Showing posts with label Penelitian. Show all posts
Showing posts with label Penelitian. Show all posts

Sunday, August 9, 2009

DAMPAK PENINGKATAN PENGGUNA TELEPON SELULER TERHADAP EKSISTENSI PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI

EXECUTIVE SUMMARY

DAMPAK PENINGKATAN PENGGUNA TELEPON SELULER TERHADAP EKSISTENSI PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI

ABSTRAK

Warung Telekomunikasi merupakan salah satu wujud kegiatan untuk mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil-hasilnya, pendirian warung telekomunikasi bermula untuk meningkatkan penetrasi telepon tetap yang pada waktu itu masih sangat rendah, sehingga masyarakat masih sangat sulit untuk mengakses informasi dan berkomunikasi, maka dari itu dibuatlah suatu strategi yaitu satu sambungan dapat dipakai oleh beberapa orang atau dengan kata lain membuat strategi “Public Phone” atau yang lebih dikenal dengan sebutan Warung Telekomunikasi (Wartel).

Pada saat ini penyelenggaraan warung telekomunikasi mengalami penurunan, baik dari sisi pengguna maupun pendapatan disebabkan oleh semakin meningkatnya pengguna telepon seluler. Jumlah pengguna telepon seluler pada saat sekarang ini telah mencapai kurang lebih 96.410.000, teledensitas 36,39 % dengan tingkat prosentase pertumbuhan pelanggan telepon seluler mencapai 28,26 % pertahun.

hal ini akan berdampak terhadap keberlangsungan penyelenggaraan warung telekomunikasi.

Metode penelitian dalam kajian ini menggunakan metode Dekriptif Kualitatif, yaitu melakukan survey lapangan dengan menggunakan kuesioner yang di diedarkan kepada penyelenggara warung telekomunikasi, masyarakat pengguna warung telekomunikasi, dan APWI (Asosiasi Pengusaha Warung elekomunikasi Indonesia).

Hasil yang diharapkan dalam kajian ini berupa masukan dalam penyempurnaan kebijakan penyelenggaraan warung telekomunikasi agar penyelenggaraan warung telekomunikasi dapat berjalan secara berkesinambungan.

Kata-kata kunci : warung telekomunikasi, Telepon seluler

A. LATAR BELAKANG

Pengembangan telekomunikasi di Indonesia adalah untuk kepentingan nasional yang merupakan salah satu wahana untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yakni mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pendirian warung telekomunikasi bermula untuk meningkatkan penetrasi telepon tetap yang pada waktu itu masih sangat rendah, oleh karenanya untuk memenuhi permintaan telepon tetap, maka dibuatlah suatu strategi yaitu satu sambungan dipakai oleh beberapa orang atau dengan kata lain membuat strategi “Public Phone” atau yang lebih dikenal dengan sebutan warung telekomunikasi (wartel). Warung Telekomunikasi ini merupakan tempat yang disediakan untuk pelayanan jasa telekomunikasi untuk umum yang di tunggu, baik yang bersifat sementara ataupun tetap dan merupakan bagian dari telepon umum (PM.05/PER/M.KOMINFO/I/2006 tentang penyelenggaraan warung telekomunikasi Bab I Pasal 1 ayat (10)).

Pada tahun 1999, ketika usaha wartel mengalami liberalisasi maka yang terjadi adalah hampir di setiap jalan di kota-kota besar terdapat warung telekomunikasi. Peningkatan warung telekomunikasi mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Peningkatan tersebut dikarenakan usaha warung telekomunikasi merupakan usaha yang cukup menjanjikan, sehingga sangat diminati oleh masyarakat maupun badan usaha atau koperasi, sehingga pada tahun 2001 jumlah wartel meningkat menjadi 201.111 wartel, semula pada tahun 1999 jumlah warung telekomunikasi hanya berjumlah 114.840 wartel.

Kemerosotan bisnis warung telekomunikasi ini sangat terasa sejak tahun 2001, tepatnya saat telepon seluler mulai gencar masuk ke seluruh pelosok tanah air. Selain itu ekspansi kartu perdana seluler semakin murah dan beragam model telepon seluler yang menjamur dengan harga terjangkau.

