Thursday, July 30, 2009

Dibangun, 1.744 Hektar Hutan Tanaman Rakyat

Hutan tanaman rakyat seluas 1.744 hektar mulai dibangun di Kecamatan Arut Utara dan Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. HTR ini dibangun di kawasan seluas 11.924 hektar yang dicadangkan Menteri Kehutanan untuk pelaksanaan program tersebut.

”Kotawaringin Barat merupakan satu di antara tiga kabupaten di Indonesia, selain Mandailing Natal (Sumatera Utara) dan Sarolangun (Jambi) yang mulai membangun HTR,” kata Kepala Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XII Kus Darmodjo di Palangkaraya, Rabu (29/7).

HTR adalah program Departemen Kehutanan yang digagas tahun 2007. Selain untuk merehabilitasi lahan kritis dan tidak produktif di kawasan hutan, program itu juga bertujuan memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar hutan.

Masyarakat diberi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) HTR di suatu kawasan oleh Bupati atas nama Menteri Kehutanan.

Masyarakat dapat menanam, memelihara, dan memetik hasil hutan dari pohon yang mereka tanam di kawasan HTR. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR itu berlaku selama 60 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 35 tahun. Tanaman pokok yang ditanam di HTR antara lain meranti, keruing, jati, sengon, sonokeling, akasia, durian, mahoni, dan kemiri.

Di sela tanaman pokok dapat ditanami tanaman sela (tumpang sari), seperti jagung atau padi, untuk menambah pendapatan. ”HTR di Kotawaringin Barat dikelola koperasi. Saat ini mereka sedang menyemaikan bibit, termasuk akasia,” kata Kus.

Dengan adanya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu HTR, kata Kus, masyarakat memiliki jaminan hukum dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan. ”HTR ini sekaligus dapat menjadi program terobosan dalam mengurangi lahan kritis yang ada di Kalteng,” katanya.

Berdasarkan data Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Kahayan dan BP DAS Barito, luas lahan kritis di Kalteng mencapai 9,5 juta hektar. (CAS)

Kamis, 30 Juli 2009 | 03:33 WIB

Palangkaraya, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/30/03333073/dibangun.1.744.hektar.hutan.tanaman.rakyat

Satelit Lapan A-1 Akan Pantau Kekeringan

Satelit penginderaan jauh telah terbukti andal dalam memantau gejala kekeringan atau dampak yang ditimbulkan. Untuk mengantisipasi gangguan cuaca pada musim kemarau, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional akan mengaktifkan mikrosatelit Lapan A-1 atau Lapan-TUBsat untuk memantau tutupan lahan dan titik api atau kebakaran lahan.

Ini disampaikan Deputi Bidang Teknologi Dirgantara Lapan Soewarto Hardhienata di sela-sela acara ”Diseminasi Perkembangan Teknologi Roket dan Satelit di Indonesia” di Kantor Pusat Lapan, Jakarta, Rabu (29/7).

Satelit Lapan A-1—yang dirancang bangun peneliti Lapan dan TU Berlin—beredar pada orbit pola melewati wilayah Indonesia tiga kali sehari, yaitu pagi, sore, dan malam. Hasil citra terbaik adalah pagi hari sekitar pukul 9.

”Satelit yang mengorbit sejak 10 Januari 2007 ini akan menghasilkan citra penginderaan jauh yang optimal pada musim kemarau ketika tidak banyak tutupan awan,” ujar Soewarto.

Selama beredar di Indonesia kamera satelit ini dapat diarahkan ke daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan. Daerah sentra industri padi, sumber air baku, seperti danau dan situ, juga akan menjadi obyek observasi, ujar Soewarto.

Sejak dua setengah tahun lalu Satelit Lapan A-1 dengan resolusi 5 meter telah digunakan mengambil gambar aktivitas Gunung Merapi dan Kelud serta tumpahan minyak di Selat Malaka.

Lapan A-2

Untuk meningkatkan cakupan observasi wilayah Indonesia secara mandiri, Lapan kini tengah menyelesaikan satelit Lapan A-2. Satelit generasi kedua ini akan beredar di orbit khatulistiwa dan memiliki jangkauan lebih lebar. Satelit baru ini juga telah dilengkapi dengan sistem global positioning system (GPS).

Peluncuran Satelit Lapan A-2 dan Lapan-Orari, lanjut Soewarto, akan ditumpangkan pada roket peluncur milik ISRO–India.

