belum menerbitkan aturan tentang impor produk perikanan sebagai katup pengendali impor.(MAS/OIN/LKT)

Selasa, 25 Agustus 2009 | 03:10 WIB
Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/0310416/perlu.kebijakan.berani

Investasi Butuh Rp 1.631 Triliun

Ada Tujuh Sumber Pertumbuhan Ekonomi
 
Untuk mendorong pertumbuhan investasi 6,3 persen pada tahun 2010, dibutuhkan dana Rp 1.631 triliun. Sumber dananya diharapkan dari swasta, baik domestik maupun luar negeri, yakni Rp 450 triliun atau 27,59 persen dari total kebutuhan.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal itu di Jakarta, Senin (24/8), dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR.

Pemerintah mencatat, ada tujuh sumber pertumbuhan investasi 2010. Pertama, anggaran belanja modal pemerintah senilai Rp 198 triliun. Kedua, anggaran belanja modal badan usaha milik negara (BUMN) sebesar Rp 182 triliun. Ketiga, kucuran kredit dari perbankan nasional Rp 297 triliun.

Keempat, laba ditahan dari perusahaan yang diharapkan mencapai Rp 153 triliun. Kelima, pasar modal Rp 188 triliun. Keenam, penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri Rp 450 triliun. Ketujuh, sumber investasi lainnya, antara lain dari investasi rumah tangga Rp 162 triliun.

Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan investasi tahun 2010 akan sangat bergantung pada tiga kondisi. Pertama, niat perbankan untuk mengucurkan kredit. Kedua, dukungan pasar modal. Ketiga, pertumbuhan impor.
Saat ini perbankan sudah menunjukkan kecenderungan untuk menurunkan suku bunga kredit sehingga diharapkan akan menumbuhkan minat investasi.

Akan tetapi, impor (bahan baku dan barang modal untuk kegiatan produksi) belum bisa diandalkan karena kondisi perekonomian global yang diperkirakan belum pulih.

”Namun, dengan pemulihan pasar modal dan kredit perbankan, saya memperkirakan peluang investasi tumbuh di kisaran 6-8 persen bisa terjadi. Jika itu tercapai, pertumbuhan ekonomi bisa terdorong ke 5,5 persen,” ujar Sri Mulyani.

Pernyataan Sri Mulyani tersebut bertolak belakang dengan pernyataannya pekan lalu yang menyebutkan bahwa tahun 2010 pemerintah tidak menetapkan target pertumbuhan lebih tinggi dari 5 persen karena ketidakpastian perekonomian masih tinggi. (Kompas, 24/8).


Infrastruktur buruk

Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Natsyir Mansur, mengingatkan, kondisi infrastruktur yang buruk bisa jadi faktor perlemahan investasi.

Pemerintah juga perlu mewaspadai sikap perbankan yang begitu lama menurunkan suku bunga kredit meskipun sudah didorong oleh penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia hingga 250 basis poin sejak awal 2009.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin Nasution berjanji, kesepakatan antara BI dan 14 bank besar nasional akan segera terwujud dalam bentuk turunnya suku bunga kredit.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara memperkirakan pertumbuhan kredit 2010 akan mencapai 20 persen seiring dengan penurunan suku bunga kredit. (OIN/FAJ)

Selasa, 25 Agustus 2009 | 04:23 WIB
Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/04231175/investasi.butuh.rp.1.631.triliun

2010, Tercipta 1,875 Juta Lapangan Kerja Baru

Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 5 persen pada tahun 2010 diperkirakan dapat menciptakan 1,875 juta lapangan kerja baru. Dengan catatan, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menciptakan 375.000 lapangan kerja baru.

Demikian disampaikan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta di Jakarta, Senin (24/8).

Dia menjelaskan, lapangan kerja baru itu cukup untuk menampung angkatan kerja baru yang pada 2010 diperkirakan mencapai 1,8 juta orang. Namun, belum dapat ditampung sisa penganggur yang sudah ada. Oleh karena itu, penganggur masih akan mencapai 9,1 juta orang.

”Itu setara dengan tingkat pengangguran 8 persen terhadap angkatan kerja. Lebih rendah dibandingkan dengan 2009, yakni lebih dari 8 persen,” ujar Paskah.

