Thursday, August 27, 2009

Target Ruang Hijau Jakarta Tercapai 680 Tahun Lagi?

Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta, Pemprov DKI menargetkan pencapaian target pembukaan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 13,94 hektar hingga tahun 2010. Sayangnya, sepertinya target itu baru bisa tercapai 680 tahun lagi. Lho, kok bisa? Ket Foto: Ketua Kelompok Studi Arsitektur Lanskap Indonesia Nirwono Joga mengatakan perbandingan sisa target Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan rata-rata penambahan RTH tiap tahun menghasilkan perkiraan bahwa RTH ideal di Jakarta baru bisa tercapai 680 tahun lagi. Hal ini disampaikan dalam diskusi bertajuk 'Ruang Terbuka Hijau Jakarta vs Kepentingan Bisnis' di Mayapada Tower, Kamis (27/8).

Ketua Kelompok Studi Arsitektur Lanskap Indonesia Nirwono Joga mengatakan bahwa data penambahan RTH beberapa tahun belakangan menguatkan pesimistis terhadap target Pemprov DKI.

Data menunjukkan penambahan RTH rata-rata 4 hektar per tahun. Padahal, sisa RTH yang harus dipenuhi untuk mencapai target adalah 2.718,29 hektar atau 3,97 persen. Sementara itu, RTH yang baru tersedia 6.826,52 hektar atau 9,97 persen. "Kalau dibagi antara sisa dan rata-rata penambahan, maka didapat angka sekitar 680 tahun baru bisa tercapai sisa target itu," ujar Nirwono dalam diskusi bertajuk Ruang Terbuka Hijau Jakarta vs Kepentingan Bisnis, di Mayapada Tower, Kamis (27/8).

Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan RTRW Jakarta untuk tahun 2030, pemprov menargetkan kebutuhan RTH hingga 30 persen dari total wilayah.

Yoga mengatakan, pemda kerap beralasan, anggaran untuk perluasan RTH terbatas. Namun, menurut Yoga, pemprov hanya tidak hendak menjadikannya program prioritas, seperti bus transjakarta dan Banjir Kanal Timur (BKT). Di sisi lain, pemprov dinilai tidak mampu mengendalikan okupasi di jalur hijau.

Koefisien dasar bangunan (KDB) jauh melebihi koefisien daerah hijau (KDH) yang ditargetkan 20-30 persen. Bahkan, bangunan pusat perbelanjaan, perkantoran, atau perhotelan yang seharusnya menyisihkan 10 persen luas areanya untuk RTH malah menghabiskannya untuk basement atau lapangan parkir.

Kamis, 27 Agustus 2009 | 12:13 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com —http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/08/27/1213470/target.ruang.hijau.jakarta.tercapai.680.tahun.lagi

IPB Resmikan Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim

Institut Pertanian Bogor (IPB) meresmikan Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim Kawasan Asia Pasifik (CCROM SEAP). Fasilitas ini akan digunakan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai perubahan iklim, risiko, dan peluangnya.

CCROM SEAP diresmikan oleh Rektor IPB Dr Ir Herry Suhardiyanto di Bogor, Rabu (26/8), bersamaan dengan digelarnya lokakarya mengenai metodologi skema pengurangan emisi dari penggundulan dan pengrusakkan hutan (REDD) bekerja sama dengan Pusat Studi Kehutanan Internasional (CIFOR).  Lokakarya yang digelar pada 26-27 Agustus tersebut bertujuan untuk mendiskusikan metodologi dan pendekatan dalam menentukan emisi referensi REDD, untuk mengukur keberhasilan Indonesia menekan emisi gas rumah kaca.

Direktur CCROM Prof Dr Rizaldi Boer mengatakan, pusat kajian yang terbentuk pada April 2009 ini mempunyai misi membantu masyarakat untuk memahami perubahan iklim serta dampaknya bagi manusia.

