Monday, August 17, 2009

Dalam Kepungan Kapitalisme Global

HUBUNGAN RI-MALAYSIA
Etnomusikolog Rizaldi Siagian agak masygul, kaget, sekaligus geram. Ketika membuka laman sebuah situs yang memuat berbagai video musik, ternyata sejumlah senandung lagu dalam tradisi ronggeng Melayu kini hak ciptanya sudah dikuasai salah satu raksasa industri rekaman ternama: Warner!

Dalam industri rekaman, kita tahu bahwa Warner itu perusahaan kapitalis global. Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang menjual dan siapa yang dijual?” kata Rizaldi tentang senandung lagu-lagu Melayu yang begitu akrab di telinga masa kecilnya saat masih di Medan tersebut.


Lewat ilustrasi ini, Rizaldi yang tampil sebagai salah satu narasumber dalam dialog kesejarahan Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, sesungguhnya ingin mengungkap bahwa ada persoalan lain yang jauh lebih serius dalam hubungan budaya antarbangsa serumpun ini. Sebuah persoalan yang tidak lagi sekadar bersifat lintas budaya antarnegara bertetangga.

Persoalan yang kini dihadapi bahkan sudah jauh melampaui isu seputar saling klaim produk budaya (baca: ekspresi seni), yang beberapa waktu lalu sempat mengganggu hubungan antarkedua bangsa. Taruhlah seperti tudingan Indonesia bahwa pihak Malaysia yang dinilai sudah mengklaim lagu Rasa Sayang Sayange, kesenian angklung yang diakui sebagai bamboo malay, hingga reog ponorogo dengan nama kesenian barong sebagai produk budaya mereka.

Temuan yang didedahkan Rizaldi jauh lebih dahsyat. Dalam kasus penguasaan hak cipta oleh salah satu raksasa industri rekaman milik perusahaan kapitalis global atas produk budaya masyarakat Melayu yang sudah tergolong public domain, yang mestinya tak ada satu institusi—bahkan negara sekalipun—berhak mengklaimnya, jelas bukan lagi sekadar masalah antarbangsa serumpun. Juga bukan masalah antar-individu Melayu sama Melayu.

”Ini masalah global. Yang diperjualbelikan adalah budaya kita (baca: Indonesia-Malaysia), kemudian kita diadu domba. Aspek ini yang ingin saya ingatkan dan seharusnya menjadi kepedulian kita bersama,” kata Rizaldi.

Dengan contoh kasus yang berbeda, Des Alwi—salah satu tokoh yang ikut berperan dalam proses ”normalisasi” hubungan Indonesia-Malaysia pascakonfrontasi antarkedua negara tahun 1960-an—juga mengingatkan adanya ”politik adu domba” gaya baru dari pihak ketiga, yang kini melibatkan kekuatan kapitalisme global. Oleh karena itu, kata dia, kekuatan-kekuatan modal asing—lewat tangan-tangan pemegang kekuasaan—yang ingin mengeruk kekayaan yang tersimpan di kawasan ini harus selalu diwaspadai.

Dalam kasus blok Ambalat, misalnya, kekuatan kapitalisme global jelas terlibat. Sebab, kata Des Alwi, sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di kawasan kaya potensi minyak dan terumbu karang tersebut, yang nyaris menimbulkan ”konfrontasi jilid II” antarakedua negara, sesungguhnya tak lain akibat ulah Inggris.

Demi keinginan sebuah perusahaan raksasa perminyakan yang berniat mendapatkan konsesi di sana, Inggris semula mendekati Indonesia. Pihak Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup menentang keras keinginan tersebut. Keberatan itu terutama mengingat daerah di sekitar blok Ambalat memiliki kekayaan sumber daya hayati yang tak ternilai dengan ragam terumbu karang dan ekosistemnya yang luar biasa.

Gagal bernegosiasi dengan Indonesia, Malaysia pun di-kilik-kilik. Entah bagaimana prosesnya, sampai pada satu ketika diketahui adanya aktivitas ”pencarian” sumur minyak lepas pantai oleh Shell di kawasan blok Ambalat.

