Saturday, October 3, 2009

EVALUASI LINGKUNGAN: Kerusakan Lingkungan Tak Teratasi

Selama lima tahun terakhir aktivitas ramah lingkungan dinilai meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, tingkat kerusakan ekologi terus berlangsung dengan intensitas tinggi.

”Kami akui bahwa kerusakan lingkungan masih terus terjadi dengan intensitas tinggi,” kata Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup Arief Yuwono dalam Evaluasi Lima Tahun Pengelolaan Lingkungan Hidup ”Mengubah Krisis Menjadi Peluang” di Jakarta, Jumat (2/10). Ada pendapat yang menuding, faktor otonomi daerah mempercepat kehancuran ekologis, terutama terkait nafsu mengejar pendapatan daerah.

Tidak hanya daerah, lemahnya perhatian terhadap peran lingkungan juga melanda pemerintah pusat. Bahkan, sudah terjadi sejak era Orde Baru.

”Politik dan ekonomi begitu kuat sehingga lingkungan berada di pinggiran. Masalah lingkungan pun kolaps di era otonomi daerah,” kata guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Surna T Djajadiningrat.

Ia mencontohkan kerusakan lingkungan di Bandung. Fungsi dan jasa lingkungan hancur akibat pembangunan yang mengarusutamakan kepentingan ekonomi semata.

Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni mengakui, persoalan lingkungan belum menjadi prioritas pembangunan saat ini. Pertumbuhan ekonomi masih lebih menarik dijadikan prioritas utama negara.

Namun, ia sepakat bahwa belum ada kata terlambat untuk mengubah cara pandang dunia terhadap lingkungan. Apalagi, di tengah fenomena pemanasan global seperti sekarang.

Bukan soal teknis

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Berry N Furqan menyatakan, persoalan lingkungan bukan soal teknis semata. Buktinya, hutan terus digunduli di tengah teknologi yang mampu menghasilkan bibit pohon kayu
usia pendek untuk dipanen. Sampah perkotaan juga terus menumpuk tanpa ada solusi yang jitu.

Oleh karena itu, tanpa kehendak dan kemampuan merekonstruksi tatanan politik dan ekonomi yang korup dan rakus, kehancuran ekologis akan terus marak. ”Kehancuran tersebut ditambah lemahnya kewenangan lembaga lingkungan,” kata Berry.

Data Walhi menunjukkan, bencana ekologis di Indonesia tercatat 205 kali (tahun 2007) dan naik menjadi 359 kali (2008). Angka itu tidak termasuk gempa bumi dan gunung meletus.

Angka kasus bencana lingkungan dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya, terutama apabila tidak ada terobosan penanganan lingkungan di Indonesia. (GSA)

TAMAN TANGKUBANPARAHU: Departemen Kehutanan Bersikukuh Masalah Izin

Departemen Kehutanan bersikeras mempertahankan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT Graha Rani Putra Persada selama 30 tahun ke depan meskipun ditentang masyarakat.

Pengelolaan Taman Wisata Alam Tangkubanparahu (TWAT) di wilayah hutan konservasi oleh pihak swasta. Namun, ”Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, pengelolaan kawasan konservasi itu merupakan otoritas Menteri Kehutanan. Kami akan mengaturnya, seperti Bromo-Tengger,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Darori, Jumat (2/10) di Jakarta.

Menteri Kehutanan MS Kaban mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 306/Menhut-II/2009, tertanggal 29 Mei 2009, sebagai Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) kepada PT Graha Rani Putra Persada untuk pengelolaan taman wisata seluas 250,7 hektar (ha). Lokasi itu terdiri atas 171,4 ha di Blok Pemanfaatan TWAT dan 79,3 ha di Kawasan Hutan Lindung Cikole.

Menurut Darori, sebelumnya taman wisata itu dikelola Perum Perhutani. Pendapatan mencapai Rp 5 miliar per tahun. Sebanyak Rp 2 miliar disetorkan sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan Rp 3 miliar untuk biaya operasional.