Menurut rencana peluncuran dua satelit tersebut akan dilaksanakan awal tahun 2011. Rencana semula adalah tahun depan. Menurut Soewarto, pihaknya akan menguji komponen voice repeater dan ADRS dengan meluncurkannya pada Roket Uji Muatan di Yogyakarta, Oktober mendatang.

Ditemui di Pusat Penginderaan Jauh Lapan, Pekayon, mantan Kepala Lapan Mahdi Kartasasmita menyatakan, teknologi penginderaan jauh dengan satelit akan terus dikembangkan, terutama dalam hal standardisasi kualitas dan operasional produk citra satelit.

”Saat ini, selain Lapan, telah ada beberapa instansi yang dapat memantau hot spot (titik panas),” lanjutnya. (YUN)

Kamis, 30 Juli 2009 | 04:46 WIB

Jakarta, Kompas - http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/30/04465570/satelit.lapan.a-1.akan.pantau.kekeringan

AIR UNTUK SEMUA

”Hujan membasahi permukaan Bumi. Apakah semua warga Bumi dapat menikmati air yang berasal dari hujan tersebut?” bunyi pertanyaan No. 31 dalam Ramsar Game, papan permainan yang dibuat untuk memperkenalkan pengetahuan tentang sumber, siklus, penggunaan dan perlindungan air. Ramsar sendiri diambil dari nama kota di Iran yang menjadi tuan rumah konvensi internasional tentang lahan basah pada 1971, dan sejauh ini telah ditandatangani 140 negara, termasuk Indonesia.

Papan permainan ini dikembangkan organisasi Ramsar, badan PBB untuk pendidikan UNESCO dan Danone-AQUA, disebarkan sejak 2006 ke 1.000 sekolah di Jawa, Bali dan Sumatra. Omong-omong, apa jawaban Anda untuk pertanyaan di atas? “Tidak?’ Tepat. Tanah pasir bebatuan tak bisa “menahan” air hujan.

Bekerja sama dengan LSM internasional, Action Contre La Faim, Danone-AQUA selama Maret 2007 — Juni 2008 membangun infrastruktur yang memperpendek jarak titik pengambilan air bagi penduduk setempat. Bersama ilmuwan setempat, penduduk dilibatkan untuk pemeliharaan, agar sarana ini terus tersedia. Jangan melulu menggantungkan pada proyek dadakan

Hal serupa dilakukan di tujuh desa di Pulau Buton dan Muna, Sulawesi Tenggara dengan sungai tadah hujan dan tanah bebatuan, sejak 2004. Air bersih dikelola oleh dan untuk masyarakat sendiri, walau awalnya dimotori LSM Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, untuk menjembatani pengungsi Maluku yang sebenarnya merupakan perantau dari kedua pulau itu, dengan penduduk setempat.

Kaum ibu dan bapak bahu-membahu, kaum ibu menanam bibit pohon besar di sekitar sumber air di perbukitan - masih ingat, satu pohon besar bisa menahan 10 liter air? Kaum bapak membangun distribusi dari sumber air dengan pipa besi ke desa (disponsori program), dan dari rumah ke rumah dengan paralon (biaya sendiri). Ada iuran bulanan untuk perawatan Rp 2.000,-/bulan untuk keluarga dengan anggota lebih dari 5 orang, dan Rp 1.000,-/bulan untuk keluarga kurang dan 5 orang.

Di Pulau Kelapa-Harapan, Kepeluan Seribu, Jakarta, penduduk harus menyediakan tangki besar air dengan corong kecil untuk menampung hujan yang turun sewaktu- waktu. Untungnya, sejak 2003, penduduk bisa menikmati air bersih lebih mudah. Dengan dana dari pengurangan subsidi BBM, Bina Marga buat instalasi penyulingan air laut dengan sistem Reverse Osmosis yang dikembangkan sejak l970-an. “Air RO,” kata orang pulau.

Prinsip kerjanya, pelarut pekat (air laut) dialirkan melalui sebuah membran (selaput penyaring) ke daerah lebih encer, dengan tekanan melebihi tekanan osmosis (mengalir dan pelarut encer ke pelarut pekat). Jadi, RO mendorong cairan pekat lewat selaput yang menangkap kepekatannya (garam) dan satu sisi, dan membiarkan air murni lewat. Hasilnya: air yang bisa langsung diminum tanpa dimasak! Untuk satu jerigen berisi 20 liter air, penduduk hanya membayar Rp 500,-. Bandingkan dengan harga air mineral botolan.

