Friday, August 28, 2009

Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011

Kelautan

Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.

Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.

Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.

Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.

Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.

HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.

Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Bisa dialihkan

HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.

Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.

Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)

Kelautan: Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011

Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.

Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.

Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.

Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.

Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.

HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.

Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Bisa dialihkan

HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.

Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.

Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)

Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011

Kelautan

Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.

Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.

Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.

Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.

Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.

HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.

Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Bisa dialihkan

HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.

Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.

Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)


Kelautan
Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011
Jumat, 28 Agustus 2009 | 06:18 WIB
Jakarta, Kompas - Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.
Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.
Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.
Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.
Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.
Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.
Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.
HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.
Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.
Bisa dialihkan
HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.
Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.
Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.
Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.
Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)

Indonesia Mampu Sumbang 2,3 Giga Ton Per Tahun

EMISI KARBON

Hasil analisis 150 ahli emisi karbon terhadap enam sumber emisi, terhitung emisi karbon Indonesia pada 2005 mencapai 2,3 giga ton per tahun. Jika tidak dilakukan kebijakan pencegahan, pada tahun 2030 emisi karbon Indonesia diperkirakan menjadi 3,6 giga ton per tahun.

Emisi karbon tahun 2005 itu menempatkan Indonesia sebagai emiter terbesar ketiga di dunia, setelah China dan Amerika Serikat. Jejak karbon di atmosfer sejak era industrialisasi, sumbangan AS dan negara maju masih jauh lebih besar daripada negara di kawasan Asia.

”Dengan kebijakan mitigasi yang didukung dunia internasional, Indonesia mampu berperan besar menurunkan emisi karbonnya,” kata Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim yang juga Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, pada peluncuran ”Kurva Biaya Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia”, yang dihadiri sejumlah wartawan media nasional dan asing di Jakarta, Kamis (27/8).

Hingga tahun 2030, hasil penelitian yang dilakukan konsultan internasional yang digunakan di 15 negara itu, Indonesia berpeluang menurunkan emisi karbon 2,3 giga ton atau 2,3 miliar ton. Jika terwujud, tahun 2030 emisi karbon Indonesia tersisa 1,3 giga ton per tahun.

”Hasil penelitian ini menjadi tantangan bagi para pengambil kebijakan pada masa depan,” kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo. Peluang penurunan emisi ada di enam sektor, yakni kehutanan dan lahan gambut, energi, transportasi, pertanian, semen, serta gedung.

Kehutanan terbesar

Dari keenam sektor, potensi terbesar pengurangan emisi yaitu dari sektor kehutanan dan lahan gambut, di antaranya melalui pencegahan konversi hutan (deforestasi), penanaman kembali, dan rehabilitasi lahan gambut.

Emisi dari pembukaan hutan dan lahan gambut mencapai 80 persen emisi nasional. Oleh karena itu, Indonesia berkepentingan agar mekanisme reduksi emisi akibat deforestasi dan degradasi lahan (REDD) diadopsi dalam rezim baru pasca-Protokol Kyoto di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009.

Sejumlah langkah murah mereduksi emisi, di antaranya perbaikan mesin pembakaran internal kendaraan umum, menggunakan bola lampu hemat energi (LED), dan menggunakan peranti elektronik yang lebih efisien.

Acuan nasional

Rachmat Witoelar mengatakan, penelitian McKinsey yang digarap empat bulan itu akan dijadikan acuan nasional. Di antaranya akan dibawa dalam beberapa forum menteri lingkungan, para pemimpin G-20, dan pertemuan tingkat tinggi yang akan dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di New York, Amerika Serikat, September 2009.

Meski demikian, seperti dikatakan Agus Purnomo, hasil penelitian itu lebih banyak digunakan untuk kepentingan dalam negeri. Tidak ada kaitannya dengan komitmen Indonesia di Kopenhagen pada Desember mendatang.

”Indonesia tidak berniat mengurangi emisi seperti target negara-negara Annex-I (negara maju). Mereka wajib mengurangi emisi dalam jumlah besar (deep cut),” katanya. (GSA)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...