Anggota Komisi XI DPR, Dradjad H Wibowo, mempermasalahkan angka penyerapan tenaga kerja dari setiap persen pertumbuhan ekonomi yang diungkapkan pemerintah. Sebelumnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menciptakan 700.000 lapangan kerja baru.

”Pemerintah perlu menjelaskan, apakah lapangan kerja yang tercipta itu cukup berkualitas. Jangan sampai angka penyerapan itu termasuk lapangan kerja sektor informal,” kata Dradjad.

Kepala BPS Rusman Heriawan menjelaskan, dalam jangka panjang, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menciptakan 400.000 lapangan kerja baru. Namun, setiap tahun selalu ada tantangan yang muncul dari sisi pasokan dunia kerja dan lapangan kerja, terutama di sektor pendidikan.

Pendidikan, kata Rusman, bisa berdampak pada peningkatan angkatan kerja jika akses ke pendidikan sangat sulit. Namun, jika dunia pendidikan memberikan peluang lebih banyak, angkatan kerja bisa ditekan.

”Dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen, lapangan kerja baru yang tercipta mencapai 2 juta. Padahal, angkatan kerjanya selalu ada pada kisaran 2 juta-2,4 juta per tahun,” tutur Rusman.

Dengan demikian, lanjutnya, itu berarti, jika kebijakan yang dilakukan biasa saja, tidak ada tambahan program yang projob (berorientasi menyerap tenaga kerja), tingkat pengangguran 2010 tidak akan berkurang signifikan. ”Karena angkatan kerja barunya bertambah lebih besar,” ujar Rusman. (OIN)

Selasa, 25 Agustus 2009 | 04:20 WIB
Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/04201837/2010.tercipta.1875.juta.lapangan.kerja.baru

Soal Tari Pendet Diselesaikan di EPG

Wakil Duta Besar Malaysia Dipanggil

Berkaitan dengan tari pendet, hasil budaya Indonesia yang dijadikan iklan pariwisata Malaysia, Pemerintah Indonesia akan melakukan protes. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap masalah itu bisa diselesaikan melalui eminent person group Indonesia-Malaysia.

”Yang jelas sudah ada eminent person group (EPG). Jadi Malaysia dan Indonesia mestinya, jika ada hal-hal semacam ini, bisa menyelesaikannya melalui EPG,” ujar Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/8).

EPG Indonesia terdiri atas Jenderal (Purn) Try Sutrisno (Ketua), Quraish Shihab, Musni Umar, dan Des Alwi Abubakar. Tujuan dari pembentukan EPG Indonesia dan Malaysia, menurut Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal, untuk mengkaji hubungan kedua negara secara keseluruhan dan mempelajari masalah-masalah yang kerap timbul di antara kedua negara.

Presiden Yudhoyono hari Selasa ini dijadwalkan akan menerima laporan resmi dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.

”Kalau tari pendet, semua orang sudah tahu itu berasal dari Bali. Mana mungkin itu dari tempat lain. Kalau tari Melayu, mungkin ada share culture. Namun, kalau tari pendet, ya enggak ada ceritanya bukan dari Bali,” ujar Andi.

Diantar langsung

Secara terpisah, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, surat protes kepada Pemerintah Malaysia diantarkan langsung ke Kuala Lumpur, Senin siang. Wakil Duta Besar Malaysia di Indonesia Amran Mohamed Zain pun sudah dipanggil dan ditegur.

”Surat protes akan diantar langsung dengan didampingi Duta Besar RI di Malaysia ke Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya Malaysia,” kata Jero Wacik.

Seperti diberitakan, penayangan tari pendet dalam iklan ”Enigmatic Malaysia” di saluran televisi Discovery Channel untuk pariwisata Malaysia telah menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan di Tanah Air. Bahkan, di Bali, puluhan seniman, Sabtu (22/8), melakukan protes. Protes dipimpin guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Wayan Dibia. Protes ini disampaikan kepada Ida Ayu Agung Mas, anggota Dewan Perwakilan Daerah, di Taman Budaya Denpasar.

Menurut Dibia kepada pers, tari pendet merupakan warisan budaya Bali secara turun-temurun. Berdasarkan pengamatan Dibia, penari pendet dalam iklan tersebut merupakan alumnus ISI Denpasar yang bernama Lusia dan Wiwik. Pengambilan gambar dilakukan dua tahun lalu.

Menurut Wacik, Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebenarnya telah mempunyai perjanjian bilateral untuk menangani setiap sengketa yang timbul antara kedua belah pihak. Perjanjian ini dibuat tahun 2007.