Jumlah pelanggan telepon seluler pada saat ini kurang lebih 81.834.590 pelanggan, teledensitas 36,39 %, dengan tingkat prosentase pertumbuhan pelanggan telepon seluler 28,26 % pertahun.

Pertumbuhan telepon seluler yang sedemikian pesat ini akan berdampak terhadap semakin menurunnya pengguna warung telekomunikasi, dan semakin menurunnya pendapatan warung telekomunikasi dan pada akhirnya banyak pengusaha wartel yang menutup usahanya.

Dengan melihat permasalahan tersebut di atas perlu dilakukan kajian tentang Dampak Peningkatan Pengguna Telepon Seluler Terhadap Eksistensi Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi.

Sehingga dari kajian ini dapat memberikan solusi permasalahan, agar warung telekomunikasi dapat berjalan secara berkesinambungan.

E. HASIL PENELITIAN

1. KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN WARUNG TELEKOMUNIKASI.

Baik yang terdapat pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi maupun Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Peraturan ini telah membuka kesempatan berusaha bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); Badan Usaha Milik Swasta (BUMS); dan Koperasi untuk berusaha di bidang telekomunikasi, dengan diberlakukannya peraturan ini berarti penyelenggaraan telekomunikasi di berlakukan secara kompetisi dan tidak boleh lagi di selenggarakan secara monopoli oleh salah satu operator telekomunikasi.

Demikian pula bila diperhatikan mengenai Keputusanyang terdahulu, seperti, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM 54 Tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi. maka keberlangsungan penyelenggaraan wartel telah diakomodir, sebagaimana tercantum pada pasal 9, yang menyatakan dalam penyelenggaraan warung telekomunikasi, harus ; Mengevaluasi permohonan penyelenggaraan warung telekomunikasi dengan mempertimbangkan azas pelayanan, pemerataan, kelayakan usaha dan kemudahan serta memperhatikan kelangsungan usaha warung telekomunikasi yang telah bekerjasama;

Dalam melakukan pendirian warung telekomunikasi, sebelum PKS operasional dikeluarkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi, hendaknya aturan/kebijakan yang terkandung pada pasal 9, tersebut, khususnya azas kelayakan usaha, dijadikan sebagai azas dalam pendirian wartel baru, azas ini sangat penting karena usaha pendirian wartel didasarkan kepada tingkat kebutuhan masyarakat, dan kelayakanan usaha wartel itu sendiri, sehingga keberadaan wartel kedepan akan tetap eksis.

Selain aturan tersebut, juga telah dipersyaratkan kepada pemberi PKS penyelenggaraan wartel, didalam aturan/kebijakan tersebut menyatakan bahwa penyelenggara jaringan harus memperhatikan kelangsungan usaha warung telekomunikasi yang telah bekerjasama. aturan/kebijakan yang telah dibuat tersebut, kurang mendapat respon/perhatian dari pihak pemberi PKS penyelenggaraan wartel, pendirian wartel pada saat itu hanya semata-mata untuk kepentingan bisnis atau kepentingan sepihak, tanpa mematuhi mengindahkan peratuan/kebijakan tersebut. Yang seharusnya setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi tunduk dan taat kepada kebijakan/aturan tersebut, dan tidak hanya berorientasi pada kepentingan bisnis sesaat.Oleh karena itu tidak heran pada saat sekarang ini penyelenggara warung telekomunikasi banyak yang tutup,karena berawal dari pendirian wartel baru yang tidak berdasarkan pada orientasi aturan yang telah ditetapkan.

Sehingga pendirian wartel-wartel baru muncul sangat berdekatan dengan wartel yang sudah mapan, ada yang berdampingan, berjejer, dengan keadaan ini penyelenggara warung telekomunikasi harus siap bersaing satu dengan yang lainnya. Bersaing dalam produk unggulan sudah tidak memungkinkan, berarti yang sangat dimungkinkan adalah bersaing dalam hal pelayanan. Oleh karena itu memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen suatu hal yang menjadi keharusan bagi wartel-wartel sekarang ini.

