Saturday, October 3, 2009

Bersiap Menghadapi Bencana

Gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api adalah fenomena alam yang terus terjadi secara periodik di muka Bumi sepanjang masa. Dinamika kebumian ini dapat berdampak bencana manakala manusia tidak arif menghadapinya.

Kearifan manusia menghadapi bencana ini sesungguhnya telah ada sejak dulu sehingga muncullah rumah-rumah kayu dan berpanggung yang relatif aman dari guncangan gempa serta terjangan tsunami dan banjir.

Namun, dari waktu ke waktu kearifan nenek moyang itu luntur dimakan zaman. Rumah beton sebagai produk kemajuan bangsa asing dicontek dan menjadi simbol modernisasi dan kemapanan. Padahal untuk itu, ada seperangkat aturan dan persyaratan yang harus diikuti agar aman bermukim di dalamnya.

Ada sederet lagi kearifan tradisional lain yang juga tidak diindahkan, seperti mempertahankan hutan di perbukitan dan lereng serta memelihara rawa sebagai daerah resapan.

Pertambahan penduduk yang mau tidak mau ”memakan” daerah hijau semakin memperbesar potensi bencana dan jatuhnya korban jiwa apabila tetap bermodalkan sikap yang tidak arif dan tidak ramah lingkungan tersebut.

Sejak dulu ada sederet pekerjaan rumah yang belum terselesaikan hingga kini, menyangkut upaya penanganan bencana, terutama bencana gempa. Bahkan persoalan kebencanaan dari waktu ke waktu menjadi kian sulit antara lain karena desakan populasi penduduk yang tidak terkendali.

Kesiapan hadapi bencana

Dalam penanganan bencana dan membangun kesiapan masyarakat menghadapi bencana, menurut Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sugeng Triutomo, ada beberapa parameter yang harus dilihat, yaitu pembuatan undang-undang dan peraturan, pembentukan kelembagaan di pusat dan daerah, pendidikan dan pelatihan masyarakat, penyiapan infrastruktur dan sarana tanggap darurat, serta rehabilitasi dan rekonstruksi.

Diakui Sugeng, yang juga menjadi Direktur Eksekutif Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, tingkat kesiapan tersebut secara umum masih rendah. Dari segi materi pelatihan pembelajaran menghadapi bencana, misalnya, telah tersusun baik dan melibatkan kalangan peneliti, akademisi, dan organisasi massa nonpemerintah. Namun, sosialisasi dan diseminasinya masih sangat kurang.

Dari sisi kelembagaan BNPB sendiri masih dalam proses reorganisasi dan bebenah sejak menyandang nama baru. Perubahan satuan koordinasi pelaksana di daerah menjadi badan penanggulangan bencana daerah baru terlaksana di 18 provinsi dan 33 kabupaten.

Sementara itu, peta kerentanan bencana pun belum selesai disusun. Peta rawan bencana, seperti gempa, tsunami, tanah longsor, dan banjir, ujar Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional RW Matindas, sebenarnya telah ada, tetapi masih dalam skala yang kecil sekitar 1:50.000 hingga 1:25.000.

Menurutnya, peta tersebut harus diperdetail oleh pemerintah daerah dengan mengacu pada tingkat kegempaan di tiap lokasi. Langkah selanjutnya adalah menurunkannya pada penetapan building code atau kekuatan konstruksi bangunan dan peta tanggap darurat serta penataan ruang wilayah daerah. ”Saat ini belum ada daerah yang melakukan hal tersebut secara komprehensif dan terkoordinasi,” ujarnya.

Simulasi

Sejak tsunami Aceh, 26 Desember 2004, perhatian semua orang lebih besar pada upaya peringatan dini pada munculnya ancaman gelombang pasang yang menyertai gempa besar itu. Dengan demikian, kemudian dibangun jejaring peringatan dini tsunami yang dilengkapi sarana pemantau dan penyampai informasi ancamannya.

Pemerintah dan masyarakat Kota Padang termasuk yang siap menghadapi datangnya tsunami, dengan membuat peta evakuasi, menetapkan lokasi shelter, hingga melakukan simulasi bencana.

