Saturday, September 5, 2009

Pendidikan Kesiagaan Bencana Sangat Minim

Pendidikan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam sangat minim diajarkan di sekolah-sekolah. Akibatnya, siswa tidak banyak tahu cara bertindak yang tepat saat terjadi bencana. Padahal, pengetahuan ini sangat penting untuk mengurangi risiko saat terjadi bencana alam.

S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (4/9), mengatakan bahwa kurikulum pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah minim berorientasi kepada kehidupan.

”Pembelajaran di kelas difokuskan pada penguasaan ilmu semata, bukan bagaimana mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Hamid Hasan.

Akibatnya, setiap kali terjadi bencana, seperti gempa bumi, banjir, atau kebakaran, siswa terbiasa panik yang bisa mengancam keselamatan mereka.

”Pembelajaran kesiapsiagaan menghadapi bencana itu tidak mesti dalam mata pelajaran khusus. Itu bisa diajarkan di mata pelajaran apa saja, misalnya Geografi. Yang penting, siswa diajarkan terus-menerus,” ujarnya.

Minim di buku pelajaran

Hari Risnanda, guru Ilmu Pengetahuan Sosial SMP di Jakarta, menyatakan, pembelajaran soal peringatan dini atau early warning system menghadapi bencana di buku pelajaran sekolah memang minim. Untuk itu, guru yang perlu berinisiatif untuk bisa menambah pengetahuan siswa soal bagaimana prosedur penyelamatan diri yang benar ketika terjadi bencana.

”Pembelajaran bagaimana menghadapi bencana biasanya terbatas, pas ada materi pelajaran itu saja. Lagi-lagi itu tergantung gurunya, apa cuma sebatas pengenalan jenis-jenis gempa atau juga secara rinci menyampaikan panduan bagaimana bersikap saat terjadi gempa,” tutur Hari.

Loula Maretta dari Green Education mengatakan bahwa sekolah perlu membangun pembiasaan menghadapi bencana, mulai dari gempa bumi, kebakaran, hingga kerusuhan. Karena Indonesia rawan bencana alam, setiap warga negara, termasuk siswa, mesti tahu bagaimana cara bisa meloloskan diri secara tepat supaya tidak menambah korban bencana.

”Di sekolah-sekolah alam, pelajaran dan pelatihan menghadapi bencana itu selalu dilakukan. Dengan demikian, siswa tidak panik dan bisa mengambil langkah tepat saat terjadi bencana,” kata Loula. (ELN)

Sabtu, 05 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/03205499/pendidikan.kesiagaan.bencana.sangat.minim

Mengurangi Risiko Kecelakaan akibat Gempa

Kesiapsiagaan terhadap risiko gempa bumi makin tak terelakkan. Selama periode 2004-2009 gempa menimpa berbagai wilayah, membentang dari Aceh hingga Papua, serta merenggut jiwa dan kerugian material yang tidak sedikit.

Akhir 2004 ditandai gempa berkekuatan 9,3 skala Richter di wilayah Aceh-Andaman hingga menewaskan sekitar 300.000 penduduk Aceh dan Laut Andaman. Disusul tiga bulan kemudian, Maret 2005, gempa di Nias menewaskan lebih dari 1.000 orang.

Rentetan berikutnya, antara lain Juni 2006 gempa di Yogyakarta yang menewaskan lebih dari 6.000 jiwa. Berselang satu bulan kemudian gempa dengan tsunami terjadi di Pangandaran.

Pada 2007 beruntun, antara 1 hingga 12 September gempa relatif besar terjadi di Bengkulu dan Kepulauan Mentawai. Pada awal 2009 juga terjadi gempa berkekuatan 7,6 skala Richter di Sorong, Papua Barat.

Terakhir kali, gempa di Tasikmalaya, Jawa Barat, berkekuatan 7,3 skala Richter beberapa hari lalu. Rentetan peristiwa gempa tersebut menunjukkan bahwa kini saatnya untuk makin gencar bertindak mengurangi risiko kecelakaan akibat gempa.

Kunci utamanya, pertama, mengenali fenomena alam gempa bumi itu sendiri, kedua, mengenali ancaman risiko gempa terhadap lokasi tempat tinggal, serta ketiga, mengenali struktur rumah dan mengupayakannya agar tahan gempa.

