Showing posts with label Global Warming. Show all posts
Showing posts with label Global Warming. Show all posts

Thursday, October 14, 2010

Metana Peternakan Berdampak Besar terhadap Pemanasan Global

Metana (CH4) peternakan dinilai menjadi penyebab terbesar pemanasan global karena memiliki suhu panas lebih besar dibandingkan dengan panas gas sebuah kawasan industri.

"Metana tersebut dihasilkan oleh kotoran ternak," kata Ketua Departemen Diklat Ikatan Alumni Insitut Teknologi Bandung/ITB Jawa Timur, Puguh Iryantoro, di Surabaya, Sabtu (25/9).

Menurut dia, metana memiliki kandungan panas 28 kali lipat karbon dioksida (CO2), sementara kotoran ternak dapat menghasilkan energi panas, cahaya, dan listrik. "Padahal, dilihat dari potensi metana di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, sangatlah besar. Apalagi, provinsi ini memiliki sekitar 3 juta ekor sapi," ujarnya.

Untuk itu, jelas dia, daripada kotoran ternak sapi dari besaran populasi di Jatim tersebut tidak dimanfaatkan lebih baik dipakai untuk menghasilkan energi terbarukan. "Sebenarnya, pembuatan energi terbarukan tersebut sangat mudah," katanya.

Ia mencontohkan setiap 12 ekor sapi bisa menciptakan energi terbarukan sekitar 700 watt. Dari besaran energi itu dapat digunakan oleh empat kepala keluarga (KK). "Upaya ini bisa memudahkan masyarakat memiliki ketersediaan energi yang dapat dipakai untuk penerangan rumah dan keperluan memasak pada kebutuhan sehari-hari," katanya.

Mengenai pembuatan energi tersebut, tambah dia, perbandingan antara kotoran sapi dan airnya masing-masing 1 meter kubik. Kemudian, air dan kotoran sapi itu diletakkan dalam satu wadah yang diberikan tambahan mikroba.

"Untuk mendapatkan metana yang baik, kotoran sapi dan air di wadah dibiarkan selama sekitar lima hari. Potensi keberhasilan dari setiap percobaan membuat energi terbarukan 90 persen," katanya.

Ia optimistis upaya pembuatan energi terbarukan dari kotoran sapi dapat membantu PLN menyediakan pasokan energi listrik bagi masyarakat Jatim. Apalagi, sampai sekarang rasio elektrosifikasi di provinsi ini hanya mencapai 68 persen atau sisa 34 persen rumah tangga di Jatim yang belum teraliri listrik.

Terkait dengan besaran dana untuk permodalan pembuatan energi terbarukan, dia mengatakan nilainya sangat terjangkau. Tiap instalasi hanya membutuhkan sekitar Rp15 juta meliputi pembiayaan instalasi biogas dan satu unit genset. "Ke depan, kami berencana membuat energi terbarukan dari sampah rumah tangga," katanya. (Ant/OL-2) 

26 Sep 2010
Source:http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/26/170862/89/14/Metana-Peternakan-Berdampak-Besar-terhadap-Pemanasan-Global

Tuesday, April 20, 2010

Aktivitas di Lahan Gambut Harus Dibatasi

Rancangan peraturan pemerintah tentang pengendalian kerusakan ekosistem gambut diharapkan membatasi jenis aktivitas di lahan gambut. Sementara masyarakat yang telah bermukim di kawasan gambut harus tetap memiliki ruang hidup atas lahan gambut.

Yang pasti, lahan gambut diminta harus tertutup bagi aktivitas pertambangan.

Rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang memasuki tahap akhir pembahasan itu menggolongkan lahan gambut yang kedalamannya kurang dari tiga meter dan bukan berupa kubah gambut sebagai Kawasan Budidaya Gambut (KBG).

Pasal 16 Ayat 1 RPP itu menyatakan, KBG bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan, permukiman, pertambangan, transmigrasi, ekowisata, atau infrastruktur.

Tata cara pemanfaatan KBG gambut itu diatur Pasal 16 Ayat 2 yang mewajibkan pengendalian muka air, pencegahan oksidasi lapisan pirit, pencegahan tersingkapnya lapisan kuarsa, dan penaatan baku kerusakan KBG. Pengguna KBG diwajibkan mencadangkan sedikitnya 30 persen lahan gambut untuk dikembalikan ke kondisi asli.

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Berry Nahdian Forqan menilai, RPP tentang pengendalian kerusakan ekosistem gambut yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup itu bersifat ambivalen. Di satu sisi, RPP itu membatasi penggunaan gambut dan menambah kriteria kawasan lindung gambut.

”Namun, di sisi lain, RPP itu juga melegitimasi pemanfaatan gambut yang sudah ada. RPP itu, bahkan, membuka kawasan yang dikategorikan sebagai KBG,” katanya.

Aktivitas di lahan gambut yang akan dilegalkan melalui RPP itu, tambahnya, terlalu banyak, bahkan termasuk pertambangan. Padahal, RPP itu seharusnya membatasi jenis aktivitas yang boleh dilakukan di lahan gambut. ”Misalnya, hanya boleh untuk permukiman masyarakat lokal dan aktivitas perikanan, atau pertanian berskala kecil,” kata Berry di Jakarta, Kamis (15/3).

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar berharap, ”Jika ada RPP yang membatasi (aktivitas di lahan gambut) agar polusinya tidak bertambah, itu baik. Salah satu pasalnya mengatur tinggi permukaan air untuk mencegah lahan gambut mengering. Akan tetapi, jangan ada (pengembangan lahan gambut) lebih lanjut. Jangan sampai kita menargetkan penurunan emisi 26 persen pada 2020, tetapi juga mempermudah (pembukaan lahan gambut)”.

Rachmat menyatakan, pengelolaan lahan gambut memiliki dua sisi, yaitu pemanfaatan demi kesejahteraan manusia dan sisi kelestarian alam bumi.

”Jika kedua sisi itu bisa berjalan beriring, lebih baik. Akan tetapi, terkait agrikultur, lebih baik melakukan intensifikasi lahan yang ada daripada membuka lahan gambut,” kata Rachmat.

Di pihak lain, Direktur Jenderal Perlindungan Kehutanan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori juga menilai bahwa RPP pengendalian kerusakan ekosistem gambut ambivalen.

”Membingungkan jika pemanfaatan yang sudah berlangsung bisa dibatasi pemanfaatannya, sementara justru bisa ada pembukaan lahan gambut baru,” kata Darori.

Dia meminta semua pemangku kepentingan duduk bersama untuk membicarakan pengaturan pemanfaatan gambut dalam RPP itu. ”Perusahaan pemegang izin pemanfaatan areal gambut tidak bisa memperpanjang izinnya, sementara mereka telah berinvestasi membangun pabrik misalnya. Hal seperti itu juga harus dibicarakan bersama,” katanya.

Darori menyatakan, semua proses perizinan pemanfaatan lahan gambut baru di areal hutan ditunda sementara, menunggu hasil kajian tim yang dibentuk Menteri. ”Menteri telah membentuk tim terdiri enam pakar dari sejumlah perguruan tinggi, untuk mengkaji dampak pemanfaatan gambut berkedalaman kurang dari tiga meter. Jadi, pemberian izin baru ditunda menunggu kajian itu. Untuk yang kedalaman lebih dari tiga meter, jelas tidak akan dibuka,” kata Darori. (ROW)

16 April 2010
source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/16/04271338/aktivitas..di.lahan.gambut.harus.dibatasi

Wednesday, March 10, 2010

IMF Sarankan Cara Peroleh Dana Untuk Perubahan Iklim

Ketua Dana Moneter Internasional memberikan usulan rancangan terhadap pemerintah dari seluruh dunia terkait pendanaan untuk masalah adaptasi terhadap perubahan iklim. Dana tersebut diusulkan sebaiknya dikumpulkan menjadi satu.

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Dominique Strauss-Kahn mengatakan, dana yang dibutuhkan tersebut jumlahnya sedemikian besar sehingga akan memengaruhi ekonomi global.

Dia berpendapat, usulan tersebut bisa jadi akan memuluskan jalan tercapainya kesepakatan yang mengikat di antara negara-negara anggota pada Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).

Kesepakatan itu amat diharapkan terjadi pada akhir tahun lalu pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark, tetapi ternyata gagal.

Strauss-Kahn mengusulkan agar setiap negara mengadopsi sistem kuota, seperti saat mereka ingin mendapatkan dana untuk negara mereka sendiri. Menurut dia, cara ini akan jauh lebih cepat dibandingkan dengan menaikkan pajak karbon (carbon taxes) atau pengumpulan dana dengan metode lain.

Usulan tersebut baru akan disusun secara lebih detail dan disampaikan pada akhir pekan ini. Belum jelas bagaimana proposal itu akan disampaikan.

