Showing posts with label Konservasi. Show all posts
Showing posts with label Konservasi. Show all posts

Wednesday, May 4, 2011

Konservasi Tambling Lampung, Bukti Keseriusan Indonesia Cegah Pemanasan Global

Artha Graha Network (AGN) untuk kesekiankalinya mewujudkan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) dalam bentuk usaha penyelamatan lingkungan hidup melalui Artha Graha Peduli (AGP). 

Kali ini, program AGP itu berbentuk kunjungan ke area konservasi yang dikelola AGP, yakni Tambling Wildlife National Conservation (TWNC), Lampung. Acara ini dimaksudkan untuk memperlihatkan keseriusan pihak Indonesia, pemerintah maupun swasta, dalam menjaga kerusakan hutan yang merupakan penyumbang pemanasan global (global warming).

Sunday, August 8, 2010

Indonesia Optimistis Penerapan REDD Plus

Di tengah kompleksitas persiapan dan penerapannya, Indonesia optimistis bisa merealisasikan konsep pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi hutan, konservasi stok karbon dari hutan, serta peningkatan stok karbon dari hutan.
Optimisme tersebut ditegaskan Staf Ahli Menteri Kehutanan Wandojo Siswanto dalam paparannya terkait persiapan Indonesia untuk penerapan konsep pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi hutan, konservasi stok karbon dari hutan, serta peningkatan stok karbon dari hutan (REDD+) dalam pertemuan pleno acara Pertemuan ke-9 Kemitraan Hutan Asia (AFP) dan Dialog AFP 2010, Tantangan Kepemerintahan terkait Hutan Setelah Kopenhagen: Perspektif Asia-Pasifik pada Kamis (5/8) di Nusa Dua, Bali.
Acara yang berlangsung dua hari hingga Jumat (6/8) ini dihadiri sejumlah lembaga nonpemerintah internasional dan nasional, perwakilan pemerintah pusat dan daerah, serta sejumlah akademisi.
Kompleksitas persiapan dan pelaksanaan REDD+ terungkap dalam dua sesi pleno yang menampilkan peneliti internasional dari Center for International Forestry Research (CIFOR), Daju Resosudarmo; Moray McLewish dari World Resources Institute; Lex Hovani dari The Nature Concervancy untuk kasus Kabupaten Berau; Wilistra Dani yang menangani Kalimantan Forest and Climate Partnership; dan Meine van Noordwijk dari World Agroforestry Center.
Menurut Daju yang memaparkan hasil penelitiannya bersama Elena Petkova, sekarang REDD+ menjadi isu penting. Lebih dari 40 negara sedang mempersiapkan strategi nasional REDD+ dan lebih dari 100 demonstrasi REDD+ sedang dilakukan untuk mendapatkan model yang pas.
Optimistis
Wandojo, yang juga menjadi koordinator kelompok kerja perubahan iklim pada Kementerian Kehutanan, seusai pleno menegaskan, ”Kami optimistis bisa siap setelah 2012, tetapi tentu menunggu kesepakatan pada Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim(UNFCCC) terhadap REDD+ setelah tahap pertama Kyoto Protokol berakhir tahun 2012.”
Di sisi lain, dia mengakui, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan agar Indonesia siap. ”Pertama adalah komitmen kita akan tata ruang. Kita belum punya tata ruang yang aman karena selalu berubah. Kalau mau (menerapkan REDD+), harus ditetapkan target secara nasional. Tidak semua hutan kita tebang. Yang kedua adalah pengelolaan terhadap hutannya sendiri di mana harus bisa memberikan insentif bagi masyarakat di sekitarnya kalau ditetapkan sebagai hutan konservasi,” tutur Wandojo. Juga perlu diatur siapa yang bertanggung jawab akan benefit yang didapat, apakah pemerintah pusat, daerah, pengusaha, atau masyarakat lokal.
Saat ini Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan sejumlah lembaga internasional baru melakukan percobaan di tujuh lokasi, ditambah satu kabupaten, yaitu Kabupaten Berau, dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Kebijakan terputus-putus
Sejumlah penyaji mengungkapkan kompleksitas masalah REDD+ di Indonesia, antara lain terputus-putusnya kebijakan akibat adanya otonomi daerah. Ketika kebijakan nasional dibuat oleh pemerintah pusat, izin mengelola hutan untuk berbagai kepentingan justru dikeluarkan pemerintah kabupaten. Akibatnya, terjadilah tumpang tindih izin. ”Kami sedang mengumpulkan izin-izin untuk dikaji,” tutur Wandojo.
Selain itu juga muncul inkonsistensi kebijakan. Ketika pemerintah pusat menyatakan moratorium, menyusul kesepakatan melalui letter of intent dengan Norwegia dan menurunkan emisi karbon 26 persen pada 2020, ternyata kebijakan sektor pertambangan dan pertanian berbeda. (ISW)
06 Agustus 2010

Thursday, August 5, 2010

EKSPEDISI LAUT DALAM:Kehidupan Tanpa Matahari

Muncul rasa kekaguman yang amat sangat atas keanekaragaman hayati laut dalam Indonesia, khususnya Sangihe Talaud, Sulawesi Utara.
Ini terjadi pada diri Stephen R Hammond seraya mengungkapkan, ”Sebelumnya, saya belum pernah menjumpai koral bisa hidup di laut dalam. Ternyata, di sini bisa!”
Stephen adalah Ketua Tim Periset Amerika Serikat yang terlibat dalam ekspedisi laut dalam Sangihe Talaud 2010 hingga kedalaman 7.000 meter. Ekspedisi ini diberi nama Indonesia United State Expedition Sangihe Talaud (Index-Satal) 2010.
Kegiatan ilmiah di bidang kelautan itu berlangsung mulai dari 24 Juni 2010 hingga 8 Agustus 2010. Tim ekspedisi sudah berhasil mendokumentasikan ratusan spesies laut dengan menggunakan kamera video beresolusi tinggi.
Rekaman itu diperoleh dengan peralatan robotik yang diberi nama remotely operated vehicle (ROV). ROV bisa dibenamkan hingga kedalaman 7.000 meter dan bisa merekam tindak tanduk segala biota yang ditemuinya.
”ROV merekam dengan cara dikendalikan dari kapal,” ujar Sugiarta Wirasantosa, Ketua Tim Periset Indonesia untuk ekspedisi Index-Satal 2010, Selasa (3/8) di Pusat Komando Penelitian di Kantor Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Jakarta.
Menurut Sugiarta, ROV kali ini tidak dilengkapi lengan robotiknya. Ini karena dalam ekspedisi tersebut tidak ada pemanfaatan lengan robotik yang biasanya untuk pengambilan sampel.
Lokasi yang akan direkam ROV sebelumnya ditentukan dengan teknologi pencitraan bawah laut. Alat multibeam itu bisa menyajikan morfologi laut hingga kedalaman 7.000 meter. ”Hasil ekspedisi ini selain biota laut, juga ditemukan enam gunung api bawah laut,” kata Sugiarta.
Ekosistem baru
Kekaguman Stephen di antaranya terhadap koral yang mampu tumbuh di kedalaman 800 meter atau lebih di Sangihe Talaud, kata Kepala BRKP Gellwyn Yusuf, sebagai bukti adanya ekosistem baru.
Stephen menyebutkan, koral atau karang pada umumnya tumbu pada kedalaman belasan atau puluhan meter. Ini tergantung tingkat kejernihan air laut karena koral bertahan sampai pada kedalaman yang masih bisa ditembus sinar matahari.
Di kedalaman 800 meter sebagai lokasi ditemukannya koral itu tidak lagi ditembus sinar matahari. Tetapi, koral warna-warni itu ternyata ditemui. ”Koral yang berwarna-warni di laut dalam yang gelap gulita itu sebuah keanekaragaman hayati laut yang sangat luar biasa,” kata Stephen.
Membandingkan dengan koral yang ada di permukaan laut, jelas peranan sinar matahari menunjang proses fotosintesis koral yang ada sehingga koral itu bisa bertahan hidup.
Stephen masih mempertanyakan, dari mana sumber kehidupan bagi koral yang ada di laut dalam.
Masyarakat awam banyak yang menilai selama ini matahari adalah sumber kehidupan. Bagi koral bawah laut, kehidupannya tanpa matahari. Ini berarti matahari bukanlah satu-satunya sumber kehidupan bagi koral.
Stephen mengatakan, sebelum tahun 1978, para ilmuwan biologi dunia memang masih mengakui matahari sebagai satu-satunya sumber kehidupan. Tetapi, temuan tahun 1978 tentang adanya kehidupan di laut dalam yang tak tersentuh sinar matahari membuktikan hal yang berbeda.
Bakteri sulfida
Stephen memaparkan, bakteri sulfida di dekat gunung api bawah laut menjadi ujung strata paling rendah bagi mata rantai ekosistem laut dalam. Extrimophiles bahkan dikenal sebagai bakteri sulfida yang mampu bertahan di atas suhu 100 derajat celsius.
Tak ayal bakteri sulfida sangat penting bagi mata rantai berikutnya. Hingga akhirnya bisa dijumpai biota Holothurians berwarna ungu tua menyala yang mendominasi komunitas bentik di kedalaman 3.050 meter
.Lalu, Nudibranch, moluska tak bercangkang, juga direkam di kedalaman 3.000 meter. Spesies lainnya mencapai ratusan jenis lagi, sebagian besar juga baru dikenal atau belum ada namanya. Luar biasa alam Indonesia!
04 Agustus 2010

Tuesday, April 20, 2010

Indonesia Miliki 500 Situs Bawah Air

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO menyatakan, Indonesia memiliki sekitar 500 situs arkeologi bawah air. Adapun penelitian terhadap dokumen VOC ada sekitar 274 situs bawah air.