Dengan melihat situasi dan kondisi pada saat sekarang ini, diperlukan suatu kebijakan pembagian pendapatan/komisi atas penyelenggaraan warung telekomunikasi, yang dapat menunjang keberlangsung penyelenggaraan wartel, karena situasi pada saat sekarang ini, hampir rata-rata penyelenggara warung telekomunikasi mengalami penurunan pendapatan yang sangat drastis, apabila hal ini dibiarkan, maka tidak tertutup kemungkinan penyelenggaraan wartel akan semakin terpuruk dan pada akhirnya banyak penyelenggara wartel yang tutup akibat tidak mampu lagi membiayai operasionalnya. Sebaiknya pembagian komisi penyelenggaraa wartel didasarkan kepada Pendapatan yang diterima penyelenggara warung telekomunikasi dari penyelenggara jasa telekomunikasi. Domestik (PSTN dan STBS) dan penyelenggara Sambungan Langsung Internasional (SLI), besaran pendapatan/komisi di sarankan adalah sebagai berikut :

Tabel 2

Prosentase Komisi Penyelenggara Wartel

Pendapatan Wartel/Bulan

(Rp.)

Prosentase (%) Komisi Penyelenggara

wartel

0 s/d 1 Juta

1 s/d3 Juta

> 3 Juta

60%

50%

22,5%

Asumsinya adalah semakin kecil pendapatan wartel, maka semakin besar prosentase yang diterima. wartel yang memiliki pendapatan 1 juta kebawah, masih memungkinkan untuk bertahan. demikian pula pada pendapatan 1 s/d 3 juta rupiah, maka komisi prosentase yang diterima sebesar 40 % (domestik, PSTN dan STBS), dan Internasional,

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No..05/PER/M.KOMINFO/I/2006 tentang Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi sebagaimana tertuang pada pasal 16

Pada pasal 16 menerangkan bahwa Penyelenggara wartel dapat memungut langsung biaya jasa telekomunikasi kepada pengguna wartel, sesuai ketentuan tarif jasa telekomunikasi yang berlaku, ditambah dengan tarif pelayanan sebanyak-banyaknya 15 %. Hal ini menandakan bahwa Wartel bisa menambah komponen layanan dalam harga jualnya yaitu maksimal 15 %, artinya wartel di berikan kewenangan untuk menarik biaya pelayanan kepada konsumen, pembebanan biaya ini dikhawatirkan berkesan tarif wartel akan semakin mahal, dan pada akhirnya wartel akan semakin ditinggalkan oleh penggunanya.

2. RESPONDEN PENYELENGGARA WARTEL

Warung Telekomunikasi yang semula merupakan usaha andalan bagi Usaha Kecil dan Menengah, kini sudah tidak lagi, usaha wartel hanya merupakan sebagai usaha tambahan, penurunan status usaha wartel yang semula menjadi usaha andalan, yang kini menjadi usaha tambahan, dikarenakan bahwa, usaha wartel pada saat sekarang ini telah mengalami penurun pendapatan secarasignifikan, yang disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat menggunakan telepon seluler sebagai sarana komunikasinya. Baik dari segmen ibu rumah tangga, pelajar, pegawai maupun pedagang, sehingga segmen pasar untuk warung telekomunikasi semakin kecil, bahkan tidak sedikitnya jumlah penyelenggara wartel yang menutup usahanya. Yang diakibatkan oleh ketidak mampuannya untuk membiayai pengelolalaan penyelenggaraan wartel.

Bila dilihat dari sisi pendapatan wartel yang disurvei, sebagian besar responden penyelenggara wartel, memberikan pendapat bahwa penerimaan yang didapat selama ini selalu mengalami penurunan, yang semula pendapatan dari usaha wartel yang demikian besar, sehingga usaha wartel kedepan sulit menjadi harapan. Apalagi pada saat sekarang ini telepon seluler baik GSM maupun CDMA semakin murah baik harga teleponnya maupun tarifnya.

Pendapatan wartel yang dahulunya cukup tinggi sampai mencapai Rp. 10.000.000,- per bulan, kini hanya mencapai dibawah satu juta perbulan.