Cara yang dilakukan IMF selama ini, yaitu mengumpulkan dana dari 185 negara anggotanya, terutama dengan sistem kuota yang berbasis pada kekuatan ekonomi setiap negara secara proporsional. Amerika Serikat kini merupakan pemegang saham terbesar.

”Kita semua tahu bahwa pajak karbon dan cara lain mengumpulkan dana akan memakan waktu. Dan, kita tidak memilikinya. Jadi, kita membutuhkan solusi yang tampaknya sementara yang akan menjembatani masa kini dengan saat ketika pajak karbon tersebut cukup besar untuk bisa digunakan,” ujar Strauss-Kahn. ”Itulah sebenarnya isi proposal kami,” ujarnya.

Menurut dia, Copenhagen Accord yang dihasilkan dari konferensi di Denmark memang telah menyebutkan dana 100 miliar dollar AS yang akan dibutuhkan untuk program-program pada tahun 2020. Program tersebut, antara lain, membantu negara-negara miskin menghadapi kekeringan, banjir, dan masalah kekurangan pangan yang diperkirakan akan terjadi sebagai dampak perubahan iklim.

Aktivis anti-kemiskinan, Vitalice Meja—koordinator Reality of Aid Africa—mengatakan, IMF tidak semestinya terlibat dalam urusan perubahan iklim karena di Afrika, IMF justru telah turut mendorong kebijakan yang meningkatkan aktivitas eksploitasi bahan bakar fosil yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global-pemicu perubahan iklim.

”IMF bertanggung jawab pada pola konsumsi yang menyebabkan krisis iklim yang kita hadapi. Lagi pula mereka tidak memiliki keahlian ataupun kewenangan moral untuk berdiskusi tentang isu perubahan iklim,” ujarnya.

Semua peserta konferensi yang gagal mencapai kesepakatan yang mengikat di Kopenhagen sepakat untuk merancang pengendalian emisi gas rumah kaca secara sukarela. Perubahan iklim, oleh para ahli klimatologi, diyakini bakal meningkatkan intensitas dan frekuensi bencana terkait iklim.

Lebih dari 190 negara akhir tahun ini akan berkumpul lagi dalam konferensi serupa di Cancun, Meksiko. Di sana Diharapkan dapat tercapai kesepakatan yang mengikat sebagai pengganti periode pertama Protokol Kyoto yang berakhir 2012. (AP/ISW)

Selasa, 9 Maret 2010 | 04:05 WIB

NAIROBI, SENIN -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/09/04054172/imf.sarankan.cara.peroleh.dana

Monday, March 1, 2010

DANAU DAN WADUK: Cermin dari Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan situasi yang saat ini kita hadapi dan tidak dapat ditawar lagi kecuali dengan meredam lajunya. Adalah dengan memahami proses- proses yang terjadi di alam, wawasan kita dapat dibuka tentang bagaimana dan mengapa iklim itu berubah.

Dari situ kita akan sadar bahwa secara alamiah iklim itu memang akan berubah walau tanpa campur tangan manusia. Dan, dengan adanya aktivitas manusia, berawal dari revolusi industri hingga kini, iklim berubah dengan drastis.

Mungkin semua orang tahu bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di udara yang menyebabkan temperatur di permukaan bumi meningkat.

Hampir semua negara di dunia berusaha untuk menurunkan emisi GRK-nya masing-masing walau dengan perdebatan yang cukup alot mengenai besaran yang harus diturunkan. Dan, menurut hemat saya, hal tersebut cukup sulit karena banyak faktor yang harus dipantau dan dievaluasi, serta yang jelas harus ilmiah.

Kita mungkin paham bahwa hutan kita adalah paru-paru dunia dengan kemampuannya menyerap karbon dioksida (CO) sehingga kita berusaha untuk menjaga hutan agar tetap hijau dan menghijaukan area terbuka.

Namun, belum banyak yang paham bahwa perairan kita yang sangat luas itu juga memiliki potensi dalam mengatur kesetimbangan CO di atmosfer. Potensinya adalah dapat sebagai penyimpan dan atau penyumbang CO. Tetapi, kita belum tahu persis potensi yang mana yang kita miliki.

Ekosistem perairan

Di sini saya sedikit mengulas bagaimana ekosistem perairan selain lautan, yaitu danau dan waduk, dan apa kaitannya dengan emisi GRK.

Indonesia memiliki 521 danau alami, terbanyak di Asia Tenggara, dan lebih dari 100 waduk.

Danau dan waduk adalah ekosistem yang menerima input materi dari ekosistem daratan, termasuk di dalamnya karbon. Apabila materi tersebut adalah makhluk hidup atau sisa dari makhluk hidup, suatu saat materi tersebut akan terdegradasi menghasilkan inorganik karbon yang salah satunya adalah CO.

Memang benar, material organik tadi dapat terbenam di dasar danau, tetapi hampir semua danau yang ada di Indonesia dapat mengalami pengadukan sempurna sehingga CO dan material lainnya di dasar itu mampu kembali ke permukaan. Adanya aktivitas fotosintesis-respirasi memengaruhi CO di permukaan, tetapi tidak cukup signifikan karena keduanya berada cukup seimbang.

Lebih lanjut jika konsentrasi CO di lapisan permukaan air sangat tinggi dan jenuh, CO akan terlepas ke udara.

Secara global Cole dkk. (1994) menghitung bahwa sekitar 87 persen dari 4.665 danau—termasuk waduk—yang ada di dunia (sekitar 2 x 106 kilometer persegi) berpotensi menyumbang CO ke atmosfer dengan total kisaran 0,14 x 1.015 gram karbon per tahunnya. Sayangnya mereka tidak merekam danau-danau di Indonesia yang sedemikian banyaknya (± 3 persen luas total daratan) dengan masing-masing karakternya.

Hasil kalkulasi saya, berdasarkan data dari Lehmusloto dkk (1997), yang pernah meneliti sangat banyak danau di Indonesia, danau-danau di Indonesia memiliki tekanan parsial CO (pCO) sebesar 194,79 µatm-947,49 µatm dan waduk sebesar 102,19 µatm-843,38 µatm. Artinya, danau dan waduk di Indonesia memiliki potensi yang sama dalam mengikat dan melepaskan CO ke udara.

Namun, kisaran pCO danau dan waduk di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan danau di belahan bumi lainnya. Danau-danau di Afrika memiliki pCO hingga 59.900 µatm, hampir 60 kali lipat danau-danau di Indonesia.

Danau dan waduk hanyalah salah satu bagian dari siklus karbon yang mungkin terlewatkan dalam pemikiran kita untuk menurunkan GRK.

Wajib dipahami bahwa untuk menurunkan emisi GRK kita haruslah menelaah semua segi kehidupan, termasuk perilaku kehidupan sehari-hari karena manusia merupakan pemeran utama dalam beberapa siklus yang ada di muka bumi.

Sumbangsih danau pada emisi GRK di udara bertolak secara alamiah. Namun, pengelolaan danau yang salah arah dapat menyebabkan danau itu berperan sebagai penghasil GRK yang sangat potensial. Cukup banyak danau dan waduk di Indonesia yang mengalami tekanan lingkungan sehingga memiliki potensi melepas GRK dalam jumlah yang besar.

Material organik, seperti sisa aktivitas pertanian, pakan ikan, lumpur, dan pencemar lainnya sangat berpotensi untuk terdegradasi menjadi GRK. Memang, perlu ada penelitian lebih lanjut dan detail pada ekosistem ini agar peran masing-masing dapat lebih dipahami.

Namun, peran serta seluruh pihak, baik dari masyarakat, pemerhati maupun pemerintah sangatlah dibutuhkan dalam menyikapi isu perubahan iklim ini.

Dan, menurut hemat saya, danau dan waduk adalah cermin keberhasilan usaha kita semua dalam memperbaiki kualitas lingkungan yang bermanfaat untuk menurunkan emisi GRK.

Senin, 1 Maret 2010 | 03:31 WIB

Penulis: Arianto B Santos

Tuesday, December 15, 2009

Matahari dan Pemanasan Bumi Saling Menguatkan

Terjangan radiasi Matahari lebih dari 60 tahun lalu telah menyebabkan lapisan es di puncak gunung di Swiss meleleh lebih cepat daripada saat ini walaupun sekarang pun terekam ada kenaikan temperatur. Demikian hasil penelitian sejumlah ilmuwan yang dipaparkan pada Senin (14/12).

Penelitian mereka tentang dampak radiasi Matahari pada gletser Alpen membawa pada ”penemuan mengejutkan”. Penemuan tersebut adalah pada tahun 1940-an, terutama pada musim panas 1947, volume es yang meleleh adalah terbanyak sejak diukur dari 95 tahun lalu.

Penelitian yang dilakukan Zurich’s Federal Institute of Technology (ETHZ) ini juga mencatat kenaikan temperatur yang mempercepat proses melelehnya es pada tingkat yang tak terduga sebagai akibat pemanasan global. ”Yang baru adalah paradoks tersebut dapat dijelaskan dengan adanya radiasi,” ujar Matthias Huss, salah seorang peneliti.

