Friday, September 11, 2009

Potensi Stok Karbon Terancam

Pemekaran Wilayah Rambah Hutan

Pemekaran daerah mengancam stok karbon nasional sekaligus mengurangi potensi hutan yang dapat dijual di bawah skema reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan.

Meski dibutuhkan, hingga kini Indonesia belum memiliki data stok karbon dan emisi karbon nasional. ”Harus hati-hati karena banyak hal, termasuk faktor pemekaran wilayah, yang perlu hutan,” kata Ketua Kelompok Kerja Perubahan Iklim Departemen Kehutanan, sekaligus Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan, Wandojo Siswanto di Jakarta, Kamis (10/9).

Hingga kini isu pemekaran daerah masih dimunculkan sejumlah daerah. Sebagian merupakan daerah dengan mayoritas wilayah berupa hutan, yang harus dibuka untuk infrastruktur.

Semasa hidup, pohon merupakan penyimpan karbon—salah satu unsur pembentuk gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Penebangan pohon, apalagi dalam jumlah besar, mengemisikan karbon.

Sesuai kesepakatan global, angka emisi karbon nasional harus didaftarkan resmi kepada Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), sebagaimana kewajiban negara-negara peratifikasi Protokol Kyoto.

Laporan ”Kurva Biaya Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca”, yang dikeluarkan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) memakai metode McKinsey per 27 Agustus 2009, menunjukkan, 80 persen dari 2,3 gigaton emisi karbon nasional berasal dari sektor kehutanan dan lahan gambut. Hasil itu diperdebatkan karena kebakaran lahan gambut, sebagai penyumbang emisi karbon terbesar, tak terjadi tiap tahun.

”Angka DNPI itu bukan angka untuk negosiasi, angka resmi negosiasi sedang disiapkan tim,” kata Wandojo. Angka itu diharapkan selesai 2011. Selain faktor kehati-hatian, kesiapan angka dikaitkan dengan metodologi penghitungan yang rentan gugatan.

Kepala Sekretariat DNPI Agus Purnomo menyatakan, angka emisi nasional 2,3 gigaton itu bukan angka untuk negosiasi. ”Itu angka untuk kebijakan sektor di dalam negeri apabila ingin memitigasi,” kata dia.

Angka emisi nasional yang akan disampaikan ke UNFCCC masih menunggu penghitungan Komunikasi Nasional Kedua.

Wandojo mengatakan, ada versi lain penghitungan emisi nasional, yaitu 1,8 gigaton—ini bukan angka akhir. Setidaknya, ada empat versi, berkisar 400 juta ton hingga 1,8 miliar ton per tahun. Apabila DNPI memakai angka moderat 1 miliar ton, pihak lain mengambil angka emisi minimal sebesar 500 juta ton. (GSA)

Jumat, 11 September 2009 | 03:47 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/03475490/potensi.stok.karbon.terancam

PENCEMARAN: Rp 5,8 Triliun untuk Biaya Kesehatan

Gangguan kesehatan akibat pencemaran udara menelan biaya kesehatan masyarakat sekitar Rp 5,8 triliun per tahun.

Demikian terungkap dari catatan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional bersama Bank Pembangunan Asia (ADB). ”Padahal, total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk sektor kesehatan hanya Rp 18,8 triliun pada tahun 2009,” ujar pakar lingkungan dan pengajar di Universitas Indonesia, Firdaus Ali, dalam diskusi bertajuk ”Polusi Jakarta, Ancaman Serius terhadap Kesehatan”, Kamis (10/9) di Jakarta.

Pencemaran udara terjadi terutama di kota besar, seperti Jakarta. Penyumbang polutan terbesar ialah kendaraan (transportasi), sekitar 90 persen. Polutan berbahaya, seperti CO, Nox, HS, SO, dan O, berada di udara.

Pakar kesehatan masyarakat dari UI, Prof Umar Fahmi Achmadi, mengatakan, ”Pada 2004 studi Bank Dunia menyebutkan, biaya kesehatan akibat pencemaran mencapai Rp 4 triliun.”

Secara umum, pencemaran, baik udara, air, maupun bahan pangan dapat mengakibatkan iritasi, pusing dan gatal-gatal. ”Ada penelitian menyebutkan, udara tercemar timbal dapat mengakibatkan karies gigi,” ujarnya.

Banyak penyakit sebabnya tak tampak jelas sehingga sulit dihubungkan dengan pencemaran, misalnya, kemandulan, kanker, gangguan hormonal, kelahiran prematur, dan penuaan dini.

Dampak kesehatan dari pencemaran udara yang langsung, terutama pada anak-anak, adalah penyakit saluran pernapasan dan menurunnya daya tahan tubuh.