"Kegiatan yang dilakukan tidak hanya di bidang pertanian, tetapi juga sektor-sektor lain yang terpengaruh oleh perubahan iklim seperti kehutanan, perikanan, kelautan, kesehatan," katanya. Dalam mengembangkan pusat kajian ini, katanya, IPB memperoleh banyak dukungan diantaranya dari Columbia University AS dan CIFOR.

"Hasil kajian dari kami akan direkomendasikan kepada Dewan Nasional Perubahan Iklim sebagai bahan untuk negosiasi terkait perubahan iklim. Diharapkan nantinya CCROM ini tidak hanya memainkan perannya di Indonesia tetapi juga di kawasan Asia Tenggara," ujarnya.
Dalam pertemuan negara penandatangan konvensi perubahan iklim (UNFCCC) telah disepakati bahwa keberhasilan dalam menekan emisi dari kegiatan tersebut bisa mendapatkan kompensasi baik dalam bentuk pendanaan, alih teknologi, maupun pembangunan kapasitas. Rizaldi mengatakan, sampai saat ini belum ada metodologi yang disepakati untuk menentukan referensi tersebut.

"Ada beberapa cara untuk menentukan emisi referensi, diantaranya dengan menggunakan laju emisi historis, model pendugaan kemungkinan risiko hutan dikonversi ke depan, memperkirakan perubahan faktor penyebab deforestasi, atau dengan cara melakukan penyesuaian emisi referensi setiap periode waktu tertentu dengan mempertimbangkan perubahan kondisi yang ada," katanya.

Herry Suhardiyanto mengatakan, apabila emisi referensi yang digunakan adalah rata-rata emisi historis dari tahun 2000-2005, maka apabila Indonesia mampu menurunkan tingkat emisi sampai setengah dari referensi tersebut, dengan harga karbon sekitar 10 dolar AS per ton CO2, Indonesia bisa memperoleh kompensasi sekitar 3,3 miliar dolar AS per tahun.

Sementara itu, Direktur Jenderal CIFOR Frances Seymour menyambut baik diresmikannya CCROM dan menekankan pentingnya peningkatan kapasitas penelitian di bidang kehutanan dan perubahan iklim. Kerja sama terkait perubahan iklim difokuskan pada tiga hal yaitu metode manajemen serta pemantauan REDD, implementasi REDD dengan melibatkan masyarakat lokal sehingga mereka bisa mengambil keuntungan, serta kebijakan yang mendukung.

Rabu, 26 Agustus 2009 | 22:24 WIB
BOGOR, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/26/22241251/ipb.resmikan.pusat.pengelolaan.risiko.dan.peluang.iklim

Foto Google Earth Ungkap Keberadaan Monster Loch Ness

Selama berabad-abad, banyak orang yang mengatakan pernah melihat monster Loch Ness. Namun, tidak pernah ada bukti nyata tentang keberadaan monster di Danau Ness tersebut. Nessie yang diperkirakan adalah seekor plesiosaurus tetap menjadi sebuah misteri. Ket Foto: Gambar rekaman Google Earth yang diduga sosok Nessie, monster danau Loch Ness di Norwegia.

Namun, akhirnya seorang pembaca harian Sun, Jason Cooke, secara tak sengaja memberikan buktinya. Bukti tersebut adalah foto dari Google Earth. Jason Cooke yang bertugas sebagai petugas keamanan di Nottingham itu sedang melihat-lihat foto situs Google Earth ketika ia mencatat keberadaan Nessie, begitu julukan monster danau tersebut. “Saya tidak bisa memercayainya. Ini seperti deskripsi Nessie,” katanya.

“Ini benar-benar membangkitkan minat. Ini perlu penelitian lebih lanjut,” tutur Adrian Shine, peneliti di Loch Ness Project, seperti dikutip Sun.

