Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Monday, July 20, 2009
RUU LINGKUNGAN: Amdal Perlu Diperkuat di Lapangan
”Amdal selama ini tak dijadikan instrumen penting karena banyak hal. Mata rantai amdal perlu diperbaiki,” kata wakil dari Universitas Diponegoro, Sudharto P Hadi, dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi VII DPR di Jakarta, kemarin. Selain Undip, hadir wakil dari Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Padjajaran. Satu-satunya yang tidak datang adalah wakil dari Universitas Indonesia.
Menurut Sudharto, mata rantai tersebut mulai dari perencanaan, penyusunan, hingga pemantauan. Selama ini amdal berhenti pada dokumen dengan pemantauan lemah.
Pelanggaran fatal, yaitu mulai dari praktik menyalin amdal hingga tak menerapkannya, tidak ada sanksi. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan masif di seluruh Indonesia.
”Selama RUU PLH ini tak kuat mengaturnya, UU baru itu tak akan berbeda dengan UU No 23/1997,” kata Kepala Pusat Studi Lingkungan UGM Eko Sugiarto, yang belasan tahun menangani isu lingkungan di lapangan.
Ia mengusulkan perubahan kalimat ”wajib memiliki dokumen amdal untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan” pada Pasal 14 (1). Kata ”memiliki” tanpa penegasan mengharuskan penerapannya di lapangan dengan ancaman sanksi dipastikan tidak akan efektif, seperti selama ini.
Daya dukung terlampaui
Kajian lingkungan terbaru di bawah Menko Perekonomian menunjukkan, daya dukung lingkungan Pulau Jawa sudah terlampaui. Sebanyak 13 UU yang mengatur sumber daya alam tumpang tindih dan saling menegasikan.
”UU yang kuat sangat dibutuhkan melihat kondisi sekarang. Namun, jangan sampai waktu pembahasan yang terbatas justru jadi masalah pada kemudian hari,” kata Rektor IPB Herry Suhardiyanto.
Wakil dari ITS menilai saatnya ada UU lingkungan yang tak menakut-nakuti iklim investasi, tetapi bukan berarti lemah.(GSA)
Jakarta, Kompas - Kamis, 16 Juli 2009 | 04:25 WIB
Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/16/04254545/amdal.perlu.diperkuat.di.lapangan
ENERGI TERBARUKAN: Panas Bumi Masih Problematik
”Tuntutan mereka, pengeboran sampai menjadi sumur panas bumi menjadi tanggung jawab pemerintah,” kata Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Arya Rezavidi, Senin (13/7) di Jakarta.
Arya mengatakan, tahap pengeboran panas bumi memiliki risiko ketidakpastian yang membuat swasta tidak tertarik untuk menanamkan investasi pada tahap ini. Padahal, pengembangan pembangkit listrik 10.000 MW merupakan program percepatan yang diharapkan didukung penuh swasta.
”BPPT mendorong supaya pemerintah yang mengambil peran dalam eksplorasi atau pengeboran sampai menjadi sumur panas bumi siap kelola,” kata Arya.
Mengenai harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga panas, menurut Arya, estimasi pihak swasta terhadap harga listrik panas bumi masih lebih tinggi daripada harga listrik PLN yang menggunakan sumber energi bahan bakar fosil.
”Produksi listrik dari panas bumi sekitar 6-8 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh), sedangkan produksi listrik PLN masih di bawahnya, berkisar 4-5 sen dollar AS pe kWh. Perbedaan harga ini membutuhkan kesepakatan dan pemerintah sudah menyerahkan kepada PLN untuk bernegosiasi dengan investor,” kata Arya.
48 persen panas bumi
Berdasarkan data yang dikemukakan Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Witoro Soelarno, program pengembangan pembangkit listrik 10.000 MW akan dipenuhi dengan tenaga panas bumi sebesar 48 persen atau 4.733 MW. Selebihnya, batu bara sebesar 40 persen dan tenaga hidro 12 persen.
Indonesia memiliki potensi panas bumi untuk membangkitkan listrik sebesar 27.000 MW dan potensi ini terbesar di dunia. Namun, yang dimanfaatkan baru sekitar 1.000 MW.
Untuk pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap kedua, Departemen ESDM sudah menetapkan 22 satuan wilayah kerja pertambangan panas bumi untuk persiapan lelang.