Penelitian tersebut dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters sebagai laporan dari penelitian besar yang dilakukan terkait dampak perubahan iklim dan peran radiasi Matahari dalam model iklim.

Dari penelitian ditemukan bahwa level radiasi Matahari pada tahun 1940-an adalah 8 persen lebih tinggi daripada radiasi rata-rata. Hal itu mengakibatkan salju meleleh sekitar 4 persen. (AFP/ISW)

Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB

Geneva, Senin -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10441561/matahari.dan.pemanasan.bumi.saling.menguatkan

Friday, November 27, 2009

Edan! 1,1 Juta Hektar, Laju Kerusakan Hutan Indonesia


Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,1 juta hektar per tahun.

"Sementara kemampuan pemerintah melakukan rehabilitasi hanya 500 ribu hektare per tahun," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta di Banjarmasin, Jumat (27/11).

Kondisi tersebut, dikhawatirkan akan mempercepat dampak pemanasan global yang mengancam kehancuran alam di Indonesia maupun dunia.

Hatta mengatakan, saat ini suhu dunia naik hingga empat derajat, akibatnya permukaan laut naik hingga 80 sentimeter.

Bila kondisi ini dibiarkan berlangsung, maka sebanyak 30-40 juta penduduk Indonesia terancam menjadi korban dampak pemanasan global diantaranya banjir, bencana alam dan dampak lainnya.

"Untuk itu kami meminta seluruh warga Indonesia melakukan penanaman pohon, minimal satu orang satu pohon untuk menahan laju pemanasan global tersebut," katanya.

Kementerian Lingkungan Hidup juga telah melakukan koordinasi dengan kementerian lainnya untuk melakukan perbaikan lingkungan dalam segala segi, baik menteri kehutanan, pertambangan, kelautan dan perkebunan.

Untuk melakukan koordinasi, dia bersama stafnya harus rela mendatangi satu per satu lembaga kementerian terkait, agar bisa mendapatkan dukungan penuh dalam perbaikan lingkungan.

"Kadang teman-teman menteri egonya juga tinggi, sehingga saya harus rela mendatangi satu persatu," katanya.

Sementara itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang juga melakuakan kunjungan kerja ke Banjarmasin, mengatakan, untuk menahan laju kerusakan hutan tersebut pihaknya telah memperketat izin penebangan pohon baik untuk industri, pertambangan maupun perkebunan.

"Masa depan Indonesia bukan kepada harga kayunya, tetapi pada hutannya yang hijau sehingga bisa untuk wisata alam sekaligus paru-paru dunia," katanya.

Rehabilitasi hutan menjadi prioritas dalam program seratus hari kerja Menhut. Untuk menjalankan program itu, pada 2009 ini pemerintah menyiapkan dana reboisasi (DR) sebesar Rp 2 triliun dan 2010 menjadi Rp 2,6 triliun.

Dana tersebut, akan terus ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan industri kayu, akan diambilkan kayu dari hutan tanaman rakyat.

JUMAT, 27 NOVEMBER 2009 | 18:19 WIB



Monday, October 19, 2009

Kutub Bakal Tak Punya Es

Para peneliti meramalkan Laut Artik (kutub) akan bebas es di musim panas dalam satu dekade mendatang. Setelah musim semi berlalu, para peneliti kembali mengukur ketebalan es sepanjang 450 kilometer dengan rute menyeberangi Laut Beaufort. Mereka menemukan sebagian besar es sangat tipis. Pemimpin ekspedisi dan pakar es lautan dari University of Cambridge, Peter Wadhams, mengatakan, pada musim semi tahun lalu rata-rata ketebalan es hanya 1,8 meter, menandakan usia lapisan itu sekitar satu tahun. Sementara, es yang sudah bertahun-tahun sekitar tiga meter. 

Tipisnya lapisan tersebut menjadi indikasi penting kondisi memprihatinkan es di Laut Artik. ”Secara sederhana, es tipis itu akan sekejap hilang pada musim es mulai meleleh,” ujarnya. Angin dan arus laut dapat pula memecah es yang tipis itu. Es yang terpecah dan mengapung bebas akan mudah terdorong ke wilayah perairan yang lebih hangat dan mencair. Catlin Arctic Survey dan kelompok konservasi internasional WWF mendukung penemuan tersebut. Situasi es di Artik tersebut sangat dipengaruhi iklim dan kondisi alam. Kondisi es di Laut Artik kerap pula dikaitkan dengan perubahan iklim dan pemanasan global. (National Geographic/ INE)

Monday, September 28, 2009

Citra Satelit Penurunan Tanah Jakarta

Tahun 2006 Japan Aerospace Exploration Agency atau JAXA kembali meluncurkan satelit baru, The Advanced Land Observing Satellite. Satelit ini mampu memantau permukaan bumi secara tiga dimensi.

Satelit The Advanced Land Observing Satellite (ALOS) ini menggantikan tugas satelit Jepang, Japan Earth Resource Satellite 1 (JERS-1), yang berakhir tahun 1998, setelah bertugas enam tahun.

Satelit ini terdiri dari dua sensor optik, yaitu AVNIR-2 (the advanced visible and near infrared radiometer type 2), PRISM (panchromatic remote sensing instrument for streo mapping) dan satu sensor synthetic aperture radar PALSAR (a phased array type L-band shyntetic aperture radar).

Satelit ALOS beredar mengitari bumi pada ketinggian 691.5 kilometer. Satelit ini mengamati daerah yang sama dalam selang waktu 46 hari.

ALOS-PALSAR bekerja pada panjang gelombang 23,6 sentimeter (cm) dengan pita frekuensi (bandwith) 28 Mhz. Satelit ini mampu memberi koherensi lebih baik untuk daerah hutan atau daerah dengan banyak pepohonan. Salah satu kegunaan satelit ALOS-PALSAR adalah untuk mengamati pergeseran muka tanah, baik horizontal maupun vertikal, dengan jangkauan daerah sangat luas (100 x 100 km). Satelit ini dapat memberi informasi mitigasi bencana akibat penurunan tanah. Metode pengukuran perubahan muka tanah ini disebut Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR).

Pada prinsipnya, metode ini menggunakan pasangan data satelit yang mengambil data tidak bersamaan waktunya dan mengamati perbedaan fase gelombang pada selang waktu itu. Dengan menghitung perbedaan fase ini dapat ditentukan pergeseran muka tanah.

Hasil ALOS-PALSAR

Hasil pengolahan data ALOS-PALSAR di pusat remote sensing Jepang (RESTEC) menunjukkan penurunan tanah di Jakarta dan sekitarnya sekitar 2 hingga 24 cm, tahun 2007-2008. Di Jakarta bagian utara, pada gambar 1, ada sekitar tiga titik pengamatan mengalami penurunan tanah maksimum 12-24 cm. Tanjung Priok terjadi penurunan tanah sekitar 8 cm dan di daerah Jakarta pusat 4 hingga 6 cm selama pengamatan.

Apabila ditelaah, untuk daerah Jakarta dan sekitarnya dapat dianalisa bahwa faktor utama penyebab penurunan tanah ada dua macam, yaitu pertama akibat pengambilan air bawah tanah (groundwater).

Menurut harian Kompas, Jumat 27 Februari 2009, saat ini 53 persen konsumen air di Jakarta menggunakan air tanah dan 47 persen menggunakan air PAM. Pengambilan air bawah tanah dilakukan terus-menerus untuk kebutuhan rumah tangga, apartemen, mal, perhotelan, dan aktivitas-aktivitas industri.

Penggunaan air tanah secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus berdampak menurunkan permukaan tanah— apabila level air bawah tanah menurun drastis, tekanan pada lapisan aquitards (lapisan jenuh air yang mempunyai kelulusan air sangat kecil) di dalam tanah bertambah besar.

Akibat peningkatan tekanan pada lapisan ini, terjadilah proses pemadatan tanah di sekitar lapisan ini dan tanah menjadi turun secara permanen. Meski- pun terjadi hujan, lapisan ini tidak akan dapat diisi lagi oleh air karena lapisan tanah atau batuannya menjadi sangat-sangat sempit setelah terjadi pemadatan. Air tak mungkin melewatinya. Akibatnya, air hujan akan menjadi air permukaan yang memunculkan genangan dan apabila dalam jumlah besar mengakibatkan banjir.

Faktor kedua adalah perubahan penggunaan lahan (landuse), lahan yang semula berupa pertanian, taman atau lahan kosong berubah menjadi bangunan besar, permukiman, dan perindustrian sebagai akibat pertambahan penduduk. Ini menyebabkan area infiltrasi air hujan berkurang sehingga debit air tanah yang diambil tidak seimbang dengan debit infiltrasi hujan ke dalam tanah.