Ingin melihatnya sendiri? Silakan masukkan koordinat Latitude 57°12'52.13"N, Longitude 4°34'14.16"W di Google Earth. Atau klik alamat di Google Map di http://maps.google.com/maps?ll=57.214408,-4.5706609&z=18&t=h&hl=en

Kamis, 27 Agustus 2009
Source: http://tekno.kompas.com/read/xml/2009/08/27/09520292/foto.google.earth.ungkap.keberadaan.monster.loch.ness.

Wednesday, August 26, 2009

REDD Bukan Upah Rawat Hutan

Pendanaan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi atau REDD perlu dipahami sebagai pendanaan iklim. Model pendanaan dari luar negeri tersebut bukan upah karena Indonesia memiliki hutan luas.

”Dengan kata lain, Indonesia dapat uang karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo pada peluncuran situs REDD-I kerja sama Center for International Forestry Research (Cifor), World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, dan PILI-Green Network, atas biaya Yayasan David serta Lucile Packard di Jakarta, Selasa (25/8).

Hutan luas tanpa dibarengi kemampuan menjaga peran hutan sebagai penyeimbang iklim dan penyimpan karbon tidak akan menghasilkan apa pun. Pemahaman itu perlu diketahui para pihak, baik pemerintah daerah, LSM, maupun swasta.

Di daerah, REDD sebagai pendanaan iklim membawa konsekuensi pendataan kawasan. ”Data yang detail untuk memastikan unsur gas rumah kaca tetap tersimpan di hutan,” kata Agus.

Oleh karena itu, peningkatan pemahaman dan kemampuan swasta dan daerah patut terus dilakukan. Keengganan berbenah akan membuat proyek REDD jauh dari harapan.

Salah satu bentuk menjaga hutan di daerah, lanjut Agus, adalah pemerintah daerah diharapkan tidak asal menerima ajakan kerja sama berupa nota kesepahaman (MOU) dengan siapa pun. ”Jangan dulu menyerahkan hak penguasaan hutan ke pihak lain,” kata Agus.

Di tempat yang sama, peneliti Cifor, Daniel Murdiyarso, menyatakan, potensi hutan amat besar menyeimbangkan iklim. Sekitar 20 persen persen emisi dihasilkan dari hutan.

Namun, butuh upaya global sebelum REDD diadopsi dalam rezim baru setelah Protokol Kyoto. ”Kalaupun disetujui di Kopenhagen, butuh waktu menerapkan REDD,” kata dia.

Salah satu cara mempercepat kemungkinan penerapan adalah pembelajaran melalui proyek percontohan. Di sana dipelajari metode penghitungan lepasan karbon, pengukuran serapan karbon, pengawasan, dan verifikasinya.

”Selain metodologi, perlu pembelajaran juga soal peraturan terkait legitimasi proyek,” kata Daniel. Untuk itu, Cifor mengembangkan riset di lima negara, termasuk Indonesia.

Indonesia tergolong salah satu negara dengan faktor kesulitan tinggi. Keragaman fisik dan biologis membutuhkan metode pengukuran dan pengawasan yang berbeda-beda sehingga butuh waktu.

Di Indonesia, setidaknya ada dua proyek percontohan (demonstration activities) di Kalimantan hasil kerja sama Indonesia dengan Jerman dan Australia.

”Jumlah itu jauh dari cukup,” kata Koordinator Substansi REDD, yang juga mantan Sekretaris Badan Litbang Departemen Kehutanan Nur Masripatin. Idealnya, proyek percontohan ada di setiap provinsi yang memiliki hutan. Pembelajaran penting lain di proyek percontohan adalah pendistribusian insentif. ”Baik berupa uang atau transfer teknologi, model pendistribusiannya harus dipelajari sejak sekarang,” kata dia.

