Thursday, September 10, 2009

DKI Alami Pulau Panas

Dibutuhkan Pohon yang Cukup untuk Daur Ulang Racun



Tingkat polusi di Jakarta dan sekitarnya sudah amat tinggi. Dengan lebih dari 9 juta kendaraan bersama-sama mengeluarkan asap pembuangan setiap harinya dan minimnya ruang terbuka hijau, warga dipaksa menghirup karbon monoksida dan partikel racun lainnya.

Buruknya lingkungan Jakarta itu terungkap dalam diskusi ”Fenomena Hutan Beton dan Polusi di Jakarta” dengan pembicara Ir Iwan Ismaun MT, IALI, dosen arsitektur lanskap Universitas Trisakti, Jakarta, dan Ubaydillah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, Rabu (9/9) di Jakarta Pusat.

Iwan menyebut Jakarta kini sedang mengalami fenomena pulau panas (urban heat island). Ini adalah masalah lingkungan yang banyak terjadi di kota-kota besar. Fenomena ini akan makin berdampak buruk jika tidak segera ditangani cepat dan tepat.

Kedua pembicara sepakat, selain banyaknya kendaraan, maraknya pembangunan gedung baru yang tidak diimbangi dengan penyediaan ruang terbuka hijau menjadi pemicu makin tingginya polusi Jakarta.

Dengan luas 650 kilometer persegi, sesuai data Biro Perekonomian DKI Jakarta, saat ini ada sekitar 364 pusat perbelanjaan berupa mal, toserba, pertokoan, dan lainnya di DKI Jakarta. Belum lagi bermunculannya kompleks superblok yang menggabungkan hunian, kantor, dan pusat perbelanjaan di banyak lokasi di Jakarta. Pada sebagian besar kompleks bangunan, dipastikan tidak atau belum dirancang untuk melayani dan menampung beban lalu lintas tambahan yang ditimbulkannya.

Saat ini, panjang jalan di Jakarta sekitar 7.650 kilometer dengan luas 40,1 kilometer persegi. Panjang jalan ini, hanya 6,28 persen dari luas wilayahnya. Sementara jumlah kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta mencapai 9.993.867 kendaraan hingga Juni 2009. Dinas Perhubungan DKI mencatat pertumbuhan kendaraan mencapai 10,79 persen per tahun. Padahal, jumlah penduduk DKI Jakarta hanya 8.513.385 orang. Berarti, setiap warga Jakarta rata-rata memiliki satu atau lebih kendaraan bermotor.

”Polusi udara menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta Rp 1,8 triliun,” kata Ubaydillah.

Analisis Iwan Ismaun, berbagai polutan udara, seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), Hidrokarbon (HC), sulfur oksida (SOx) dan partikel/debu, memenuhi udara kota Jakarta. Dari hasil kajian akademis, sektor transportasi merupakan penyumbang emisi gas buang, terutama CO2, terbesar, yaitu 92 persen, sektor industri 5 persen, permukiman 2 persen, dan sampah 1 persen.

Tingginya kandungan racun di udara itu sulit dinetralisir tubuh manusia. ”Dibutuhkan pepohonan yang cukup untuk mendaur ulang racun. Setiap pohon besar dengan luas hijau daun 150 meter persegi dapat menyerap CO2 sebanyak 2,30 kg dan menghasilkan O2 sebanyak 1,70 kg per jam (Singapore Trees, 1989). (NEL)
Kamis, 10 September 2009 | 04:21 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/10/04211113/dki.alami.pulau.panas

Tuesday, September 8, 2009

Satelit ALOS Tampilkan Dampak Gempa di Cianjur

Lokasi longsor di Desa Cikangkareng, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, akibat terjangan gempa bumi, Rabu (2/9), dapat dipantau oleh satelit ALOS-AVNIR2 (Advanced Land Observing Satellite-Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2) milik Jepang.