Fenomena penurunan tanah dapat mengakibatkan timbulnya masalah baru, seperti masalah lingkungan dan kerusakan pada fondasi bangunan dan infrastruktur lain, seperti jalan, jembatan, dan perkantoran.

Untuk mencegah masalah akibat penurunan tanah di Jakarta ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu (1) Pemantapan kembali regulasi pengambilan air tanah dan regulasi alih fungsi lahan untuk pendirian bangunan-bangunan yang tingkat pembebanannya relatif tinggi. (2) Untuk pelestarian daerah yang telah turun permukaannya perlu injeksi gas-gas buangan, seperti CO ke dalam perut bumi. (3) Karena air merupakan kebutuhan pokok, dan Jakarta merupakan salah kota yang tingkat kepadatan penduduknya termasuk tinggi, diperlukan peningkatan jumlah sumur resapan untuk konservasi air tanah. (4) Pembuatan kawasan hutan-hutan kecil berbentuk taman bermain dengan relief agak tinggi di beberapa titik, bermanfaat untuk menampung air hujan dan bisa digunakan sebagai cadangan air bawah tanah di Jakarta.

Meski demikian, hanya pemerintahan yang baik dan bersih serta memiliki tanggung jawablah yang dapat menghindarkan risiko ancaman penurunan tanah di Jakarta.

Senin, 28 September 2009 | 03:41 WIB

Penulis: ASHAR MUDA LUBIS - Mahasiswa Program DoktorChiba University JapanGeophysics Laboratory Graduate School of Science Chiba University

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/28/03412272/citra.satelit.penurunan.tanah.jakarta

Thursday, September 24, 2009

Pemanasan Global Timbulkan Bencana


Pemanasan global menimbulkan bencana besar bagi kesehatan. Negara di kawasan tropis paling rawan terkena dampaknya. Ket.Foto: Pohon terlihat meranggas di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Selasa (19/8). Berdasar perkiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) musim kemarau di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sumatera bagian selatan pada tahun ini akan berlangsung hingga November.

Kepedulian terhadap dampak kesehatan itu disuarakan belasan profesional yang tergabung dalam organisasi bidang kesehatan di dunia. Mereka menyatakan keprihatinannya, antara lain melalui publikasi dalam jurnal The Lancet dan British Medical Journal, baru-baru ini.

Keprihatinan itu diutarakan terkait Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNCCC) di Kopenhagen, Denmark, Desember mendatang.

Dalam publikasi itu, para dokter dan profesi kesehatan lain berpandangan, kegagalan mencapai kesepakatan dalam negosiasi perubahan iklim di Kopenhagen akan mendatangkan bencana kesehatan global. Negara-negara tropis yang sebagian besar negara berkembang, dengan kondisi kesehatan yang sudah memprihatinkan, akan menerima akibat yang paling besar.

Berbagai penyakit

Menurut ahli kesehatan masyarakat dari Depkes Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, I Made Jaya, pekan lalu, pemanasan global merupakan akibat dari rangkaian fenomena yang saling kait, antara lain pertambahan penduduk, peningkatan permintaan sumber daya alam, industrialisasi, konsumsi BBM, emisi, peningkatan suhu, mencairnya es, makin tingginya uap air, dan perubahan arah angin muson.

Dia mencontohkan, dengan pemanasan global, amplitudo suhu makin besar. Di siang hari, suhu dapat lebih panas dan lebih dingin di malam hari, tergantung daerahnya. Kondisi itu saja menyebabkan daya tahan tubuh rawan menurun sehingga manusia mudah terjangkit penyakit.

Hal yang lebih mengkhawatirkan, makin merebaknya penyakit akibat perubahan musim. ”Dulu, cacar air biasanya pada September dan Oktober. Masuk musim hujan, pertumbuhan jamur dan virus makin mudah. Namun, kini, sepanjang tahun terdapat kasus itu,” ujarnya.

Kelangkaan sumber air akibat ketidakteraturan musim dan kegagalan manajemen air akan berpengaruh terhadap kelangkaan pangan dan penyakit kurang gizi. Agen penyakit juga gampang bermutasi. Hal ini, misalnya, terlihat dengan kemunculan kasus flu burung dan influenza A (H1N1). Virus corona, misalnya, bermutasi sehingga menyebabkan SARS.

Banyak kawasan menghangat sehingga parasit pembawa penyakit, seperti nyamuk, menyebar ke daerah baru yang tak siap dengan kedatangan pembawa penyakit itu. (BBC/ AFP/ National Geographics/INE)

KAMIS, 24 SEPTEMBER 2009 | 07:46 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/24/07461388/pemanasan.global.timbulkan.bencana

Wednesday, September 23, 2009

Sekjen PBB: Atasi Segera Kenaikan Temperatur Global

PBB mengakhiri pertemuan tingkat tinggi satu hari mengenai perubahan iklim dan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mendesak para pemimpin dunia agar bertindak cepat guna menjamin keberhasilan dalam konferensi mendatang PBB mengenai iklim di Copenhagen, Desember.

"Saya berbesar hati mendengar bahwa makin banyak pemimpin siap bertindak di luar perspektif nasional guna mengikuti kepemimpinan global," kata Sekjen PBB Ban Ki-moon kepada para pemimpin dunia saat penutupan sidang tersebut.

"Anda telah melakukan tindakan untuk tetap terlibat sampai satu persetujuan ditandatangani di Copenhagen. Dan Anda telah sepakat memberi panduan kepada para perunding Anda untuk bekerja ke arah kesepakatan yang ambisius, efektif, dan adil di Copenhagen," kata Ban.

Hampir 100 kepala negara dan pemerintahan ikut dalam pertemuan tingkat tinggi itu, pertemuan terbesar para pemimpin dunia guna membahas perubahan iklim.

Dengan membicarakan masalah tersebut, Sekjen berharap dapat menggerakkan keinginan politik serta momentum yang diperlukan guna mencapai satu kesepakatan ambisius dalam konferensi Copenhagen.

Perubahan iklim adalah masalah ekonomi dan geopolitik abad ke-21. Namun Ban, yang mengunjungi wilayah Kutub Utara awal bulan ini dan menyaksikan sendiri dampak cepat perubahan iklim, menyampaikan penyesalan mengenai perundingan dan mendesak para pemimpin untuk melakukan pandangan jauh guna memenuhi kebutuhan rakyat mereka.

Sekjen PBB tersebut membantah pendapat bahwa penanganan pemanasan global itu dilakukan dengan tebusan sangat tinggi. "Mereka keliru. Yang benar adalah sebaliknya. Kita tidak akan mampu membayar jika kita tak bertindak sekarang," kata Ban.

Keberhasilan di Copenhagen, Denmark, akan memerlukan semua negara bekerja secara beriringan guna membatasi kenaikan temperatur global, serta mendorong kemampuan dunia untuk menangani perubahan yang terjadi melalui perubahan iklim.

Wednesday, September 16, 2009

Akibat El Nino, Musim Hujan Akan Terlambat

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim hujan pada akhir tahun ini akan mengalami keterlambatan di seluruh wilayah Indonesia.

Keterlambatan ini terjadi akibat fenomena El Nino yang masih akan terjadi secara global. Analisis BMKG menunjukkan fenomena El Nino masih akan berlangsung hingga awal tahun 2010 dengan intensitas El Nino lemah sampai moderat.

"Dalam kaitan ini memberikan indikasi, adanya peluang keterlambatan awal musim hujan periode 2009-2010 ," kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG, dalam keterangan persnya kepada wartawan, di kantor BMKG, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa ( 15/9 ).

Prakiraan datangnya musim hujan tersebut akan terjadi dalam kurun waktu yang berbeda-beda di berbagai Zona Musim (ZOM) di Indonesia. Prosesnya akan berlangsung secara berurutan, dimulai dari wilayah Indonesia bagian Barat, tengah, dan Timur. "Namun secara umum awal musim hujan 2009-2010 di 220 ZOM diprakirakan terjadi mulai bulan November dan Oktober 2009 ," kata dia.

Pada ZOM wilayah Sumatra, akan lebih dulu memasuki musim hujan yang akan terjadi pada bulan September. Sementara di pulau Jawa, musim hujan akan dimulai pada November. Sedangkan di ZOM kawasan Timur seperti Bali, NTB, dan NTT, musim hujan baru akan terjadi pada bulan Desember.

"Sifat hujan selama musim hujan ini, di sebagian besar ZOM diprakirakan termasuk normal dan bawah normal," jelasnya.

Kondisi keterlambatan tersebut, dengan sendirinya akan mempengaruhi musim tanam yang harus menunggu datangnya musim hujan. "Musim tanam juga berpeluang mundur mengikuti siklus datangnya hujan," imbuhnya.

Karena itu, Soeroso mengatakan, pihaknya juga sudah memberikan laporan kepada Departemen Pertanian untuk melakukan langkah-langkah antisipasi terhadap perubahan jadwal musim hujan tersebut. "Dari situ akan diteruskan kepada Dinas-dinas pertanian di daerah agar segera bisa diantisipasi," tandasnya.