Penelitian terhadap dokumen Vereenigde Oost indische Compagnie (VOC) selesai dilakukan tahun 2004. Adapun penelitian terhadap dokumen lain dari Belanda, Portugis, China, dan negara lainnya tahun 2005, Indonesia memiliki sekitar 460 situs arkeologi bawah air. Meskipun demikian, survei Panitia Nasional Benda Berharga asal Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) tahun 2008 baru menemukan tiga situs.

Ratusan kapal sejak abad ke-7 hingga abad ke-19 diduga tenggelam di perairan Indonesia dan barang-barang yang diangkutnya menjadi benda cagar budaya (BCB). Walaupun dibolehkan, pengangkatan BCB itu harus memenuhi kaidah-kaidah arkeologi.

Demikian pokok pikiran yang mengemuka dalam perbincangan secara terpisah dengan peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, mantan Direktur Purbakala Ditjen Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Nunus Supardi, Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto, serta Direktur Peninggalan Bawah Air Direktorat Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Surya Helmi, Senin (19/4).

Surya Helmi mengatakan, sejauh ini Indonesia belum mempunyai peta persebaran BCB peninggalan bawah air. Yang sudah ada, sejak tiga tahun lalu, perusahaan asal Portugis, Arqueonantas Worldwide, sudah tiga tahun terakhir melakukan survei arkeologis bawah laut, dengan sampel kawasan di perairan Bangka-Belitung. ”Kalau penelitian tuntas, Indonesia akan punya peta persebaran BCB bawah laut,” ujar Helmi.

Nunus Supardi mengatakan, Indonesia merupakan jalur pelayaran yang ramai sejak abad ke-7. Pelayaran waktu itu menggunakan teknologi dan peralatan yang sederhana sehingga sering terjadi kecelakaan kapal.

Beberapa titik yang diduga banyak kapal tenggelam, kata Nunus, antara lain di Karang Keliputan dan Pulau Buaya (Riau), Kepulauan Seribu (Jakarta), Batu Hitam (Belitung), perairan Cirebon (Jawa Barat), Kalimantan Barat dan tempat lainnya.

Sesuai prosedur

Surya Helmi mengatakan, pengangkatan BCB di perairan Cirebon yang akan dilelang, 5 Mei mendatang, sudah dilakukan dengan kaidah-kaidah arkeologi.

Bambang Budi Utomo mengatakan, benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam bukan harta karun, melainkan benda cagar budaya yang harus dilindungi.

Siswanto menambahkan, potensi bawah laut Indonesia digali orang asing karena di Indonesia ahli penelitian arkeologi bawah laut masih sedikit.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, yang juga Ketua Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga asal Muatan Kapal Tenggelam, mengatakan, rencana pelelangan barang-barang asal muatan kapal tenggelam di perairan Cirebon sudah sesuai prosedur.

”Kalau BMKT dibiarkan tetap di bawah laut, masyarakat tidak akan mengetahui dan melihat benda bernilai sejarah tinggi itu. Penempatan di bawah laut juga tidak akan membawa manfaat bagi negara,” ujarnya. Fadel menegaskan, proses perizinan dan lelang BMKT sudah sesuai prosedur. (NAL/LKT)

20 April 2010
source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/20/04450813/indonesia.miliki.500.situs.bawah.air.

Mata Rantai yang Hilang

Fosil dua tengkorak berusia sekitar 2 juta tahun ditemukan di dalam sebuah goa di lokasi penggalian arkeologi Malapa, dekat Johannesburg, Afrika Selatan. Satu fosil tengkorak perempuan dewasa berusia kira-kira 20-30 tahun dan satu lagi fosil tengkorak remaja laki-laki berusia 12 tahun.

Dua fosil dengan tinggi tubuh sama-sama 1,27 meter itu kemungkinan ibu dan anak. Penemuan ini diyakini sebagian ilmuwan sebagai mata rantai yang hilang yang bisa menjelaskan transisi dari spesies kera ke manusia modern Homo sapiens seperti kita.

Nama ”makhluk mirip manusia” yang ditemukan awal bulan ini, yaitu Australopithecus sediba atau Kera Mata Air dari Selatan (dalam bahasa Sesotho yang digunakan di Afrika Selatan, Sediba berarti Mata Air).

Kedua fosil itu ditemukan di kawasan yang dilindungi, Cradle of Humankind World Heritage, lokasi ini ditemukan melalui peranti lunak Google Earth. Di lokasi ini pula dalam beberapa tahun terakhir ditemukan fosil-fosil lain dengan kondisi beragam. Sebenarnya bagian-bagian kecil fosil tengkorak A. sediba sudah ditemukan sejak Agustus 2008. Tulang pertama, yakni tulang selangka tidak sengaja ditemukan Matthew (9), anak pemimpin tim peneliti dan ahli paleoantropologi Lee Berger dari University of the Witwatersrand, Afrika Selatan.

Kemudian di lokasi tersebut juga mulai dilakukan penggalian intensif dan ditemukanlah fosil tengkorak A. sediba kedua yang utuh itu di dalam reruntuhan goa. Tengkorak keduanya terpisah sejauh satu meter. Artinya, keduanya mungkin meninggal hampir bersamaan.

Lee Berger yakin, keduanya berhubungan darah ibu dan anak. Jika bukan, paling tidak keduanya saling kenal atau anggota dari kelompok yang sama. Dugaan para peneliti, keduanya tidak sengaja jatuh dan terjebak di dalam goa sedalam 30-45 meter kemudian terbawa arus hingga ke sungai bawah tanah ketika terjadi hujan badai.

Di sekitar lokasi penemuan kedua fosil tengkorak itu juga ditemukan fosil binatang seperti kucing hutan, tikus, kelinci, anjing liar, dan kuda.

”Sepertinya pada saat itu terjadi sesuatu yang dahsyat hingga menyatukan fosil-fosil ini di dalam goa yang sama. Mereka mungkin terjebak dan terkubur dalam goa,” kata anggota tim peneliti, Paul Dirks dari James Cook University, Queensland, Australia.

Perdebatan

Asal muasal A. sediba ini memicu perdebatan. Sebagian ilmuwan menilai A. sediba sebagai keturunan langsung spesies Homo. Sebagian lagi meyakini A. sediba masuk dalam pohon keluarga spesies kera. Satu hal yang disepakati bersama, A. sediba hidup sebelum spesies Homo muncul.

Bagi Berger penemuan kedua fosil itu membuka babak baru cerita evolusi manusia dan memberikan sedikit pencerahan tentang masa-masa penting ketika kera mengubah kebiasaan hidup yang semula di atas pohon menjadi menjejakkan kaki di darat.

”A. sediba ini bisa hidup di dua dunia. Memang keduanya belum menjadi Homo karena tidak memiliki bentuk utuh sebagai manusia,” ujarnya.

Hasil pemindaian dengan sinar X di European Synchrotron Radiation Facility (ESRF), Grenoble, Perancis, menunjukkan, kedua fosil itu memiliki gigi yang kecil-kecil, hidung mancung, rongga tulang pinggul yang maju, dan kaki yang panjang. Wajahnya pun lebih mirip manusia ketimbang kera. Dilihat dari struktur tubuhnya, bentuknya mirip manusia modern.

Namun, bentuk tubuhnya juga (masih) mirip kera dalam kelompok Australopithecine karena ukuran otaknya yang kecil dan tangan yang panjang dan kuat seperti orangutan. Jari-jarinya pun melengkung seperti biasa digunakan kera untuk memanjat pohon. Selain melengkung, jarinya juga pendek-pendek seperti jari manusia.

”Ukuran otak tengkorak yang laki-laki kecil, antara 420 dan 450 sentimeter kubik. Ukurannya lebih besar dibandingkan kelompok Australopithecines. Sementara ukuran otak manusia sekitar 1.196-1.605 sentimeter kubik,” demikian laporan penelitian tim peneliti.

Bukan keluarga Homo

Mempertimbangkan bentuk tubuh bagian atas dan ukuran otak itu, tim peneliti kemudian mengklasifikasikan kedua fosil itu ke dalam keluarga besar Australopithecus dan bukan keluarga Homo. Sebenarnya A. sediba memiliki mirip-mirip dengan kera dan manusia.

Colin Groves dari Australian National University menyimpulkan kedua fosil itu jelas bukan anggota keluarga besar Australopithecus, melainkan jenis baru dari keluarga Homo. ”Ada kesamaan bentuk dengan jenis Homo yang muncul pertama. Hanya ada sedikit kemiripan dengan Australopithecus. Tengkoraknya lebih mirip Homo floresiensis dari Indonesia,” ujarnya.