Sedangkan untuk usaha wartel dengan status milik sendiri, usaha wartel ini dapat dikembangkan dengan menambah usaha tambahan, seperti membuka usaha travel agent, menjual voucher/galeri hp, rumah makan, bengkel, rental, play station, dll. Akan tetapi bagi usaha wartel dengan status mengontrak/menyewa, usaha wartel mengalami kesulian untuk dikembangkan, hampir sebagian besar usaha wartel dengan status mengontrak/menyewa tempat, apabila masa kontrak/sewa sudah berakhir penyelenggara wartelcenderung menutup usahanya, karena untuk membuka usaha tambahan sudah tidak memungkinkan, hal ini dikarenakan dengan perjanjian kontrak/sewa yang peruntukannya hanya untuk menyelenggarakan wartel, bukan untuk usaha lainnya.

Pengelola wartel mengharapkan diperlukan perubahan kebijakan mengenai pola bagi hasil, yang sekarang ini sangat kurang memihak kepada penyelenggara wartel, sebaiknya pola bagi hasil disesuaikan dengat tingkat penghasilan wartel. Semakin kecil tingkat penghasilan wartel maka semakin besar tingkat prosentase yang diterima oleh penyelenggara wartel.

3. MASYARAKAT PENGGUNA WARTEL

Dilihat dari tingkat usia tersebut, maka pengguna wartel didominasi oleh tingkat umur antara 17 sampai dengan 25 tahun, yaitu sebanyak 102 responden, sedangkan untuk tingkat pengguna wartel terendah adalah berusia diatas 50 tahun yaitu sebanyak 16 responden. Penyelenggaraan wartel masih diminati oleh para remaja dan para orang tua, oleh karena itu u keberadaan wartel perlu dilestarikan dan ditingkatkan fitur layanannya, sehingga, menarik bagi seluruh lapisan masyarakat.

Bila dilihat dari tingkat pekerjaan pengguna wartel didominasi oleh tingkat pekerjaan pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, hal ini berarti pengguna wartel terbesar adalah pelajar, mahasiswa, dan para ibu rumah tangga. Oleh karena itu keberadaan wartel masih cukup diminati bagi para pelajar, dan kaum ibu-ibu.

Menurut pendapat responden pengguna warung telekomunikasi, memang sebagian besar mereka kurang berminat untuk menggunaka wartel, hal ini dikarenakan oleh tarif wartel agak mahal, jika dibanding dengan tarif telepon seluler, dan selain itu penggunaan telepon seluler lebih efisien dan praktis, serta fitur layanan sangat banyak dan dapat digunakan dimana saja. Penggunaan wartel apabila dalam keadaan terpaksa, seperti baterei hand phone habis, hand phone ketinggalan dan lain-lain.

4. STARATEGI / KEBIJAKAN WARTEL

Beberapa strategiUpaya dalam mengatasi permasalahan tersebut, yaitu :

1. Inovasi Teknologi

Dapat dilakukan dengan cara menggunakan teknologi Voice over Internet Protocol, (VoIP), dengan menggunakan teknologi VoIP ini, maka masyarakat dapat menghemat pemakaian sebesar 85%

2. Strategi memperluas usaha

Dengan menurunnya penghasilan wartel, agar usaha wartel tetap berjalan perlu dilakukan upaya pengembangan usaha dengan cara, memperluas usaha tambahan, seperti membuka rental pengetikan, internet, menjual voucher, membuka toko minuman, dll.

1. Strategi pengembangan teknologi.

Dengan menggaungkan jaringanCDMA dan GSM, sehingga penyelenggara wartel bisa membeli pulsa dengan harga jauh lebih murah, yang pada akhirnya membuat laba yang lebih besar bagi penyelenggara wartel, sehingga akan lebih efisien di dalam pengaturan biaya usahanya, jaringan CDMA dan GSM memiliki cakupan zona lokal lebih luas.

F. KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN

a. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 05/PER/M.KOMINFO/i/2006, tentang Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi sebagaimana tertuang dalam pasal 16, menyatakanbahwa Penyelenggara wartel dapat memungut langsung biaya jasa telekomunikasi kepada pengguna wartel, sesuai ketentuan tarif jasa telekomunikasi yang berlaku, ditambah dengan tarif pelayanan sebanyak-banyaknya 15 %. Pada kenyataannya penyelenggaraan wartel belum sepenuhnya menjalankan amanah ketentuan tersebut, hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran akan memberatkan pelanggan/pengguna wartel dan akan berdampak langsung terhadap pendapatan wartel.