Selasa, 15 September 2009 | 20:39 WIB

JAKARTA,KOMPAS.com -  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/15/20394955/akibat.el.nino.musim.hujan.akan.terlambat

Monday, September 14, 2009

Konferensi Perubahan Iklim: Negosiasi Terancam Buntu

Obama dan Yudhoyono Didesak untuk Memimpin

Sukses konferensi perubahan iklim yang akan berlangsung di Kopenhagen, Denmark, bulan Desember mendatang belum terjamin karena hingga sekarang negosiasi berjalan alot dan kompleks.

Hal itu dikatakan pemimpin Climate Group yang berbasis di London, Inggris, Steve Howard, di sela-sela acara World Economic Forum di Dalian, China, Sabtu (12/9).

Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNCCC) untuk Pertemuan Para Pihak Ke-13 (COP-13) di Kopenhagen nanti akan membahas terakhir kalinya tentang kesepakatan baru yang lebih mendalam tentang bagaimana menahan perubahan iklim yang merupakan akibat perilaku manusia. ”Hal itu sudah merupakan kesepakatan ekonomi. Oleh karena itu, pertaruhannya amat besar,” tambahnya.

Banyak negara menginginkan segera menyelesaikan perbedaan pendapat soal teks kesepakatan yang tebalnya kini mencapai 280 halaman. Banyak isu masih diperdebatkan, termasuk masa depan mekanisme pembangunan bersih (CDM) yang tercantum dalam Protokol Kyoto—masa berlakunya berakhir tahun 2012.

Program CDM memungkinkan negara maju mendanai proyek pengurangan emisi CO di negara berkembang sebagai pengganti pengurangan emisi yang diwajibkan.

Pihak Uni Eropa menghendaki China dan sejumlah negara berkembang lainnya menerima mekanisme ”berbasis sektor”, dengan semua industri dalam sektor tertentu harus secara substansial mengurangi emisinya. Bentuk CDM yang diinginkan adalah yang lebih cepat, lebih terjamin kepastiannya, dan dalam skala besar.

Di sisi lain, China menganggap bahwa mekanisme berbasis
sektor merupakan suatu upaya menerapkan kewajiban pengurangan emisi CO secara
terselubung dan tidak memasukkan insentif seperti transfer teknologi dan dana investasi sebagai bagian dari kesepakatan Kopenhagen.

Juga ada usulan termasuk rencana untuk membuat negara berkembang berkomitmen pada ”jalur jalan” (pathways) untuk beralih dari sikap business as usual (seperti biasanya, tanpa ada perubahan) soal emisi CO.

Menurut Howard, sifatnya bukan pengurangan emisi absolut jangka pendek, melainkan perubahan dari emisi yang terproyeksikan jika semua dilakukan secara business as usual. Jika itu dilakukan dengan baik, mereka dapat memperdagangkan pengurangan karbonnya.

Obama didesak

Greenpeace dari Taman Nasional Khao Yai, Thailand,
tempat perlindungan gajah terakhir Asia, memulai perjalanan 15 hari dengan gajah sebagai simbol mendesak Barack Obama dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil tonggak kepemimpinan dalam urusan perubahan iklim tersebut.

”Asia Tenggara adalah kawasan yang paling rentan, tetapi
paling tidak siap menghadapi perubahan iklim. Gajah Asia
bersama 20 persen keanekaragaman hayati dunia yang ada di kawasan Asia Tenggara saat ini sangat terancam laju cepat deforestasi yang berakibat memperbesar dampak perubahan iklim,” ujar Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Von Hernandez. Indonesia merupakan negara dengan hutan terluas di Asia Tenggara.

”Ini saatnya Obama mengambil alih tanggung jawab dan mewujudkan perubahan yang telah ia janjikan. Ia punya kesempatan kedua untuk membuat sejarah lagi. Kesempatan itu bisa terjadi di ajang Sidang Umum PBB di New York, 22 September mendatang,” tambah Hernandez dalam siaran persnya.

Gerakan itu diikuti sejumlah kelompok aktivis lingkungan, antara lain Wild Animal Rescue Foundation Thailand, Agri-Nature Foundation, dan Ancient Siam. (REUTERS/ISW)

Senin, 14 September 2009 | 05:35 WIB

DALIAN, SABTU - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/05354090/negosiasi.terancam.buntu

Saturday, September 12, 2009

Indonesia Mendata Kebutuhan HCFC

LAPISAN OZON

Indonesia mendata kebutuhan ideal hydrochlorofluorocarbon—senyawa kimia yang banyak dimanfaatkan pada alat pendingin ruangan—di tingkat nasional pada 2009-2010. Angka kebutuhan nasional harus diperoleh sebelum penerapan pembatasan kuota pada tahun 2013.

Pembatasan hydrochlorofluorocarbon (HCFC) pengganti chlorofluorocarbon (CFC) dipercepat karena ternyata masih berpotensi menyebabkan pemanasan global hampir 2.000 kali lipat dari karbon dioksida. ”Ketentuan internasional, tahun 2013 harus sudah ada data di dunia tentang kebutuhan HCFC global,” kata Tri Widayati dari Unit Ozon Nasional di Jakarta, Jumat (11/9).

Setelah ada data global, penggunaan dunia akan diturunkan 10 persen pada awal 2015 dan 35 persen pada 2020.

Tahun 2030 HCFC hanya boleh digunakan untuk proses produksi. Tahun 2030-2040 hanya untuk servis. Selain pendingin ruangan, HCFC banyak digunakan pada produksi busa, alat pemadam, aerosol, serta bahan pelarut dan pembersih (solvent).

Refrigerant R-22 terus diimpor, menggantikan R-12 yang dihentikan impornya per 1 Januari 2008. China merupakan salah satu produsen sekaligus importir besar refrigerant R-22.

Kini dunia menghadapi tantangan ketersediaan refrigerant pengganti HCFC yang tak menipiskan lapisan ozon sekaligus tak berpotensi sebabkan pemanasan global, di antaranya hidrokarbon.

Asisten Deputi Urusan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim Kementerian Negara Lingkungan Hidup Sulistyowati menyebutkan, saat ini tersedia refrigerant berbasis hidrokarbon. Pihak KNLH telah menggunakannya untuk pendingin ruangan skala kecil. (GSA)

Tuesday, September 8, 2009

Jepang Luncurkan Satelit Pemantau Global Warming

Sebuah satelit meluncur, Jumat (23/1), dari Pulau Tangeashima, Jepang, yang ditujukan untuk memantau pemanasan global. Bersama satelit tersebut turut diluncurkan tujuh satelit berukuran kecil yang mendukung program antariksa Jepang. Ket.foto: Sebuah roket H-2A F15 yang membawa satelit GOSAT (Greenhouse Gases Observing Satellite) atau 'Ibuki' meluncur dari Pulau Tanegashima, Jumat (23/1).

"Satelit pemantau gas rumah kaca telah memisahkan diri dari roket pendorongnya dan berfungsi normal," ujar juru bicara Badan Eksplorasi Ruang Angkasa Jepang (JAXA) seperti dilansir Reuters. Meskipun demikian, nasib tujuh satelit lainnya belum diketahui.

Dengan satelit utama tersebut, para ilmuwan Jepang dapat menghitung kadar karbondioksida dan methana dari 56.000 titik di Bumi. Pemerintah Jepang berharap dapat berperan serta dalam mengatasi perubahan iklim melalui penelitian berbasis satelit itu.

Selain itu, peluncuran ini juga menjadi bagian dari uji coba Jepang untuk menapaki bisnis peluncuran satelit. Selama ini, bisnis tersebut dilayani Eropa, AS, dan Rusia. China dan India juga telah memulainya dalam beberapa tahun terakhir.

China telah berhasil meluncurkan satelit komunikasi milik Nigeria pada tahun 2007 dan satelit pertama Venezuela tahun lalu. India juga bethasil meluncurkan sejumlah satelit termasuk LAPAN TUBSAT milik Indonesia.

Jepang telah menerima order pertama peluncuran satelit dari negara lain pada awal bulan ini. Badan ruang angkasa Korea Selatan telah meminta Jepang untuk meluncurkan satelit KOMPSAT-3 yang didesain untuk memotret permukaan bumi. Peluncurannya direncanakan antara tahun 2011 dan 2012.

Peluncuran satelit dilakukan menggunakan roket buatan Jepang H-2A dari pusat peluncuran di sebuah pulau kecil yang berjarak 1.000 kilometer selatan Tokyo. Untuk meluncurkan satelit dibutuhkan 96 juta dollar AS.

Program peluncuran satelit Jepang telah menunjukkan keahliannya dengan berhasil mengirim satelit ke orbit Bulan tahun lalu. Jepang bahkan berambisi mengirimkan astronot ke Bulan pada 2025.