Direktur Proyek Asal Usul Manusia di National Museum of Natural History Smithsonian di Washington, AS, Richard Potts, mengakui, kombinasi dua keluarga spesies kera dan manusia seperti ini belum pernah ditemukan sebelumnya.

Apa pun posisi kedua fosil tengkorak itu, apakah di pohon keluarga kera atau pohon keluarga manusia, penemuan ini menarik karena seperti menemukan ”mesin waktu” yang bisa menjelaskan proses evolusi yang terjadi 1,8-2 juta tahun lalu.

Selama ini, garis silsilah manusia diyakini dimulai antara 1,8-2 juta tahun yang lalu. Namun, selama ini pula belum pernah ditemukan fosil yang berasal dari periode waktu itu. Karena itu, yang muncul hanya dugaan-dugaan dan perkiraan-perkiraan.

Hingga kini, periode waktu kemunculan spesies Homo masih misteri bagi kaum ilmuwan. Penemuan paling akhir ini diharapkan bisa sedikit menyibak misteri itu. Yang jelas, kini peneliti dan ilmuwan sepakat, penemuan ini membuktikan pohon keluarga manusia amat beragam.

(Luki aulia dari Berbagai Sumber)

17 April 2010
source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/0406419/mata.rantai..yang.hilang

Tuesday, March 30, 2010

Paperless Society dan Integrated Green Belt


Dua Solusi Ampuh Untuk Mengurangi Illegal Logging di Heart of Borneo


            Borneo adalah pulau ketiga terbesar di dunia yang dikenal sebagai salah satu hutan hujan tropis yang indah dan kaya. Dengan luas kurang lebih 740.000 km2, di kawasan ini selain hutan produksi yang melimpah, juga terdapat banyak keanekaragaman hayati yang tiada taranya. Demikian juga Kalimantan, yang juga bagian dari pulau Borneo terdiri dari empat propinsi yakni : Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Kaltim. Kawasan ini sendiri memiliki luas 539.460 km2 atau 73% dari luas Borneo.
            Kemilau kekayaan Kalimantan menantang para pemilik modal mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Inilah mengapa selama satu dekade terakhir kasus illegal logging begitu meningkat pesat di bumi Katulistiwa. Menurut LSM SOB (Save Our Borneo), dari luas hutan Kalimantan yang mencapai ± 40 juta hektare, laju kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16%. Oleh sebab itu tulisan singkat ini akan menjabarkan dua solusi ampuh dalam mengurangi dampak illegal logging di Heart of Borneo, yakni sbb:
a.        Membentuk paperless society (masyarakat tanpa kertas) dengan kemajuan dunia internet sehingga pada akhirnya dapat mengurangi laju permintaan kertas tulis.
b.        Menerapkan green belt (sabuk hijau) yang terintegrasi di seantero Kalimantan dimana kawasan sabuk hijau terintegrasi penuh antara tata wilayah hijau, kalangan industri hutan (green enterprise), masyarakat lokal dan produk akhir hutan (eco-labelling).

Sekilas Tentang Industri Pulp Nasional Yang Menggiurkan
            Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) tahun 1987 kapasitas industri pulp hanya 0,5 juta ton lalu melejit hingga 6,5 juta ton pada tahun 2007 dengan kebutuhan bahan baku sekitar 30 juta m3. Selama periode 2000-2007 pasokan bahan baku industri pulp nasional dipenuhi dari produksi HTI sebesar 28 % per tahun sedangkan 72 % sisanya dipenuhi dari hutan alam (mixed tropical hardwood atau MTH).
Di lain pihak menurut data Pusgrafin Deperin, total volume konsumsi kertas Indonesia dari tahun 2003 s.d 2005 adalah 16,32 juta ton.  Sementara tahun 2006 volume konsumsi sebesar 5,96 juta ton. Di tahun 2004 pertumbuhannya mencapai 1,7 %. Lalu meningkat menjadi 3,8 % di tahun 2005. Bahkan diperkirakan melejit menjadi 14,97 % di 2009. Volume konsumsi kertas yang meningkat ini juga diakibatkan oleh permintaan dari luar negeri. Volume ekspor kertas Indonesia tahun 2004, sebesar 2,21 juta ton, naik dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar 2,16 juta ton.
Di samping itu, rupanya tren konsumsi kertas yang tinggi dipicu oleh profit yang diterima oleh raksasa industri pulp. Khusus kertas tulis maka harga pulp (bubur kertas)  berkisar US$ 600 s.d US$ 700 per ton. Sementara harga kertas tulis di pasaran internasional rata-rata US$ 700 s.d US$ 800 per ton. Berarti kira-kira ada marjin profit sebesar US$ 100 per ton. Kalau kita hitung US$ 100 x 5,61 juta ton maka dihasilkan profit kotor sebesar US$ 561 juta per tahun. Bahkan Indonesia saat ini menduduki peringkat ke sembilan untuk kategori industri pulp dan mengisi 2,4 % pangsa pasar dunia. Sebagai industri kertas, Indonesia menduduki peringkat ke-12 di dunia dengan mengisi pangsa pasar sebesar 2,2 %.
Data-data di atas cukup menggambarkan pertumbuhan pulp dan kertas yang mencengangkan. Itulah sebabnya tingginya permintaan pulp dan kertas mengakibatkan HTI semakin menipis dan pada akhirnya hutan alam dijadikan pengganti produksi untuk menarik keuntungan sebesar-besarnya.

I.             Pembentukan Paperless Society
             Masyarakat tanpa kertas! Inilah jawaban dari masyarakat yang dapat dikontribusikan untuk mengurangi laju degradasi hutan Kalimantan yang masif. Dengan jaringan layanan internet yang semakin besar, efektif, murah, dan terjangkau luas maka sudah saatnya komunitas masyarakat menjadi pionir dalam aksi mengurangi tingkat kerusakan hutan Indonesia khususnya di bumi Kalimantan. Sebab kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada dunia industri hutan karena masih lemahnya penegakan hukum di negeri ini serta masih kuatnya permintaan pasar dunia. Maka dari itu pembentukan paperless society secara umum dapat mencakup bidang-bidang seperti sbb :
  1. media-massa cetak beralih menjadi media on-line

  2. bidang pendidikan melalui e-learning dan e-book

  3. bidang ekonomi dan perdagangan melalui e-commerce dan e-transaction.

  4. layanan perbankan melalui e-statement, e-banking, mobile banking, sms banking.

      Lalu mengapa paperless media/channel seperti di atas begitu penting? Karena output hutan berupa kertas dapat dikurangi secara signifikan oleh teknologi dunia maya. Selain itu, pengurangan permintaan kertas lewat paperles society dapat mengurangi dampak pemanasan global mengingat hutan adalah paru-paru dunia yang berfungsi sebagai penyerap CO2.
      Lebih lanjut mari kita tengok elaborasi berikut ini:
A.     Layanan perbankan di segmen kartu debit/kredit
                        Berdasarkan data BI per Juni 2008 maka diperoleh jumlah kartu kredit yang beredar sebesar 10,560 juta kartu. Kemudian disusul jumlah kartu ATM sebesar 2,727 juta keping. Diikuti kartu ATM yang berfungsi sebagai kartu debit sebesar 36,354 juta, sementara kartu prabayar adalah 127.190. Dengan demikian terdapat total 49,769 juta kartu dari berbagai jenis beredar di seluruh Indonesia. Khusus untuk kartu kredit maka pihak perbankan (issuer) dapat menerapkan electronic billing statement (e-statement) kepada para nasabahnya. Penulis memperkirakan hampir 50 % card holder memiliki alamat e-mail karena usia kastemer di bawah usia 40 tahun lazimnya telah memiliki alamat e-mail.
                        Hal ini adalah suatu potensi besar dalam layanan plus perbankan untuk mengurangi laju kerusakan hutan di Tanah Air. Secara garis besar, apabila 25% dari 10,560 juta kartu tersebut memiliki e-mail maka terdapat 2.640.000 pucuk tagihan yang dapat dihemat. Katakanlah total kertas yang dicetak setiap bulan sebesar 2.640.000 pucuk, maka dibagi 7.500 lembar (setara dengan satu pohon atau 15 rim kertas A4) akan diperoleh penghematan pohon sebanyak 352 pohon setiap bulan atau 4.224 pohon setahun. Secara operasional, maka beban perbankan berkurang yakni : Rp.2.100 [Incl. biaya supplies, biaya insertion, airwaybill dan biaya delivery] x 2,640 juta pucuk tagihan = Rp. 5,544 Milyar per bulan atau Rp. 66,528 Milyar setahun. Jumlah penghematan tersebut akan bertambah besar kalau 50% saja dari pemegang kartu kredit di Indonesia memiliki alamat e-mail. Penghematan bisa mencapai Rp 11 milyar per bulan atau Rp 132 milyar per tahun. Syukur-syukur kalau semua orang sudah melek e-mail. Tetapi perhitungan di atas baru menyangkut kartu kredit, belum termasuk rekening koran dan surat-surat kepada nasabah lainnya.
B.     Layanan perbankan di segmen e-banking
                  Produk e-banking telah menjadi primadona kastemer dalam bertransaksi saat ini. Menurut data dari bank swasta terbesar pertama di Indonesia, jumlah transaksi internet dapat meningkat 10 % s.d 12 % per tahun. Meski transaksi lewat ATM masih menempati urutan pertama bagi kastemer bank tersebut dengan jumlah item transaksi sebesar 50 juta atau setara nominal sebesar Rp 50 triliun per bulan, namun nilai nominal transaksi lewat internet ternyata bisa mencapai hingga Rp 60 triliun per bulan. Ini berarti transaksi internet lebih favorit dibandingkan ATM. Sementara itu untuk transaksi pada mobile Banking, data  bank swasta menengah mencatat trafik transaksi yang terjadi setiap bulannya melonjak hingga mencapai 240 ribu transaksi. Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana e-banking dapat mengurangi laju kerusakan hutan? Jawabannya adalah transaksi yang dilakukan nasabah tidak menggunakan buku tabungan yang terbuat dari kertas, tidak perlu antri, cepat, aman dan menghemat tinta printer. Memang ini kelihatannya masalah sepele tetapi efeknya adalah penghematan di banyak aspek yang begitu besar.