Sebanyak enam wilayah kerja pertambangan telah dilelang, yaitu meliputi wilayah kerja pertambangan Gunung Tampomas (Sumedang-Subang), Cisolok-Cisukarame (Sukabumi), Tangkuban Perahu (Subang-Bandung-Purwakarta), Jailolo (Halmahera Barat), Sokoria (Ende, Nusa Tenggara Timur), dan Jaboi (Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam).
Menurut Arya, setiap perusahaan swasta hanya berminat pada investasi pembangkit listrik tenaga panas bumi skala besar di atas 10 MW. ”Padahal, tidak sedikit panas bumi skala kecil yang harus dimanfaatkan pula,” kata Arya. (NAW)
Jakarta, Kompas - Selasa, 14 Juli 2009 | 05:09 WIB
Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/14/05091740/panas.bumi..masih.problematik
Dokumentasi Hasil Penelitian Diabaikan
”Mind set atau pola pikir menempatkan penelitian guna mencari bukti dan kebenaran belum tumbuh,” kata Jossy P Moeis, peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Senin (13/7) di Jakarta. Ia menanggapi pernyataan Direktur Kelembagaan Departemen Pendidikan Nasional Hendarman yang menyebut 600 peneliti Indonesia memilih bekerja di luar negeri. (Kompas, 13/7).
Hasil penelitian tidak digunakan untuk perbaikan pada masa depan, baik dari sisi kebijakan maupun sistem. Menurut Jossy, ketiadaan pola pikir menghargai pentingnya penelitian tersebut merembet pada kurangnya penyediaan dana, fasilitas, dan insentif untuk peneliti. Fasilitas dasar untuk pencarian literatur dan data, misalnya, sangat terbatas.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal mengatakan, peneliti-peneliti Indonesia yang berada di luar negeri dan tidak kembali lagi untuk kurun waktu lama karena tahu apa yang hendak dilakukan dalam bidang penelitiannya di negara tersebut.
Untuk bisa membuat peneliti Indonesia itu bermanfaat bagi bangsa dan negara, mereka perlu diperhatikan dan diberi kesempatan untuk mengaplikasikan ilmunya di Tanah Air.
”Untuk peneliti dari perguruan tinggi yang kemudian menetap dan terlibat dalam kegiatan penelitian di luar negeri, Depdiknas sudah meminta setiap rektor perguruan tinggi mendesain cara kembali dan apa yang kemudian bisa dilakukan mereka,” kata Fasli Jalal.
Menurut Fasli, setidaknya enam bulan sebelum kembali lagi ke kampus, para rektor itu sudah mempersiapkan tugas dan pekerjaan bagi para peneliti yang akan kembali ke Tanah Air.
Indikator Iptek Nasional
Pada Indikator Iptek Nasional yang dibukukan terakhir oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2008 mengenai survei Penelitian dan Pengembangan Sektor Perguruan Tinggi 2007 juga tidak diperoleh pencatatan secara sistematis kondisi para peneliti. Lebih-lebih data para peneliti yang diberi kesempatan memperluas pengalaman dan keahlian ke luar dan tidak kembali lagi ke Tanah Air.
”Alasan para peneliti kita di luar negeri karena merasa jaminan terhadap diri peneliti sendiri dan keluarga di luar negeri jauh lebih dihargai sehingga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan apabila harus kembali ke Tanah Air,” kata Siti Meiningsih dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek LIPI.
Menurut Meiningsih, rendahnya jaminan terhadap peneliti di Tanah Air juga diperlihatkan sedikitnya peneliti asing yang terlibat di perguruan tinggi negeri (PTN). PTN Indonesia saat ini memiliki 30.569 peneliti, tersebar sebanyak 7.611 peneliti di 144 fakultas, 13.281 peneliti di 33 lembaga penelitian, 8.164 peneliti di 36 lembaga pengabdian masyarakat, dan 1.513 peneliti di 14 politeknik.(INE/ELN/NAW)
Jakarta, Kompas - Selasa, 14 Juli 2009 | 04:48 WIB
Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/14/04484355/dokumentasi.hasil..penelitian.diabaikan
Hijaunya BNI Hijaunya Negeri
BNI go green? Wow..emangnya bisa? Inilah pertanyaan yang sering kita dengar baik disampaikan oleh kalangan pegawai sendiri maupun oleh orang luar. Jawabannya adalah mengapa tidak bisa? Dimulai sejak era Dirut Sigit Pramono, momen bersejarah dimulai ketika tanggal 15 Desember 2005, BNI menandatangani kesepakatan dengan UNEP-FI (salah satu organ PBB dengan singkatan United Nation Environment Programme for Finance Initiative) untuk menerapkan bisnis dan investasinya dengan memperhatikan keberlanjutan (sustainability) dan kelestarian lingkungan.