Data citra satelit tersebut diambil Jumat (4/9) kemudian dikirim oleh JAXA Sentinel Asia—Asian Disaster Reduction Center ke Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) berdasarkan permintaan lembaga riset ini. ”Data itu kami olah dan analisis dengan membandingkan kondisi lokasi gempa pada citra sebelum dan sesudah gempa,” ujar Totok Suprapto, Kepala Bidang Pemantauan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Lapan.

Menurutnya, citra satelit beresolusi 10 meter ini menunjukkan kawasan longsor terlihat pada kawasan hampir sepanjang 1 kilometer. Citra satelit ALOS mulai dimanfaatkan Lapan tahun 2006. Kelebihannya dibandingkan dengan satelit lain adalah pada penggunaan dua sistem sekaligus, yaitu optik dan radar. Selain itu, sensornya dapat diarahkan untuk merekam gambar lokasi tertentu. ”Dalam satu minggu minimal satu kali satelit ini melewati Indonesia,” tutur Totok. (YUN)

Senin, 7 September 2009 | 07:38 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/07/07384277/satelit.alos.tampilkan.dampak.gempa.di.cianjur

Spesies Baru, Tikus Sepanjang Hampir Satu Meter

Beberapa ilmuwan dan pembuat film telah menemukan spesies baru tikus raksasa jauh di pedalaman hutan Papua Niugini, bersama dengan hewan lain yang selama ini tak pernah disaksikan.

Tikus berbulu tebal itu adalah pemakan sayuran. Tubuhnya sangat besar, dengan panjang 82 sentimeter dan berat 1,5 kilogram. Ukurannya membuat hewan tersebut termasuk spesies tikus yang paling besar dari yang pernah diketahui di seluruh dunia.

Hewan tersebut ditemukan tim ekspedisi yang membuat film untuk program BBC, Lost Land of the Volcano. Namun, tikus besar tersebut hanyalah satu dari puluhan hewan baru yang ditemukan di bawah gunung berapi Bosavi. Tim itu juga menemukan sejumlah laba-laba asing dan 20 spesies serangga.

"Yang menjadi pusat perhatian meliputi bunglon, satu katak bertaring, dan satu jenis ikan yang disebut ’Henamo Grunter’. Diberi nama demikian karena makhluk tersebut mengeluarkan suara mendengkur dari kantung udara saat berenang," kata Steve Greenwood, produser serial Lost Land of the Volcano. Adapun katak bertaring adalah satu-satunya dari 16 katak baru yang ditemukan.

Masuk ke pedalaman menuju tempat penemuan hewan-hewan tadi terbilang sulit. Tim tersebut menghabiskan waktu beberapa pekan untuk mendaki puncak setinggi 2.800 meter dengan bantuan pencari jejak lokal. Namun, begitu sampai di sana, sangat mudah untuk menemukan makhluk-makhluk tadi.

Selasa, 8 September 2009 | 13:31 WIB

BEIJING, KOMPAS.com —  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/1331047/spesies.baru.tikus.sepanjang.hampir.satu.meter

Anggrek Species Baru Bibirnya Lebih Pendek

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengumumkan penemuan spesies baru anggrek yang diberi nama Dipodium brevilabium D.Metusala & P.O'Byrne, yaitu bunga yang ditemukan di belantara Papua.

Menurut peneliti LIPI Destario Metusala, Selasa (8/9), spesies itu ditemukannya bersama dengan peneliti Singapura Peter O`Byrne dalam suatu penelitian sejak awal 2008.

Penemuan yang menjadi bukti bahwa Indonesia masih menyimpan keragaman hayati yang belum terungkap itu, menurut Desatrio, telah dipublikasikan di jurnal anggrek internasional (Internasional Orchid Review) di Inggris pada September.

Disebutkan, Genus Dipodium sp memiliki sekitar 25 spesies yang tersebar dari Indo-China hingga Australia dan kepulauan Pasifik Barat.

Genus itu dianggap sulit oleh para taksonom dunia karena memiliki bentuk bunga yang serupa dengan strukur bibir bunga (labellum) yang hampir konsisten.

