Monday, August 24, 2009

Anomali Cuaca: El Nino Modoki Fenomena Baru

Fenomena El Nino atau menghangatnya suhu muka laut di Samudra Pasifik mulai menggejala akhir Mei lalu dan cenderung menguat bulan ini. Namun, melihat pola dan lokasi ”kolam panas”—areal permukaan laut yang menghangat—ada kecenderungan versi baru El Nino yang disebut El Nino Modoki.

Hal ini diungkapkan pakar cuaca dari Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (TISDA-BPPT), Fadli Syamsuddin, Jumat (21/8) melalui SMS. ”Ada kecenderungan anomali mengarah ke El Nino Modoki. Untuk memastikan, harus melihat kondisi terakhir,” ujarnya.

El Nino yang umumnya ditandai terjadinya anomali suhu muka laut di kawasan khatulistiwa di Samudra Pasifik disebut kolam panas. Hal ini mengakibatkan suplai uap air tinggi di kawasan Peru sehingga mengakibatkan banyak hujan di wilayah itu, sebaliknya kekeringan di wilayah Asia, terutama Indonesia.

Berbeda dengan El Nino, munculnya Modoki, bahasa Jepang, yang berarti ”serupa tapi berbeda”, ditunjukkan oleh adanya ”kolam panas” yang terkonsentrasi hanya di bagian tengah Samudra Pasifik. Bagian timur dan barat Pasifik tetap dingin.

Kondisi ini menyebabkan rendahnya suplai uap air atau terbentuknya awan hujan di Peru dan di timur Indonesia. Sejauh ini dari riset yang dilakukan peneliti Badan Riset Kelautan Jepang (Jamstec), wilayah Indonesia belum banyak diteliti. Fenomena ini juga baru dipublikasikan tahun 2004 oleh peneliti Jamstec, tutur Fadli, yang meraih doktornya di Jepang.

Riset El Nino Modoki juga dilakukan peneliti dari Georgia Institute of Technology. ”Umumnya, El Nino menyebabkan menurunnya kejadian badai di Atlantik. Namun, tipe baru ini justru meningkatkan badai,” ujar Peter Webster, Guru Besar di Georgia Tech’s School of Earth and Atmospheric Sciences.

Menurut penelitian Webster, yang muncul pada Jurnal Science edisi Juli lalu, El Nino Modoki lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan El Nino. El Nino berubah menjadi Modoki oleh osilasi alami El Nino atau merupakan respons El Nino terhadap menghangatnya atmosfer atau karena La Nina mengubah struktur El Nino. (YUN)

Jakarta, 24 Agustus 2009

Bukan Hanya Bumi yang Mengalami Pemanasan Global


Dalam 100 tahun terakhir, temperatur global di planet Bumi meningkat 0,6 derajat celsius. Yang mencengangkan, kondisi senada—pemanasan—ternyata juga terjadi di planet-planet lain dalam sistem Tata Surya dalam waktu yang hampir bersamaan.

Temuan ini merupakan hasil pengamatan yang dilakukan para ilmuwan: astronom dan astrofisikawan, selama dua dasawarsa terakhir pada planet-planet tetangga Bumi yang ada di orbit Matahari, sumber energi utama kehidupan di Bumi.

Neptunus, planet intersolar terjauh dengan jarak rata-rata 4.450 juta kilometer dari Matahari, adalah salah satu yang mengalami fenomena turbulensi iklim ini. Dari hasil fotometri rutin oleh Observatorium Lowell di Amerika Serikat, sejak 1980 hingga sekarang Neptunus makin terlihat cemerlang.

Dari hasil pemantauan inframerah, seperti diungkapkan HB Hammel dan GW Lockwood, permukaan planet berwarna biru ini terus memanas dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir. Fotometri menunjukkan kenaikan signifikan. Dari sebelumnya 7,97 magnitude (mag) pada 1950 menjadi 7,81 magmag di 2004. Semakin rendah angka magnitude, semakin cemerlang planet yang diamati.

Gejala sama terjadi di Triton, satelit alamiah terbesar yang mengelilingi Neptunus. Terhitung sejak 1989, suhu di permukaan Triton memanas signifikan hingga 5 persen dari skala temperatur absolut planet ini—setara kenaikan 22 derajat Fahrenheit.

Berdasarkan pemantauan wahana Voyager pada 1989, Triton memiliki suhu dingin ekstrem, yaitu rata-rata minus 392-389 derajat Fahrenheit (minus 200-198 derajat celsius). Namun, tren pemanasan ini mengakibatkan sebagian permukaan Triton yang terdiri dari nitrogen beku berubah menjadi gas. Ini membuat atmosfernya yang terkenal tipis menjadi kian tebal.