Dari gambaran layanan perbankan melalui paperless di atas memang belum diperoleh data pasti seberapa besar paperless media ini mengurangi dampak illegal logging di Heart of Borneo. Tetapi secara garis besar dapat disampaikan bahwa dengan asumsi 20% total volume kertas nasional berasal dari kontribusi bumi Kalimantan maka penulis berkeyakinan tren paperless socitety tersebut akan menurunkan volume kertas di Heart of Borneo menjadi 10% per tahun.

II.          Penciptaan Kawasan Sabuk Hijau Terintegrasi berbasis Tata Wilayah Hijau, Green Enterprise, Masyarakat Lokal dan Eco-Labelling di Heart of Borneo
               Berdasarkan Data Lembaga Ecolabelling Indonesia (LEI) tahun 2005 – 2008, luas pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL) di seluruh propinsi Kalimantan adalah sebesar 1.011.096 hektar. Sementara untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) sebesar 9.453 hektar. Dari total kedua pengelolaan hutan sebesar 1.020.549 hektar, total hasil produksi kayu bulat (meranti, rimla dan indah) sampai dengan awal Mei 2009 mencapai 450.631 m3 .
               Bila dibandingkan dengan total hutan Kalimantan maka proporsi pengelolaan hutan bersertifikasi seperti PHAPL dan PHBL di atas sangat kecil sekali yakni sebesar 2,55% dari total hutan seluas 40 juta hektar. Sementara apabila dianalisa data SOB di awal tulisan ini maka tingkat kerusakan hutan di Kalimantan sudah mencapai 6,48% (selama 3 tahun terakhir atau 2,16% per tahun). Hal ini menggambarkan bahwa kerusakan hutan sudah sangat parah sekali sementara pengendalian produksi hutan melalui ecolabelling (PHAPL dan PHBL) tidak terlalu mengesankan atau masih jauh dari harapan.
               Dari data di atas dan dari sudut pandang pengelolaan hutan yang berkelanjutan (melalui ecolabelling) ternyata kecepatan kerusakan hutan sebesar 2,54 kali dibandingkan dengan pengelolaannya. Hal ini tidak sepadan sama sekali dengan dana reboisasi yang didapatkan dari hutan di Kalimantan. Bersasarkan data Departemen Kehutanan sampai awal Mei 2009, realisasi dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan (PSDH) seantero Kalimantan baru mencapai Rp.22.861.836.560 (Rp 22,862 Milyar) dan US$ 5.136.217. Apabila digabung maka total PSDH/DR mencapai Rp.72.998.053.560 (Rp 72,998 Milyar).
               Pendapatan pemerintah RI sebesar Rp 72,9 milyar dari sektor PSDH/DR belum sepadan dengan keuntungan industri pulp nasional yang dapat mencapai US$ 561 juta per tahun. Artinya, apabila dipakai asumsi 10% dari total profit US$ 561 juta berkat kontribusi bumi Kalimantan (US$ 56,1 juta atau Rp 561 milyar) maka jumlah PSDH/DR masih kalau jauh dibandingkan dengan total profit dari hutan Kalimantan tersebut (Rp 72,9 milyar Vs Rp 561 milyar; berarti baru 13% profit diperuntukkan untuk dana reboisasi).
               Maka dari itu untuk mencegah kutukan ‘the paradox of plenty’ serta dalam rangka meningkatkan sumber daya ekonomi untuk bumi Kalimantan dan rakyatnya maka sudah saatnya diberlakukan sabuk hijau terintegrasi. Strateginya adalah sbb:
1.            Pemerintah Propinsi gabungan (empat propinsi) secara terpadu, sistematis dan sinergis membangun disain tata wilayah hijau yang berisi kebijakan sektor perkebunan dan kehutanan yang berkelanjutan. Disain tata wilayah hijau ini harus didukung oleh infrastruktur jalan Trans-Kalimantan sepanjang ± 3.195 km yang mengelilingi garis perbatasan antara empat propinsi hingga mencakup perbatasan dengan Malaysia dan Brunei. Memang akan butuh investasi besar sekali, tapi penulis menyarankan agar dana reboisasi dinaikkan porsinya katakanlah menjadi 25% dari profit industri pulp dan perkayuan yang ada di wilayah tersebut. Dari 25% tersebut dapat dialokasikan sebesar 10 % s.d 15 % untuk mempercepat pembuatan infrastruktur jalan trans-Kalimantan.
2.            Untuk para pemilik HPH yang sudah eksis maupun yang akan mendaftar maka para perusahaan tersebut dalam melakukan penebangan pohon harus memilih-milih pohon mana yang sudah cukup umur dan ukuran untuk ditebang. Setelah menebang satu pohon wajib diikuti dengan penanaman kembali beberapa bibit pohon untuk menggantikan pohon yang ditebang tersebut.
3.            Pemilik HPH yang patuh dalam melakukan reboisasi secara terencana maka kepadanya Pemerintah daerah setempat bersama komunitas hijau-independen  yang terkait dapat memberikan suatu label hijau (green enterprise). Pemberian label ini dilakukan secara transparan, obyektif dan berkala. Label ini berisikan standarisasi nilai-nilai perusahaan yang peduli lingkungan (green standarisation) termasuk tindakan perusahaan tersebut dalam penyelamatan plot kawasan hutan yang rusak. Green Enterprise dapat juga mencegah korporatokrasi, yakni tindakan perusahaan multinasional merampas kekayaan alam suatu negara.
4.            Kebijakan sabuk hijau ini harus melibatkan penduduk yang tinggal dekat kawasan hutan. Bahkan mereka dapat dimintakan partisipasinya dalam menjaga keamanan bibit-bibit pohon yang ditanam dari tindakan pengrusakan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Pemerintah daerah harus mendesak kalangan korporasi agar melibatkan penduduk lokal dalam melakukan penanaman pohon. Apabila pohon itu bernilai komersial maka perusahaan wajib memberikan keuntungan tertentu untuk pemberdayaan masyarakat sekitar. Pada plot area tertentu milik korporasi maka masyarakat lokal dapat menanam tanaman campuran (misalkan untuk obat, rempah-rempah) untuk meningkatkan pendapatan mereka. Dengan demikian sektor tenaga kerja dapat terserap dan sekalian dapat menghindari terjadinya pembalakan liar.
5.            Pemberian label eco-labelling pada setiap produk hasil hutan baik untuk kepentingan komersil maupun non komersil. Label eco-labelling dicap pada setiap produk kayu olahan maupun termasuk end-product berupa kertas tulis, kertas tisu, kertas pembungkus dan sebagainya sehingga konsumen merasa yakin bahwa produk-produk tersebut sangat mempertimbangkan aspek ekologis dan berkelanjutan.
6.            Langkah terakhir adalah Pemerintah Propinsi gabungan mengakomodir lima langkah di atas dalam sebuah sistem informasi sabuk hijau yang terintegrasi secara on-line. Sistem informasi ini harus juga mencakup foto-foto satelit atau udara. Hal ini untuk memudahkan perencanaan, eksekusi, pemantauan dan pemberian sanksi bagi kalangan korporasi maupun masyarakat yang melanggar etika lingkungan dan pembangunan sabuk hijau tersebut. Dengan demikian secara perlahan namun pasti, penulis yakin kasus-kasus illegal logging akan berkurang drastis dan hutan Kalimantan tetap lestari.

*)  Penulis: Leonard Tiopan Panjaitan

Tuesday, February 2, 2010

Investasi Tambang Tertunda: Perlu Ada Sinkronisasi Aturan Perundang-undangan

Asosiasi Pertambangan Indonesia memperkirakan realisasi investasi pertambangan yang tertunda saat ini mencapai 10 miliar dollar AS. Hal itu terjadi karena iklim investasi di Indonesia yang tidak kondusif, terutama ketidakpastian hukum.

Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Indonesia Arif S Siregar memaparkan hal itu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Selasa (26/1).

Menurut Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya, pemerintah harus mempercepat sinkronisasi regulasi yang telah diterbitkan.