Hal-hal di atas membuat saya tersadar. Walau tak pernah benar-benar mengalami kesulitan air, kini saya kian berhemat. Misalnya, membiasakan diri mandi di atas baskom besar (untuk menampung sisa guyuran air, yang kelak digunakan untuk “minum” tanaman). O ya, siramlah tanaman di malam hari, untuk mengurangi penguapan.

Bagaimana dengan Anda?

Christantiowati HALAMAN HIJAU – INTISARI NO.530 / SEPTEMBER 2007 Hlm 110-111

AIR UNTUK SEMUA

”Hujan membasahi permukaan Bumi. Apakah semua warga Bumi dapat menikmati air yang berasal dari hujan tersebut?” bunyi pertanyaan No. 31 dalam Ramsar Game, papan permainan yang dibuat untuk memperkenalkan pengetahuan tentang sumber, siklus, penggunaan dan perlindungan air. Ramsar sendiri diambil dari nama kota di Iran yang menjadi tuan rumah konvensi internasional tentang lahan basah pada 1971, dan sejauh ini telah ditandatangani 140 negara, termasuk Indonesia.



Papan permainan ini dikembangkan organisasi Ramsar, badan PBB untuk pendidikan UNESCO dan Danone-AQUA, disebarkan sejak 2006 ke 1.000 sekolah di Jawa, Bali dan Sumatra. Omong-omong, apa jawaban Anda untuk pertanyaan di atas? “Tidak?’ Tepat. Tanah pasir bebatuan tak bisa “menahan” air hujan.



Bekerja sama dengan LSM internasional, Action Contre La Faim, Danone-AQUA selama Maret 2007 — Juni 2008 membangun infrastruktur yang memperpendek jarak titik pengambilan air bagi penduduk setempat. Bersama ilmuwan setempat, penduduk dilibatkan untuk pemeliharaan, agar sarana ini terus tersedia. Jangan melulu menggantungkan pada proyek dadakan



Hal serupa dilakukan di tujuh desa di Pulau Buton dan Muna, Sulawesi Tenggara dengan sungai tadah hujan dan tanah bebatuan, sejak 2004. Air bersih dikelola oleh dan untuk masyarakat sendiri, walau awalnya dimotori LSM Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, untuk menjembatani pengungsi Maluku yang sebenarnya merupakan perantau dari kedua pulau itu, dengan penduduk setempat.



Kaum ibu dan bapak bahu-membahu, kaum ibu menanam bibit pohon besar di sekitar sumber air di perbukitan - masih ingat, satu pohon besar bisa menahan 10 liter air? Kaum bapak membangun distribusi dari sumber air dengan pipa besi ke desa (disponsori program), dan dari rumah ke rumah dengan paralon (biaya sendiri). Ada iuran bulanan untuk perawatan Rp 2.000,-/bulan untuk keluarga dengan anggota lebih dari 5 orang, dan Rp 1.000,-/bulan untuk keluarga kurang dan 5 orang.



Di Pulau Kelapa-Harapan, Kepeluan Seribu, Jakarta, penduduk harus menyediakan tangki besar air dengan corong kecil untuk menampung hujan yang turun sewaktu- waktu. Untungnya, sejak 2003, penduduk bisa menikmati air bersih lebih mudah. Dengan dana dari pengurangan subsidi BBM, Bina Marga buat instalasi penyulingan air laut dengan sistem Reverse Osmosis yang dikembangkan sejak l970-an. “Air RO,” kata orang pulau.



Prinsip kerjanya, pelarut pekat (air laut) dialirkan melalui sebuah membran (selaput penyaring) ke daerah lebih encer, dengan tekanan melebihi tekanan osmosis (mengalir dan pelarut encer ke pelarut pekat). Jadi, RO mendorong cairan pekat lewat selaput yang menangkap kepekatannya (garam) dan satu sisi, dan membiarkan air murni lewat. Hasilnya: air yang bisa langsung diminum tanpa dimasak! Untuk satu jerigen berisi 20 liter air, penduduk hanya membayar Rp 500,-. Bandingkan dengan harga air mineral botolan.



Hal-hal di atas membuat saya tersadar. Walau tak pernah benar-benar mengalami kesulitan air, kini saya kian berhemat. Misalnya, membiasakan diri mandi di atas baskom besar (untuk menampung sisa guyuran air, yang kelak digunakan untuk “minum” tanaman). O ya, siramlah tanaman di malam hari, untuk mengurangi penguapan.