b. Penyebab penurunan pendapatan wartel dikarenakan oleh semakin banyaknya masyarakat yang memiliki telepon seluler, tarif wartel lebih mahal dari tarif telepon seluler, serta padatnya penyelenggaraan wartel.

c. Hampir seluruh penyelenggara wartel mengeluh mengenai pendapatan yang diterimanya pada saat ini, tidak seperti masa lalu, pendapatan wartel demikian tinggi bisa mencapai Rp. 15.000.000,- perbulan, akan tetapi pada saat sekarang ini hanya Rp. 1.000.000,- sampai dengan Rp. 1.500.000,- perbulan, bahkan kadangkala dibawah Rp. 1.000.000,-

d. Bila dilihat dari sisi perbandingan tarif, antara tarif wartel dan tarif telepon seluler, sebagaian besar mayarakat menyatakan bahwa tarif wartel lebih mahal dari tarif telepon seluler.

2. SARAN

a. Hendaknya setiap kebijakan dalam penyelenggaraan warung telekomunikasi, pengguna jasa wartel tidak lagi dibebankan dengan biaya lainnya, seperti adanya tarif pelayanan, mengingat situasi dan kondisi penyelenggaraan wartel pada saat sekarang ini kurang menguntungkan, pembebanan biaya akan berdampak terhadap akan semakin mahalnya tarif wartel, dan dikhawatirkan wartel akan semakin ditinggalkan oleh penggunanya.

b. Mengenai komisi pembagian wartel perlu diatur oleh Pemerintah dengan memperhatikan kedua belah pihak operator dan penyelenggara wartel, saat ini pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian kerjasama antara pengusaha wartel dan penyelenggara jaringan yang dirasakan oleh penyelenggara wartel untuk untuk kepentingan sepihak, oleh karena itu pemerintah sebagai pembina, perlu menentukan suatu kebijakan tentang pola bagi hasil yang adil, sehingga untuk masa yang akan datang wartel akan berjalan secara berkesinambungan.

c. Untuk menjaga kesinambungan penyelenggaraan wartel diperlukan diperlukan suatu upaya pengembangan usaha, seperti ; membuka usaha internet, penjualan voucher kartu telepon, rental, dsb.

d. Memanfaatkan teknologi CDMA, sehingga penyelenggara wartel dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke lain, sesuai dengan yang diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor : 36 Tahun 1999, tentang Telekomunikasi

Peraturan Pemerintah Nomor : 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.

Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan telekomunikasi Nomor : KM.101/PT.102/MPPT-89 tentang Pedoman Pengaturan Partisipasi Badan Lain Dalam Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi.

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 54 Tahun tetang Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi.

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.78 Tahun 1998, tentang Pembagian Pendapatan/Komisi Atas Penyelenggaraan Jasa Warung Telekomunikasi.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 05/PR/M.KOMINFO/I/2006, tentang Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 08?Per/M.KOMINFO/02/2006, tentang Interkoneksi.

Keputusan Direktur Jenderal Pos dan Teleomunikasi Nomor : 160/Direktur Jenderal/1998, tentang Ketentuan Pelaksanaan Penyelenggaraan Warung Telekomunikasi.

Metode Penelitian Survei, Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, LP3ES,1989.

Seri Panduan Praktis, Wartel dan Peluang Bisnis, H.A. Sofyan Sjadeli, Dip.M.Mgt, Drs. Slamet, P.T. Apwindo, 2000.

Studi Tentang Standar Pelayanan Warung Telekomunikasi, Puslitbang Pos dan Telekomunikasi, 2001.

Lokasi Suvey ; Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung dan Banten

Penulis : Marhum Djauhari dan Rachmat Shaleh.

Sumber:http://balitbang.depkominfo.go.id/2009/03/25/dampak-peningkatan-pengguna-telepon-seluler-terhadap-eksistensi-penyelenggaraan-warung-telekomunikasi/

Monday, July 27, 2009

jBatik, Persembahan Teknologi untuk Batik

Pertengahan November tahun lalu, pada perlombaan bergengsi teknologi informasi tingkat Asia Pasifik, jBatik memenangi penghargaan utama dalam kategori tourism & hospitality. Batik Fractal merupakan desain batik yang dibuat menggunakan konsep fraktal. Yun Hariadi.

