Wednesday, September 2, 2009

Limbah Merkuri Mulai Cemari Poboya

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Palu, Sulawesi Tengah, menguji contoh air di sejumlah titik di areal penambangan emas Poboya. Langkah itu menyusul temuan dinas kesehatan mengenai kandungan merkuri 0,05 ppm pada sumur warga sekitar areal tambang. Batas toleransi merkuri 0,01 ppm.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Palu Rosida Thalib, Senin (31/8), mengatakan, pihaknya sudah mengambil contoh air di sungai, sumur, dan sumber air Perusahaan Daerah Air Minum.

”Kandungan merkuri sudah mengkhawatirkan sehingga perlu diwaspadai dan dicari solusinya segera,” katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Palu drg Emma Sukmawati menuturkan, bulan Juli lalu, pihaknya mengambil contoh air di sumur warga sekitar tempat beroperasi tromol. Tromol adalah alat berat pengolahan biji dan pasir menjadi emas menggunakan air keras.

Pencemaran merkuri adalah salah satu yang dikhawatirkan terkait maraknya aktivitas penambangan emas di Poboya. Para aktivis lembaga swadaya masyarakat, di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Sulteng, beberapa kali mengingatkan soal ini.

Poboya merupakan salah sumber air dan penyangga bagi kota Palu. Poboya juga salah satu kawasan hutan dengan luas 200 hektar. Semula aktivitas penambangan dilakukan secara tradisional oleh warga. Belakangan, Poboya juga didatangi penambang dari Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.

Aktivitas penambangan meningkat menjadi industri tambang skala kecil dan menengah. Saat ini sudah lebih dari 20 tromol beroperasi.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigjen (Pol) Suparni Parto menyatakan, tahun lalu hanya sekitar 200 penambang di Poboya. Saat ini penambang sudah mencapai 1.000 lebih dengan lubang galian mencapai ratusan.

”Kami siap menghentikan aktivitas penambangan dengan langkah hukum, tetapi tidak semudah itu. Kami perlu mengambil langkah yang bersifat persuasif, tidak agresif dan tidak menimbulkan persoalan. Perlu solusi bagi para penambang setelah aktivitas mereka dihentikan,” kata Suparni. (REN)

Selasa, 1 September 2009 | 04:38 WIB

Jangan Legalkan Pelanggaran Tata Ruang

Direktur Lingkungan Hidup Perkotaan Institut Hijau Indonesia Selamet Daroyni meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memutihkan pelanggaran penggunaan lahan dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 2010-2030. Pemutihan pelanggaran penggunaan lahan, terutama ruang terbuka hijau, dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan melestarikan banjir.

”Sejak 1985, Pemprov DKI Jakarta cenderung memutihkan pelanggaran tata ruang melalui penyusunan RUTR (rencana umum tata ruang) yang baru. Pemutihan selalu terlihat dari mengecilnya luas untuk ruang terbuka hijau dan berganti dengan lahan terbangun,” kata Selamet.

Pada Rencana Induk Djakarta 1965-1985, alokasi lahan kota untuk ruang terbuka hijau (RTH) mencapai 37,2 persen. Luas RTH berkurang menjadi 26,1 persen pada RUTR 1985-2005 dan berkurang lagi menjadi 13,94 persen pada Rencana Tata Ruang Wilayah 2000-2010.

Selamet mengatakan, tekanan pengusaha untuk memanfaatkan setiap jengkal lahan Jakarta menjadi area bisnis membuat para pejabat pemprov sering mengesahkan perubahan tata guna lahan, terutama dari RTH. Perubahan peruntukan lahan kemudian sering dilegalkan atau diputihkan dalam rencana tata ruang yang baru.

Selamet mencontohkan, lahan ruang terbuka hijau di Senayan dijadikan hotel. Lahan hutan bakau di Jakarta Utara juga diubah menjadi permukiman besar.

Menurut Ketua Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia Rudy P Tambunan, RUTR 2010-2030 harus berkonsentrasi pada transportasi, banjir dan sanitasi, sampah, dan permukiman. Pemprov harus memerhatikan dampak lingkungan yang mungkin timbul dari perencanaan tata ruang yang disusun.