Sejumlah aturan di sektor tambang yang mesti disinkronisasi adalah Undang-Undang Migas, UU Mineral dan Batu Bara, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Tata Ruang, dan UU Perpajakan.

Hal itu diperlukan untuk mendorong investasi tambang demi meningkatkan ketahanan energi, pendapatan negara, dan memberikan dampak berantai bagi perekonomian.

Industri pertambangan memberikan manfaat besar melalui pengelolaan lingkungan, pengembangan wilayah, pembangunan infrastruktur, dan penyerapan tenaga kerja.

Industri pertambangan bergantung pada modal besar dengan pengembalian modal relatif lebih lama daripada industri lain. ”Ada beberapa industri pertambangan mau membawa modal ke Indonesia. Tetapi, karena tidak ada kepastian hukum, mereka menunda. Seharusnya jumlahnya 10 miliar dollar AS sejak tahun 2009, tetapi sampai saat ini masih tertunda,” ujar Arif.

Sejumlah rencana investasi pertambangan yang tertunda antara lain tambang seng dan timah hitam Dairi Prima 500 juta dollar AS dan tambang nikel Rio Tinto 4 miliar dollar AS.

Selain itu, tambang nikel Weda Bay-Eramet senilai 2 miliar dollar AS dan proyek Htdromet PT Aneka Tambang 1 miliar dollar AS. Juga tambang emas Mearest Soputan 500 juta dollar AS, proyek FeNi4 Antam 320 juta dollar AS, dan tambang batu bara BHP Billiton.

Sistem regulasi pertambangan seharusnya mampu mendatangkan investasi baru 25 miliar dollar AS dalam jangka waktu 25 tahun dari sekarang. ”Namun, saat ini terjadi tumpang tindih lahan dan peraturan perundangan,” ujar Arif.

Pasal 169 b UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara menyebutkan, pemegang kontrak mesti menyesuaikan dengan UU baru, paling lama setahun.

Namun, Pasal 169 a menyebutkan, kontrak dihormati sampai habis masanya. ”Ini membingungkan,” kata Arif.

Dalam UU No 32 Tahun 2009, Kementerian Lingkungan Hidup memiliki kekuasaan mutlak menetapkan izin di atas izin lain. ”Kami berharap ada aturan pelaksanaan yang jelas dan memberi kepastian hukum,” ujarnya.

Indonesia-Amerika

Sementara itu, President US-ASEAN Business Council Alexander C Feldman seusai bertemu Wakil Presiden Boediono menyatakan, pengembangan bisnis dan investasi Amerika Serikat di Indonesia diharapkan tumbuh signifikan sejalan dengan peningkatan hubungan kedua negara.

Iklim investasi perlu diciptakan lebih kondusif oleh Pemerintah Indonesia ataupun pemerintah dan sektor swasta AS.

Feldman berharap kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia tahun ini akan menghasilkan kesepakatan yang nyata untuk mendorong investasi pebisnis Amerika di Indonesia, sekaligus membantu ekspansi pebisnis Indonesia di AS.

US-ASEAN Business Council, yang mewadahi lebih dari 100 perusahaan AS, juga menyampaikan kondisi yang perlu diperbaiki untuk mendorong investasi, di antaranya transparansi dan kejelasan aturan dan penguatan penegakan hukum.

Menhut Ancam Mencabut Izin Tambang di Kalimantan

Tim Pengawas Pemerintah Langsung ke Lokasi
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan, dalam waktu satu hingga dua minggu ke depan, paling lambat satu bulan, ia akan mendatangi penambang yang tidak melakukan reklamasi lahan bekas tambang mereka. Ket.foto: Danau bekas penggalian tambang batu bara di RT 25 Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (12/1). Keberadaan danau tambang itu mengakibatkan permukiman warga lebih sering kebanjiran.

”Lihat saja di Bangka Belitung, di Kalimantan, di Papua, banyak sekali hutan yang rusak oleh mereka. Jika mereka tidak melakukan reklamasi, izin tambang mereka akan kami cabut,” ujar Zulkifli seusai meresmikan Taman Wisata Alam Angke Kapuk di Jakarta, Senin (25/1), menjawab pertanyaan pers tentang kerusakan lingkungan yang diakibatkan eksploitasi lahan tambang oleh pengusaha pertambangan batu bara di Kalimantan (Kompas, 25/1).

Zulkifli yang belum genap 100 hari menjabat menteri kehutanan (menhut) mengatakan, ada 169 pemegang izin tambang yang ditengarai nakal. Mereka menambang hingga ke wilayah hutan konservasi dan hutan lindung. ”Kami tidak main-main (mengenai) masalah ini. Setiap provinsi harus memiliki wilayah hutan seluas 30 persen. Jika wilayah hutan ini mereka rusak, maka mereka akan berhadapan dengan hukum,” kata Zulkifli.

Menyangkut sinyalemen bahwa kerusakan lingkungan di kawasan pertambangan dipicu oleh tumpang tindih perizinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah setempat, Kepala Pusat Informasi Kehutanan Kementerian Kehutanan Masyhud MM, kemarin, menjelaskan tiga hal. Pertama, Menteri Kehutanan sesuai dengan ketentuan tidak pernah menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan pada kawasan hutan konservasi. Kedua, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan diberikan sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku. ”Dengan demikian, tidak setiap kuasa pertambangan yang diterbitkan oleh bupati akan memperoleh izin pinjam pakai. Ketiga, kegiatan pertambangan yang berada di luar kawasan hutan bukan kewenangan Menteri Kehutanan,” kata Masyhud.

Tim pengawas

Pada hari yang sama, Senin kemarin, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Hermien Rosita di Jakarta menyatakan, tim pengawas dari Kementerian Lingkungan Hidup, Senin, langsung dikirim ke wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel) untuk menyelesaikan masalah kerusakan lahan akibat kegiatan tambang batu bara. Meskipun sebagian besar perizinan kuasa penambangan diberikan pemerintah daerah (pemda), pemerintah pusat tetap berhak memberikan sanksi.

Selain tim pengawas dari pemerintah pusat, menurut Hermien, tim pengawas regional juga diturunkan untuk klarifikasi persoalan kerusakan lingkungan akibat tambang di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim).

Hermien mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Pasal 77, Menteri Lingkungan Hidup dapat menjatuhkan sanksi administratif jika pemda secara sengaja tidak menerapkan sanksi bagi pelanggaran serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

Tidak mau mereklamasi

Operasi penambangan batu bara di Kalsel dan Kaltim kini meninggalkan lubang-lubang raksasa. Lubang-lubang itu tak hanya ditinggalkan oleh para penambang yang memiliki izin kuasa pertambangan, tetapi juga perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).

Data yang dihimpun Kompas dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalsel menyebutkan, kegiatan reklamasi tambang di Kalsel hingga Oktober 2009 mencapai 3.132 hektar (ha) dari 20.000 ha areal bukaan tambang. Reklamasi itu dilakukan 16 perusahaan pemegang PKP2B. Artinya, masih ada 16.868 ha yang belum direklamasi.

Kepala BLHD Kalsel Rachmadi Kurdi, pekan lalu, mengungkapkan, ada dua perusahaan pemegangan izin PKP2B yang menyatakan tidak sanggup menutup sejumlah lubang tambang. Keduanya adalah PT Adaro Indonesia dan PT Arutmin Indonesia.

”Kami tetap menahan pemberian amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) untuk peningkatan produksi batu bara perusahaan bersangkutan apabila tidak ada upaya yang serius untuk menutup lubang-lubang tambang tersebut. Kami sudah minta perusahaan-perusahaan mengurangi jumlah lubang yang ditinggalkan,” kata Rachmadi.

Zainuddin Jr Lubis, anggota staf humas PT Arutmin Indonesia, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, dirinya belum mendapat penjelasan dari pimpinan terkait dengan tidak bisa direklamasinya 17 lubang tambang itu. Namun, pihak Arutmin sebagai mitra pemerintah tetap akan memerhatikan arahan dari BLHD Kalsel untuk menangani lubang-lubang itu.

Tidak lapor

Khusus menyangkut pemegang izin kuasa pertambangan, Rachmadi mengakui, BLHD Kalsel kesulitan mendapatkan data pasti berapa besar tambang yang ditinggal. Hal ini terjadi karena pemerintah kabupaten yang mengeluarkan izin tersebut tidak melaporkannya ke provinsi. Di satu sisi, jumlah tenaga pengawasan terhadap kegiatan tambang di daerah terbatas.

Alasan yang sama juga dikemukakan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas Pertambangan Kaltim Frediansyah. Ia menjelaskan, pihaknya belum memiliki laporan data bekas tambang yang belum dan yang sudah direklamasi.

Sambudi, pengusaha batu bara di Kutai Kartanegara, Kaltim, menyatakan, pihaknya kini tidak memberikan dana jaminan reklamasi dalam kegiatan penambangan kepada pemda. Namun, perusahaannya tetap wajib mereklamasi lubang tambang yang telah selesai digali.

Pejabat Pelaksana Bupati Kutai Kartanegara Sulaiman Gafur mengatakan, para pemilik izin kuasa pertambangan yang melakukan kegiatan dari tahap eksplorasi ke eksploitasi, wajib menyerahkan dana jaminan reklamasi yang langsung disetorkan ke kas negara. ”Setahu saya, paling kecil jaminan reklamasi tersebut mencapai Rp 500 juta,” katanya.