Ketua Umum Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Mubiar Purwasasmita di Bandung, Jawa Barat, saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, apa pun dasar pengelolaan hutan lindung Gunung Tangkubanparahu itu menyalahi ketentuan karena pengalihan dan rencana pengelolaannya tidak menghargai aspirasi masyarakat. ”Aspirasi pemerintah daerah bisa tidak diperhatikan pemerintah pusat. Namun, aspirasi masyarakat tak bisa diabaikan,” katanya.

Darori mengatakan, mengacu pada UU No 5/1990, pemerintah daerah pemangku wilayah hutan lindung atau konservasi hanya berhak sebatas memberi pertimbangan atas pengelolaan kepada Menteri Kehutanan. Rekomendasi pemerintah daerah tidak menjadi acuan utama.

Masyarakat menolak pengelolaan taman oleh swasta karena khawatir hutan lindung di kawasan itu semakin rusak. Hutan tersebut merupakan simbol budaya masyarakat Jawa Barat. Hal itu diungkapkan dalam surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh kelompok musisi Bimbo, panutan masyarakat Jawa Barat.

Masyarakat Adat Tangkubanparahu juga menolak dan melaporkan dugaan penebangan pohon yang sebenarnya dilarang.

Beberapa lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Jawa Barat juga mempersoalkan masalah ini dan akan menempuh jalur hukum. (NAW/REK)

Ratusan Stasiun TV Lokal di Jabar Antre Dapat Izin

Ratusan stasiun televisi lokal baru di Jawa Barat menunggu Izin Penyelenggaraan Penyiaran. Tingginya gairah mendirikan televisi lokal ini tidak terlepas dari rencana bakal direalisasikannya sistem penyiaran berjaringan.

Berdasarkan data Bidang Infrastruktur Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jabar, terdapat 129 stasiun televisi lokal yang mengajukan Izin Penyelenggaraan Penyiaran kepada KPI dan pemerintah. Dari jumlah ini, hanya 47 yang dinyatakan memenuhi syarat kelayakan dari KPI dan menunggu proses perizinan lanjutan.

Menurut komisioner Bidang Infrastruktur KPID Jabar, Z Al Faqih, Jabar mencatatkan diri sebagai provinsi dengan pengajuan izin lembaga penyiaran terbanyak di Indonesia.

”Secara ekonomi, wilayah Jawa Barat cukup maju. Orang pun tertantang mendirikan radio dan televisi untuk mendapat keuntungan,” katanya Minggu (27/9).

Di Bandung, ibu kota Provinsi Jabar, sebagai contoh, akan ada tambahan setidaknya 7 stasiun televisi lokal. Ini akan semakin melengkapi daftar pilihan masyarakat mengingat sebelumnya sudah ada 6 stasiun televisi lokal yang lebih dulu muncul di sana.

Tingginya minat mendirikan stasiun televisi lokal ini, diakui Faqih, tidak terlepas dari rencana akan segera diterapkannya sistem penyiaran berjaringan. ”Peraturan Menteri No 32/2007 menyebutkan, pelaksanaan penyiaran berjaringan ini pada 2009. Ini tak bisa ditunda lagi,” tuturnya.

Demi kepastian hukum, lanjutnya, sistem penyiaran berjaringan harus segera dilaksanakan. Ini sesuai dengan semangat UU No 32/2002 tentang Penyiaran yang menekankan keragaman kepemilikan dan isi.

”Dengan berjaringan, akan terjadi pembagian investasi dan sumber daya. Isi lokal pun akan diberi ruang. Yang terjadi selama ini, kebutuhan masyarakat dan keragaman kan masih sulit diakomodasi stasiun televisi nasional,” tuturnya. Sistem televisi berjaringan mensyaratkan setiap televisi nasional melakukan kerja sama dengan televisi lokal dalam melakukan relay siaran.

Menurut pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, Atie Rachmiatie, masyarakat daerah bisa menaruh harapan banyak kepada televisi lokal untuk mendapatkan hiburan dan informasi yang mendidik.