Indonesia tentu tidak bisa tinggal diam ketika wilayah kedaulatannya diganggu. Drama ketegangan antarkedua negara—yang akar permasalahannya sebetulnya dipicu ulah perusahaan kapitalisme global—pun kembali bergulir. Ironisnya, kemarahan masyarakat Indonesia hanya tertuju kepada Malaysia yang dinilai lancang, sementara perusahaan multinasional yang menjadi biang dari segala persoalan tersebut justru terkesan hanya jadi korban.

Sejarah berulang

Membolak-balik catatan sejarah sebetulnya kekuatan kapitalisme global jualah yang secara geografis-politis telah mencencang batas sempadan Indonesia dan Malaysia—juga Singapura—menjadi negara yang berdaulat sendiri-sendiri seperti sekarang. Semangat kapitalisme di balik kekuatan kolonial itu pula yang membuat keserumpunan suku bangsa di kawasan ini akhirnya tercerai-berai.

Para penguasa Kesultanan Melayu diadu domba oleh Inggris dan Belanda. Garis demarkasi kekuasaan pun ditarik, memisahkan wilayah budaya serumpun yang hidup di Tanah Semenanjung—termasuk Tumasik (baca: Singapura)—dan masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan.

Perjanjian sepihak antara Inggris dan Belanda—lewat apa yang dikenal dengan sebutan Traktat London, 21 Juni 1824—menandai awal keterpecahan itu. Wilayah kekuasaan Kesultanan Melayu dipreteli. Kawasan Tanah Semenanjung dan Tumasik dikangkangi Inggris, sementara wilayah kepulauan dicaplok Belanda. Sejak itu, pengalaman kesejarahan di kedua wilayah dalam satu kawasan di Nusantara ini berjalan mengikuti alurnya sendiri.

Tak berlebihan bila sejarawan Taufik Abdullah, dalam satu kesempatan dialog budaya Indonesia-Malaysia, sampai berucap dengan nada geram. Kalau ’nasib’ yang menimpa kisah sejarah Indonesia-Malaysia dalam ingatan sejarah kita dibicarakan lagi, kata Taufik Abdullah, ”Maka, hanya satu komentar yang bisa diberikan: terkutuklah Inggris dan Belanda karena mengadakan perjanjian 1824 yang telah membagi-bagi sebuah wilayah kesejarahan!”

Menyimak sejumlah catatan dan analisis para ahli sejarah, dalam konteks kolonisasi atas wilayah Nusantara, sesungguhnya Inggris dan Belanda sebagai representasi dari negara-bangsa tak ubahnya hanya tempat bersembunyi kekuatan kapitalisme untuk mengeruk kekayaan sumber daya alam di kawasan ini. Di balik payung kebesaran negara masing-masing, para saudagar mereka seperti berlomba menumpuk modal, memeras tenaga dan air mata penduduk pribumi, dan menguras habis hasil bumi negeri ini.

Ironisnya, ketika wilayah-wilayah yang ”dicencang” kolonialis itu kini sudah menjadi negara-bangsa sendiri, dengan orientasi dan nasionalisme yang relatif berbeda, kekuatan kapitalisme global ternyata masih terus menguntit. Wujud dan model penguasaannya saja yang bergeser, yakni tidak lagi ditopang kekuatan senjata dan pendudukan wilayah.

Dua contoh kasus di atas, yakni peristiwa perebutan blok Ambalat dan nasib senandung lagu dalam tradisi ronggeng Melayu, adalah sedikit dari banyak potensi konflik yang sesungguhnya ”didalangi” kekuatan kapitalisme global. Atau, haruskah semua ini dibaca sebagai takdir sejarah?