Di Kalimantan, izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan para bupati mencapai 2.047 buah. Kalsel memiliki 400-578 buah atau menempati urutan kedua setelah Kaltim yang memiliki 1.180 kuasa pertambangan. Produksi batu bara per tahun di Kalsel 80-100 juta ton dan Kaltim 100,91 juta ton (Kompas, Senin, 25/1).

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan, baik di Kalsel maupun di Kaltim, membenarkan keengganan perusahaan mereklamasi tambang karena pengawasan yang minim.(bro/ful/why/wer/naw/ har/ong/hrd/ARN/AHA)

Penambangan di Kalimantan Memprihatinkan: Kawasan Konservasi Pun Dikeruk

Praktik penambangan batu bara di Kalimantan saat ini sudah sangat memprihatinkan. Tak hanya hutan produksi yang habis digarap secara membabi buta, tetapi juga kawasan konservasi dan lahan pertanian masyarakat.

Pantauan Kompas selama sepekan terakhir di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan menunjukkan, penambangan di kedua provinsi itu semrawut dan tidak terkontrol. Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto di Kaltim dan Hutan Lindung Pegunungan Meratus di Kalsel, yang mestinya dilindungi, pun tak luput dari operasi penambangan batu bara.

Di Tahura, lahan yang digarap penambang justru yang masuk kawasan hutan Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul), Samarinda, seluas 40 hektar. Pengelola PPHT mengatakan, pihaknya tak berdaya karena izin penambangan dikeluarkan Kementerian Kehutanan, dengan alasan sebelum Menteri Kehutanan menetapkan batas Tahura dengan Surat Keputusan Nomor 577 Tahun 2009, lokasi itu berada di luar kawasan hutan konservasi tersebut.

Yang lebih menyedihkan, lanjut Chandradewana Boer, Direktur PPHT Unmul, lahan Unmul lainnya seluas 51.000 hektar, yang dirancang untuk pembangunan Kompleks Laboratorium Rumah Kaca di Telukdalam, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, pun tak lepas dari ketamakan penambang. Pelakunya, kontraktor yang dipercaya untuk membangun proyek tersebut dan tak memiliki kuasa pertambangan.

”Kami memercayakan proyek itu kepada dua kontraktor. Ternyata, ketika mereka mengetahui kandungan batu bara di lahan itu cukup banyak dan bagus, mereka menggarap tambangnya lebih dulu,” kata Boer, Sabtu (23/1).

Pengamat ekonomi lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Udiansyah, mengungkapkan, kondisi Hutan Lindung Pegunungan Meratus lebih mengkhawatirkan lagi. Di hutan lindung tersebut tak cuma ada banyak pemilik kuasa pertambangan, tetapi juga bertebaran lubang besar yang batu baranya sudah habis dikeruk.

”Di kawasan tersebut terdapat 299 kuasa pertambangan. Artinya, ada 299 pihak yang diberi izin menambang batu bara di Hutan Lindung Pegunungan Meratus. Ironisnya, hanya beberapa kuasa pertambangan saja yang meminta izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan,” kata Udiansyah.

Izin lainnya, lanjut Udiansyah, dikeluarkan bupati setempat karena yang bersangkutan tidak tahu bahwa lokasi yang diizinkan untuk ditambang itu berada di kawasan hutan lindung.

Menurut catatan Kompas, selama enam tahun terakhir (sampai 2009), di empat provinsi di Kalimantan saat ini ada 2.047 kuasa pertambangan. Kaltim berada di peringkat pertama yang mengeluarkan kuasa pertambangan, yakni 1.180 kuasa pertambangan, disusul Kalsel (400- 578), Kalimantan Tengah (427), dan Kalimantan Barat (40).

Jika luas wilayah satu kuasa pertambangan sekitar 2.000 hektar, lahan yang sudah dikapling untuk pertambangan itu berarti mencapai 4,09 juta hektar, lebih luas dari daratan Provinsi Kalsel yang 3,75 hektar.

Tentang banyaknya kuasa pertambangan di Kaltim, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan, pihaknya tak bisa berbuat banyak mengingat Menteri Kehutanan dan kepala daerah tingkat dua (bupati/wali kota) memiliki kewenangan mengeluarkan kuasa pertambangan.

Pernyataan Awang setidaknya diperkuat oleh fakta penambangan batu bara di Samarinda. Saat ini sekitar 70 persen luas wilayah kota itu (71.823 hektar) habis dikapling sebagai kawasan pertambangan. Sebagian sudah jadi kolam raksasa yang ditinggalkan pengeruknya. Jika hujan turun, air pun memenuhi kolam tersebut, bahkan melimpah dan menggenangi permukiman.

Warga di Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda, merupakan salah satu korban pertambangan tak bertanggung jawab itu. ”Kami sudah sangat terganggu dengan penambangan batu bara di sekitar ini. Permukiman kami

hanya sekitar 25 meter dari lubang bekas tambang. Akibat lubang itu, perumahan kami sering diterjang banjir,” kata Karnain, Ketua RT 25, Kelurahan Sempaja Selatan.

Petani Desa Separi dan Bangunrejo, di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, pun mengaku pertanian mereka terganggu oleh aktivitas pertambangan. ”Kami sering gagal panen karena air limbah tambang (batu bara) masuk ke sawah kami. Karena itu, tidak sedikit petani di sini yang akhirnya menjual sawah mereka ke pemegang kuasa pertambangan. Tapi, harga jualnya lumayan tinggi,” papar beberapa petani Desa Separi yang ditemui Kompas pekan lalu.

Mereka juga mengatakan, tak sedikit lahan sawah yang dibeli pemegang kuasa pertambangan itu kini sudah berubah jadi kawasan pertambangan batu bara.

Di Kalsel, selain Hutan Lindung Pegunungan Meratus, kerusakan parah akibat penambangan batu bara ditemukan di sejumlah desa. Sebagian jalan di beberapa desa, misalnya, hilang ”tertelan” kawasan tambang. Bahkan, ada jalan yang sudah diaspal terpotong akibat jalan itu digarap pemegang kuasa pertambangan (dijadikan lahan galian tambang).

Warga yang tinggal di Kecamatan Lok Paikat (antara Desa Parandakan menuju ke Miawa) dan Kecamatan Siani, Kabupaten Tapin, merupakan contoh korban ”jalan hilang”. Kini mereka tak lagi bebas berlalu lalang di jalan desa akibat sebagian jalan terkait sudah masuk kawasan tambang.

Di jalan-jalan seperti itu warga selain harus berhati-hati terhadap kendaraan proyek yang lewat, tak jarang pula mereka mesti minta izin untuk lewat. Hal serupa terjadi di Kecamatan Pengaron dan Sungai Pinang di Kabupaten Banjar.

Suria Dharma dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unmul, mengatakan, selain lingkungan rusak, pertambangan terbuka (open pit) seperti yang banyak ditemukan di Kaltim, juga mengubah fungsi kawasan. ”Pembabatan hutan memusnahkan 7-12 ton karbon organik setiap tahun. Karbon itu amat diperlukan mikroorganisme untuk keberlangsungan suatu ekosistem,” katanya mengingatkan.

Pernyataan senada dikemukakan Udiansyah. Menurut dia, penambangan batu bara yang berlangsung selama ini tak banyak memajukan daerah. ”Dari nilai produksi batu bara Kalsel yang mencapai 22 triliun (untuk produksi 80-100 ton per tahun), yang menjadi pendapatan asli daerah tidak mencapai Rp 1 triliun,” ujarnya.

Meski demikian, kalangan pengusaha tetap berpendapat bahwa yang mereka kerjakan memberi efek positif. ”Tambang menyerap tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi warga, seperti munculnya warung dan jasa sewa tempat tinggal,” kata Maskur Achmad, Manajer Proyek PT Satria Bahana Sarana, kontraktor pertambangan batu bara di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. (BRO/AHA/WER/FUL)

Senin, 25 Januari 2010 | 03:59 WIB

Samarinda, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/25/03590432/penambangan.memprihatinkan

Monday, January 11, 2010

Kelautan: Bunaken Jangan Diusik Rehabilitasi

Kelestarian Taman Laut Nasional Bunaken, Sulawesi Utara, hendaknya tidak diusik dengan berbagai proyek rehabilitasi semu dari pemerintah maupun lembaga peneliti yang berakibat merusak rona asli taman laut tersebut.

Pakar terumbu karang Dr Yani Khusen dan pakar bioekologi kelautan Dr Winda Mingkid dari Universitas Sam Ratulangi di Manado, Sabtu (9/1), mengkhawatirkan intervensi berlebihan melalui berbagai proyek penelitian di Taman Laut Bunaken akan berakibat buruk sehingga mengganggu ekosistem yang sudah ada.

Menurut Winda, tindakan introduksi, yaitu memasukkan organisme baru ke dalam satu habitat, apabila tidak diawali dengan penelitian dengan baik bakal mengganggu ekosistem dari perairan tersebut. ”Bunaken harus dijaga dari intervensi seperti itu,” katanya.