Namun, kenyataannya, ketika gempa besar itu benar-benar datang, meski hanya berlangsung beberapa menit, sudah menelan banyak korban jiwa. ”Masyarakat Kota Padang yang telah melakukan persiapan dan simulasi menghadapi bencana menanggung dampak yang demikian besar, bagaimana dengan daerah yang sama sekali tak melakukan kesiapsiagaan,” tutur Sugeng.

Faktor kekuatan struktur dan bahan bangunan tampaknya kurang mendapat perhatian tidak hanya ditemui di Padang, tetapi hampir di setiap daerah yang dilanda gempa tektonik.

Padahal di daerah-daerah yang rawan gempa besar, terbentang dari Aceh hingga Papua, bertumbuh kawasan permukiman hingga menjadi perkotaan. Gempa Padang hendaknya menjadi momentum bagi daerah lain untuk segera membangun kesadaran dan kesiapsiagaannya menghadapi bencana.

Sabtu, 3 Oktober 2009 | 03:51 WIB

Penulis: Yuni Ikawati

EVALUASI LINGKUNGAN: Kerusakan Lingkungan Tak Teratasi

Selama lima tahun terakhir aktivitas ramah lingkungan dinilai meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, tingkat kerusakan ekologi terus berlangsung dengan intensitas tinggi.

”Kami akui bahwa kerusakan lingkungan masih terus terjadi dengan intensitas tinggi,” kata Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup Arief Yuwono dalam Evaluasi Lima Tahun Pengelolaan Lingkungan Hidup ”Mengubah Krisis Menjadi Peluang” di Jakarta, Jumat (2/10). Ada pendapat yang menuding, faktor otonomi daerah mempercepat kehancuran ekologis, terutama terkait nafsu mengejar pendapatan daerah.

Tidak hanya daerah, lemahnya perhatian terhadap peran lingkungan juga melanda pemerintah pusat. Bahkan, sudah terjadi sejak era Orde Baru.

”Politik dan ekonomi begitu kuat sehingga lingkungan berada di pinggiran. Masalah lingkungan pun kolaps di era otonomi daerah,” kata guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Surna T Djajadiningrat.

Ia mencontohkan kerusakan lingkungan di Bandung. Fungsi dan jasa lingkungan hancur akibat pembangunan yang mengarusutamakan kepentingan ekonomi semata.

Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni mengakui, persoalan lingkungan belum menjadi prioritas pembangunan saat ini. Pertumbuhan ekonomi masih lebih menarik dijadikan prioritas utama negara.

Namun, ia sepakat bahwa belum ada kata terlambat untuk mengubah cara pandang dunia terhadap lingkungan. Apalagi, di tengah fenomena pemanasan global seperti sekarang.

Bukan soal teknis

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Berry N Furqan menyatakan, persoalan lingkungan bukan soal teknis semata. Buktinya, hutan terus digunduli di tengah teknologi yang mampu menghasilkan bibit pohon kayu
usia pendek untuk dipanen. Sampah perkotaan juga terus menumpuk tanpa ada solusi yang jitu.

Oleh karena itu, tanpa kehendak dan kemampuan merekonstruksi tatanan politik dan ekonomi yang korup dan rakus, kehancuran ekologis akan terus marak. ”Kehancuran tersebut ditambah lemahnya kewenangan lembaga lingkungan,” kata Berry.

Data Walhi menunjukkan, bencana ekologis di Indonesia tercatat 205 kali (tahun 2007) dan naik menjadi 359 kali (2008). Angka itu tidak termasuk gempa bumi dan gunung meletus.

Angka kasus bencana lingkungan dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya, terutama apabila tidak ada terobosan penanganan lingkungan di Indonesia. (GSA)

TAMAN TANGKUBANPARAHU: Departemen Kehutanan Bersikukuh Masalah Izin

Departemen Kehutanan bersikeras mempertahankan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT Graha Rani Putra Persada selama 30 tahun ke depan meskipun ditentang masyarakat.

Pengelolaan Taman Wisata Alam Tangkubanparahu (TWAT) di wilayah hutan konservasi oleh pihak swasta. Namun, ”Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, pengelolaan kawasan konservasi itu merupakan otoritas Menteri Kehutanan. Kami akan mengaturnya, seperti Bromo-Tengger,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Darori, Jumat (2/10) di Jakarta.