Ini tidak terlepas dari masih buruknya kualitas siaran mayoritas televisi swasta nasional saat ini. ”Isi siaran televisi di Jakarta hanya menghabiskan emosi, tetapi tidak ada nilai pendidikannya,” tuturnya. Tahun ini, misalnya, setidaknya muncul 61 pengaduan dari masyarakat tentang isi siaran yang semua terkait televisi swasta nasional. (JON)

Friday, October 2, 2009

Terumbu Karang di Ambang Kehancuran

Keadaan terumbu karang di dunia termasuk Indonesia terus memburuk karena temperatur yang makin menghangat. Kondisi tersebut mendorong terjadinya pemutihan (bleaching) secara massal dan pengasaman (acidification) di masa datang sehingga akan mengancam pemulihan dan pertumbuhan ke depan. Demikian siaran pers sejumlah LSM pegiat lingkungan di Jakarta, Kamis (1/10).

Siaran pers tersebut mengutip keterangan ilmuwan yang mengeluarkan peringatan keras tentang masa depan terumbu karang di tengah lambannya proses negosiasi perubahan iklim. Ketika negosiasi perubahan iklim berjalan sangat pelan dan banyak negara masih terkungkung dengan berbagai perbedaan politik, informasi ilmiah terakhir menunjukkan keadaan yang mendesak, demikian siaran pers tersebut.

Sebuah makalah yang terbit pekan ini menyoroti keadaan terumbu karang dunia yang sedang berada di ujung tombak. Karya ilmiah para ahli terumbu karang dan iklim ini menegaskan kembali temuan dari pertemuan bulan Juli yang diadakan oleh The Royal Society (pemegang otoritas keilmuan terkemuka di Inggris).

"Kesimpulan mereka sangat mengejutkan. Dari sudut pandang ekosistem yang menakjubkan ini, perubahan iklim sudah berlangsung terlalu jauh," kata Dr Charlie Veron, ahli terumbu karang terkemuka seperti dikutip dari siaran pers itu.

Pemutihan adalah ancaman yang semakin besar terhadap terumbu karang, ketika tahun 1997/1998 satu kejadian tunggal mampu memusnahkan sekitar 16 persen terumbu karang dunia dalam sekejap. Kejadian ini diikuti dengan penumbuhan kembali karang-karang baru. Namun pemutihan yang terjadi sekarang, yang disebabkan oleh panas, terjadi terlalu sering menyebabkan karang yang belum pulih sepenuhnya dihantam kembali.

Konsentrasi CO2 sebesar 350 ppm di atmosfir adalah ambang batas bagi terumbu karang, kata Veron. Di luar itu, pemanasan yang merusak terjadi terlalu sering dan ekosistem mulai menurun. Sekarang berada di batas tingkat 387ppm dan terumbu karang mulai hancur.

Sementara itu, Dr Mark Spalding, ilmuwan laut senior di The Nature Conservancy (TNC) mengatakan, bukan hanya terumbu karang yang mulai mati, tapi justru sesuatu yang mereka bawa.

Terumbu karang adalah ekosistem yang sangat sensitif. Selama bertahun-tahun banyak yang telah dilemahkan oleh aktivitas manusia seperti pengambilan ikan yang berlebihan dan pencemaran pesisir, dan ini membuat tumbuhan laut itu amat rawan perusakan,kata Alex Rogers dari International Programme on the State of the Ocean.

"Pemutihan terumbu karang, reaksi dari temperatur musim panas yang terlalu tinggi, telah menambah masalah yang ada dan telah merusak banyak terumbu karang. Tapi bukan hanya itu.
Ancaman dari pengasaman karena laut menyerap CO2, dengan bukti-bukti bahwa pertumbuhan karang telah melambat karena perubahan kimiawi di laut," katanya.

Sebagai salah satu pengawasan dampak berbahaya dari perubahan iklim, hal mendesak masyarakat global dapat menyelesaikan perbedaan mereka dan menyetujui sebuah kerangka kerja yang kuat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dunia, demikian siaran pers tersebut.