Mengenali fenomena gempa, berarti sekaligus tahu dampak-dampaknya. Tanah longsor dan amblas atau terbelah merupakan dampak ikutan dari gempa. Selain itu, yang tinggal di pantai juga harus mengantisipasi terjadinya tsunami.

Mengenali gejala tsunami, seperti tiba-tiba air laut surut, penting sekali untuk diketahui agar terhindar dari terjangan gelombang besar yang datang kemudian.

”Kondisi korban gempa semakin banyak yang berada di permukiman karena tertimpa struktur bangunan,” kata Hengki Wibowo Ashadi, dosen Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jumat (4/9).

Menurut dia, yang amat penting sekarang adalah pengetahuan untuk mengenali cara-cara mengurangi risiko kecelakaan akibat gempa. Menurut Hengki, yang terpenting diupayakan adalah mewujudkan bangunan tahan gempa. ”Semestinya itu bisa dimasukkan ke dalam peraturan daerah,” ujarnya. Selain itu, juga harus tahu bagaimana bersikap atau bertindak tepat sebelum dan saat terjadi gempa.

Direktur Eksekutif Humanitarian Forum Indonesia Hening Parlan sebagai salah satu anggota dari Platform Nasional, sebuah forum multistakeholders yang melakukan koordinasi suportif bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengatakan, ”Penanggulangan bencana sekarang belum menjadi terpenting. Fokusnya adalah sikap individual menghadapi bencana. Selama ini kita pada umumnya masih bertindak sesuai refleks. Jadi kesiapsiagaan itu penting sampai ke individu-individu.”(NAW/ISW)

Sabtu, 05 September 2009

Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/0316395/mengurangi.risiko.kecelakaan.akibat..gempa

Perang dengan Malaysia?

Pada awal tahun 1950-an ada lelucon. Jika ada sejumlah orang sedang berselisih, datanglah seseorang yang akan memisah dengan mengatakan, ”Sudahlah jangan bertengkar. Itu tentara Belanda akan datang menyerang.” Ajaibnya, konon, pertikaian berakhir karena semua siap menghadapi musuh.

Inti lelucon itu adalah bangsa Indonesia akan bersatu bila ada musuh bersama. Lelucon ini menyakitkan karena kita dianggap baru bersatu bila ada musuh bersama.

Gampang tersulut

Tampaknya, itulah yang terjadi. Ketika kasus Ambalat muncul dan konon Malaysia akan menyerobot pulau Indonesia itu, orang menyerukan untuk mengganyang Malaysia. Saat lagu ”Rasa Sayange”, kain batik, dan reog ponorogo didaku milik Malaysia, masyarakat menggusari Malaysia. Bumbu kemarahan lain adalah nasib tenaga kerja Indonesia yang kabarnya di sana banyak dizalimi. Terakhir, saat tari pendet masuk program pariwisata Malaysia, orang siap mengamuk melawan jiran serumpun itu.

Di sisi lain, kasus itu menunjukkan sampai tahap tertentu, rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme masih kuat pada bangsa Indonesia. Namun, kasus itu juga mengungkap, kemarahan gampang disulut dan kita mudah terpancing untuk bertindak irasional. Seruan-seruan untuk mengganyang Malaysia, yang dulu pernah didengungkan saat Trikora dideklarasikan, merupakan contoh irasionalitas itu.

Namun, kita juga disadarkan. Ingatan kolektif bangsa tentang masa konfrontasi dengan Malaysia ternyata masih ada dan kuat. Sentimen anti-Malaysia mudah disulut meski generasi sudah berganti.

Apa yang terjadi pada kita? Bila mawas diri, soul searching, kita merasa, kekesalan kepada Malaysia sebenarnya tercampur perasaan lain, di antaranya perasaan tersinggung karena merasa dilecehkan saudara serumpun yang lebih muda. Juga ada rasa iri dan cemburu karena kini Malaysia lebih maju dan lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia, padahal kita merdeka lebih dulu. Dan pada awal kemerdekaan, mereka ”berguru” kepada Indonesia. Juga ada rasa kecewa karena Malaysia dianggap kurang tenggang rasa dan menganggap enteng saudara tua, Indonesia.