Aktivitas gencar

Yani Khusen mensinyalir belakangan ini aktivitas rehabilitasi oleh sejumlah lembaga penelitian dan lembaga swadaya masyarakat di kawasan taman laut Bunaken cukup gencar.

Intervensi itu dimulai dengan melakukan restorasi karang dengan media keramik, kemudian diikuti dengan penanaman mangrove serta melepas penyu di sekitar Laut Bunaken.

Menurut Yani, masuknya unsur dari luar akan merusak rona asli alam dan taman laut Bunaken.

Beberapa waktu lalu dia pernah menegur sejumlah oknum LSM dari Jakarta yang melepas ikan kerapu bebek di sana. ”Itulah yang saya bilang rehabilitasi semu demi proyek,” katanya.

Ia mengatakan, restorasi karang dilakukan oleh sejumlah peneliti dari Tokyo University Marine Science and Technology sejak tahun 2006.

Ia menilai, cara restorasi karang itu kurang tepat. Semestinya karang-karang rusak di Bunaken direhabilitasi dengan program transplantasi.

Beberapa waktu lalu sejumlah ahli karang dari Jepang menemukan cara baru untuk menyelamatkan sekaligus melakukan restorasi populasi terumbu karang atau koral di sejumlah wilayah laut dunia, terutama laut Bunaken dan Manado Tua. Cara itu dengan membuat ecoreef berbentuk jari-jari dari bahan keramik.

Menurut Yani, pemerintah Provinsi Sulut mestinya mengeluarkan larangan untuk kegiatan rehabilitasi yang tidak diawali dengan penelitian terlebih dahulu. ”Jika tidak (ada larangan), Bunaken hanya menjadi obyek eksploitasi orang luar tanpa memerhatikan aspek ekosistem yang sudah ada,” katanya.(zal)

Senin, 11 Januari 2010 | 04:06 WIB

Manado, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/11/0406125/bunaken.jangan.diusik.rehabilitasi

Friday, December 4, 2009

Areal Hutan di Papua Susut 8,5 Juta Hektar

Areal hutan di Papua menyusut dari 31,5 juta hektar pada awal tahun 2000 menjadi 23 juta hektar saat ini. Hal itu antara lain akibat penggunaan hutan untuk kebutuhan pembangunan permukiman dan jalan, pertanian, perkebunan, industri hak pengelolaan hutan, serta ruang wilayah pemekaran kabupaten.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Marthen Kayoi di Jayapura, Papua, Kamis (3/12), mengemukakan, pemekaran kabupaten/kota turut punya andil dalam penyusutan jumlah luas hutan tersebut, mengingat setiap daerah baru mengakomodasi kebutuhan aktivitas pembangunan wilayah. Contohnya, pemekaran beberapa kabupaten di kawasan Pegunungan Tengah Papua mengoyak kawasan Taman Nasional Lorentz.

”Setiap pembangunan dan kegiatan ekonomi, seperti pemekaran daerah, pasti membutuhkan ruang dan ruang yang tersedia luas di Papua adalah hutan,” kata Marthen.

Provinsi Papua saat ini terdiri dari 29 kabupaten/kota. Sebelum tahun 2007, jumlah kabupaten/ kota masih 20. Dari sembilan kabupaten hasil pemekaran, tiga tahun belakangan ini tujuh di antaranya terletak di kawasan Pegunungan Tengah Papua, yakni Puncak, Nduga, Yalimo, Mamberamo Tengah, Dogiyai, Lanny Jaya, dan Intan Jaya. Dari jumlah itu, lima kabupaten bersentuhan dengan Taman Nasional Lorentz, yakni Puncak, Nduga, Yalimo, Memberemo Tengah, dan Lanny Jaya.

Menurut Regional Manager Forest Governance Integrity Programme Wilayah Asia Pasifik pada Transparency International Indonesia, Agustinus Taufik, hutan Papua merupakan hutan tropis yang menjadi benteng hayati terakhir bagi paru-paru dunia.

Papua, lanjutnya, memiliki kawasan hutan konservasi seluas 4,8 juta hektar yang terdiri dari 5 kawasan suaka alam berstatus cagar alam (Pegunungan Waylan, Kumbe, Pegunungan Cycloops, Pombo, dan Enarotali), 4 kawasan suaka margasatwa (Mamberamo Foja, Pulau Dolok, Danau Bian, dan Pegunungan Jayawijaya), serta 4 kawasan pelestarian alam (Taman Nasional Lorenz, Taman Nasional Wasur, Teluk Youtefa, dan Taman Wista Alam Nabire).

”Namun, wilayah dan kawasan yang seharusnya dilindungi itu sejak beberapa tahun lalu justru mendapat tekanan berupa perambahan untuk pertanian, permukiman, pembangunan infrastruktur, dan tak jarang illegal logging,” ujar Agustinus. (ich)

Jumat, 4 Desember 2009 | 03:14 WIB

Jayapura, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/0314432/areal.hutan.di.papua.susut.85.juta.hektar

Pasar CPO pada 2010 Prospektif

Pasar minyak kelapa sawit mentah internasional tahun 2010 diprediksi lebih prospektif daripada tahun ini. Pemulihan perekonomian dunia pascakrisis yang dipandu India dan China membuat permintaan minyak sawit mentah naik tajam.

Persaingan sengit antara konsumsi makanan dan energi pun bakal terulang seperti tahun 2008 seiring kebijakan sejumlah negara mewajibkan biodiesel mulai tahun 2010. Para produsen minyak sawit mentah (CPO) di Indonesia dan Malaysia harus memanfaatkan momentum ini untuk menggenjot produksi demi merespons kenaikan permintaan.

Hal ini mencuat dalam Konferensi Minyak Sawit Indonesia (Indonesia Palm Oil Conference) 2009 di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/12).

Prediksi tersebut merupakan analisis Thomas Mielke dari Oil World (lembaga kajian minyak nabati yang berbasis di Hamburg, Jerman), Derom Bangun dari Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Ambono Janurianto dari Bakrie Sumatera Plantation, dan John Baker dari Rabobank International.

Mielke menuturkan, pasokan minyak nabati sejak September 2009 sampai Februari 2010 terbatas sehingga harga masih berpotensi naik dalam lima pekan mendatang. Produksi minyak bunga matahari dan kanola yang melemah juga membuat ketergantungan pada CPO dan kedelai meningkat.

CPO kini mencapai 56 persen ekspor dunia dan mencatat pertumbuhan pangsa pasar tertinggi dari minyak nabati lain. Pangsa pasar CPO dunia tumbuh dari 11,4 juta ton tahun 1990 menjadi 46,6 juta ton tahun 2009.

Menurut Derom, Januari-Februari 2010 merupakan masa permintaan CPO melonjak, terutama dari India dan China. Derom memperkirakan, harga CPO di Rotterdam bisa berkisar 800-825 dollar AS per ton dan 2.700 dollar AS per ton di Malaysia pada kuartal I-2010. (Ham)

Jumat, 4 Desember 2009 | 03:12 WIB

Nusa Dua, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/03125767/pasar.cpo.pada.2010.prospektif

Saturday, October 3, 2009

TAMAN TANGKUBANPARAHU: Departemen Kehutanan Bersikukuh Masalah Izin

Departemen Kehutanan bersikeras mempertahankan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT Graha Rani Putra Persada selama 30 tahun ke depan meskipun ditentang masyarakat.

Pengelolaan Taman Wisata Alam Tangkubanparahu (TWAT) di wilayah hutan konservasi oleh pihak swasta. Namun, ”Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, pengelolaan kawasan konservasi itu merupakan otoritas Menteri Kehutanan. Kami akan mengaturnya, seperti Bromo-Tengger,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Darori, Jumat (2/10) di Jakarta.

Menteri Kehutanan MS Kaban mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 306/Menhut-II/2009, tertanggal 29 Mei 2009, sebagai Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) kepada PT Graha Rani Putra Persada untuk pengelolaan taman wisata seluas 250,7 hektar (ha). Lokasi itu terdiri atas 171,4 ha di Blok Pemanfaatan TWAT dan 79,3 ha di Kawasan Hutan Lindung Cikole.

Menurut Darori, sebelumnya taman wisata itu dikelola Perum Perhutani. Pendapatan mencapai Rp 5 miliar per tahun. Sebanyak Rp 2 miliar disetorkan sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan Rp 3 miliar untuk biaya operasional.

Ketua Umum Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Mubiar Purwasasmita di Bandung, Jawa Barat, saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, apa pun dasar pengelolaan hutan lindung Gunung Tangkubanparahu itu menyalahi ketentuan karena pengalihan dan rencana pengelolaannya tidak menghargai aspirasi masyarakat. ”Aspirasi pemerintah daerah bisa tidak diperhatikan pemerintah pusat. Namun, aspirasi masyarakat tak bisa diabaikan,” katanya.

Darori mengatakan, mengacu pada UU No 5/1990, pemerintah daerah pemangku wilayah hutan lindung atau konservasi hanya berhak sebatas memberi pertimbangan atas pengelolaan kepada Menteri Kehutanan. Rekomendasi pemerintah daerah tidak menjadi acuan utama.