Direktur Iklim dan Energi WWF Indonesia Fitrian Ardiansyah memperingatkan agar pemerintah mewaspadai persoalan tumpang tindih pengelolaan lahan di Indonesia. Kejelasan status lahan menjadi pertimbangan penting lolos-tidaknya proyek. (GSA)

Rabu, 26 Agustus 2009 | 04:45 WIB

Bulan, Galileo, dan Sumbangan Ilmiahnya

Bola kristal yang berisi planet dan bintang-bintang yang menempel di kulit bola telah dipecahkan oleh Galileo. Revolusi yang lahir karena itu sejajar dengan penemuan evolusi oleh seleksi alam Charles Darwin dalam pemahaman diri manusia di tengah alam (The Economist, 15/8/2009).

Pada pekan pertama Ramadhan 1430 Hijriah ini, bayangan tentang Bulan yang menentukan awal dan akhir bulan suci ini selalu muncul gamblang dalam ingatan. Bulan yang mengilhami manusia dalam banyak hal sejak dulu kala mendapatkan perspektif baru setelah ilmuwan Italia, Galileo Galilei (1564-1642), mengarahkan teropong astronomi yang baru ditemukan untuk menyibak rahasia langit.

Seperti pernah disinggung dalam rubrik ini (13/8/2008), tahun 2009 ini oleh Majelis Umum Ke-62 PBB, 20 Desember 2007 telah ditetapkan sebagai Tahun Astronomi Internasional. Penetapan tahun astronomi adalah sebagai penghormatan terhadap penggunaan teleskop pertama untuk astronomi oleh Galileo pada tahun 1609. Sejak itu, dengan teleskop yang makin lama makin kuat dan canggih, para astronom melahirkan temuan baru selama 400 tahun terakhir yang memicu revolusi ilmu pengetahuan yang memengaruhi pandangan manusia tentang alam semesta.

Tahun 1609 itu Galileo menjadi manusia pertama yang dapat mengamati dengan gamblang kawah-kawah di permukaan Bulan. Selain itu, dengan teleskopnya, ia juga dapat melihat empat bulan planet Yupiter yang paling besar, yakni Io, Europa, Ganymede, dan Callisto. Galileo melihat keempat bulan Yupiter yang kini dikenal sebagai bulan-bulan Galilean mengitari planet induknya, dan itu pula yang ia jadikan bukti untuk mendukung sistem heliosentrik—menempatkan Matahari sebagai pusat (tata surya), bukan Bumi—yang dimajukan oleh Copernicus. Temuan Galileo, dan kemudian dukungannya pada Teori Heliosentrik, amat mengguncangkan dunia pada waktu itu.

Setelah 400 tahun

Saat yang bersejarah itu sendiri dimulai ketika tanggal 25 Agustus 1609 Galileo memperlihatkan teleskop yang baru selesai dibuat kepada saudagar Venesia, dan tak lama setelah itu ia arahkan ke langit. Galileo pun melihat pegunungan yang menghasilkan bayangan di permukaan Bulan, dan ia pun menyadari bahwa benda langit itu merupakan sebuah dunia sebagaimana Bumi yang memiliki permukaan yang kompleks.

Selain bulan-bulan Yupiter, Galileo juga melihat fase-fase Venus yang serupa dengan Bulan. Hal itu juga menandakan bahwa planet itu mengelilingi Matahari, bukan Bumi. Baik bulan-bulan Yupiter maupun fase planet Venus menguatkan paham heliosentrik yang saat itu tidak didukung ajaran Gereja. Galileo juga melihat bintik Matahari, memperlihatkan bahwa Matahari bukan satu bola sempurna seperti dituntut kosmologi Yunani. Hal lain yang juga dilihat Galileo, tetapi banyak dilupakan adalah bahwa galaksi Bima Sakti, sabuk putih yang menyilang di langit, adalah tersusun dari banyak sekali bintang.

Pengamatan Galileo tersebut menyiratkan bukan saja Bumi bukanlah pusat segalanya, tetapi juga semua yang terlihat Galileo amat jauh lebih luas dan besar daripada apa yang bisa dibayangkan oleh orang pada saat itu.