Selama ini, banyak di antara kita merasa lebih unggul dibandingkan dengan Malaysia karena Indonesia merebut kemerdekaan dengan darah dan keringat? Sedangkan Malaysia ”diberi” kemerdekaan oleh bekas penjajahnya

Mendadak, kita disadarkan, kini dunia sepertinya memakai parameter berbeda, bagaimana cara suatu negara merdeka kurang diperhatikan. Yang lebih penting dan diperhitungkan adalah kemajuan dan kesejahteraan rakyat negara itu.

Kita masih bisa berbangga diri, Indonesia adalah negara demokrasi nomor tiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Sedangkan Malaysia dan Singapura bukan negara demokratis. Apalagi di dua negara itu masih berlaku ketentuan seperti Internal Security Act yang memungkinkan orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang. Namun, apakah hal itu dapat membuat kita lebih unggul?

Sedang galau

Hati kita sebagai bangsa sedang galau. Kita seperti menggapai-gapai dan mencari-cari apa yang dapat mengangkat martabat bangsa. Kemiskinan dan pengangguran terserak di mana-mana. Korupsi di Indonesia masih bertengger di papan atas. Prestasi bidang olahraga yang memungkinkan atlet kita meraih medali emas hingga lagu ”Indonesia Raya” dikumandangkan tak juga kunjung tiba. Olahraga kita sedang jeblok. Karena itu, kini kita cenderung menjulangtinggikan prestasi-prestasi ”anak bangsa” yang lumayan tetapi tak terlalu tinggi, seperti medali emas di lomba fisika internasional atau kemenangan penyanyi di festival.

Kita juga gusar jika ada suara-suara yang mau mengecilkan atau meniadakan kebanggaan nasional seperti Candi Borobudur atau komodo dari daftar keajaiban dunia. Singkat kata, sebagai bangsa, kita sedang gampang tersinggung. Dalam hati, sebenarnya kita ingin tinggi menjulang dengan prestasi-prestasi besar, tetapi realitas menyadarkan, kita belum mampu. Meniadakan orang antre minyak tanah pun belum mampu, apalagi menghapus korupsi. Perjalanan masih jauh.

Dalam keterbatasan, apakah kita malu karena tidak bisa menepuk dada?

Tidak. Seperti bayi belajar berjalan, kita masih tertatih-tatih, harus puas dan bangga dengan prestasi-prestasi ”kecil”. Untuk mencapai prestasi besar, kita harus lebih banyak belajar dan bekerja lebih keras.

Kita juga harus becermin. Setelah beberapa jenis produk budaya Indonesia di klaim Malaysia, kita baru sadar selama ini telah melalaikan harta pusaka budaya. Dalam arus globalisasi dan pendewaan materi yang kini makin bersimaharajalela, secara setengah sadar kita telah mencampakkan kebudayaan nasional.

Celakanya, tampaknya kita juga masih melakukan kealpaan yang sama dengan retorika yang juga sama. Sekadar contoh, kita membanggakan diri, wayang kulit sejak 2003 diakui Unesco sebagai warisan budaya Indonesia. Kenyataannya, wayang kulit kita sebagai seni pertunjukan sudah bertahun-tahun sekarat dan kalau dibiarkan akan makin remuk.

Mengajak perang dengan Malaysia jelas bukan solusi. Agaknya yang perlu dilakukan adalah menyerukan kepada seluruh bangsa untuk kembali ke akal sehat dan lebih memelihara warisan budaya. Mungkin seraya memekikkan, ”Awas, itu Malaysia sudah mulai mengiklankan produk budaya kita!”



Sabtu, 05 September 2009


Penulis: Susanto Pudjomartono - Wartawan Senior

Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/02525244/perang.dengan.malaysia

Jurus Melawan Aksi Pencurian Online

Perkembangan teknologi, khususnya internet, tindak kejahatan di dunia maya pun kian merajalela. Salah satu tindak kejahatan cyber yang harus kita waspadai adalah aksi phishing (pencurian data identitas pribadi).

Modus yang sering dilakukan oleh para phisher -- istilah untuk orang yang melakukan phishing -- adalah dengan mengirim email yang seolah-olah berasal dari sebuah perusahaan resmi. Tujuannya untuk memancing user agar memberikan informasi pribadi yang kemudian digunakan untuk mencuri identitas. 

Para phisher memang seolah tak pernah kehabisan akal untuk melancarkan aksinya. Berbagai sarana digunakan untuk memuluskan usaha mereka mencuri informasi, termasuk melalui pop-up windows, URL yang tampak seperti alamat situs resmi, dan sebagainya.