Ini terjadi setelah tahun 2007 lagu ”Indang Sungai Garinggiang” ciptaan Tiar Ramon dari Minangkabau digunakan oleh delegasi kesenian Malaysia pada Asia Festival 2007 di Osaka, Jepang. Kemudian ”Rasa Sayange” asal Maluku digunakan untuk jingle Visit Malaysia 2007. Kemudian, klaim Reog Ponorogo di situs web pariwisata Malaysia.

”Untuk mata budaya yang grey area, kedua pihak sepakat saling memberi tahu dan meminta izin apabila digunakan dalam iklan komersial di setiap negara,” kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.(INU/NAL/BEN)

Selasa, 25 Agustus 2009 | 04:54 WIB
Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/04541080/soal.tari.pendet.diselesaikan.di.epg

Monday, August 24, 2009

Indonesia Terjebak Impor Pangan

GARAM PUN DIIMPOR SENILAI Rp 900 MILIAR


Kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang bias industri mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan pangan warga. 

Akibatnya, Indonesia kian terjebak dalam arus impor pangan. Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun lebih devisa setiap tahun terkuras untuk mengimpor pangan.

Ketergantungan terhadap pangan impor menempatkan Indonesia pada kondisi dilematis. Fluktuasi harga pangan dunia siap menguras devisa lebih besar lagi. Sendi ekonomi bangsa bisa ambruk kapan saja apabila pasokan dari luar terhenti total karena berbagai alasan.

Krisis kedelai tahun 2007 menjadi pelajaran berharga betapa ketergantungan terhadap pangan impor memicu gejolak sosial masyarakat karena harga tempe dan tahu melonjak tajam. Pasokan impor pun minim. Padahal, kedua produk makanan itu menjadi makanan favorit sebagian besar rakyat Indonesia.

Di sisi lain, pengadaan pangan dari dalam negeri, seperti beras, tebu, dan jagung, juga rentan. Munculnya ancaman kekeringan yang lebih lama akibat fenomena iklim El Nino kian mengkhawatirkan.

Kondisi itu bisa dihindari jika petani diberdayakan dan juga infrastruktur pengairan diperhatikan. Fungsi sebagai penyedia dan pengatur air pada saat kemarau harus efektif. Namun, selain terkendala dana, langkah ini juga karena keinginan mengimpor jauh lebih besar daripada mengoptimalkan potensi yang ada tetapi masih terabaikan.

”Ada rencana pemerintah untuk membuka 500.000 hektar lahan pertanian di luar Jawa, tetapi mungkinkah terpenuhi kebutuhan airnya? Pemerintah masih harus membangun embung, bendung, dan bendungan. Belum lagi jaringan irigasinya, sedangkan dana pemerintah terbatas,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Iwan Nursyirwan.

Berkaca kepada Zimbabwe, pada tahun 1970-an hingga 1980-an negara itu adalah pengekspor produk pertanian seperti tembakau, kedelai, dan jagung. Namun, kini Zimbabwe mengalami hiperinflasi karena pasokan produk pangan yang minim, sementara cadangan devisa menipis akibat ekspor yang turun. Ini setelah sektor pertanian yang tadinya andal diabaikan.

Garam pun impor


Data menunjukkan, setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa setara dengan Rp 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan dari negara lain. Angka itu sekitar 5 persen dari APBN. Komoditas tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor sebanyak 1,58 juta ton per tahun senilai Rp 900 miliar.

Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar).

Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian, impor bahan baku susu bagi industri susu maupun industri makanan mencapai 655 juta dollar AS per tahun. Bila ditambah impor dalam bentuk produk olahan, angkanya naik 140 juta dollar AS lagi menjadi 795 juta dollar AS.

Guru besar ilmu ekonomi Institut Pertanian Bogor yang sekaligus Sekretaris Jenderal Asia Pacific Agricultural Policy Forum, Hermanto Siregar, Minggu (23/8) di Bogor, Jawa Barat, mengungkapkan, dampak langsung impor pangan adalah terkurasnya devisa negara.

”Karena kita harus mengeluarkan uang untuk mengimpor, potensi pendapatan negara berkurang sebesar nilai impor yang dikeluarkan,” ujar Hermanto.