Ket Foto: Panel sebelah kanan merupakan tempat untuk memasukkan variabel dan rumus. Panel tersebut juga dilengkapi dengan pustaka yang berisi rumus-rumus sederhana untuk menghasilkan desain Batik Fractal. Pada panel bagian atas terdapat alat ukur dimensi fraktal untuk mengukur tingkat fraktal hasil desain Batik Fractal tersebut.

jBatik merupakan perangkat lunak untuk menghasilkan desain Batik Fractal. Berdasarkan asal kata, jBatik merupakan gabungan dua kata: java dan batik. Java mengacu pada bahasa pemrograman yang digunakan membuat perangkat lunak jBatik.

Munculnya Batik Fractal tak terlepas dari penelitian penulis dan rekan yang membuktikan hadirnya fraktal dalam batik (Kompas, 10/3). Sifat fraktal pada batik memberi inspirasi untuk menciptakan desain-desain batik secara otomatis dengan menggunakan persamaan atau konsep fraktal melalui alat bantu jBatik.

Fraktal merupakan konsep matematika yang membahas kesamaan pola pada semua skala. Secara sederhana, kehadiran fraktal ditandai oleh adanya perulangan pola atau kesamaan diri (self-similarity) pada skala yang berbeda-beda atas suatu obyek. Pohon cemara merupakan contoh sederhana hadirnya fraktal di alam. Jika kita bandingkan struktur atau pola pohon cemara dengan struktur dahannya, akan didapat pola yang sama.

Salah satu cara untuk mengukur tingkat fraktal suatu benda adalah dengan menggunakan dimensi fraktal. Perbandingan dimensi fraktal antara batik dan lukisan kubisme karya Picasso menunjukkan sifat yang khas pada setiap karya seni tersebut. Kubisme taat dengan dimensi 3, sedangkan batik taat dengan dimensi 1,5. Hal ini menunjukkan bahwa motif batik tidak cukup digambarkan oleh benda berdimensi 1, tetapi berlebihan jika digambarkan oleh benda berdimensi 2. Motif batik berada di antara benda berdimensi 1 dan 2—ini menunjukkan, batik mengandung unsur fraktal.

Faktor yang berperan besar menghadirkan fraktal pada batik adalah teknik dekorasi yang berhubungan dengan makna simbolis pada batik, yaitu isen. Dalam membatik, terdapat proses yang disebut isen, yaitu mengisi motif besar dengan motif kecil tertentu yang sesuai.

Alam membentuk fraktal di dalam tubuh manusia (struktur kromosom, susunan DNA) hingga di luar tubuh manusia (bentuk aliran sungai, badai matahari). Namun, manusia juga membentuk fraktal pada hasil budayanya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Fraktal secara tidak sengaja telah hadir di artefak-artefak budaya masa lalu (Maya dan Aztec), juga pada masa kini (peralatan suku di Afrika, batik, dan pada lukisan Pollock.

Berkat pemahaman konsep fraktal dalam teori chaos, pada masa kini fraktal digunakan secara sengaja untuk beragam kepentingan, misalnya, untuk menciptakan file gambar berukuran lebih kecil (bidang komputer), untuk membedakan kondisi gagal jantung dengan jantung normal, mendeteksi kehadiran tumor dan parkinson (bidang kedokteran), untuk menandai kemurnian baja dan kemurnian berlian (bidang material), melakukan peramalan saham (bidang keuangan), serta untuk menandai keunikan retina mata (bidang keamanan).

Sengaja fraktal

Sebagai alat bantu, jBatik diciptakan untuk menghasilkan desain Batik Fractal yang berpotensi memiliki variasi desain tak hingga. Untuk menciptakan variasi desain tak hingga ini, jBatik secara sengaja menggunakan konsep fraktal. Ini sejalan dengan penggunaan fraktal secara sengaja pada teknologi-teknologi mutakhir saat ini. Kesengajaan penggunaan fraktal dalam jBatik ditunjang kenyataan bahwa terdapat fraktal pada batik. Dalam hal ini, jBatik berupaya memberi sumbangan teknologi terhadap batik.

Program jBatik versi pertama merupakan hasil kolaborasi PixelPeopleProject dengan IGOS Center Bandung. Untuk kali pertama, jBatik ini dipamerkan pada pameran Batik Fractal pertengahan Mei 2008 di Bandung.