Bagaimana dengan Anda?



Christantiowati HALAMAN HIJAU – INTISARI NO.530 / SEPTEMBER 2007 Hlm 110-111

Tangkal Banjir dengan Biopori

Ada masalah klasik di kota besar tepi pantai maeam Jakarta: krisis air bersih. Saat kemarau kekeringan, masuk musim penghujan kebanjiran. Belum lagi aneaman merembesnya air laut karena terkurasnya air tanah. Ada tiga cara mengatasinya, yaitu dengan menanam mangrove (bakau), mengurangi pemanfaatan air tanah, dan memperluas resapan air. Dua yang terakhir mudah dilakukan kebanyakan warga.

Mengurangi pemanfaatan air tanah, misalnya dengan berlangganan ledeng. Sedangkan upaya memperluas resapan air adalah dengan membuat sumur resapan. Ini sudah keharusan, sebab sudah diatur melalui Perda 57/1996. Bahkan sumur resapan jadi syarat penerbitan izin mendirikan bangunan (1MB) di Jakarta sesuai Pergub 68 dan 112/2005 tentang lingkungan Hidup dan IMB.

Sumur resapan diharapkan bisa mengganti air tanah yang terkuras. Sampai saat ini, dan minimal satu juta yang dibutuhkan Jakarta, baru ada 29.000 sumur resapan. Berarti, kewajiban itu belum dipatuhi. Banjir tahunan dan banjir besar lima tahunan mengisyaratkan 75% air hujan di Jakarta mengalir di permukaan tak masuk ke tanah lewat sumur resapan. Belum lagi kiriman dari Bogor yang ditaksir menyumbang 30% banjir Jakarta.

Masalahnya, mengapa warga enggan membuat sumur resapan? Apakah karena secara teknis lebih sulit dibuat, mahal, khawatir terjadinya longsor, dan sulit dipenuhi di halaman warga yang kian menyempit? Solusi yang ditawarkan Kamir R Brata, pengajar Konservasi Tanah dan Air pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB, ini patut dilirik. Namanya biopori, dan mulai diperkenalkan di Bogor menjelang Hari Bumi 2007 dengan merintis 5.250 biopori di 21 kelurahan di enam kecamatan yang dikerjakan 4.000 relawan mahasiswa, pelajar, pramuka dan pegawai pemerintah.

Tiap biopori hanya bergaris tengah 10- 30 cm dengan kedalaman 80 - 120 cm atau disesuaikan jenis tanah. Selain sebagai sumur resapan, biopori bisa mengatasi satu lagi krisis warga: sampah. Sebab, biopori juga berfungsi sebagai tempat sampah organik (sampah basah seperti sisa makanan dan dedaunan). Lubang diisi 2 - 3 kg sampah organik sebagai bahan makanan cacing. Si hewan penggali tanah ini membantu biopori menjadi resapan air yang lebih baik.

Karena garis tengahnya tak besar, untuk mencegah orang atau hewan peliharaan terperosok cukup ditutup kawat jaring. Lubang kecil membuat air menyerap lebih cepat, karena air yang masuk sedikit dan menyebar. Sampah organik pun menyuburkan tanah. Sekali lagi, karena garis tengah biopori relatif kecil, jadi mudah dibuat di halaman rumah, pinggir jalan raya, maupun lahan yang tertutup perkerasan sekalipun, macam halaman parkir. Idealnya di lahan 100 m2 dibuat sekitar 24 lubang.

Bila tiap rumah menyisakan beberapa meter persegi untuk biopori, tentu lebih banyak air hujan meresap. Karena tak perlu banyak menggali tanah, biopori pun mudah dibuat hanya dengan bor tanah manual yang di pasaran hanya berkisar Rp 150.000,-Rp 300.000,- saja. Pengadaan bor pun bisa patungan, iuran warga, misalnya satu RT mempunyai satu bor yang bisa dipakai bergantian.

Tiap orang yang menggunakan air dan menghasilkan sampah wajib menjaga sumber airnya, dengan memungkinkan celah air meresap dan mengolah sampahnya sendiri. Nah, tunggu apa lagi? Ayo, buat biopori!

(Soehartono Soedargo/Ehrist, di Jakarta)

HALAMAN HIJAU / Intisari No.533/ DESEMBER 2007

Hlm 108 - 109

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...