Seperti kerabat Dipodium sp lainnya di Indonesia, anggrek Dipodium brevilabium juga berperawakan menyerupai tumbuhan pandan wangi (Pandanus amaryllifolius), karena itu seringkali masyarakat menyebutnya dengan nama anggrek pandan.

Perbungaan anggrek itu secara total dapat mencapai 35 kuntum, dengan masa mekar total sekitar 15-20 hari. Bunganya yang berdiameter 3,3-3,7 cm itu memiliki warna dasar kuning dengan corak totol berwarna merah kecoklatan.

Anggrek Dipodium brevilabium memiliki karakter morfologi unik yang membedakan dengan spesies Dipodium lainnya, yaitu bibir bunganya yang sangat pendek dengan lobus tengah berbentuk membulat.

Nama "brevilabium" pada spesies ini pun diambil berdasarkan bentuk bibirnya yang pendek.

Dari sisi budidaya, anggrek ini cukup adaptif pada ketinggian 200-700 m dpl, dengan intensitas cahaya 50-70 %.

Yang paling penting diperhatikan adalah pengaturan kelembaban pada media tumbuh serta sirkulasi udaranya, karena anggrek ini sangat rentan oleh serangan jamur yang dapat menyebabkan bercak pada daun hingga busuk pucuk. Anggrek Dipodium brevilabium diperkirakan memiliki area distribusi yang terbatas hanya di Indonesia.

Selasa, 8 September 2009 | 09:21 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/09211986/anggrek.species.baru.bibirnya.lebih.pendek

Kasihan, Penyu Sumbar Terancam Punah

Populasi penyu Sumatra Barat (Sumbar) makin terancam akibat makin maraknya aktivitas perdagangan telur penyu di Kota Padang.

"Dari data kami beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kenaikan perdagangan telur penyu dari 28 butir per hari pada 2004, menjadi 77 butir per hari," kata Ketua Pusat Data dan Informasi Penyu Sumbar, Harfiandri Damanhuri, di Padang, Selasa (8/9).

Seharusnya ada sosialisasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Provinsi Sumbar, kepada para pedagang telur penyu, terutama yang berada di kawasan pantai Padang.

Sumbar merupakan satu dari 15 provinsi di Indonesia yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi penyu. Penyu termasuk salah satu hewan terancam punah, yang dilindungi dari perdagangan sesuai Konvensi Perdagangan Internasional Satwa dan Flora Liar (CITES).

Konvensi itu telah diratifikasi Indonesia pada 1978 dan memasukkan penyu dalam Apendix I, yaitu kategori harus dilindungi dan tidak bisa diperdagangkan. Menurut Harfiandri, harus ada upaya untuk memutus mata rantai perdagangan telur penyu di Sumbar.

Ini, dapat dilakukan dengan membuat peraturan yang melarang penjualan telur penyu, membatasi jumlah telur yang diperdagangkan, dan mencarikan alternatif usaha masyarakat, yang selama ini bergerak di bidang perdagangan telur penyu. "Tindakan ini harus dilakukan DKP," kata Harfiandri.

Di Sumbar terdapat sebanyak 31 pulau kecil sebagai tempat pendaratan penyu. Pulau-pulau itu di antaranya, Kerabak Gadang, dan Pulau Gosong di Pesisir Selatan, Pulau Pieh di Pariaman, dan Pulau telur di Pasaman.

Sementara Pemprov Sumbar melalui DKP telah menetapkan dua pulau kecil sebagai konservasi penyu yakni Pulau Garabak Ketek dan Pulau Penyu di Pesisir Selatan.

Di pulau-pulau itu, penangkaran penyu dilakukan. Hanya saja, aktivitas perdagangan juga terus meningkat. "Kalau terus dibiarkan, populasi penyu di Sumbar bisa punah," katanya.

Di Sumbar terdapat tiga jenis penyu, yakni penyu hijau (Chelonia mydas), belimbing, dan sisik.

Selasa, 8 September 2009 | 15:48 WIB

PADANG, KOMPAS.com -  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/15484437/kasihan.penyu.sumbar.terancam.punah

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...