Menteri Kehutanan MS Kaban mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 306/Menhut-II/2009, tertanggal 29 Mei 2009, sebagai Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) kepada PT Graha Rani Putra Persada untuk pengelolaan taman wisata seluas 250,7 hektar (ha). Lokasi itu terdiri atas 171,4 ha di Blok Pemanfaatan TWAT dan 79,3 ha di Kawasan Hutan Lindung Cikole.

Menurut Darori, sebelumnya taman wisata itu dikelola Perum Perhutani. Pendapatan mencapai Rp 5 miliar per tahun. Sebanyak Rp 2 miliar disetorkan sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan Rp 3 miliar untuk biaya operasional.

Ketua Umum Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Mubiar Purwasasmita di Bandung, Jawa Barat, saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, apa pun dasar pengelolaan hutan lindung Gunung Tangkubanparahu itu menyalahi ketentuan karena pengalihan dan rencana pengelolaannya tidak menghargai aspirasi masyarakat. ”Aspirasi pemerintah daerah bisa tidak diperhatikan pemerintah pusat. Namun, aspirasi masyarakat tak bisa diabaikan,” katanya.

Darori mengatakan, mengacu pada UU No 5/1990, pemerintah daerah pemangku wilayah hutan lindung atau konservasi hanya berhak sebatas memberi pertimbangan atas pengelolaan kepada Menteri Kehutanan. Rekomendasi pemerintah daerah tidak menjadi acuan utama.

Masyarakat menolak pengelolaan taman oleh swasta karena khawatir hutan lindung di kawasan itu semakin rusak. Hutan tersebut merupakan simbol budaya masyarakat Jawa Barat. Hal itu diungkapkan dalam surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh kelompok musisi Bimbo, panutan masyarakat Jawa Barat.

Masyarakat Adat Tangkubanparahu juga menolak dan melaporkan dugaan penebangan pohon yang sebenarnya dilarang.

Beberapa lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Jawa Barat juga mempersoalkan masalah ini dan akan menempuh jalur hukum. (NAW/REK)

Ratusan Stasiun TV Lokal di Jabar Antre Dapat Izin

Ratusan stasiun televisi lokal baru di Jawa Barat menunggu Izin Penyelenggaraan Penyiaran. Tingginya gairah mendirikan televisi lokal ini tidak terlepas dari rencana bakal direalisasikannya sistem penyiaran berjaringan.

Berdasarkan data Bidang Infrastruktur Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jabar, terdapat 129 stasiun televisi lokal yang mengajukan Izin Penyelenggaraan Penyiaran kepada KPI dan pemerintah. Dari jumlah ini, hanya 47 yang dinyatakan memenuhi syarat kelayakan dari KPI dan menunggu proses perizinan lanjutan.

Menurut komisioner Bidang Infrastruktur KPID Jabar, Z Al Faqih, Jabar mencatatkan diri sebagai provinsi dengan pengajuan izin lembaga penyiaran terbanyak di Indonesia.

”Secara ekonomi, wilayah Jawa Barat cukup maju. Orang pun tertantang mendirikan radio dan televisi untuk mendapat keuntungan,” katanya Minggu (27/9).

Di Bandung, ibu kota Provinsi Jabar, sebagai contoh, akan ada tambahan setidaknya 7 stasiun televisi lokal. Ini akan semakin melengkapi daftar pilihan masyarakat mengingat sebelumnya sudah ada 6 stasiun televisi lokal yang lebih dulu muncul di sana.

Tingginya minat mendirikan stasiun televisi lokal ini, diakui Faqih, tidak terlepas dari rencana akan segera diterapkannya sistem penyiaran berjaringan. ”Peraturan Menteri No 32/2007 menyebutkan, pelaksanaan penyiaran berjaringan ini pada 2009. Ini tak bisa ditunda lagi,” tuturnya.

Demi kepastian hukum, lanjutnya, sistem penyiaran berjaringan harus segera dilaksanakan. Ini sesuai dengan semangat UU No 32/2002 tentang Penyiaran yang menekankan keragaman kepemilikan dan isi.