Kawasan Jakarta Utara merupakan dataran rendah yang tidak mungkin mengalirkan air banjir secara gravitasi dan harus didominasi oleh tanaman bakau. Namun, kawasan tersebut justru dipenuhi oleh lahan terbangun.

”Untuk mengatasi dampak banjir yang timbul karena kesalahan perencanaan kota itu, Pemprov DKI harus menyediakan banyak polder untuk menyedot dan membuang air banjir,” kata Rudy.

Banjir

Selamet mengatakan, menyusutnya ruang terbuka hijau karena berubah menjadi lahan terbangun menyebabkan daya serap tanah terhadap air menurun. Daya serap tanah hanya 26,6 persen sehingga 73,4 persen air hujan mengalir ke laut.

Masalahnya, saluran drainase di Jakarta dalam kondisi buruk karena tidak terawat dengan baik. Bahkan, jumlah situ di Jakarta yang berada dalam kondisi baik untuk menampung air hanya 16 situ dari 45 situ yang ada.

Sebanyak 23 situ dalam kondisi rusak, satu situ sedang direhabilitasi, sedangkan lima situ sudah hilang. Situ yang hilang sudah diuruk dan dijadikan permukiman. (ECA)

Selasa, 1 September 2009 | 04:37 WIB

Publikasi Seni Budaya Banyak Karya Asing

Publikasi yang berkualitas tentang seni budaya Indonesia sampai saat ini masih diwarnai oleh para peneliti dan sarjana asing yang karyanya banyak tersebar di berbagai daerah. Adapun di dalam negeri karya seperti itu masih terhambat minimnya dana dan minimnya apresiasi.

Buku-buku yang cukup standar secara akademis tentang Minangkabau, misalnya, selama ini masih merujuk pada karya-karya sarjana asing, yang memang secara mendalam dan sungguh-sungguh melakukan pekerjaannya.

Budayawan dan mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat, Edy Utama, mengatakan hal itu ketika dihubungi Senin (31/8) di Padang.

”Kalau ada yang ingin melakukan penelitian tentang teater tradisional Minangkabau, randai, misalnya, kita masih harus merujuk kepada karya Prof Kirstin Pauka dari Hawaii University serta tentang silat Minangkabau pada karya Dr Hiltrud Cordes dari Jerman. Atau, kalau mau mempelajari sijobang, sebuah teater tutur dari Payakumbuh, kita masih terpaksa menggunakan hasil penelitian Nigel Philyps dari SOAS Inggris,” katanya.

Edy menjelaskan, kita nyaris tak bisa menemukan karya-karya yang dipublikasikan yang ditulis secara mendalam tentang seni budaya kita oleh orang Indonesia sendiri. Jika mau mempelajari budaya masyarakat Mentawai, hampir 100 persen buku rujukannya karya orang asing.

Dihubungi secara terpisah, sastrawan asal Bali, Tan Lioe Ie, mengatakan, pemerintah harus memberi apresiasi lebih terhadap seni budaya, dengan mendorong kalangan akademisi atau peminat kebudayaan untuk meneliti dan menulis buku seni budaya.

”Upaya pendokumentasian berbagai seni budaya yang kita miliki perlu digalakkan, termasuk di dalamnya penerbitan buku seni budaya, penerjemahan ke dalam berbagai bahasa, dan pendistribusiannya ke berbagai negara,” katanya. ”Jika seni budaya kita dikenal luas di dalam dan luar negeri, besar kemungkinan rakyat akan bangga dan mencintainya,” ujar Lioe Ie.

Minim dana dan apresiasi

Menurut Edy Utama, kurangnya publikasi atau penerbitan buku-buku tentang seni budaya di Indonesia, umumnya, dan Sumatera Barat, khususnya, selain dana sangat kurang, juga disebabkan belum ada orang yang sungguh-sungguh mau mengabdikan hidupnya untuk mengamati, meneliti, dan menulis seni budaya itu sendiri.