Berikut beberapa tips Symantec untuk membentengi diri dari tindak pencurian di dunia maya:

-. Waspadalah dengan email-email yang meminta informasi rahasia, apalagi jika mengatasnamakan perusahaan finansial, karena pada umumnya perusahaan-perusahaan resmi tidak akan pernah meminta informasi rahasia melalui email.

-. Jangan memberikan informasi penting saat merasa tertekan, karena biasanya phisher sering menggunakan taktik menggertak atau mengancam calon korban. Misalnya mereka mengancam akan menonaktifkan sebuah akun atau menunda layanan sampai akhirnya Anda merasa terpojok dan memberikan informasi tertentu. Lebih baik Anda menghubungi langsung penjualnya untuk memastikan otentisitas permintaan mereka tentang suatu informasi.

-. Kenalilah aturan privasi suatu situs.

-. Email penipuan biasanya tidak bersifat personal (khusus), sementara email resmi dari suatu bank biasanya mencantumkan akun Anda yang terdaftar di perusahaan mereka.

-. Hindari mengisi informasi rahasia dalam sebuah form yang disertakan dalam sebuah email

-. Jangan langsung mengklik link yang tercantum di email untuk membuka sebuah situs. Lebih baik buka sebuah jendela browser baru dan ketik URL di address bar.

-. Pergunakan software terpercaya untuk menangkal aksi phishing. Norton Internet Security dapat menjadi salah satu pilihan, karena software ini secara otomatis akan mendeteksi dan memblokir situs-situs palsu. Selain itu, Norton Internet Security juga dapat mengidentifikasi otentisitas situs-situs bank dan perbelanjaan.

Dengan melakukan langkah-langkah di atas, niscaya Anda dapat terhindar dari aksi phishing.





Rabu, 02 September 2009
 

Penulis : Effendy Ibrahim, adalah Norton Business Lead untuk wilayah Asia Selatan.


Source: http://www.detikinet.com/read/2009/09/02/111835/1194555/323/jurus-melawan-aksi-pencurian-online

Akan Matikah Media Cetak?

Pertanyaan sudah muncul 15 tahun lalu akibat cepatnya perkembangan teknologi. Kenyataannya, hingga kini media cetak masih hadir.

Pertanyaan itu muncul kembali dan mencari jawaban karena dalam beberapa tahun ini banyak perusahaan media cetak, terutama di Amerika Serikat, digantikan oleh internet.

Belajar dari kebangkrutan

Tanggal 14 Juli 2009, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) menggelar diskusi bertopik ”Belajar dari Kebangkrutan Koran- koran di Amerika Serikat” yang menghadirkan beberapa pimpinan media.

Menurut salah satu pembicara, koran di AS yang bangkrut menggunakan modal publik, menghadapi masalah biaya, utang, pajak, dan penurunan pendapatan iklan sekitar 20 persen. Pendapatan dari sirkulasi koran juga turun meski tiras masih cukup tinggi (ratusan ribu).

Selain itu, perpindahan dari print ke online lebih merupakan exit strategy daripada inovasi. Contoh, Philadelphia Inquirer bangkrut saat tirasnya 300.674 eksemplar. The Minneapolis Star berhenti saat tiras 300.000, akan terbit dalam bentuk digital. Seattle Post Intelligencer berhenti saat tiras 117.600 dan exit strategy-nya terbit digital.

Sementara itu, di Eropa, banyak perusahaan media mampu bertahan bahkan sukses. Ini, antara lain, disebabkan pendapatan sirkulasi relatif stabil, menjadikan online sebagai pendukung, bukan musuh, mengembangkan bisnis print dan online secara simultan dalam kerangka strategi bisnis. Media online lalu bukan lagi exit strategy, tetapi inovasi.

Pembicara lain menambahkan, sejumlah perusahaan penerbitan yang bangkrut merupakan perusahaan publik yang tiap tahun harus tumbuh untuk meningkatkan harga saham, mengambil alih banyak perusahaan, yang menyebabkan pembengkakan biaya dan utang.

Meski demikian, optimisme tetap tumbuh bahwa media cetak akan tetap hadir. Hanya, media harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Juga ditawarkan content aggregation management bagi anggota SPS.