Beralihnya aset-aset ”yang menguasai hajat hidup orang banyak”—seperti di sektor perbankan dan telekomunikasi—ke tangan pengusaha dari salah satu pihak, kini tak lagi relevan dilihat sebagai bentuk dominasi negara atas negara. Begitu pun kehadiran perusahaan besar Malaysia yang berinvestasi di bidang perkebunan kelapa sawit di Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kalimantan, juga tak seharusnya memupuk kebencian masyarakat negeri ini terhadap Malaysia sebagai negara-bangsa. Di balik itu semua, sekali lagi, tangan-tangan kapitalisme global ikut bermain.

Lewat penguasa dan/atau mantan penguasa yang masih punya jaringan di masing-masing negara, yang entah mereka sadari atau tidak—atau malah menikmatinya sebagai berkah—telah dimanfaatkan sebagai ’kacung’ oleh kekuatan kapitalisme global, kehadiran perusahaan-perusahaan besar itu masih jauh dari apa yang disebut sebagai upaya menyejahterakan rakyat. Kesan kuat dari keberadaan mereka justru melanjutkan peran kapitalisme di era kolonialis: mengisap darah dan air mata penduduk pribumi!

Pengalaman masyarakat Riau setelah jutaan hektar lahan mereka dieksploitasi untuk perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan besar dari negeri jiran, sebagaimana diungkapkan Al azhar dari Lembaga Penelitian Universitas Riau, memperlihatkan bahwa tali rasa keserumpunan itu sudah tidak ada dalam konteks kapitalisme global.

Sejak perusahaan yang konon sebagian besar sahamnya dimiliki rakyat Malaysia ini hadir di Riau, sudah lebih dari 15 kali konflik terjadi dengan masyarakat lokal yang merasa dirugikan. Seperti halnya sifat dasar perusahaan kapitalis yang lebih berorientasi semangat materialisme yang tinggi, pendekatan sosial budaya tak pernah menemukan muara dalam setiap konflik yang muncul.

Upaya sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Riau yang ingin meredakan ketegangan dengan membentuk semacam protokol resolusi konflik bahkan tidak ditanggapi. Dialog intensif yang ingin dibangun antara masyarakat dan perusahaan besar yang ada di Riau, dengan penekanan pada dasar-dasar pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya, itu tidak pernah bisa berjalan bila sudah melibatkan perusahaan kapitalis dari negeri tetangga tersebut.

Ternyata, di tangan kapitalis yang zalim dan arogan, semangat persaudaraan dan romantisme budaya serumpun yang didengung-dengungkan selama ini tidak bermakna sedikit pun. ”Ini pengalaman saya bertahun-tahun berada di Riau, negeri yang—bersama Kalimantan—barangkali paling menderita selama 50 tahun terakhir sejak kebangkitan kapitalisme Indonesia dan di Asia Tenggara ini,” tutur Al azhar, yang juga Kepala Bandar Seni Raja Ali Haji.

Jika sudah demikian, hubungan yang dilandasi semangat keserumpunan hanya romantisme di ruang hampa. Dan, ketika segala sesuatu diletakkan dalam bingkai semangat kapitalisme global yang meterialistik, peradaban pun tengah dipertaruhkan. Tak terkecuali nilai-nilai keserumpunan yang kini semakin sayup terlihat dalam keseharian kita.... (ken)

Jumat, 17 April 2009 | 02:51 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/17/02512393/dalam.kepungan.kapitalisme.global.

Manusia Hanya Pakai 1 Persen Kemampuan Otak

Sebagian besar penduduk dunia ternyata hanya memanfaatkan 3 kemampuan otaknya kurang dari 1 persen. Kemampuan itu adalah mengingat, belajar dan berkreativitas.

"Untuk sampai 1 persen orang mesti bisa mengingat 13 deret angka," kata Tony Buzan, pencipta Mind Map, Teknik Pengembangan Potansi Otak dalam acara Educator Sharing Network (ESN) yang diselenggarakan Sampoerna Foundation Teacher Institute di Jakarta, Sabtu (18/4).