Kalau orangnya pun ada, ia juga akan terbentur dengan minimnya dana dan apresiasi dari pemerintah serta masyarakat sehingga hasil karyanya tidak cukup mendalam dan kurang komprehensif. Sebetulnya, berbagai bentuk penelitian awal tentang seni budaya di Sumatera Barat telah banyak dilakukan, terutama untuk keperluan akademis.

Banyak dosen yang telah membuat tesis dan bahkan juga disertasi tentang seni budaya, tetapi belum banyak yang dipublikasikan, dengan alasan tidak adanya dana penerbitan.

”Memang tidak semua hasil penelitian akademis punya kualitas, tetapi sebagai bahan awal untuk menelusuri kekayaan khazanah seni budaya di daerah, dapat dikatakan sudah cukup memadai. Tinggal lagi melakukan penelitian lanjutan sehingga dapat dijadikan bahan publikasi dalam bentuk buku yang dapat dikonsumsi oleh umum,” tutur Edy Utama.

Sementara itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat masih menginventarisasi seni budaya yang ada di setiap kabupaten dan kota. Diharapkan pada tahun 2010 seluruh seni tradisi yang ada bisa didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

”Tahun ini tidak bisa karena tidak ada anggarannya,” kata Kepala Bidang Kesenian dan Perfilman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat Oden Effendi. Berdasarkan pendataan tahun 2004, ada 398 kesenian tradisi yang ada di Jawa Barat, mencakup seni tari, pertunjukan, hingga alat musik.

Ketergantungan

Dia berpendapat, minimnya publikasi tentang seni budaya kita, apalagi yang berkualitas, telah menyebabkan kita terjebak ketergantungan terus-menerus terhadap hasil pengetahuan orang asing (Barat).

Padahal, kalau mau memahami budayanya secara mendalam sebagai hasil pergulatan kreatif anak bangsa, mau tidak mau, kita harus mendorong penelitian, kajian, dan publikasi oleh bangsa sendiri.

Perspektif orang dalam di sisi lain akan bisa mengungkap banyak hal dari karakteristik budaya kita yang unik, plural—yang orang luar belum tentu dapat menangkap ruhnya sepenuhnya.

”Saya percaya, jika para sarjana, seniman, dan wartawan kita diberi peluang dan dukungan pendanaan yang cukup, akan dapat menghasilkan karya-karya penulisan tentang seni budaya kita, yang siap dipublikasikan ke dunia. Dengan cara itu, kita telah menyatakan kepada dunia bahwa berbagai seni budaya yang sangat kaya ini adalah milik kita meskipun belum dipatenkan atau didaftarkan,” katanya.

Selain untuk mempertahankan dari klaim bangsa lain, penelitian, kajian, dan publikasi tersebut juga berguna bagi pewarisan budaya—salah satu masalah paling krusial dalam kehidupan bangsa kita dewasa ini.

Lembaga kebudayaan

Tan Lioe Ie mengatakan, perlu peran media yang punya akses luas ke masyarakat dalam memublikasikan berbagai hal menyangkut seni budaya. Pemerintah juga perlu memberi apresiasi lebih kepada seni budaya kita, termasuk senimannya, begitu pula dunia usaha, seperti sektor pariwisata yang ”diuntungkan” oleh seni budaya kita.

”Perlu lembaga kebudayaan Indonesia di berbagai negara untuk mempromosikan seni budaya kita, semacam Goethe Institute dan Erasmus Huis, mendukung penerbitan karya seni, pengiriman seniman ke luar negeri, tradisional ataupun modern, untuk ditampilkan kepada warga negara setempat, selain ditampilkan di berbagai ajang festival seni budaya di dalam negeri sendiri serta ditayangkan/dipublikasikan secara luas agar masyarakat kenal dan cinta seni budayanya, baik yang tradisional maupun modern,” katanya.