Krisis keuangan

Dari berbagai pendapat itu, ada beberapa hal yang perlu ditekankan dan ditambah. Hingga kini, jumlah pembaca media masih cukup tinggi karena itu kebangkrutan perusahaan media bukan disebabkan kekurangan pembaca, tetapi krisis keuangan dalam sebuah sistem dan pasar keuangan yang salah.

Sistem dan pasar keuangan di AS yang kontrol dan regulasinya lemah mengakibatkan banyak perusahaan tutup. Inilah yang, antara lain, menyebabkan pendapatan iklan media turun, berakibat kebangkrutan banyak perusahaan di AS, termasuk perusahaan penerbitan, lebih disebabkan krisis keuangan global dan kapitalisme (neoliberal).

Beberapa perusahaan besar, termasuk media cetak, lebih banyak memperdagangkan saham, uang, dan memperdagangkan perusahaan. Perusahaan media cetak tidak lagi memperdagangkan surat kabar dan ruang (space) media, tetapi memperdagangkan saham, melakukan akuisisi, jual beli perusahaan dan harapan. Semua ini membuat perusahaan menjadi ”bengkak”, menjadikan biaya rutin dan utang kian besar, yang berdampak kebangkrutan.

Di Eropa Barat, perusahaan media cetak relatif bisa bertahan dan banyak yang sukses karena pasar keuangannya terkontrol. Selain itu, media cetak tetap memusatkan kegiatan bisnis pada jual beli media cetak, termasuk ruang untuk iklan. Teknologi dimanfaatkan sebagai pendukung media cetak dan secara simultan dikelola bersama-sama.

Diskontinuitas budaya

Hingga kini, media cetak masih tetap hadir di negara-negara yang penetrasi internetnya tinggi. Menurut Internet World Stats (2008), di Singapura, misalnya, penetrasi internetnya 67,8 persen, Jepang 73,8 persen, Jerman 67 persen, Denmark 80,4 persen, Belanda 82,9 persen. Di negara- negara itu, seluruh media cetak masih berjalan baik. Di toko buku, banyak pengunjung datang dan pergi. Di lapangan terbang negara-negara itu, banyak dijumpai koran, majalah, dan buku. Media cetak tetap dibaca di banyak tempat dan waktu.

Membaca media cetak sudah menjadi kebudayaan yang tidak mudah diganti begitu saja. Kita tidak dapat mempertentangkan teknologi dengan internet sebagai ”musuh” media cetak, karena cara berpikir seperti itu akan menjadi ahistoris ataupun akultural. Jika itu terjadi, yang satu akan membunuh yang lain, akan terjadi diskontinuitas budaya, kebudayaan yang satu akan melenyapkan kebudayaan yang lain. Hal itu tak mungkin terjadi.

Dalam seminar dan rapat kerja nasional SPS, 19-20 Agustus 2009, bertema ”Media di Indonesia: Kini dan Masa Datang” juga menyimpulkan—melalui penelitian maupun diskusi—bahwa animo membaca media cetak di Indonesia masih tinggi. Meski demikian, media cetak harus meningkatkan kemampuan profesionalnya sekaligus mengantisipasi dan mengadaptasi perkembangan teknologi.

Secara sinergis, media cetak dan digital harus tumbuh dan berkembang bersama. Perlu dicatat, penetrasi internet di Indonesia terus meningkat meski saat ini masih amat kecil, sekitar 10,5 persen (25 juta), di bawah Filipina (14,6 persen).

Misteri

Lalu, akan matikah media cetak?

Berdasar uraian di atas, menurut saya, pertanyaan itu menjadi tidak penting. Pada dasarnya, kematian adalah sebuah misteri dan tidak perlu memperkirakan tahun kematian karena semua bergantung pada penerbitan media cetak itu sendiri.

Yang perlu dilakukan, seperti dengan industri lain, tiap perkembangan dan kemajuan teknologi harus dipelajari, diadaptasi. Tiap penerbit media cetak harus menyesuaikan dan memanfaatkan teknologi, kawin dengan media online, tumbuh dan berkembang bersama melalui langkah kreatif dan inovatif. Bila tidak, penerbit media cetak akan disapu zaman.
Penulis: Amir Effendi Siregar - Ketua Dewan Pimpinan SPS Pusat; Dosen Komunikasi, UII, Yogyakarta

Sabtu, 5 September 2009 | 02:48 WIB
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/02482712/akan.matikah.media.cetak

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...