Jumat, 11 September 2009 | 03:47 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/03471410/rp.58.triliun.untuk.biaya.kesehatan

DKI Wajibkan Bangunan Hijau

Uji Coba Dilakukan di Balaikota DKI Jakarta

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mewajibkan semua pengembang untuk menerapkan konsep bangunan hijau yang ramah lingkungan. Sebanyak 30 perusahaan properti besar di Jakarta menyanggupi kewajiban yang akan diberlakukan pada 2010 itu.

”Tahun depan, seluruh gedung tinggi di Jakarta harus menerapkan konsep green building (bangunan hijau) untuk mengurangi pemanasan bumi. Kewajiban itu akan ditetapkan dalam bentuk peraturan gubernur pada 2010,” kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Kamis (10/9) di Jakarta Pusat.

Konsep bangunan hijau adalah penghematan energi listrik dan air. Penghematan dapat dilakukan dengan mengatur arsitektur bangunan ataupun dengan pemasangan peralatan elektronik yang hemat listrik. Salah satunya adalah penggunaan lampu light emitting diode (LED) dan pembangkit listrik tenaga surya.

Penghematan air juga dilakukan dengan sistem penggunaan kembali, pendaurulangan, dan pengurangan pemakaian. Pembuatan biopori dan sumur resapan juga harus dilakukan untuk memperbesar daya serap air oleh tanah.

Konsep ini dapat menghemat listrik 30 persen sampai 50 persen, menghemat air 50 persen sampai 90 persen, dan mengurangi emisi karbon sampai 35 persen.

Selain menggandeng perusahaan properti, kata Fauzi, Pemprov DKI juga menggandeng lembaga keuangan untuk membiayai penerapan konsep itu. Penerapan konsep bangunan hijau membutuhkan investasi yang lebih mahal daripada dengan sistem konvensional. Namun, biaya operasional setiap bulan jauh lebih rendah.

Kepala Dinas Penertiban dan Pengawasan Bangunan DKI Jakarta Hari Sasongko Kushadi mengatakan, pihaknya sedang menyusun konsep detail bangunan hijau untuk diterapkan di Jakarta. Setelah selesai, konsep itu akan diuji coba di gedung-gedung milik pemerintah.

Kepala Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta Agus Subardono mengatakan, gedung Blok G Balaikota DKI Jakarta akan direnovasi sesuai konsep bangunan hijau, Oktober mendatang. Renovasi itu merupakan uji coba pertama sebelum diterapkan ke gedung-gedung pemerintah lainnya.

Perbaikan tahap awal difokuskan pada jaringan listrik bangunan. Semua alat elektronik akan diganti dengan yang hemat energi. Pada tahun berikutnya, perbaikan akan dilakukan pada sistem pengolahan air. Selama ini, gedung Pemprov DKI berlantai 23 ini masih menerapkan sistem pengolahan air yang konvensional.

Jika uji coba ini sukses, penerapan konsep bangunan hijau di gedung-gedung pemerintah lainnya bakal dilakukan bertahap pada tahun-tahun mendatang. Jika perlu, rumah susun yang dibangun pemerintah juga akan menerapkan konsep ini.

”Pergantian jaringan listrik dan air ini membutuhkan dana besar, tetapi bakal memangkas tagihan secara drastis,” kata Agus.

Hari Sasongko mengatakan, pada awal 2010, konsep bangunan hijau akan diterapkan di kawasan Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin. Pemilik gedung lama akan diminta mengubah instalasi jaringan listrik agar lebih hemat. Sistem penggunaan air juga akan dievaluasi agar lebih hemat.

Sementara bagi gedung baru konsep itu harus langsung diterapkan. Kewajiban penerapan akan menjadi bagian dalam izin mendirikan bangunan.

Untuk pengawasan dan pemeriksaan penerapan konsep itu, Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Green Building Council Indonesia (GBCI) yang telah menyusun rating standar bangunan hijau. Jika konsep ini sudah diterima secara luas, Pemprov DKI Jakarta akan memberikan insentif bagi pengelola yang menerapkannya.

Pada tahap awal, GBCI sudah merangkul 30 pengembang besar, seperti Agung Podomoro, Ciputra, dan Sinar Mas, untuk turut menerapkan konsep bangunan hijau. Para pengembang itu diharapkan menjadi contoh bagi para pengembang lain untuk turut menerapkan konsep penghematan energi ini.

Ketua Core Founding Member GBCI Naning S Adiningsih Adiwoso mengatakan, pihaknya menggandeng para pengusaha properti agar dapat menghasilkan bangunan yang ramah lingkungan. Selanjutnya, GBCI juga akan menyosialisasikan konsep bangunan hijau ke para pengembang dan para pengelola gedung lainnya. (ECA)

Jumat, 11 September 2009 | 04:12 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/04124811/dki.wajibkan.bangunan.hijau

Thursday, September 10, 2009

DKI Alami Pulau Panas

Dibutuhkan Pohon yang Cukup untuk Daur Ulang Racun



Tingkat polusi di Jakarta dan sekitarnya sudah amat tinggi. Dengan lebih dari 9 juta kendaraan bersama-sama mengeluarkan asap pembuangan setiap harinya dan minimnya ruang terbuka hijau, warga dipaksa menghirup karbon monoksida dan partikel racun lainnya.