Adapun dampak tidak langsung berupa kehilangan peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Keinginan untuk mengurangi jumlah penganggur tidak bisa maksimal. Padahal, dengan memproduksi pangan sendiri, peluang kerja terbuka luas.

”Kita bisa bayangkan dengan anggaran 4,7 miliar dollar AS akan menyerap berapa banyak tenaga kerja,” katanya.

Karena itu, komoditas apa pun yang memungkinkan untuk diproduksi sendiri harus dilakukan secara optimal oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan. Sambil meningkatkan produksi, pengembangan industri berbasis pertanian juga harus dilakukan agar bisa mendapatkan nilai tambah. Ini manfaatnya besar bagi makroekonomi.

Bagi komoditas yang belum mampu diproduksi sendiri seperti kedelai dan gandum karena merupakan tanaman subtropis, perlu adanya langkah strategis melakukan substitusi. Karena kehilangan potensi peluang kerja, secara otomatis hilang juga potensi peningkatan daya beli masyarakat. Daya beli merupakan faktor penting menggerakkan perekonomian dan keberlangsungan industri.

Tidak adil


Ahli Peneliti Utama Bidang Kebijakan Pertanian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Husein Sawit, mengatakan, berlaku ramah terhadap produk impor sama halnya dengan membiarkan ketidakadilan berlaku di hadapan kita. Impor pangan sebagian besar berasal dari negara maju seperti AS, Australia, Kanada, dan Uni Eropa.

Harga komoditas pangan impor dari negara-negara tersebut murah akibat subsidi yang besar yang terkait dengan subsidi ekspor. ”Ini tidak adil karena petani kita yang berlahan sempit harus berhadapan dengan komoditas pertanian impor yang disubsidi besar,” katanya.

”Orang lain ada yang bilang lebih baik impor karena harga murah. Namun, ini tidak bisa karena impor tidak bisa menyubstitusi kebutuhan masyarakat terhadap pekerjaan,” katanya.

Garam misalnya, impor dilakukan karena garam lokal kalah kualitas. Namun, kini puluhan ribu petani garam di sebagian besar pesisir Nusantara secara perlahan menganggur.

Pupon, pengusaha garam UD Apel Merah di Kecamatan Kaliori, Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (8/8), mengakui, garam lokal tidak mampu bersaing dengan garam impor karena kalah kualitas. Garam impor mengandung NaCl 97 persen ke atas, sedangkan garam lokal paling bagus 80 persen.

Akibatnya, menurut Pupon, garam impor telah merebut sebagian pasar garam lokal di Jakarta, Serang, Yogyakarta, dan Cilegon. Ketika harga garam impor beda tipis dengan garam lokal, minat konsumen terhadap garam lokal pun anjlok. UD Apel Merah yang biasa mengirim garam 8-10 truk gandeng per bulan ke kota-kota tersebut kini hanya mengirim garam 1-2 truk gandeng per bulan.

Kepala Bagian Produksi UD Apel Merah Djono mengatakan sangat mudah memperbaiki kualitas garam lokal agar NaCl mencapai 97 persen. Caranya dengan mengeringkan garam selama 15-20 hari. NaCl garam lokal rendah karena petani garam memanen garam setelah dikeringkan 3-4 hari. ”Petani lebih mementingkan urusan perut ketimbang kualitas,” katanya.

Pemerintah bisa mengalihkan dana impor Rp 900 miliar untuk perbaikan mutu ini.(MAS/RYO/hen/abk/eko/naw/gal/eng/bee/mkn/sup)

Jakarta, 24 Agustus 2009
Source: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/08/24/05502461/indonesia.terjebak.impor.pangan

Sunday, August 16, 2009

Refleksi Indonesia Ke-64: “Kisanak dan Tuanku”

Genaplah sudah besok (17/08/09) Indonesia memasuki angka 64 dalam perjalanannya sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Dalam rentang usia yang secara “biologis” negara kita harusnya sudah menjadi negara matang dan mandiri. Namun kenyataannya negeri ini masih dalam taraf “tertinggal” dalam berbagai bidang. Usia 64 ternyata bukanlah gambaran ideal sebagai bangsa besar dan bermartabat. Apa yang mau saya sampaikan disini adalah sebuah “kerisauan” dan sekaligus “gugatan” kepada para pemimpin republik agar negeri ini harus segera kembali kepada “kithohnya” yakni negara berdaulat secara politik dan ekonomi. Semenjak kemerdekaan hingga detik-detik 64 tahun kita merdeka, negara ini justru malah kehilangan identitasnya sebagai bangsa merdeka. Merdeka dari penindasan ekonomi dan politik.