Seperti dikutip dari jurnal Nature, James L Elliot, astronom dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), mengungkapkan, perubahan iklim di salah satu bulan Neptunus ini terjadi sekali dalam beberapa ratus tahun akibat perubahan absorpsi energi solar di kutub-kutub es Triton.

Badai raksasa di Yupiter

Tren perubahan iklim juga terjadi di Yupiter, planet terbesar tata surya. Science Daily, Mei 2008, melaporkan, dalam dua tahun terakhir sebelum laporan dirilis, terjadi peningkatan aktivitas badai raksasa di atmosfer Yupiter. Teleskop Hubble menangkap citra yang menunjukkan terbentuknya titik merah (red spot) baru di planet ini.

Badai besar berukuran hingga 0,5 miliar mil ini kemudian disebut ilmuwan sebagai ”Red Spot Jr”. Badai yang tergolong langka ini terbentuk dari hasil penggabungan tiga badai oval berwarna putih pada kurun waktu 1998-2000. Hal serupa pernah terjadi seabad lalu, yaitu ketika terbentuk ”Great Red Spot” berukuran dua kali Bumi.

Menurut Phillip S Marcus, profesor dinamika fluida dari University of California, Berkeley, Yupiter mengalami perubahan iklim, yaitu suhu permukaan meningkat sebesar 10 derajat celsius. Kawasan ekuator menghangat, sementara wilayah di dekat kutub selatan semakin dingin. ”Aktivitas awan di sana dalam dua setengah tahun terakhir menunjukkan hal yang dramatis, sesuatu yang tidak lazim telah terjadi,” ujar Phillip.

Saat belum ada penjelasan yang utuh dan menyeluruh soal benang merah terjadinya perubahan iklim di planet-planet intersolar ini, astronom juga mengungkapkan, planet kerdil (Pluto) mengalami tren perubahan iklim senada. Apalagi, Pluto yang dicoret statusnya sebagai planet terletak sangat jauh dari Matahari, yaitu 6 miliar kilometer atau sekitar 40,5 satuan astronomi atau sekitar 40 kali jarak Matahari-Bumi. Tekanan atmosfer Pluto diketahui meningkat tiga kali lipat sejak akhir 1980-an. Diperkirakan, suhu permukaan ikut meningkat rata-rata 2 derajat celsius.

Padahal, tidak ada aktivitas manusia yang menimbulkan efek rumah kaca di sana. Lantas, apa penyebab perubahan temperatur di sejumlah planet dan obyek tata surya ini dalam waktu yang hampir bersamaan?

Matahari disalahkan

Mencoba memberikan benang merah, Habibullo Abdussamatov, Kepala Bidang Penelitian Luar Angkasa di Observatorium Astronomi St Petersburg, Rusia, mengklaim, aktivitas Matahari-lah yang memengaruhi perubahan temperatur di Bumi dan sejumlah planet.

”Efek rumah kaca yang ditimbulkan manusia berkontribusi pada pemanasan di Bumi dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi, itu tidak bisa menyamai dampak akibat meningkatnya iradiasi Matahari,” tuturnya.

Abdussamatov merujuk kepada pengalaman di Mars untuk memperkuat dalilnya yang kontroversial ini. Puluhan tahun terakhir ini permukaan Mars diketahui memanas dengan sangat cepat, yaitu empat kali dari laju pemanasan global di Bumi.

Mars, seperti halnya Bumi, diketahui pernah mengalami zaman es. Namun, lapisan es yang menyimpan karbon dioksida (CO) dalam jumlah besar di wilayah dekat kutub selatan Mars telah mencair sangat cepat. Dari 1970 hingga 1990 tercatat, temperatur udara di Mars meningkat 0,65 derajat celsius.

Hammel dan Lockwood juga ikut memperkuat koneksi faktor iradiasi Matahari dengan gejala perubahan iklim di Neptunus. Menurut mereka, koefisien relevansi antara tingkat iradiasi Matahari dan angka kecemerlangan Neptunus mencapai 0,90 atau nyaris sempurna.

Korelasi ini ikut dihubungkan dengan gejala anomali perubahan temperatur di Bumi. Data yang mereka peroleh menunjukkan, variasi perubahan iradiasi Matahari ternyata berbanding lurus pula dengan tren kenaikan suhu di Bumi.