Guna membuktikan pernyataannya itu, ia mengajak para peserta yang terdiri dari para guru untuk mengingat 13 deret angka. "Bagaimana? Sulit? Itulah mengapa saya tadi katakan kita masih menggunakan otak kita kurang dari 1 persen," kata pria berkebangsaan Inggris ini.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa proses perkembangan kreativitas otak manusia semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur. Namun yang terjadi, sebaliknya.

"Pada usia balita anak belajar kreativitas 95 persen, SD 75 persen, SMP-SMA 50 persen, Mahasiswa 25 persen, dan seterusnya sampai nol. Ini normal tetapi tidak natural," ungkap Tony.

Untuk itu, lanjutnya, peran guru sangat penting untuk menyelamatkan daya kreatif anak didiknya supaya terus berkembang. "Guru mempunyai tanggung jawab dan posisi strategis untuk membantu mengembangkan kemampuan berpikir dan berkreasi yang merupakan tambang emas dalam diri anak didiknya," kata Tony.

Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa di dalam diri anak didiknya terdapat banyak kecerdasan. "Guru harus membantu merawat macam-macam kecerdasan anak didik seperti kecerdasan sosial, daya kreatif, etika, dan juga kecerdasan spiritual," ungkapnya.

Caranya, lanjut Tony, yakni dengan metode mind map. Dengan itu kita dapat mengetahui cara kerja otak kita dalam berpikir dan belajar, berguna untuk membuat catatan, meringkas dan berpikir kreatif. "Mind mapadalah bahasa otak kita," pungkas Tony.

JAKARTA, KOMPAS.Com - Sabtu, 18 April 2009 | 13:29 WIB

Source:http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/04/18/13291538/Manusia.Hanya.Pakai.1.Persen.Kemampuan.Otak

Brain Drain Rugikan Bangsa

Eksodus anak-anak berprestasi ke luar negeri, atau ada yang menyebutnya brain drain, merugikan bangsa. Indonesia kehilangan sumber daya manusia berkualitas yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan.

Sebelumnya diberitakan, ratusan siswa Indonesia berprestasi diincar universitas publik di Singapura yang agresif mempromosikan diri dan mencari anak- anak brilian di Indonesia. Para siswa itu diberikan kemudahan pembiayaan mulai dari subsidi Pemerintah Singapura (tuition grant) dengan ikatan kerja tiga tahun, beasiswa (biaya hidup, buku, komputer dan uang saku), serta pinjaman bank yang dibayarkan setelah lulus.


Pakar pendidikan, Prof Soedijarto, mengatakan, Selasa (21/4), migrasi anak cerdas tersebut berarti potensi mereka tidak dimanfaatkan di Indonesia. Permasalahan itu tidak selesai dengan upaya mempertahankan mereka di Tanah Air di tengah kondisi yang serba tidak menjanjikan.

”Anak-anak itu tidak dapat disalahkan. Permasalahannya lebih kompleks, belum terbangun iklim, tantangan, dan peluang. Salah satunya ialah suasana riset dan lapangan pekerja sesuai kelak. Iklim itu seharusnya dapat dibangun melalui pengembangan sistem pendidikan, riset, dan industri yang terarah serta visioner,” ujarnya.

Dunia riset di Indonesia sendiri belum diperhatikan. Di negara maju, seperti Amerika, anggaran riset 2,3 persen produk domestik bruto (PDB), sementara di Indonesia baru 0,05 persen tahun 2004. Pada tahun yang sama, anggaran riset Malaysia sudah 0,7 persen PDB. Kalaupun terjadi kenaikan tidak besar dan negara lain sudah jauh lebih besar lagi alokasi anggarannya. Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan menjadi contoh negara yang maju dengan memperkuat infrastruktur teknologi.