Untuk teknis pelaksanaan, pemerintah bisa bermitra dengan swasta dan memiliki kurator yang bagus sehingga festival itu bermutu dan layak berita, baik bagi media dari Indonesia sendiri maupun media asing. Tentu upaya ini perlu dilakukan terus-menerus karena sulit berharap hasilnya secara instan. (NAL/JON)

Serat Rami:Dari Rompi Antipeluru hingga Kaki Palsu

Memiliki sumber hayati melimpah, Indonesia juga kaya bahan serat alam. Pemanfaatannya sebagai bahan komposit yang ramah lingkungan berpotensi menggantikan logam dan plastik. Salah satu sumber serat itu adalah rami yang layak digunakan untuk rompi antipeluru, tabung gas, hingga kaki palsu.

Kembali ke alam” untuk menggunakan bahan yang ramah lingkungan kini menjadi gerakan yang meluas di dunia. Salah satu sumber hayati yang digunakan dan dikembangkan pemanfaatannya adalah serat dari tetumbuhan.

Jumlah tumbuhan yang mengandung serat atau selulosa melimpah di Indonesia dan beberapa telah dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp kertas dan dissolving pulp untuk serat rayon.

Selama ini ada sekitar 11 jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan bahan selulosanya, baik yang berasal dari batang, buah, maupun daun, yaitu pisang abaka, kelapa, kapas, nanas, tami, sisal, flax (Linum usitatissimum), jute, mesta, dan jerami.

Berbagai produk

Di antara berbagai serat alam yang ditemukan di Indonesia, menurut pakar komposit dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Prof Dr Tresna P Soemardi, paling tidak dua bahan serat, yaitu pisang abaka dan rami, berpotensi dikembangkan menjadi berbagai produk yang berkualitas dan bernilai tinggi.

Serat dari batang pisang abaka (Musa textilis) adalah salah satu spesies pisang yang merupakan tumbuhan asli Filipina, tetapi juga ditemukan sebagai tumbuhan liar di Kalimantan dan Sumatera.

Di Filipina serat abaka diolah menjadi benang hingga menjadi pakaian tradisional. Namun, seratnya yang halus dan kuat ini sejak dulu digunakan sebagai bahan baku kertas uang.

Keunggulan rami

Namun, jika dibandingkan dengan tanaman rami (Boehmeria nivea), abaka tergolong rendah kandungan selulosanya.

Abaka mengandung 60-65 persen selulosa, sedangkan rami pada kulit batangnya berisi 80-85 persen selulosa. Adapun kandungan ligninnya jauh lebih rendah dibandingkan abaka, yaitu 1 : 5.

Karena keunggulannya itu, sejak zaman pendudukan Jepang, tahun 1943, rami sudah dikenal bukan hanya untuk tali tambang, tetapi juga bahan pembuatan karung goni. Karung goni kemudian dijadikan pakaian oleh penduduk Indonesia pada masa sulit itu.

Tanaman ini memang lebih banyak ditanam masyarakat Indonesia dibandingkan dengan abaka sejak dulu karena keunggulan dalam pemanfaatannya itu. Rami sangat cocok dibudidayakan di wilayah barat Indonesia yang beriklim basah karena tanaman ini memerlukan banyak curah hujan sepanjang tahun.

Menurut penelitian Lembaga Penelitian Tanaman Industri, Bogor, hasil rata-rata 1 hektar adalah sekitar 36 ton batang basah dengan rendemen antara 3,5% dan 4,0% sehingga hasil akhirnya diperkirakan sekitar 1,3 ton per hektar serat kering.

Semua berguna

Rami sebagai tanaman tahunan di daerah tropis selama ini telah banyak digunakan. Daunnya merupakan bahan kompos dan pakan temak bergizi tinggi. Pohonnya baik untuk bahan bakar, tetapi yang paling bernilai ekonomi tinggi adalah serat dari kulit kayunya. Hampir semua bagiannya dapat digunakan.

Akhir-akhir ini beberapa pengusaha, terutama swasta, tertarik dan berusaha mengembangkan rami di Indonesia untuk diambil seratnya itu, antara lain karena pasar terjamin meskipun dalam jumlah terbatas, dan produknya diminati Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan Amerika Serikat.