Salah satu hasil desain Batik Fractal tersebut meraih penghargaan UNESCO. Selain itu, jBatik juga mengikuti beraneka kompetisi teknologi informasi. Di tingkat lokal jBatik memenangi INA-ICTA 2008 dan di tingkat Asia Pasifik jBatik memenangi APICTA 2008.

Kemenangan itu mendorong untuk merombak total jBatik versi pertama menjadi jBatik v2.0. Dengan bantuan USAID-Senada, jBatik mengalami perubahan total dan menjadi perangkat lunak Batik Fractal. Kini jBatik mengalami pengembangan dalam menciptakan desain Batik Fractal hingga berdimensi tiga, dilengkapi dengan pengukur dimensi fraktal dan kemampuan untuk membuat desain dalam desain.

Alat bantu

Kebutuhan untuk menciptakan perangkat lunak Batik Fractal berawal dari keinginan untuk memperkenalkan konsep fraktal secara lebih mudah kepada masyarakat dan khususnya pembatik. Dengan ini, jBatik diharapkan dapat memberi sumbangan dalam menghasilkan beraneka variasi desain yang nyaris tak hingga. Dengan mengubah beberapa parameter pada panel jBatik, akan dihasilkan desain batik yang berbeda-beda.

Program jBatik dirancang dan diciptakan secara khusus untuk menghasilkan desain Batik Fractal, yaitu desain yang dibuat semirip mungkin dengan desain batik tradisional menggunakan konsep fraktal. Tentu ada masalah serius dalam penentuan semirip mungkin ini.

Salah satu upaya jBatik agar hasilnya semirip mungkin dengan desain batik tradisional adalah dengan membuat algoritme yang mengandung: penggolongan motif batik (motif: tumbuhan, parang, geometri), mengenali unsur-unsur batik (misal: ornamen utama dan isen), serta perhitungan dimensi fraktal yang berperan sebagai alat ukur terhadap tingkat fraktal batik.

Program jBatik sebagai perangkat lunak desain Batik Fractal sangat berbeda dengan perangkat lunak desain grafis pada umumnya, seperti Adobe Photoshop ataupun CorelDRAW. Perbedaan terletak pada kekhususan fungsi jBatik untuk membuat desain batik dan kekuasaan otonom pengguna terhadap perangkat lunak itu.

Jika pada Adobe Photoshop dan CorelDRAW pengguna memiliki kekuasaan penuh terhadap perangkat lunaknya—pengguna bisa sesuka hati membuat desain grafis dari kurva atau garis, pada jBatik pengguna tidak memiliki kekuasaan penuh. Lantas siapa yang memiliki kekuasaan penuh untuk menyelesaikan desain batik pada jBatik? Jawabannya adalah: algoritme program jBatik sendiri.

Jika pada perangkat lunak desain grafis pada umumnya menggunakan masukan: titik, garis, dan kurva, tetapi pada jBatik masukan tersebut berubah menjadi bentuk rumus matematika sederhana: L System.

Dengan rumus ini, titik garis dan kurva diterjemahkan menjadi variabel rumus. Selanjutnya hubungan antarmasukan tersebut akan diterjemahkan oleh L System menjadi suatu gambar tertentu.

Ini mungkin terlihat memperumit desain grafis, tetapi langkah ini perlu dilakukan untuk mendapatkan tak hingga variasi desain Batik Fractal.

Secara sederhana, pengguna menuliskan masukan x dan suatu fungsi sederhana f(x) dan selanjutnya jBatik akan menyelesaikan sendiri gambar dari y>f(x). Tentu saja perubahan sedikit pada nilai x akan menyebabkan perubahan drastis keluaran y. Pada tahap ini pengguna tidak memiliki kuasa mengontrol hasil desain Batik Fractal. Namun, hal ini memberi peluang membuat variasi desain fraktal tak hingga.

Mungkin penjelasan dalam tulisan ini terlihat rumit. Dalam praktik di lapangan, penggunaan jBatik tidak serumit yang dituliskan ini. Program ini telah diperkenalkan kepada beberapa pembatik tradisional di Pekalongan. Program ini diluncurkan 27 Mei 2009 lalu di Paris Van Java, Bandung, Jawa Barat, dilengkapi dengan demonstrasi dan diskusi.