Buruknya lingkungan Jakarta itu terungkap dalam diskusi ”Fenomena Hutan Beton dan Polusi di Jakarta” dengan pembicara Ir Iwan Ismaun MT, IALI, dosen arsitektur lanskap Universitas Trisakti, Jakarta, dan Ubaydillah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta, Rabu (9/9) di Jakarta Pusat.

Iwan menyebut Jakarta kini sedang mengalami fenomena pulau panas (urban heat island). Ini adalah masalah lingkungan yang banyak terjadi di kota-kota besar. Fenomena ini akan makin berdampak buruk jika tidak segera ditangani cepat dan tepat.

Kedua pembicara sepakat, selain banyaknya kendaraan, maraknya pembangunan gedung baru yang tidak diimbangi dengan penyediaan ruang terbuka hijau menjadi pemicu makin tingginya polusi Jakarta.

Dengan luas 650 kilometer persegi, sesuai data Biro Perekonomian DKI Jakarta, saat ini ada sekitar 364 pusat perbelanjaan berupa mal, toserba, pertokoan, dan lainnya di DKI Jakarta. Belum lagi bermunculannya kompleks superblok yang menggabungkan hunian, kantor, dan pusat perbelanjaan di banyak lokasi di Jakarta. Pada sebagian besar kompleks bangunan, dipastikan tidak atau belum dirancang untuk melayani dan menampung beban lalu lintas tambahan yang ditimbulkannya.

Saat ini, panjang jalan di Jakarta sekitar 7.650 kilometer dengan luas 40,1 kilometer persegi. Panjang jalan ini, hanya 6,28 persen dari luas wilayahnya. Sementara jumlah kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta mencapai 9.993.867 kendaraan hingga Juni 2009. Dinas Perhubungan DKI mencatat pertumbuhan kendaraan mencapai 10,79 persen per tahun. Padahal, jumlah penduduk DKI Jakarta hanya 8.513.385 orang. Berarti, setiap warga Jakarta rata-rata memiliki satu atau lebih kendaraan bermotor.

”Polusi udara menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta Rp 1,8 triliun,” kata Ubaydillah.

Analisis Iwan Ismaun, berbagai polutan udara, seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), Hidrokarbon (HC), sulfur oksida (SOx) dan partikel/debu, memenuhi udara kota Jakarta. Dari hasil kajian akademis, sektor transportasi merupakan penyumbang emisi gas buang, terutama CO2, terbesar, yaitu 92 persen, sektor industri 5 persen, permukiman 2 persen, dan sampah 1 persen.

Tingginya kandungan racun di udara itu sulit dinetralisir tubuh manusia. ”Dibutuhkan pepohonan yang cukup untuk mendaur ulang racun. Setiap pohon besar dengan luas hijau daun 150 meter persegi dapat menyerap CO2 sebanyak 2,30 kg dan menghasilkan O2 sebanyak 1,70 kg per jam (Singapore Trees, 1989). (NEL)
Kamis, 10 September 2009 | 04:21 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/10/04211113/dki.alami.pulau.panas

Tuesday, September 8, 2009

Satelit ALOS Tampilkan Dampak Gempa di Cianjur

Lokasi longsor di Desa Cikangkareng, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, akibat terjangan gempa bumi, Rabu (2/9), dapat dipantau oleh satelit ALOS-AVNIR2 (Advanced Land Observing Satellite-Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2) milik Jepang.

Data citra satelit tersebut diambil Jumat (4/9) kemudian dikirim oleh JAXA Sentinel Asia—Asian Disaster Reduction Center ke Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) berdasarkan permintaan lembaga riset ini. ”Data itu kami olah dan analisis dengan membandingkan kondisi lokasi gempa pada citra sebelum dan sesudah gempa,” ujar Totok Suprapto, Kepala Bidang Pemantauan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Lapan.

Menurutnya, citra satelit beresolusi 10 meter ini menunjukkan kawasan longsor terlihat pada kawasan hampir sepanjang 1 kilometer. Citra satelit ALOS mulai dimanfaatkan Lapan tahun 2006. Kelebihannya dibandingkan dengan satelit lain adalah pada penggunaan dua sistem sekaligus, yaitu optik dan radar. Selain itu, sensornya dapat diarahkan untuk merekam gambar lokasi tertentu. ”Dalam satu minggu minimal satu kali satelit ini melewati Indonesia,” tutur Totok. (YUN)

Senin, 7 September 2009 | 07:38 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/07/07384277/satelit.alos.tampilkan.dampak.gempa.di.cianjur

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...