Kamis, 1 Oktober 2009 | 17:43 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/10/01/17430825/terumbu.karang.di.ambang.kehancuran

Protokol Copenhagen Punya Harapan Lebih Baik

Langkah berbagai negara untuk menyusun kesepakatan yang baru mengenai perubahan iklim mulai mendapat harapan yang lebih baik. Amerika Serikat menyatakan mau turut mengurangi emisi gas rumah kaca yang mereka hasilkan.

"Harapan bagi Protokol Copenhagen bakal lebih cerah daripada Protokol Kyoto. Jika negara adidaya itu mau turut berpartisipasi mengurangi pencemaran guna menahan laju perubahan iklim, negara-negara lain akan lebih mudah diajak untuk berperan serta," kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, dalam pembukaan Governors Global Climate Change Summit di Los Angeles, Amerika Serikat, Rabu (30/9).

Governors Global Climate Change Summit adalah salah satu pertemuan pendahuluan tingkat pemerintah daerah dari seluruh negara sebelum menyusun kesepakatan lingkungan tingkat dunia di Copenhagen, Denmark, atau yang lebih dikenal sebagai Protokol Copenhagen, pada Desember 2009 mendatang. Protokol Copenhagen disusun guna menggantikan Protokol Kyoto yang tidak pernah ditandatangani Amerika Serikat.

Pada kesempatan yang sama, Administrator of The US Enviromental Protection Agency, Lisa P Jackson mengatakan, pemerintahan AS di bawah Presiden Barack Obama memberi perhatian besar pada pengembangan energi bersih yang rendah karbon. Saat ini sedang disusun undang-undang mengenai energi bersih untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

"Tidak ada alasan lagi untuk menunda langkah guna menangani perubahan iklim . AS akan menentukan target untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2020," kata Lisa.

Dorongan bagi Presiden Barack Obama untuk turut berpartisipasi dalam penanganan perubahan iklim juga disuarakan oleh Gubernur Washington Chris Gregoire dan Gubernur California Arnold Schwarzenegger. Chris Gregoire mengatakan, semua gubernur sudah bertindak di wilayah mereka untuk me ngatasi perubahan iklim. Saat ini, perlu tindakan kongkret dari pemerintah nasional AS untuk mengatasi pemanasan global.

"Perlu kolaborasi global untuk mengatasi perubahan iklim karena dampaknya akan dan sudah dirasakan oleh warga di berbagai negara. Jika perlu, harus ada revolusi dan otot yang kuat untuk menurunkan emisi karbon. Pemerintah subnasional sudah bertindak, kini giliran pemerintah nasional bertindak," kata Arnold, yang merupakan mantan binaragawan dan aktor Hollywood.

Sementara itu, Fauzi Bowo menyuarakan mengenai pentingnya pelibatan pemerintah kota dan provinsi dalam penanganan perubahan iklim dalam Protokol Copenhagen. Pemerintah daerah dinilai memegang peranan kunci untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di setiap wilayah.

Di sisi lain perlu ada transparansi teknologi dalam efisiensi energi dan pengurangan penggunaan bahan bakar karbon. Fauzi Bowo meminta agar negara maju tidak mengeksklusifkan teknologi semacam ini dan tidak menjualnya dengan harga terlalu mahal karena bakal menghambat negara berkembang untuk turut mengurangi emisi gas rumah kaca.

Fauzi Bowo juga meminta kemudahan prosedur dalam perdangangan karbon atau carbon trade. Carbon trade adalah insentif yang diberikan kelompok negara-negara maju pada negara berkembang yang beru saha menurunkan emisi gas karbon.

"Usaha Jakarta untuk mendapatkan insentif dari carbon trade banyak yang gagal hanya karena masalah prosedur, bukan substansi. Padahal, bus Transjakarta dan tempat pengolahan sampah terpadu Bantargebang sudah mampu mengurangi polusi karbondioksida dan gas metan, yang menjadi pemicu pemanasan global," kata Fauzi Bowo.

Kamis, 1 Oktober 2009 | 20:44 WIB

Laporan wartawan Kompas Caesar Alexey dari Los Angeles

LOS ANGELES, KOMPAS.com -  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/10/01/20441161/protokol.copenhagen.punya.harapan.lebih.baik

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...