Jumat, 23 Januari 2009 | 14:57 WIB

TOKYO, JUMAT —  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/01/23/14575576/jepang.luncurkan.satelit.pemantau.global.warming.

Wednesday, September 2, 2009

BPPT Ciptakan Hujan Buatan di 17 Wilayah

Untuk menghadapi dampak kekeringan akibat gejala El Nino tahun ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menciptakan hujan buatan di 17 wilayah yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa. Sebanyak tiga pesawat terbang jenis Cassa 100 dioperasikan untuk pelayanan teknologi modifikasi cuaca sebesar Rp 110 juta per hari ini.

”Hari ini sudah dimulai untuk wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dengan tujuan memadamkan kebakaran lahan dan hutan. Di wilayah itu sekarang ada sekitar 100 titik panas yang terpantau satelit,” kata Heru Widodo dari Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (31/8).

Menurut Heru, wilayah Kalimantan disusul Sumatera, terutama kawasan Riau, merupakan wilayah prioritas untuk menciptakan hujan buatan. Tujuannya untuk memadamkan titik-titik panas yang muncul kembali akhir-akhir ini.

Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pada awal pekan ini hujan di beberapa wilayah Indonesia berkurang karena masa Osilasi Madden-Julian (MJO), yang menimbulkan hujan, sudah lewat. Selama dua pekan sebelumnya dampak MJO mendatangkan hujan, terutama di wilayah Kalimantan dan Sumatera, memadamkan titik-titik panas yang ada.

Osilasi MJO ini memiliki periode berulang 40-50 hari khusus di kawasan Samudra Hindia. Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG Edvin Aldrian mengatakan, fenomena MJO akan menghilang ketika El Nino menguat. Pada November 2009 dan Januari 2010, El Nino diprediksikan menguat, dan awal musim hujan 2009-2010 diperkirakan akan mundur.

Pompa tenaga surya

Secara terpisah, Deputi Peningkatan Infrastruktur pada Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Agus Dasuki mengatakan, untuk mengatasi kekeringan di beberapa wilayah, pada tahun 2009 ditargetkan akan ada pemasangan pompa tenaga surya. Dua lokasi dari 11 lokasi pemasangan adalah Kulon Progo (Yogyakarta) dan Wonogiri (Jawa Tengah). Lokasi-lokasi lainnya berada di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, kemudian di beberapa wilayah Sulawesi.

”Pemasangan pompa tenaga surya ini hanya sedikit, hanya bersifat stimulan supaya dapat diikuti pemerintah daerah ataupun pihak-pihak lainnya untuk mengatasi kelangkaan air pada musim kemarau,” kata Agus.

Alokasi anggaran untuk sistem pompa tenaga surya beserta sistem distribusinya, menurut Agus, menelan biaya sampai Rp 1 miliar. Pompa tenaga surya diharapkan bisa untuk menaikkan air dari kedalaman tanah maksimal 90 meter dan menyuplai air bersih 20-60 meter kubik per hari.

Selain pompa tenaga surya yang menggunakan teknologi pengeboran tanah dan pemompaan air tersebut, menurut Agus, institusinya juga menerapkan teknologi pengolahan air sungai. Kemudian dengan pompa pula, air itu didistribusikan kepada masyarakat.

”Program pengolahan air sungai menjadi air bersih hanya dilaksanakan di Sorong, Papua Barat. Ini juga sebagai stimulan bagi wilayah lainnya untuk mengatasi kelangkaan air bersih,” ujar Agus Dasuki. (NAW)

Sunday, August 16, 2009

Mengatasi Global Warming Dengan Menjadi Vegetarian

Sumbangsih terbaik yang bisa anda lakukan untuk membantu mengatasi krisis iklim dunia.

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, pada November 2006 PBB telah merilis laporan mengejutkan yang berhasil membuka mata dunia bahwa ternyata 18% dari emisi gas rumah kaca datang dari aktivitas pemeliharaan ayam, sapi, babi, dan hewan-hewan ternak lainnya.

Di sisi lain, mobil, sepeda motor, truk-truk besar, pesawat terbang dan semua sarana transportasi lainnya yang bisa anda sebutkan hanya menyumbang 13% emisi gas rumah kaca.


Bayangkanlah kenyataan ini: ternyata penghasil utama emisi gas berbahaya yang mengancam kehidupan planet kita saat ini bukanlah mobil, sepeda motor, ataupun truk dn bis dengan polusinya yang menjengkalkan anda. Tetapi emisi berbahaya itu datang dari sesuatu yang nampak sederhana, tidak berdaya, dan nampak lezat di meja makan anda, yaitu daging!

Mungkin bagi anda hal ini sangat berlebihan. Tetapi ketahuilah bahwa laporan ini bukan dirilis oleh sekelompok ilmuwan paranoid yang tidak kompeten, ataupun peneliti dari tingkat universitas lokal. Laporan ini dirilis langsung oleh PBB melalui FAO (Food and Agriculture Organization – Organisasi Pangan dan Pertanian).

Tentu agak sulit membayangkan bagaimana mungkin seekor anak ayam yang terlahir dari telurnya yang begitu rapuh, yang terlihat begitu kecil dibandingkan luasnya planet ini, bisa memberikan pengaruh yang begitu besar pada perubahan iklim. Jawabannya adalah pada jumlah mereka yang luar biasa banyak. Amerika Serikat saja menjagal tidak kurang dari 10 miliar hewan darat setiap tahunnya (tidak termasuk ikan dan hewan laut lainnya). Bayangkan berapa banyak jumlahnya bila digabungkan denga seluruh dunia.

Untuk membantu anda membayangkan bagaimana seekor peternakan bisa menghasilkan emisi yang begitu besar, simaklah beberapa poin berikut ini:

  1. Pemeliharaan hewan ternak memerlukan energi listrik untuk lampu-lampu dan peralatan pendukung peternakan, mulai dari penghangat ruangan, mesin pemotong dan lain-lain. Salah satu inefisiensi listrik terbesar adalah dari mesin-mesin pendingi untuk penyimpanan daging. Baik yang ada di peternakan maupun yang ada di titik-titik perhentian (distributor, pengecer, rumah makan, pasar dll) sebelum daging tersebut tiba di rumah/piring makan anda. Anda tentu tahu bahwa mesin-mesin pendingin adalah peralatan elektronik yang sangat boros listrik/energi.
  2. Transportasi yang digunakan, baik untuk mengangkut ternak, makanan ternak, sampai dengan elemen pendukung peternakan lainnya (obat-obatan dll) menghasilkan emisi karbon yang signifikan.
  3. Peternakan menyedot begitu banyak sumber daya pendukung lainnya, mulai dari pakan ternak hingga obat-obatan dan hormon untuk mempercepat pertumbuhan. Mungkin sepintas terlihat seperti pendukung pertumbuhan ekonomi. Tapi dapatkah anda membayangkan berapa banyak lagi emisi yang dihasilkan tiap industri pendukung tersebut? Perekonomian yang maju tidak ada lagi artinya kalau planet kita hancur! Masih banyak sektor-sektor industri ramah lingkungan yang bisa dikembangkan di dunia ini. Jadi mengapa harus mengembangkan sektor yang membahayakan kehidupan kita semua?
  4. Peternakan membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Demi pembukaan lahan peternakan, begitu banyak hutan hujan yang dikorbankan. Hal ini masih diperparah lagi dengan banyaknya hutan yang juga dirusak untuk menanam pakan ternak tersebut (gandum, rumput, dll). Padahal akan jauh lebih efisien bila tanaman tersebut diberikan langsung kepada manusia. Peternakan sapi saja telah menyedot makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori 8,7 miliar orang! Lebih dari jumlah populasi manusia di dunia. Kelaparan dunia tidak akan terjadi jika semua orang bervegetarian. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa seorang vegetarian menyelamatkan hingga setengah hektar pepohonan setiap tahunnya! Hutan hujan tropis mengalami penggundulan besar-besaran untuk menyediakan lahan peternakan. Limapuluh lima kaki persegi hutan tropis dihancurkan hanya untuk menghasilkan satu ons burger! Perusakan hutan sama dengan memperparah efek pemanasan global karena CO2 yang tersimpan dalam tanaman akan terlepaskan ke atmosfer bersamaan dengan matinya tanaman tersebut.
  5. Hewan-hewan ternak seperti sapi adalah polutan metana yang signifikan. Sapi secara alamiah akan melepaskan metana dari dalam perutnya selama proses mencerna makanan (kita mengenalinya sebagai bersendawa – glegekan kata orang jawa). Metana adalah gas dengan emisi rumah kaca yang 23 kali lebih buruk dari CO2. Dan miliaran hewan-hewan ternak di seluruh dunia setiap harinya melakukan proses ini yang ada akhirnya menjadi polutan gas rumah kaca yang signifikan. Tidak kurang dari 100 miliar ton metana dihasilkan sektor peternakan setiap tahunnya!
  6. Limbah berupa kotoran ternak mengandung senyawa NO (Nitrogen Oksida) yang notabene 300 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan CO2. Pertanyaannya adalah : memangnya seberapa banyak kotoran ternak yang ada? Di AS saja, hewan ternak menghasilkan tidak kurang dari 39,5 ton kotoran per detik! Bayangkan berapa banyak jumlah tersebut di seluruh dunia! Jumlah yang luar biasa besar itu membuat sebagian besar kotoran tidak dapat diproses lebih lanjut menjadi pupuk atau hal-hal berguna lainnya, akhirnya yang dilakukan oleh pelaku industri peternakan modern adalah membuangnya ke sungai atau ke tempat-tempat lain yang akhirnya meracuni tanah dan sumber-sumber air. Kontribusi gas NO dari sektor peternakan sangatlah signifikan!