Bangsa ini masih terbelenggu oleh aksi penjajahan ekonomi yang tak kuasa para pemimpin republik ini melawannya. Penghisapan kekayaan negara secara berlebih-lebihan melalui jaringan konglomerasi tambang, minyak dan gas berskala internasional semakin membawa bangsa ini menjadi “pecandu” bantuan negara lain. Penjajahan ekonomi ini sangat mengkhawatirkan karena anak-anak negeri ini justru menjadi “karyawan” dari bangsa-bangsa lain. Ya kita menjadi bangsa “kisanak” yang tak kuasa mampu melawan “tuan-tuan” negara lain.

“Kisanak”

Bangsa ini sejujurnya mengidap penyakit “inferiority complex”, yakni sindrom kerendahan –diri. Ini bisa diakibatkan rakyat jelata selama ini terlalu dimarjinalkan, hak-hak pendidikan dan kesehatan dipinggirkan bahkan sulit untuk dipenuhi. Pembangunan tidak merata mengakibatkan konsentrasi pembangunan kebanyakan di Jakarta dan P.Jawa. Ini menimbulkan penyakit kebodohan di beberapa tempat di luar Jawa dan pada akhirnya terakumulasi sifat rendah-diri karena kurangnya rasa kepercayaan diri dan kesempatan untuk maju.

Setali tiga uang, para penguasa di berbagai bidang khususnya perekonomian, juga mengalami sindrom ini karena mereka lebih terbiasa mencari dana APBN secara cepat, taktis dan kreatif. Sayangnya sifat-sifat tersebut muncul ketika menjual aset bangsa. Pada akhirnya pun kemampuan mereka hanya sebagai negosiator ulung dalam memperdagangkan aset bangsa tanpa memberikan nilai tambah dan “confidence” bagi bangsa ini di kemudian hari.

Indikator bangsa “kisanak” adalah mulai merajainya perusahaan-perusahaan asing bebas-masuk ke negeri ini. Ini konsekuensi dari liberalisme perdagangan yang output-nya penjualan aset-aset strategis bangsa. Beberapa BUMN strategis yang go public sebagian sahamnya mulai dikuasai bangsa asing dimana secara telanjang mereka telah memetakan Indonesia dari dalam tubuhnya sendiri. Lebih mudahnya adalah sepanjang jalan sudirman-thamrin adalah mulai menjamurnya kaum ekspatriat asal negeri tetangga yang mulai percaya diri menjadi tuan di negeri kita. Lucunya Kebijakan privatisasi sebenarnya bentuk ketidakpercayaan terhadap kemampuan anak bangsa sendiri meski cukup banyak CEO Indonesia yang kapasitas dan kompetensinya diakui oleh dunia luar. Privatisasi selalu digadang-gadang sebagai jalan terbaik untuk memperbaiki BUMN dan perusahaan nasional besar lainnya untuk menghapus perilaku korupsi ! Cara ini adalah sebuah eskapisme yang diartikan sebagai jalan keluar terbaik atas ketidakmampuan orisinil anak-anak nusantara sehingga diperlukanlah “tuan-tuan” dari negeri seberang untuk masuk memperbaiki jajaran korporasi kita.

“Tuanku”

Ironisnya, tuan-tuan yang datang berbondong-bondong ke Indonesia sebenarnya adalah orang-orang nasionalis di negaranya masing-masing. Hal ini bisa kita tengok dari Singapura dimana 80 persen ekonominya ditopang keberadaan BUMN. Demikian juga Malaysia yang tidak memberikan tempat strategis di Petronas untuk diduduki asing. Jadi tuan-tuan tersebut mencoba melakukan infiltrasi imperialistis yang secara legal dipersilahkan masuk oleh para pemimpin republik ini sebagai tamu investor. Sekali lagi atas nama investor asing demi menutup defisit APBN !

Konsekuensi dari mudahnya tuan-tuan negeri seberang masuk adalah akan mudahnya mereka mendikte kebijakan negeri ini baik itu terkait masalah gaji buruh, perilaku ekspatriat yang “underestimate” terhadap karyawan-karyawan lokalnya hingga masalah psikologis tenaga kerja kita yang “memuja” asing serta menjadi individualis (atas nama karir) yang tidak peka terhadap nasib bangsa ini.