Selain lebih besar, obyek langit tersebut —sejak saat itu—juga lebih tua. Para astronom dewasa ini mematok umur alam semesta pada kisaran 13,7 miliar tahun, atau sekitar tiga kali lebih tua dibandingkan Bumi, atau sekitar 100.000 kali rentang kehidupan manusia modern sebagai spesies. 

Lalu, kalaupun umurnya sudah bisa diperkirakan, tetapi ukuran alam semesta sebenarnya masih belum diketahui. Dengan pengetahuan yang ada sekarang ini, manusia tidak dapat mengetahui jarak yang lebih jauh dari 13,7 miliar tahun cahaya.

Dari cabang fisika, yang selama ini setia mengawal perkembangan astronomi, berkembang pemikiran bahwa alam semesta, betapapun mahaluasnya, boleh jadi hanya satu dari banyak struktur serupa, yang satu dan lainnya diatur hukum-hukum yang tak jauh berbeda. Ringkasnya, sesungguhnya ada banyak alam semesta, atau juga disebut multiverse, bukan universe (The Economist, 15/8/2009).

Sejajar Darwin

Apa yang dilihat Galileo pada tahun 1609 ibaratnya telah membedah batas penglihatan dan—dengan itu—pemahaman manusia atas alam kosmos. Jagat tempat manusia hidup di zaman Galileo bisa dikatakan ukuran yang telah diketahui. Orang Yunani saja sudah punya cukup gambaran mengenai ukuran Bumi dan jarak ke Bulan. Namun, semua itu masih merupakan jarak-jarak yang bisa dikatakan terjangkau imajinasi. Namun, setelah Galileo, lalu terbangun kosmos yang skalanya sulit dibayangkan. Belum lagi kalau argumen seperti multiverse kita perhitungkan.

Masa 400 tahun telah berlalu semenjak penemuan teleskop Galileo, dan para astronom terus berkiprah mempelajari dan menemukan hal baru, mulai dari planet yang mengelilingi bintang-bintang nun jauh di bagian lain galaksi, yang mungkin didiami makhluk asing, hingga materi gelap dan energi yang belum diketahui apa arti dan konsekuensinya. Bisa jadi, kelak juga akan lahir penemuan yang mengubah dunia sebagaimana penemuan Galileo.

Berkah pengetahuan

Berangkat dari penemuan Galileo yang kini dihormati sebagai Tahun Astronomi Internasional, pengetahuan manusia akan kosmos kini telah berkembang beraneka ragam. Sudut-sudut gelap semesta yang semula tidak diketahui setapak demi setapak mulai terkuak.

Kita di Indonesia juga telah memiliki dan mengembangkan tradisi astronomi. Ada komunitas astronom yang—meski tidak banyak relatif terhadap jumlah penduduk, dan bekerja dengan fasilitas yang bisa dikatakan ala kadarnya—terus mendedikasikan diri bagi upaya pengungkapan rahasia semesta, dan dengan itu juga semakin meningkatkan pemahaman manusia dan posisinya di semesta ini.

Sebagian dari mereka juga mendalami pemanfaatan instrumen untuk pengamatan benda-benda langit. Dalam kaitan ini kita berharap pada bulan suci Ramadhan ada berkah pengetahuan yang dapat kita simak dari kemajuan astronomi, bersamaan dengan rangkaian peringatan 400 tahun teleskop Galileo.

Dengan menyerap berkah pengetahuan itu pula kita beranjak menjadi bangsa yang semakin maju, dengan rasionalitas yang makin berkembang. Sebagaimana manusia pascapenemuan teleskop yang menyerahkan otoritas pengamatan alam dari mata telanjang ke instrumen, dalam hal-hal lain pun kita juga tidak perlu ragu untuk memercayakan sejumlah urusan kita pada instrumen ilmiah yang dilandasi oleh pengetahuan yang memadai. Tradisi yang telah diturunkan oleh Galileo hingga kini masih diikuti oleh pewaris intelektualnya yang juga cemerlang.

Rabu, 26 Agustus 2009 | 03:12 WIB
Oleh NINOK LEKSONO

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...