Perubahan energi yang dipancarkan Matahari termasuk beragam variasinya, baik ultraviolet, kosmik, dan inframerah, sangat berkorelasi dengan perubahan temperatur di tiap planet, termasuk Bumi.

Dampak di tiap planet ditentukan faktor lokal, yaitu variasi kemiringan orbit, albedo (kemampuan merefleksikan kembali radiasi sinar ke atmosfer), dan aktivitas geologis seperti erupsi gunung berapi. Aktivitas manusia, yaitu efek rumah kaca, termasuk faktor lokal ini. Meskipun demikian, mayoritas peneliti menolak anggapan sesuai uraian di atas.

Michaell Mann, meteorolog dari Penn State, Amerika Serikat, menuturkan, perubahan aktivitas Matahari dan segala variasinya hanya memengaruhi 0,1-1 persen iklim di Bumi. Tak cukup kuat untuk memicu perubahan iklim dramatis di Bumi.

Apalagi, tingkat keaktifan Matahari memiliki periode tiap 11 tahun dan saat ini masih dalam fase nonaktif. Sangat jarang terlihat bintik Matahari, salah satu indikator turunnya keaktifan Matahari, akhir-akhir ini.

”Mereka yang tidak bisa menerima eksistensi faktor antropologis (aktivitas manusia) terhadap perubahan iklim, terus mencoba mengarahkannya ke aktivitas Matahari,” ucap Penn.

Oleh Yulvianus Harjono

Jakarta, 24 Agustus 2009

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/24/02421773/bukan.hanya.bumi.yang.mengalami...

Cuaca Ekstrem di Indonesia Mulai Selasa Besok


Cuaca ekstrem berpotensi terjadi di wilayah Indonesia mulai 25 hingga 27 Agustus. Cuaca ekstrem didukung oleh adanya aktivitas daerah tekanan rendah di Samudera Pasifik sebelah utara Papua dan daerah pumpunan angin yang memanjang dari Sumatera bagian utara, perairan sebelah utara Kalimantan hingga Samudera Pasifik sebelah timur Filipina.

Faktor pendukung lain cuaca ekstrem adalah masih hangatnya suhu muka laut di wilayah perairan Indonesia sebelah utara Katulistiwa dan kelembaban udara di wilayah tersebut yang cukup tinggi. Kondisi ini mendukung terbentuknya awan hujan di wilayah Indonesia terutama wilayah Indonesia bagian utara dan sekitar ekuator.

Adanya aktivitas konvektif yang merupakan aktivitas atmosfer berskala lokal di sebagian wilayah Indonesia juga perlu diwaspadai karena berpotensi menimbulkan hujan lebat yang disertai angin kencang dan petir dalam waktu yang tidak terlalu lama. Potensi hujan lebat disertai petir dan angin kencang terdapat di pesisir barat Sumatera, Sumatera bagian utara dan tengah, Kalimantan Barat dan Timur, Kalimantan Tengah bagian utara, Sulawesi bagian utara dan tengah, Maluku bagian utara dan tengah, Papua Barat, Papua Tengah, serta Papua Timur bagian utara.
SENIN, 24 AGUSTUS 2009 | 13:13 WIB

Sunday, August 23, 2009

Hemat Energi, Awali dari Desain Rumah

Melakukan penghematan energi adalah salah satu langkah bijak dalam upaya menghindarkan bumi dari kerusakan akibat pemanasan global. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menghemat energi, dan salah satunya bisa diawali dari desain rumah sebagai tempat tinggal.


Rumah sebagai pusat aktivitas dan tempat beristirahat selalu menyerap dan menghabiskan energi dalam jumlah tidak sedikit setiap detiknya. Alhasil, kebutuhan listrik dan air bersih akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah rumah dan populasi manusia.

Nah, supaya penggunaan energi di rumah Anda tidak boros, Sahsa Media, Arsitektural Designer Holcim PT Holcim Indonesia, memberikan sejumlah kiat sederhana dalam menciptakan rumah hemat energi berikut ini:

1. Bagi Anda yang sedang membangun rumah, merenovasi atau dalam tahap desain, usahakan posisi rumah tidak menghadap ke timur supaya cahaya matahari tidak langsung masuk ke dalam rumah.

2. Atur penempatan ruangan dengan cara memperbanyak bidang utara dan selatan. Hal ini dilakukan supaya panas matahari tidak langsung masuk ke dalam rumah dan mengakibatkan suhu rumah naik.