Bahkan setelah ini, pada Desember 2007 BNI juga dipercaya sebagai official bank dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB Perubahan Iklim (United Nations – Climate Change Conference), di Bali. Mengapa BNI perlu melakukan pendekatan bisnis berwawasan lingkungan? Karena ternyata di balik isu-isu lingkungan terpendam besarnya potensi pembiayaan bank dalam menghadapi isu ini. Beberapa isu besar dalam perubahan iklim, diantaranya emisi gas rumah kaca, peningkatan karbon, krisis energi dan peningkatan permukaan air laut. Selain berperan di UNCCC 2007, BNI juga ditunjuk lagi oleh PBB menjadi official bank pada Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado bulan Mei 2009. Apa yang diminta oleh PBB pada beberapa kali kesempatan dapat menjadi inspirasi lembaga lainnya dan tentunya masyarakat luas bahwa komitmen BNI telah diakui sebagai layaknya sebuah prestasi yang tidak diklaim oleh internal bank tapi mendapatkan pengakuan dari pihak luar bahkan internasional.
Bahkan pada tanggal 02 Juli 2009 lalu, BNI berkomitmen lagi menjadi satu-satunya bank dalam negeri yang akan mendukung proyek Clean Development Mechanism (CDM). CDM merupakan program yang diluncurkan pada Perjanjian Kyoto untuk memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang mampu menurunkan tingkat emisi karbon.
Inspirasi Hijau: Produk KPR
Mau bukti? Ini bisa kita lihat dari produk KPR BNI Griya yang menerapkan konsep hijau dan asri bagi perumahan-perumahan yang didanai oleh BNI. Konsep BNI Griya juga melibatkan partisipasi beberapa pihak seperti kalangan developer (jumlahnya mencapai 1.000 developer) dan ikatan arsitek Indonesia. BNI juga membuat Buku panduan hijau yang memuat kiat-kiat praktis dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari yang bisa dilakukan dalam mengupayakan hidup lebih sehat dan nyaman, tetapi juga berdampak besar dalam mencegah perubahan iklim yang sedang terjadi.
Salah satu informasi dalam buku panduan hijau ini adalah bahwa ternyata perumahan dan berbagai bangunan lainnya merupakan sumber emisi gas rumah kaca. Bangunan menyumbang 7,9% emisi global gas rumah kaca dan jika faktor penggunaan listrik dimasukkan, angka ini membengkak menjadi 33% dari total emisi global pada tahun 2004. Ini disebabkan konsumsi energi bangunan begitu besar terutama untuk aktifitas operasional seperti penggunaan AC, penerangan, pemanas air atau peralatan berbasis listrik. Maka dari itu untuk menekan emisi gas rumah kaca ini adalah dengan meningkatkan efisiensi energi pada bangunan. Menurut UNEP Sustainable Construction and Building Initiative, bangunan mengkonsumsi sekitar 30-40% dari total energi global. Dengan menggunakan teknologi yang ada dan dalam waktu singkat, konsumsi energi bangunan baru maupun lama dapat dipotong 30-50% tanpa peningkatan biaya investasi yang nyata (Sumber: UNEP Sustainable Construction and Building Initiative).
Inspirasi Hijau: Layanan paperless e-billing BNI
Selain untuk perumahan dalam skema pembiayaan KPR, ternyata inspirasi hijau BNI juga menular kepada pemegang kartu kredit BNI. Melalui fasilitas e-billing (tagihan dikirimkan ke nasabah via e-mail dalam bentuk file pdf) dan billing two in one (tagihan visa dan master yang beralamat sama digabungkan dalam satu amplop) maka BNI juga melakukan efisiensi kertas dan mengurangi emisi karbon. Mengapa demikian? Karena BNI Card Center saja setiap bulan rata-rata mencetak sebanyak 600.000 kertas lembar tagihan atau sama dengan 1200 rim kertas A4 (1 rim = 500 lembar). Sementara 1 (satu) batang pohon berusia 5 tahun setara dengan 1 rim jenis kertas A4. Melalui e-billing dan billing two in one tersebut, BNI dapat menghemat secara total sebesar 80 rim kertas A4 per bulan (7% dari kebutuhan bulanan). Dengan kata lain, secara sustainability BNI telah menghemat sebanyak 80 pohon per bulan atau 960 pohon per tahun! Bahkan untuk billing two in one BNI juga mengurangi efek emisi karbon dari kendaraan kurir BNI karena mereka tidak harus bolak-balik mengirimkan lembar tagihan ke alamat yang sama.