Serat rami digunakan oleh industri tekstil sebagai subsitusi kapas dan bahan baku pulp kertas. Karena memiliki serat yang panjang, rami sangat potensial untuk dikembangkan menjadi pulp putih serat panjang yang selama ini masih diimpor.

Pulp berserat panjang ini digunakan untuk kertas tulis, kertas fotokopi, kertas khusus seperti kertas saring teh celup, kertas dasar stensil, kertas rokok, hingga kertas berharga yang memerlukan ketahanan dan berdaya simpan lama, seperti kertas uang, kertas surat berharga, kertas dokumen, dan kertas peta.

Selain itu, serat rami dengan kandungan selulosa yang tinggi dapat digunakan sebagai bahan baku rayon dan/atau nitroselulosa/NC.

Bahan peledak

Menurut riset peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Pertahanan, selulosa rami merupakan salah satu unsur pokok pembuat bahan peledak dan propelan.

Sejak beberapa tahun terakhir ini Tresna, yang mendalami ilmu komposit di Perancis untuk aplikasi pada badan pesawat terbang, mulai mengolah komposit dari serat alam, khususnya serat rami untuk berbagai produk. Pertama, serat rami dianyam menjadi rompi antipeluru.

Belakangan ini bahan rami yang telah diolah menjadi epoksi terbukti layak berdasarkan pengujian untuk digunakan sebagai tabung gas dan kaki palsu.

”Kaki palsu dari bahan rami, lebih lembut sehingga nyaman dipakai dibandingkan dengan serat kaca,” tutur Tresna, yang telah memperoleh paten untuk pembuatan tabung gas dari bahan rami.

Penggunaan bahan rami untuk kaki palsu diharapkan dapat menolong banyak penyandang cacat kaki, yang jumlahnya tergolong tinggi di Indonesia.

Berdasarkan survei yang dilakukan Departemen Sosial, jumlah penyandang cacat di sembilan provinsi mencapai 299.203 jiwa. Dari jumlah tersebut, kecacatan yang paling banyak penyandangnya adalah cacat kaki, yaitu 21,86 persen.

Selasa, 1 September 2009 | 04:49 WIB
Penulis: Yuni Ikawati

TNI: Pulau Jemur Bagian dari NKRI


Tentara Nasional Indonesia (TNI) menegaskan, Pulau Jemur yang berada di gugusan Kepulauan Arwah di perairan Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ket.Foto: Pulau Jemur, Provinsi Kepulauan Riau

"Tidak benar jika itu bagian dari wilayah Malaysia, tetapi bagian dari NKRI," kata Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso di Kabupaten Bekasi, Rabu (2/9).

Ia menegaskan, TNI akan terus menjaga dan mempertahankan seluruh wilayah RI, termasuk di titik-titik terluar yang berbatasan dengan sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, dan lainnya.

"TNI senantiasa berupaya menghadirkan unsur-unsurnya di seluruh wilayah RI, termasuk di Pulau Jemur. Di sana, telah ada Pos TNI Angkatan Laut. Patroli di laut dan udara juga kami lakukan rutin," ujar Djoko.

Situs traveljournals.net mencantumkan lokasi dan peta Pulau Jemur sebagai bagian dari tujuan wisata wilayah Selangor, Malaysia.

Panglima TNI mengatakan, seluruh persoalan yang berkaitan dengan wilayah perbatasan RI dengan negara lain akan diselesaikan melalui jalur diplomasi.

"TNI hanya bertugas menjaga keutuhan wilayah NKRI, dan jika ada persoalan itu akan diselesaikan secara diplomatik oleh pemerintah," katanya.

Dalam situs Travel Journal dicantumkan lokasi dan peta Pulau Jemur yang dikatakan masuk dalam wilayah Selangor, Malaysia. Namun, informasi mengenai penanggung jawab situs pariwisata tersebut tidak bisa diketahui.
RABU, 2 SEPTEMBER 2009 | 14:15 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...