Penghargaan minim

Menurut Soedijarto, penghargaan terhadap kaum intelektual masih minim. Soedijarto saat masih menjadi guru besar Universitas Negeri Jakarta dengan golongan tertinggi 4E enam bulan lalu menerima gaji sekitar Rp 4,2 juta per bulan. Dia sempat merasakan kenaikan kesejahteraan yakni tambahan sekitar Rp 3 juta per bulan selama enam bulan terakhir. Namun, itu pun masih relatif kecil dibandingkan dengan gaji guru besar di luar negeri, seperti di Malaysia yang besarnya Rp 42 juta per bulan. Penghargaan terhadap pekerja bidang pendidikan dan penelitian masih lebih kecil dibandingkan dengan politikus di DPR yang pendapatannya bisa mencapai Rp 42 juta per bulan.

Aktivis Koalisi Pendidikan, Lodi Paat, menambahkan, pembangunan pendidikan harus berbarengan dengan riset dan perekonomian, dalam hal ini industri. Mereka yang belajar di luar negeri dan pulang, tetapi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan sesuai di Indonesia akan putus asa. Lodi mencontohkan, pada era Habibie banyak anak cerdas belajar di luar negeri untuk kedirgantaraan dan kemudian disiapkan suatu sistem berupa industri. Kini industri tidak digarap serius. (INE)

Kompas, Jakarta, Rabu, 22 April 2009 | 03:48 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/22/03485826/brain.drain.rugikan.bangsa

User Loyal Bikin Google Bekuk Microsoft-Yahoo

San Francisco - Upaya Microsoft dan Yahoo bersekutu di ranah mesin cari untuk mendongkel Google, tampaknya masih menemui jalan terjal. Ini terkait dominasi Google yang tak jua tergoyahkan. Hal ini ditunjang pula oleh loyalitas para penggunanya.

Riset terbaru dari comScore menunjukkan kalau pemakai Google melakukan pencarian dua kali lebih banyak dibanding pengguna Microsoft atau Yahoo. Tepatnya, pengguna Google rata-rata melakukan sekitar 55 pencarian per bulan.

Sedangkan pengguna Yahoo melakukan 25 pencarian per bulan. Berada di urutan terakhir adalah penggemar mesin cari Microsoft yang hanya melakukan 14 pencarian tiap bulannya.

Dikutip detikINET dari TechRadar, Minggu (16/8/2009), loyalitas pengguna Google semakin nampak karena mereka melakukan 70 persen pencarian internet hanya di Google saja. Sedangkan pengguna Yahoo dan Microsoft biasanya 'selingkuh' dengan turut melakukan pencarian di Google.

Di Amerika Serikat, Google menguasai 65 persen pangsa pasar mesin cari di bulan Juni. Sedangkan kombinasi Microsoft dan Yahoo mencapai 28 persen. ( fyk / fyk )

Sunday, August 16, 2009

Refleksi Indonesia Ke-64: “Kisanak dan Tuanku”

Genaplah sudah besok (17/08/09) Indonesia memasuki angka 64 dalam perjalanannya sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Dalam rentang usia yang secara “biologis” negara kita harusnya sudah menjadi negara matang dan mandiri. Namun kenyataannya negeri ini masih dalam taraf “tertinggal” dalam berbagai bidang. Usia 64 ternyata bukanlah gambaran ideal sebagai bangsa besar dan bermartabat. Apa yang mau saya sampaikan disini adalah sebuah “kerisauan” dan sekaligus “gugatan” kepada para pemimpin republik agar negeri ini harus segera kembali kepada “kithohnya” yakni negara berdaulat secara politik dan ekonomi. Semenjak kemerdekaan hingga detik-detik 64 tahun kita merdeka, negara ini justru malah kehilangan identitasnya sebagai bangsa merdeka. Merdeka dari penindasan ekonomi dan politik.

Bangsa ini masih terbelenggu oleh aksi penjajahan ekonomi yang tak kuasa para pemimpin republik ini melawannya. Penghisapan kekayaan negara secara berlebih-lebihan melalui jaringan konglomerasi tambang, minyak dan gas berskala internasional semakin membawa bangsa ini menjadi “pecandu” bantuan negara lain. Penjajahan ekonomi ini sangat mengkhawatirkan karena anak-anak negeri ini justru menjadi “karyawan” dari bangsa-bangsa lain. Ya kita menjadi bangsa “kisanak” yang tak kuasa mampu melawan “tuan-tuan” negara lain.