Lakukanlah sesuatu! Jadilah vegetarian! Inilah hal yang terbaik yang bisa anda lakukan bila anda menyumbang sesuatu bagi usaha dunia mengerem pemanasan global, disamping dari segala penghematan listrik dan energi yang anda lakukan.

Penelitian Universitas Chicago telah menunjukkan bahwa seorang vegetarian dapat mengurangi emisi karbon hingga 1,5 ton setiap tahunnya! Jumlah ini bahkan lebih banyak dari mengganti mobil anda dengan Toyota Prius yang hanya menghemat 1 ton emisi karbon setiap tahunnya. Beberapa media massa luar negeri bahkan menyebut ”vegetarian is the new Prius!”.

Seribu orang yang beralih pola makan vegetarian sama dengan pengurangan 1.500 ton emisi karbon per tahun. Bila 10% saja dari penduduk Indonesia bervegetarian, kita telah mengurangi sedikitnya 30 juta ton emisi karbon per tahun! Suatu angka penghematan yang sangat fantastis!

I. Mahalnya Energi Fosil Yang Digunakan Di Sektor Peternakan (Sumber: Publikasi The New York Times tanggal 27 Januari 2008)

Banyak cara untuk menghitung energi yang diperlukan untuk menghasilkan daging dan makanan lainnya. Berikut contoh makanan dengan kandungan 320 kalori. Daging sapi membutuhkan energi bahan bakar fosil 16 kali lebih banyak daripada sayuran dan nasi. Perbandingannya sbb:

  1. (1 cup brokoli, 1 cup terong, 4 oz. kembang kol, 8 oz. nasi ) = 0,0098 galon.
  2. 6 oz. steak sapi = 0,1587 galon bensin = 16 kali lebih banyak.

II. Peternakan Memiliki Emisi Karbon Yang Lebih Besar

Kedua jenis makan di atas bahkan memperlihatkan perbedaan yang lebih besar lagi dalam emisi gas rumah kaca: daging sapai menghasilkan emisi rumah kaca 24 kali lebih besar daripada sayuran dan nasi. Perkiraan CO2 yang dihasilkan dari memproduksi kedua jenis makanan adalah sbb:

  1. Sayuran dan nasi = 0,4 pound.
  2. 6 oz. Daging sapi = 9,75 pound.

Sebagai tambahan dari emisi karbon yang digunakan untuk menghasilkan daging sapi, sapi menghasilkan metana dan nitrogen oksida yang berbahaya.

III. Arus Kotoran Hewan Ternak Yang Besar (Sumber: David Pimentel, Cornell University; Iowa State University)

Kebanyakan peternakan di AS dioperasikan oleh industri-industri besar yang menghasilkan kotoran hewan yang beratnya berkali-kali lipat dari berat hewan ternak itu sendiri. Danau-danau yang menjadi tempat pembuangan kotoran dapat mencemari udara dan sumber-sumber air di sekitarnya.

  1. Peternakan di AS menghasilkan 900 juta ton kotoran ternak setiap tahunnya. Kira-kira 3 ton kotoran untuk setiap orang warga AS. Emisi tersebut bila dibandingkan dengan Toyota Prius setara dengan 2 mobil.
  2. Seekor sapi seberat 1.100 pound dapat memproduksi kotoran kira-kira 14,6 ton setiap tahunnya. Berat ini setara dengan 10 mobil.
  3. Negara bagian Iowa menghasilkan 50 juta ton kotoran setiap tahunnya kira-kira 16,7 ton kotoran untuk setiap warganya. Berat ini setara dengan 11,4 mobil.

Sumber artikel: Buku ”Global Warming” dari Supreme Master TV.com

-Reported by Basur-

Friday, August 14, 2009

Perubahan Iklim Menyebabkan Burung Lebih Kecil

Burung-burung Australia telah mengecil ukurannya dalam 100 tahun terakhir akibat terjadinya pemanasan global. Demikian diutarakan oleh sejumlah ilmuwan. Dengan menggunakan spesimen yang ada di museum, para peneliti tersebut mengukur besar tubuh delapan spesies burung. Hasilnya, mereka menemukan bahwa burung-burung itu ukurannya semakin mengecil, yang tampaknya merupakan respons dari fenomena perubahan iklim. Seorang ahli biologi dari Australian National University (ANU), Janet Gardner, mengatakan bahwa burung-burung modern ukurannya lebih kecil 4 persen dibandingkan dengan generasi pendahulunya—sebuah perubahan yang, menurut para peneliti tersebut, cukup signifikan. ”Burung, seperti hewan lain, punya kecenderungan mengecil ukurannya jika hidup di iklim yang lebih hangat karena tubuh yang berukuran kecil lebih mudah kehilangan suhu badan dibandingkan dengan hewan bertubuh lebih besar,” ujar Gardner. ”Individu hewan dengan spesies yang sama, ukuran tubuhnya cenderung lebih besar bagi hewan yang hidup di kutub daripada yang hidup di dekat ekuator. (AFP/ISW)

Jumat, 14 Agustus 2009 | 03:48 WIB, Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/14/03485323/kilas.iptek

Wednesday, August 5, 2009

BUMI SERATUS TAHUN LAGI

Bumi bergejolak tak menentu. Bencana datang silih berganti tanpa satu kepastian apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Bila Anda harus berpikir dari akhir, kira-kira apa yang terbayang tentang kondisi Bumi, termasuk penghuninya, pada periode 100 tahun mendatang?

Ini bukan tentang penilaian orang, baik kerabat, teman, atau siapa pun, tentang diri Anda, seperti ditulis Stephen R Covey dalam The 7 Habbits of Highly Effective People, tetapi masa depan Bumi berpenghuni miliaran orang, dari Kutub Selatan hingga Kutub Utara, dari ujung barat hingga ujung timur (yang kembali ke ujung barat) lagi.

Laporan pertama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menegaskan, pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim adalah akibat aktivitas manusia (antropogenik).

Abad ini peningkatan suhu global diperkirakan naik 1,4-5,8 derajat Celsius. Saat ini saja, dengan suhu Bumi yang naik sekitar 0,6 derajat Celsius sejak revolusi industri, berbagai spesies flora dan fauna musnah sebelum sempat dipelajari.

Fenomena cuaca dan iklim yang tak menentu disinyalir akibat pemanasan global.

Kejadian puting beliung meluas hingga kawasan yang dulunya tak pernah terjadi. Yang satu ini belum terbukti secara ilmiah apakah akibat faktor pemanasan global.

“Hujan dan panas tak menentu sekarang ini mengherankan. Menyeramkan buat saya,” kata Henny (33), ibu seorang anak usia delapan tahun, Aditya.

Hal senada diungkapkan Zulfa (33), ibu dua anak, Faqih (8) dan Nabila (5). Baginya, sangat perlu mengetahui kondisi lingkungan lokal dan global, yang dinilainya makin aneh. Bukan hanya memperkaya wawasan, tetapi juga memahami apa yang dapat dilakukan keluarga.

Generasi pewaris

Ini adalah cara melihat masa depan, Bumi dengan segala permasalahan yang ditimbulkan penghuninya, diprediksi mewariskan permasalahan besar.

Sejumlah prediksi tentang Indonesia di antaranya kenaikan permukaan air laut yang akan menggenangi daratan sejauh 50 meter dan garis pantai kepulauan Indonesia sepanjang 81.000 kilometer.

Lebih dari 405.000 hektar daratan Indonesia akan tenggelam. Artinya. ribuan pulau kecil terancam terhapus dari peta.

Belum lagi kerentanan ratusan ribu hektar tambak dan sawah di daerah pasang surut. Abrasi pantai dan intrusi air laut kian parah. Sumber-sumber air bersih tercemar (Kompas, 13/12/2006).

Di Lombok Nusa Tenggara Barat, misalnya, mata air di sejumlah lokasi tak lagi mengalir seperti dua tahun lalu. Di Bali, gelombang tinggi menerjang pesisir. Fenomena yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Meski secara ilmiah terbukti bahwa pohon berfungsi menyeimbangkan suhu Bumi dan menyimpan karbon, nafsu mengonversi hutan alam terus dilayani mengatasnamakan investasi atau melayani pasar yang atraktif.