Tentu saja jBatik sebagai sebuah upaya memperkaya khazanah batik kita masih jauh dari sempurna. Dibutuhkan peran serta pembatik, seniman, matematikawan, ilmuwan, dan pencipta program untuk bisa menempatkan jBatik sebagai salah satu alat bantu pada batik yang kelak sejajar dengan canting.

Penulis: YUN HARIADI Peneliti di Pixel PeopleProject

Senin, 27 Juli 2009 | 03:26 WIB

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/27/03261714/jbatik.persembahan.teknologi.untuk.batik

Monday, July 20, 2009

Dokumentasi Hasil Penelitian Diabaikan

Pencatatan yang sistematis terhadap peneliti di Indonesia, baik berupa karya-karya ilmiah, identifikasi personal, maupun pergerakan personalnya ke luar negeri, masih diabaikan. Pemerintah tidak mampu menangani dunia penelitian karena tidak menempatkan penelitian sebagai hal penting.

”Mind set atau pola pikir menempatkan penelitian guna mencari bukti dan kebenaran belum tumbuh,” kata Jossy P Moeis, peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Senin (13/7) di Jakarta. Ia menanggapi pernyataan Direktur Kelembagaan Departemen Pendidikan Nasional Hendarman yang menyebut 600 peneliti Indonesia memilih bekerja di luar negeri. (Kompas, 13/7).

Hasil penelitian tidak digunakan untuk perbaikan pada masa depan, baik dari sisi kebijakan maupun sistem. Menurut Jossy, ketiadaan pola pikir menghargai pentingnya penelitian tersebut merembet pada kurangnya penyediaan dana, fasilitas, dan insentif untuk peneliti. Fasilitas dasar untuk pencarian literatur dan data, misalnya, sangat terbatas.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal mengatakan, peneliti-peneliti Indonesia yang berada di luar negeri dan tidak kembali lagi untuk kurun waktu lama karena tahu apa yang hendak dilakukan dalam bidang penelitiannya di negara tersebut.

Untuk bisa membuat peneliti Indonesia itu bermanfaat bagi bangsa dan negara, mereka perlu diperhatikan dan diberi kesempatan untuk mengaplikasikan ilmunya di Tanah Air.

”Untuk peneliti dari perguruan tinggi yang kemudian menetap dan terlibat dalam kegiatan penelitian di luar negeri, Depdiknas sudah meminta setiap rektor perguruan tinggi mendesain cara kembali dan apa yang kemudian bisa dilakukan mereka,” kata Fasli Jalal.

Menurut Fasli, setidaknya enam bulan sebelum kembali lagi ke kampus, para rektor itu sudah mempersiapkan tugas dan pekerjaan bagi para peneliti yang akan kembali ke Tanah Air.

Indikator Iptek Nasional

Pada Indikator Iptek Nasional yang dibukukan terakhir oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2008 mengenai survei Penelitian dan Pengembangan Sektor Perguruan Tinggi 2007 juga tidak diperoleh pencatatan secara sistematis kondisi para peneliti. Lebih-lebih data para peneliti yang diberi kesempatan memperluas pengalaman dan keahlian ke luar dan tidak kembali lagi ke Tanah Air.

”Alasan para peneliti kita di luar negeri karena merasa jaminan terhadap diri peneliti sendiri dan keluarga di luar negeri jauh lebih dihargai sehingga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan apabila harus kembali ke Tanah Air,” kata Siti Meiningsih dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek LIPI.

Menurut Meiningsih, rendahnya jaminan terhadap peneliti di Tanah Air juga diperlihatkan sedikitnya peneliti asing yang terlibat di perguruan tinggi negeri (PTN). PTN Indonesia saat ini memiliki 30.569 peneliti, tersebar sebanyak 7.611 peneliti di 144 fakultas, 13.281 peneliti di 33 lembaga penelitian, 8.164 peneliti di 36 lembaga pengabdian masyarakat, dan 1.513 peneliti di 14 politeknik.(INE/ELN/NAW)

Jakarta, Kompas - Selasa, 14 Juli 2009 | 04:48 WIB
Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/14/04484355/dokumentasi.hasil..penelitian.diabaikan

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...