“Kisanak”

Bangsa ini sejujurnya mengidap penyakit “inferiority complex”, yakni sindrom kerendahan –diri. Ini bisa diakibatkan rakyat jelata selama ini terlalu dimarjinalkan, hak-hak pendidikan dan kesehatan dipinggirkan bahkan sulit untuk dipenuhi. Pembangunan tidak merata mengakibatkan konsentrasi pembangunan kebanyakan di Jakarta dan P.Jawa. Ini menimbulkan penyakit kebodohan di beberapa tempat di luar Jawa dan pada akhirnya terakumulasi sifat rendah-diri karena kurangnya rasa kepercayaan diri dan kesempatan untuk maju.

Setali tiga uang, para penguasa di berbagai bidang khususnya perekonomian, juga mengalami sindrom ini karena mereka lebih terbiasa mencari dana APBN secara cepat, taktis dan kreatif. Sayangnya sifat-sifat tersebut muncul ketika menjual aset bangsa. Pada akhirnya pun kemampuan mereka hanya sebagai negosiator ulung dalam memperdagangkan aset bangsa tanpa memberikan nilai tambah dan “confidence” bagi bangsa ini di kemudian hari.

Indikator bangsa “kisanak” adalah mulai merajainya perusahaan-perusahaan asing bebas-masuk ke negeri ini. Ini konsekuensi dari liberalisme perdagangan yang output-nya penjualan aset-aset strategis bangsa. Beberapa BUMN strategis yang go public sebagian sahamnya mulai dikuasai bangsa asing dimana secara telanjang mereka telah memetakan Indonesia dari dalam tubuhnya sendiri. Lebih mudahnya adalah sepanjang jalan sudirman-thamrin adalah mulai menjamurnya kaum ekspatriat asal negeri tetangga yang mulai percaya diri menjadi tuan di negeri kita. Lucunya Kebijakan privatisasi sebenarnya bentuk ketidakpercayaan terhadap kemampuan anak bangsa sendiri meski cukup banyak CEO Indonesia yang kapasitas dan kompetensinya diakui oleh dunia luar. Privatisasi selalu digadang-gadang sebagai jalan terbaik untuk memperbaiki BUMN dan perusahaan nasional besar lainnya untuk menghapus perilaku korupsi ! Cara ini adalah sebuah eskapisme yang diartikan sebagai jalan keluar terbaik atas ketidakmampuan orisinil anak-anak nusantara sehingga diperlukanlah “tuan-tuan” dari negeri seberang untuk masuk memperbaiki jajaran korporasi kita.

“Tuanku”

Ironisnya, tuan-tuan yang datang berbondong-bondong ke Indonesia sebenarnya adalah orang-orang nasionalis di negaranya masing-masing. Hal ini bisa kita tengok dari Singapura dimana 80 persen ekonominya ditopang keberadaan BUMN. Demikian juga Malaysia yang tidak memberikan tempat strategis di Petronas untuk diduduki asing. Jadi tuan-tuan tersebut mencoba melakukan infiltrasi imperialistis yang secara legal dipersilahkan masuk oleh para pemimpin republik ini sebagai tamu investor. Sekali lagi atas nama investor asing demi menutup defisit APBN !

Konsekuensi dari mudahnya tuan-tuan negeri seberang masuk adalah akan mudahnya mereka mendikte kebijakan negeri ini baik itu terkait masalah gaji buruh, perilaku ekspatriat yang “underestimate” terhadap karyawan-karyawan lokalnya hingga masalah psikologis tenaga kerja kita yang “memuja” asing serta menjadi individualis (atas nama karir) yang tidak peka terhadap nasib bangsa ini.