Masyarakat menolak pengelolaan taman oleh swasta karena khawatir hutan lindung di kawasan itu semakin rusak. Hutan tersebut merupakan simbol budaya masyarakat Jawa Barat. Hal itu diungkapkan dalam surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh kelompok musisi Bimbo, panutan masyarakat Jawa Barat.

Masyarakat Adat Tangkubanparahu juga menolak dan melaporkan dugaan penebangan pohon yang sebenarnya dilarang.

Beberapa lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Jawa Barat juga mempersoalkan masalah ini dan akan menempuh jalur hukum. (NAW/REK)

Wednesday, September 30, 2009

Penggerusan Tebing Serayu Makin Parah


Penggerusan tebing Sungai Serayu di kawasan hilir semakin parah, setidaknya ada 20 rumah di tebing sungai itu yang terancam runtuh. Ada 10 titik lokasi di tebing sungai yang tergerus cukup lebar. Ket.Foto: Sejumlah pekerja sedang menambang pasir di tepi Sungai Serayu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (29/9). Aktivitas penambangan pasir itu kini sudah dalam taraf mengkhawatirkan karena menggerus beberapa titik dinding sungai sehingga mengancam permukiman warga.

Kepala Bidang Operasional dan Pemeliharaan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu dan Opak Nasrun Sidqi, Selasa (29/9), mengatakan, 10 titik tebing sungai yang tergerus itu sedang dipetakan dan didata tingkat kerusakannya oleh konsultan.

Salah satu titik tebing yang tergerus cukup parah berada di Desa Kesugihan Kidul, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Panjang tebing sungai yang tergerus mencapai 60 meter dengan lebar 20-30 meter. Untuk menahan penggerusan, kata Nasrun, pihaknya memasang crucuk (pagar bambu) di sepanjang tebing.

”Itu adalah tindakan preventif agar 20 rumah di tebing itu tidak runtuh. Untuk selanjutnya harus diikuti dengan penanganan secara komprehensif,” katanya.

Penambangan pasir

Ruszardi, konsultan yang memetakan dan meneliti kerusakan di hilir Sungai Serayu, mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan Sungai Serayu semakin parah. Hal itu antara lain akibat penambangan pasir dan kurangnya vegetasi
pohon keras untuk menahan erosi.

Ia mengatakan, sebaiknya Pemerintah Kabupaten Banyumas dan Cilacap mulai mengendalikan jumlah penambang pasir di Sungai Serayu. Penambangan pasir di utara Bendung Gerak Serayu sebaiknya tidak ditambah lagi. Adapun jumlah penambang pasir di selatan bendungan harus mulai dikurangi.

Volume pasir di selatan Bendung Gerak Serayu, kata Ruszardi, relatif lebih sedikit dibandingkan bagian utara. Namun, jumlah penambangnya cukup banyak sehingga perlu dikurangi. Penambangan pasir yang tak terkendali menyebabkan dasar
Sungai Serayu semakin dalam. Hal itulah yang menyebabkan tebing sungai menjadi rawan longsor.

Untuk mengurangi ancaman erosi di sekitar aliran Sungai
Serayu, Ketua Paguyuban Masyarakat Peduli Sungai Serayu Eddy Wahono mengatakan, pihaknya menyiapkan 1.000 pohon keras, seperti beringin, untuk ditanam pada pertengahan Oktober.

Pengelola wisata

Untuk mengendalikan penambangan pasir di Sungai Serayu, Eddy mengatakan, dibutuhkan proses pengalihan lapangan kerja para penambang pasir. Salah satu yang sedang diupayakan adalah menarik minat para penambang pasir untuk mengelola Sungai Serayu sebagai obyek wisata alam.

”Untuk ini dibutuhkan waktu lama dan pendampingan secara terus-menerus,” katanya. (MDN)

Rabu, 30 September 2009 | 04:12 WIB

Banyumas, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/0412263/penggerusan.tebing..serayu..makin.parah

Tangkubanparahu Harus Tetap Kawasan Lindung

Segala aktivitas pembangunan PT Grha Rani Putra Persada di Taman Wisata Alam Tangkubanparahu harus dihentikan. Pemerintah semestinya memproyeksikan kawasan itu sebagai kawasan lindung, bukan malah mengeksploitasi dan mengomersialisasikannya.

Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan hal itu di Bandung, Selasa (29/9). ”Izin prinsip yang diberikan Menteri Kehutan kepada PT GRPP itu keliru,” ujarnya.

Sobirin menjelaskan, Surat Keputusan Menhut Nomor 306/ Menhut-II/2009 tentang Izin Pengusahaan Pariwisata Alam di Taman Wisata Alam Tangkubanparahu (TWAT) kepada PT GRPP menyalahi prosedur. TWAT berada di Jabar, semestinya PT GRPP mengantongi rekomendari dari Gubernur Jabar.

Selain itu, SK itu menyalahi kewenangan Menhut. Semestinya Menhut mengembalikan TWAT menjadi kawasan lindung, bukan menyerahkan kepada pihak swasta. Secara kultural, SK itu menyebabkan keresahan.

Untuk itu, Sobirin meminta segala aktivitas pembangunan di Tangkubanparahu harus dihentikan. ”Kembalikan TWAT kepada Perhutani atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Gubernur harus mengambil tindakan dan Menhut harus mencabut SK itu. Biarkan Tangkubanparahu menjadi kawasan lindung,” ujarnya.

Menurut Sobirin, alasan Menhut menyerahkan kepada pihak swasta karena TWAT tak terurus mengada-ada. Selama ini BKSDA mengelola sesuai jalurnya.

Direktur Utama PT GRPP Putra Kaban mengatakan, sejak tiga tahun lalu, dia sudah mengajukan rekomendasi kepada Gubernur Jabar yang saat itu dijabat Danny Setiawan. ”Sampai sekarang, kalau dihitung, sudah 20 kali saya ke kantor gubernur, tetapi belum ada hasil sesuai harapan Putra,” ujarnya.

PT GRPP memperoleh izin dari Menhut pada 29 Mei 2009. Kini PT GRPP telah memperbaiki jalan dan pagar Kawah Ratu di TWAT. Selain itu, mereka juga membangun fondasi gedung budaya dan rangka besi untuk mushala.

Secara terpisah, Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf belum berani berkomentar tentang pembangunan yang telah dilakukan PT GRPP. Ia akan berbicara terlebih dahulu dengan Gubernur Ahmad Heryawan. ”Jumat (2/10) kami akan menggelar rapat tentang tata ruang Tangkubanparahu. Mungkin PT GRPP akan kami undang,” ujarnya.

Dede menegaskan, secara prinsip, pengelolaan TWAT tidak bisa sepenuhnya diambil pihak swasta. Pemerintah harus tetap dilibatkan, terutama untuk mengontrol pembangunannya. Apalagi, sebagian kawasan TWAT merupakan kawasan lindung yang dilarang untuk dibangun. (MHF)

Rabu, 30 September 2009 | 04:17 WIB

Bandung, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04171970/tangkubanparahu.harus.tetap..kawasan.lindung

Saturday, September 26, 2009

500 Hektar Hutan NTB Kritis

Sekitar 500 hektare areal hutan di Nusa Tenggara Barat (NTB) dalam keadaan kritis akibat penebangan liar yang dilakukan oknum yang tidak bertanggungjawab.

"Hutan yang kritis itu berada di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, sehingga sumber mata air di NTB berkurang drastis dari 700 sumber mata air kini tinggal sekitar 200 sumber mata air," kata Kepala Dinas Kehutanan NTB, Ir. Harina di Mataram, Sabtu (26/9).

Oleh karena itu, sejumlah daerah di NTB dikhawatirkan akan mengalami kekeringan, sehingga pemerintah dengan berbagai upaya terus mencegah kerusakan hutan sekaligus melakukan penghijauan.

"Pemerintah juga berupaya mencegah semakin berkurangnya sumber mata air dengan melakukan pembinaan kepada masyarakat," katanya.

Sekarang, ada sekitar lima pengusaha yang akan melakukan investasi di bidang kehutanan dengan luas areal lebih dari 25.000 hektare, termasuk hutan tanaman industri.

Selain itu, kegiatan penambangan, terutama di aliran sungai juga dibatasi, karena sejumlah limbah tambang yang terbuang ke sungai membuat sungai menjadi dangkal dan airnya macet.

"Yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan penghijauan di berbagai kawasan hutan dan sabuk-sabuk hijau bendungan yang ada di NTB, dengan menanam berbagai jenis pohon yang banyak menyimpan air seperti pohon bunut atau beringin, guna memenuhi kebutuhan air bersih," katanya.

Air bersih marupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang mendesak, karena cakupan air bersih, terutama di pedesaan, hingga kini baru tersedia sekitar 30 persen, sementara di perkotaan layanan air bersih juga baru ada 60 persen.

"Layanan air bersih untuk perkotaan diambil dari berbagi sumber mata air seperti di Narmada dan hutan Suranadi, Lombok Barat berjarak sekitar 30 kilometer ke arah timur Mataram," katanya.

SABTU, 26 SEPTEMBER 2009 | 09:55 WIB

MATARAM, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/26/09555181/500.hektar.hutan.ntb.kritis

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...