Inspirasi untuk Hijaunya Negeri
Selain hal-hal di atas BNI juga terlibat aktif dalam penanaman pohon di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu bukankah karya-karya BNI demi lingkungan dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia dan bagi masyarakat khususnya nasabah BNI? Andalah yang berhak menilainya.
Penulis: Leonard Tiopan Panjaitan/NPP: 23348, email: leonardpanjaitan@gmail.com
Revisi Pasal 65 UU No 23/2007 demi Menyelamatkan Bumi
"Pasal 65 UU Pengelolaan LH itu perlu direvisi dengan pembentukan Komisi Independen karena semula Pasal 65 melahirkan kebijakan bahwa pelaku usaha diberikan kewenangan sendiri untuk membuktikan usahanya tidak merusak lingkungan," kata Chalid Muhammad dari Institut Hijau di Gedung DPR RI Jakarta.
Permintaan tersebut mengemuka dalam rapat dengar pendapat 10 organisasi nonpemerintah (ornop) peduli lingkungan dengan anggota Komisi VII DPR-RI di Gedung DPR RI di Jakarta.
Kesepuluh ornop yang turut mendesak agar legislatif memberikan masukan revisi UU No 23 Tahun 2007. Sementara LSM HUMA, WALHI, ICEL, KEHATI, Institut Hijau, Kiara, Green Peace Indonesia, Sawit Wacht, dan Perwatu menggagas pembuatan RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru.
Menurut Chalid, Pasal 65 dalam UU No 23 Tahun 2007 tersebut sangat mengganjal karena perusahaan akan tetap bebas dari kegiatan ganti rugi, jika pelaku usaha membuktikan sendiri bahwa kerusakan lingkungan tersebut akibat bencana alam dan bukan akibat aktivitas usaha mereka.
"Kami berharap Komisi VII DPR RI merevisi pasal tersebut, karena pasal itu bisa dimanipulasi pelaku usaha, sebab hanya berupa pembuktian sepihak oleh mereka sendiri," katanya.
Jika sebuah perusahaan telah melakukan perusakan lingkungan, untuk membuktikan perusahaan itu telah melakukan perusakan atau hanya karena bencana alam maka pembuktian itu harus berdasarkan rekomendasi independen Komisi LH.
Keberadaan Komisi Independen ini sangat memungkinkan jika dibuat dalam Keppres atau Perpres.
Sehubungan dengan adanya pertanyaan ke Komisi VII yang terkesan Dewan mengabaikan Pasal 65 itu, menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Sonny Keraf, mereka tidak punya niat untuk melindungi perusahaan pelaku perusak lingkungan seperti Lapindo.
"Tidak ada niat kami apa pun di belakang itu untuk melindungi Lapindo, namun pembuktian itu hanya karena pesan UU. Justru sebaliknya Dewan memiliki niat baik hingga menunda `reses` dan menggelar rapat dengar pendapat dengan 10 LSM," katanya.
Rapat tersebut dilaksanakan untuk merevisi UU No 23 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup karena UU itu tidak bisa menangani masalah lingkungan dengan baik.
Anggota Komisi VII Catur Sapto Edi dari Fraksi PAN mengatakan, sekarang bangsa ini memiliki banyak model permasalahan dan diyakini akan lebih banyak lagi pada masa datang.
Ornop perlu bersama-sama Dewan untuk memberikan pemikiran khususnya dalam membuat peraturan.
"Kerja sama itu diperlukan sebab tidak banyak orang yang peduli dengan persoalan lingkungan, dan pemegang kekuasaan pun punya pekerjaan jangka pendek dan tidak peduli terhadap masalah lingkungan. Masalah lingkungan kepentingannya bukan untuk hari ini saja melainkan juga untuk jangka panjang," katanya.
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...