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperlambat pemanasan global, mulai dan hal-hal sepele. Misalnya, karena tisu berbahan dasar kayu, gantilah dengan lap kain. Mulailah menanam dan memelihara pohon di halaman rumah. Bongkar lahan yang telanjur dicor namun tak fungsional.

Prediksi ilmuwan (1PCC), bila cara hidup manusia tak berubah, lelehan kubah es di kutub akan menaikan permukaan laut sekitar 1meter. Suhu Bumi diperkirakan meningkat hingga 5,8 derajat Celcisius dari tahun 1990. Sekitar 80 persen spesies flora dan fauna punah di alam. Kekeringan dan banjir akan terjadi lebih hebat.

Seratus tahun mendatang, bergantung pada keputusan kita sekarang hari ini! Untuk generasi pewaris Bumi.

KOMPAS, SENIN, 21 APRIL 2008

Green Festival

Tuesday, August 4, 2009

Geo-engineering sebagai Solusi

Dalam Simposium Nobel Laureate di London akhir Mei lalu, Menteri Energi Amerika Serikat Prof Steven Chu melontarkan ide kontroversial, yaitu mengusulkan atap-atap rumah dan jalanan dicat putih dalam upaya mengurangi dampak pemanasan global. Sumber Foto: www.nature.com

Apa betul mengecat putih atap rumah bisa melawan kecenderungan pemanasan global? ”Dengan mencerahkan warna seluruh atap dan jalan, ini setara dengan menghilangkan seluruh kendaraan di dunia dari jalanan selama 11 tahun,” ujar peraih Nobel Fisika tahun 1997 ini kepada The Times.

Permukaan atap atau jalanan yang berwarna lebih cerah akan meningkatkan kemampuan albedo, yaitu kemampuan Bumi memantulkan kembali radiasi sinar Matahari ke luar angkasa. Menurut Chu, atap berwarna pucat atau putih memiliki tingkat albedo hingga 0,8 (80 persen). Ini juga membuat rumah lebih dingin sehingga mengurangi pemakaian energi listrik, khususnya pendingin udara.

Bandingkan dengan permukaan atap biasa yang albedonya hanya 0,2. Semakin rendah albedo, semakin tinggi pula Bumi menyerap radiasi sinar Matahari. Suhu di Bumi pun semakin panas. Materi yang memiliki kemampuan tinggi merefleksi radiasi sinar matahari adalah es, sementara yang terendah di antaranya lautan dan hutan lebat.

Berdasarkan data rekaman Clouds and Earth Radiant Energy System (CERES)—salah satu instrumen satelit milik NASA—rata-rata tingkat albedo Bumi saat ini adalah 0,3. Penurunan 0,001 point saja bakal berdampak besar bagi iklim di Bumi.

Penurunan ini nyatanya betul-betul tengah terjadi. Seperti dilaporkan di dalam American Journal of Science, tingkat albedo Bumi terus melemah. Dalam kurun waktu empat tahun saja (2000-2004), CERES mencatat albedo Bumi turun 0,0027 poin. Ini setara dengan peningkatan energi tertahan di Bumi sebesar 0,9 watt per meter persegi. Suhu rata-rata di Bumi pun semakin meninggi.

Rekayasa kebumian

Ide Chu yang sederhana tetapi mengena tentang gerakan mengecat putih atap dan jalanan adalah bagian dari upaya yang kini tengah populer diperdebatkan, yaitu geoengineering (rekayasa kebumian).

Ini adalah suatu paradigma baru melawan gejala pemanasan global dengan menggunakan bantuan rekayasa teknik dan geologi guna membalikkan efek pemanasan.

Memanipulasi iklim Bumi, baik melalui unsur fisik, kimia, maupun biologis, khususnya komposisi atmosfer di Bumi secara drastis, demi membalikkan efek pemanasan global adalah tujuan dari paradigma ini.

Mereka yang pro paradigma ini berpandangan, penguasaan iptek mengizinkan manusia untuk bertindak, berbuat sesuatu, demi kelangsungan hidup mereka. Termasuk di antaranya adalah memanipulasi iklim.

American Meterorological Society telah memasukkan geoengineering sebagai salah satu dari tiga strategi proaktif untuk mengurangi risiko kehidupan akibat dampak pemanasan global. Geoengineering menjadi opsi yang terbilang paling ekstrem untuk mengatasi efek pemanasan global dibandingkan dengan dua strategi lainnya, yaitu mitigasi (mengurangi emisi gas CO) dan adaptasi.

Tiga kategori

Usulan geoengineering meliputi tiga kategori penting. Pertama, mengurangi level efek rumah kaca di atmosfer lewat manipulasi dalam skala global, misalnya, melalui penumbuhan spesies fitoplankton nonhabitat asli secara besar-besaran atau menabur bijih besi di lautan untuk meningkatkan skala penyerapan gas CO di udara.

Kedua, mendinginkan Bumi dengan cara memperbesar albedo Bumi melalui pembuatan kaca-kaca pemantul radiasi sinar matahari atau menginjeksikan sulfur dioksida (SO) ke dalam lapisan stratosfer ataupun ke permukaan laut.

Lalu, ketiga, manipulasi skala besar lainnya, misalnya, berupa pembuatan megaproyek pipa vertikal di lautan lepas yang didesain meningkatkan proses transfer absorb panas dari permukaan laut ke tanah.

Persoalannya, sebesar dampak perubahannya menurunkan efek pemanasan global, opsi-opsi geoengineering ini juga berisiko besar menghasilkan perubahan, ketidakseimbangan ekologis, ataupun ekosistem di Bumi. Injeksi sulfur dioksida (SO) ke lapisan stratosfer, misalnya, berisiko besar menciptakan fenomena hujan asam.

Alan Robock, Direktur Meteorologi di Pusat Prediksi Lingkungan Rutgers University, New Jersey, AS, mengatakan, setidaknya ada 20 alasan bahwa geoengineering bisa menjadi ancaman global baru.

Mulai dari kemungkinan mengubah iklim lokal, pengasaman air laut, penipisan ozon, pengerdilan tanaman, berkurangnya bahan baku energi alternatif surya, hingga kekhawatiran terhadap faktor human error di dalam melaksanakan proses rekayasa itu.

Pulihkan diri sendiri

Terlepas dari mendesaknya penanganan akan pemanasan global mengingat laju peningkatan konsentrat CO di udara terus meningkat, hingga melampaui 80 ppm dari konsentrasi ideal, Alan menyarankan perlunya alternatif lain.

Menurut dia, upaya pengurangan dampak pemanasan global lebih berat pada nuansa politisnya ketimbang nuansa teknisnya. Misalnya, dengan mendorong masyarakat lebih menggunakan energi putih (energi alternatif). Serta, secara bersamaan membiarkan Bumi untuk memulihkan dirinya sendiri. Namun, pandangan ini ditentang mereka yang pro dengan paradigma geoengineering.

”Jika kita tidak melakukan apa pun, secara alamiah Bumi memang bisa memulihkan dirinya sendiri. Tetapi, itu membutuhkan waktu ratusan hingga ribuan tahun dari sekarang, seperti terjadi 55 juta tahun lalu. Persoalannya, apakah kita bisa bertahan selama itu?” tutur James Lovelock, ilmuwan sekaligus pemerhati lingkungan yang bekerja untuk NASA.

Pengemuka Hipotesis Gaia ini berpendapat, upaya pemulihan diri Bumi terhadap pemanasan global harus dibantu percepatannya melalui tangan manusia. Ia pesimistis, tanpa suatu upaya revolusioner, pemanasan global ke depan akan kian parah.

”Saat itu kita akan melampaui suatu titik di mana efek (pemanasan global) tidak bisa lagi dibalikkan,” ujarnya kepada Livescience.

Di tengah segala pro-kontra yang terjadi mengenai geoengineering, Chu mencoba mengambil titik tengah. Menurut dia, usulan gerakan memutihkan atap dan jalan termasuk ke dalam geoengineering lunak. Karena, langkah itu relatif tidak menghasilkan risiko perubahan ekologi atau ekosistem Bumi.

Memutihkan atap dan jalanan adalah satu-satunya usulan geoengineering yang akan disikapi secara serius oleh Pemerintah AS saat ini. Jika diterapkan di 100 kota besar di dunia, dampak gerakan ini setara dengan menghilangkan 44 miliar ton CO di udara.

Kebijakan ini telah diimplementasikan secara bertahap di Negara Bagian California, AS. Usulan yang terdengar sederhana, tetapi tampaknya bakal sulit diterapkan jika tidak diikuti kesadaran tinggi dari manusia untuk sedikit berkorban demi masa depan Bumi.

Penulis:YULVIANUS HARJONO

Jakarta, 04 Agustus 2009

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/04/03225412/geoengineering.sebagai.solusi

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...