Selain minyak dan gas yang sudah dikuasai asing, menurut beberapa pengamat ekonomi, 75% transaksi saham di Bursa Efek Indonesia dikuasai asing. Hal ini juga terjadi dengan 50% saham di bank-bank nasional dan BUMN yang sudah dikuasai asing. Belum lagi kalau kita bicara pertambangan batu bara, dimana hampir setengah industri batu bara di Kalimantan juga dikuasai asing. Plus penguasaan asing atas 20.000 hektar lahan perkebunan sawit milik PTPN II di Sumatera Utara.

Kisanak dan Tuan: Lingkungan Yang Rusak

Menariknya minat asing untuk investasi di Indonesia selama bertahun-tahun ternyata oleh sebagian pemimpin “berjiwa kisanak” plus ”korporat asing yang rakus” mengubah Indonesia menjadi tanah hisapan yang tak ada habis-habisnya. Hal ini mengakibatkan lingkungan Indonesia menjadi area raksasa yang hancur. Dari beberapa data LSM-LSM lingkungan terhampar fakta sbb: Selama dasawarsa terakhir ini luas hutan hujan di Indonesia semakin menurun. Pada era 1960-an Indonesia masih memiliki 82 % hutan hujan lalu menurun menjadi 68 % di tahun 1982, kemudian menjadi 53 % di tahun 1995, dan akhirnya tinggal 49 % di tahun 2000-an. Jumlah hutan yang turun tersebut diakibatkan antara lain yakni: penebangan hutan, penambangan, perkebunan agrikultur dalam skala besar, kolonisasi, dan aktivitas lain yang substansial, seperti memindahkan pertanian dan menebang kayu untuk bahan bakar.

Di samping itu sebanyak 1,8% lahan hijau di Indonesia hilang dan rusak setiap tahun. Hal ini disebabkan lahan hijau banyak berubah fungsi menjadi bangunan, seperti kantor, apartemen, mal atau gedung-gedung pencakar langit. Kurangnya lahan hijau ini terjadi di berbagai daerah, antara lain sbb:

Ø Jakarta, dimana lahan hijau hanya menyisakan 9,9% dari luas wilayah DKI.

Ø Jawa Timur, dimana luas hutan berkurang sebesar 63%.

Ø Medan, dimana luas hutan kota tinggal 0,12%.

Ø Yogyakarta, dimana lahan hijau terbuka tinggal 35%.

Ø Malang, dimana luas hutan kota tinggal 71,6 hektar.

Kondisi ekologis yang parah di beberapa daerah ini sangat mengerikan mengingat ketersediaan ruang terbuka hijau yang ideal adalah sebesar 30% (mengacu pada Undang-undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007). Kurangnya lahan hijau pada akhirnya membawa pengaruh yang buruk terutama dalam menghadapi pemanasan global. Di samping itu banyak gedung perkantoran atau bangungan-bangunan yang kurang memperhatikan aspek ramah lingkungan sehinga hal ini turut menambah daya dukung lingkungan yang semakin kritis.

Atas dasar kondisi lingkungan Indonesia yang krisis itulah maka investasi-investasi tersebut nampaknya menjadi sia-sia. Upaya rehabilitasi lingkungan, menurut Menteri KLH Rahcmat Witoelar pada satu kesempatan, bisa mencapai dua generasi. Maka dari itu, lingkungan yang terdegradasi dan amburadul ini menjadi tanggungjawab siapa? Sudah jelas itu tanggungjawab para pemimpin “berjiwa kisanak” yang “terilusi” oleh rayuan tuan-tuan asing memberikan banyak izin kuasa penambangan, eksplorasi-ekploitasi minyak dan gas serta banyak bentuk lain perizinan tata-kota yang mengubah lahan hijau menjadi pusat-pusat belanja mewah skala internasional.

Oleh karena ini masih relevankah kemerdekaan ke-64 ini kita rayakan meski negeri ini secara urat-nadinya sudah perlahan-lahan dikuasai bangsa asing dimana sumber daya alam mulai habis dan lingkungan kita rusak berat??? Hati nuranimu lah yang menjawab !

Salam (ingin benar-benar) merdeka,

Penulis: Leonard T. Panjaitan

- Komunitas Warga Hijau Indonesia-

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...