Selain minyak dan gas yang sudah dikuasai asing, menurut beberapa pengamat ekonomi, 75% transaksi saham di Bursa Efek Indonesia dikuasai asing. Hal ini juga terjadi dengan 50% saham di bank-bank nasional dan BUMN yang sudah dikuasai asing. Belum lagi kalau kita bicara pertambangan batu bara, dimana hampir setengah industri batu bara di Kalimantan juga dikuasai asing. Plus penguasaan asing atas 20.000 hektar lahan perkebunan sawit milik PTPN II di Sumatera Utara.

Kisanak dan Tuan: Lingkungan Yang Rusak

Menariknya minat asing untuk investasi di Indonesia selama bertahun-tahun ternyata oleh sebagian pemimpin “berjiwa kisanak” plus ”korporat asing yang rakus” mengubah Indonesia menjadi tanah hisapan yang tak ada habis-habisnya. Hal ini mengakibatkan lingkungan Indonesia menjadi area raksasa yang hancur. Dari beberapa data LSM-LSM lingkungan terhampar fakta sbb: Selama dasawarsa terakhir ini luas hutan hujan di Indonesia semakin menurun. Pada era 1960-an Indonesia masih memiliki 82 % hutan hujan lalu menurun menjadi 68 % di tahun 1982, kemudian menjadi 53 % di tahun 1995, dan akhirnya tinggal 49 % di tahun 2000-an. Jumlah hutan yang turun tersebut diakibatkan antara lain yakni: penebangan hutan, penambangan, perkebunan agrikultur dalam skala besar, kolonisasi, dan aktivitas lain yang substansial, seperti memindahkan pertanian dan menebang kayu untuk bahan bakar.

Di samping itu sebanyak 1,8% lahan hijau di Indonesia hilang dan rusak setiap tahun. Hal ini disebabkan lahan hijau banyak berubah fungsi menjadi bangunan, seperti kantor, apartemen, mal atau gedung-gedung pencakar langit. Kurangnya lahan hijau ini terjadi di berbagai daerah, antara lain sbb:

Ø Jakarta, dimana lahan hijau hanya menyisakan 9,9% dari luas wilayah DKI.

Ø Jawa Timur, dimana luas hutan berkurang sebesar 63%.

Ø Medan, dimana luas hutan kota tinggal 0,12%.

Ø Yogyakarta, dimana lahan hijau terbuka tinggal 35%.

Ø Malang, dimana luas hutan kota tinggal 71,6 hektar.

Kondisi ekologis yang parah di beberapa daerah ini sangat mengerikan mengingat ketersediaan ruang terbuka hijau yang ideal adalah sebesar 30% (mengacu pada Undang-undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007). Kurangnya lahan hijau pada akhirnya membawa pengaruh yang buruk terutama dalam menghadapi pemanasan global. Di samping itu banyak gedung perkantoran atau bangungan-bangunan yang kurang memperhatikan aspek ramah lingkungan sehinga hal ini turut menambah daya dukung lingkungan yang semakin kritis.

Atas dasar kondisi lingkungan Indonesia yang krisis itulah maka investasi-investasi tersebut nampaknya menjadi sia-sia. Upaya rehabilitasi lingkungan, menurut Menteri KLH Rahcmat Witoelar pada satu kesempatan, bisa mencapai dua generasi. Maka dari itu, lingkungan yang terdegradasi dan amburadul ini menjadi tanggungjawab siapa? Sudah jelas itu tanggungjawab para pemimpin “berjiwa kisanak” yang “terilusi” oleh rayuan tuan-tuan asing memberikan banyak izin kuasa penambangan, eksplorasi-ekploitasi minyak dan gas serta banyak bentuk lain perizinan tata-kota yang mengubah lahan hijau menjadi pusat-pusat belanja mewah skala internasional.

Oleh karena ini masih relevankah kemerdekaan ke-64 ini kita rayakan meski negeri ini secara urat-nadinya sudah perlahan-lahan dikuasai bangsa asing dimana sumber daya alam mulai habis dan lingkungan kita rusak berat??? Hati nuranimu lah yang menjawab !

Salam (ingin benar-benar) merdeka,

Penulis: Leonard T. Panjaitan

- Komunitas Warga Hijau Indonesia-

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...