3. Usahakan setiap ruangan mempunyai jendela atau ventilasi supaya ada pertukaran udara. Udara yang terjebak di dalam ruangan akan membuat suhu ruangan tinggi.

4. Untuk mencegah sinar matahari langsung masuk ke dalam rumah melalui jendela atau ventilasi, Anda bisa memasang shading atau penahan sinar, seperti kanopi.

5. Gunakanlah peralatan elektronik hemat energi, mulai dari lampu hingga perangkat yang memakan daya cukup besar. Bagi Anda yang sudah memiliki perangkat lama, mungkin akan keberatan membeli produk hemat energi karena besarnya uang yang harus dikeluarkan. Namun, jika dipikirkan jangka panjang, mahalnya biaya di awal tidak akan sia-sia. Ke depan, Anda bisa berhemat bayar listrik dan menyelamatkan lingkungan.

6. Kurangi ketergantungan terhadap sumber air tanah dan PAM. Apabila memungkinkan, gunakanlah air hujan sebagai salah satu alternatif sumber air dengan cara membuat sumur resapan.

SELASA, 4 AGUSTUS 2009 | 21:50 WIB

KOMPAS.com — http://properti.kompas.com/read/xml/2009/08/04/21504311/hemat.energi.awali.dari.desain.rumah

Populasi Orangutan Terancam Sangat Serius

Populasi orangutan Sumatra (Pongo abelii) di Jambi dalam ancaman serius seiring rencana pembukaan hutan tanaman industri (HTI) seluas lebih dari 30.000 hektare di areal eks hutan produksi (HP) PT Dalek Hutani Esa, di Dusun Semarantihan, Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi.


Pimpinan Program Frankfurt Zoological Society (FZS) Peter Pratje, Minggu (23/8), mengatakan, lokasi pembukaan HTI itu sangat dekat dengan stasiun reintroduksi orangutan Sumatra yang telah merehabilitasi 20-an ekor orangutan per tahunnya.

"Pembukaan HTI secara langsung akan menghilangkan seluruh potensi sumber daya alam yang ada. Langkah untuk melestarikan kembali populasi orangutan Sumatra yang terus berkembang dalam delapan tahun ini juga akan sia-sia," kata Peter.

Selama ini pihaknya telah melepasliarkan 108 orangutan di areal pelepasan seluas 200 hektare pada pinggiran Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), namun, karena daerah TNBT curam, orangutan lebih memilih untuk tinggal di areal eks hutan produksi.

Hutan produksi juga memiliki banyak tanaman buah-buahan yang menjadi sumber makanan utama orangutan Sumatera. Tanaman buah ini kemungkinan sengaja tidak ditebang karena pengelola hutan produksi hanya mengambil jenis pohon-pohon keras.

FZS juga memantau setidaknya ada tiga ekor bayi orangutan yang dilahirkan oleh induk yang telah dilepasliarkan, ini menandakan hutan produksi tersebut merupakan lokasi yang cocok bagi primata endemik Sumatera ini.

Orangutan juga termasuk dalam hewan yang mempunyai kemampuan reproduksi rendah. Orangutan betina hanya mampu melahirkan tiga ekor anak selama masa hidupnya.

Peter menegaskan, pembukaan HTI tidak hanya mengancam keberadaan orangutan Sumatera tetapi juga TNBT secara langsung, sebab perambahan, pemanfaatan kayu, serta sumber makanan bagi satwa liar banyak berada di areal hutan produksi.

"Komunitas suku terasing seperti warga Talang Mamak dan Suku Anak Dalam juga akan pindah ke TNBT bila hutan produksi ini dialihfungsikan menjadi HTI," kata Peter.

Manajer Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatra, Julius Paolo Siregar mengatakan, orangutan Sumatra termasuk dalam kategori satwa yang terancam punah, diperkirakan jumlah orangutan Sumatera saat ini antara 6.000-7.000 ekor saja.

"Dibandingkan dengan orangutan Kalimantan, orangutan Sumatra lebih rentan hidupnya. Bukan saja jumlahnya yang sedikit tetapi luas wilayah habitatnya juga sangat sedikit," ujar Julius.

Rencananya FZS akan kembali melepasliarkan sekitar 10 orangutan pada Oktober 2009, dan pada bulan ini hingga Januari 2010 diperkirakan sumber makanan dalam hutan sudah cukup seiring masa musim buah.

MINGGU, 23 AGUSTUS 2009 | 20:37 WIB

JAMBI, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/23/20371491/populasi.orangutan.terancam.sangat.serius

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...