”Dengan berjaringan, akan terjadi pembagian investasi dan sumber daya. Isi lokal pun akan diberi ruang. Yang terjadi selama ini, kebutuhan masyarakat dan keragaman kan masih sulit diakomodasi stasiun televisi nasional,” tuturnya. Sistem televisi berjaringan mensyaratkan setiap televisi nasional melakukan kerja sama dengan televisi lokal dalam melakukan relay siaran.

Menurut pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, Atie Rachmiatie, masyarakat daerah bisa menaruh harapan banyak kepada televisi lokal untuk mendapatkan hiburan dan informasi yang mendidik.

Ini tidak terlepas dari masih buruknya kualitas siaran mayoritas televisi swasta nasional saat ini. ”Isi siaran televisi di Jakarta hanya menghabiskan emosi, tetapi tidak ada nilai pendidikannya,” tuturnya. Tahun ini, misalnya, setidaknya muncul 61 pengaduan dari masyarakat tentang isi siaran yang semua terkait televisi swasta nasional. (JON)

Friday, October 2, 2009

Terumbu Karang di Ambang Kehancuran

Keadaan terumbu karang di dunia termasuk Indonesia terus memburuk karena temperatur yang makin menghangat. Kondisi tersebut mendorong terjadinya pemutihan (bleaching) secara massal dan pengasaman (acidification) di masa datang sehingga akan mengancam pemulihan dan pertumbuhan ke depan. Demikian siaran pers sejumlah LSM pegiat lingkungan di Jakarta, Kamis (1/10).

Siaran pers tersebut mengutip keterangan ilmuwan yang mengeluarkan peringatan keras tentang masa depan terumbu karang di tengah lambannya proses negosiasi perubahan iklim. Ketika negosiasi perubahan iklim berjalan sangat pelan dan banyak negara masih terkungkung dengan berbagai perbedaan politik, informasi ilmiah terakhir menunjukkan keadaan yang mendesak, demikian siaran pers tersebut.

Sebuah makalah yang terbit pekan ini menyoroti keadaan terumbu karang dunia yang sedang berada di ujung tombak. Karya ilmiah para ahli terumbu karang dan iklim ini menegaskan kembali temuan dari pertemuan bulan Juli yang diadakan oleh The Royal Society (pemegang otoritas keilmuan terkemuka di Inggris).

"Kesimpulan mereka sangat mengejutkan. Dari sudut pandang ekosistem yang menakjubkan ini, perubahan iklim sudah berlangsung terlalu jauh," kata Dr Charlie Veron, ahli terumbu karang terkemuka seperti dikutip dari siaran pers itu.

Pemutihan adalah ancaman yang semakin besar terhadap terumbu karang, ketika tahun 1997/1998 satu kejadian tunggal mampu memusnahkan sekitar 16 persen terumbu karang dunia dalam sekejap. Kejadian ini diikuti dengan penumbuhan kembali karang-karang baru. Namun pemutihan yang terjadi sekarang, yang disebabkan oleh panas, terjadi terlalu sering menyebabkan karang yang belum pulih sepenuhnya dihantam kembali.

Konsentrasi CO2 sebesar 350 ppm di atmosfir adalah ambang batas bagi terumbu karang, kata Veron. Di luar itu, pemanasan yang merusak terjadi terlalu sering dan ekosistem mulai menurun. Sekarang berada di batas tingkat 387ppm dan terumbu karang mulai hancur.

Sementara itu, Dr Mark Spalding, ilmuwan laut senior di The Nature Conservancy (TNC) mengatakan, bukan hanya terumbu karang yang mulai mati, tapi justru sesuatu yang mereka bawa.

Terumbu karang adalah ekosistem yang sangat sensitif. Selama bertahun-tahun banyak yang telah dilemahkan oleh aktivitas manusia seperti pengambilan ikan yang berlebihan dan pencemaran pesisir, dan ini membuat tumbuhan laut itu amat rawan perusakan,kata Alex Rogers dari International Programme on the State of the Ocean.

"Pemutihan terumbu karang, reaksi dari temperatur musim panas yang terlalu tinggi, telah menambah masalah yang ada dan telah merusak banyak terumbu karang. Tapi bukan hanya itu.
Ancaman dari pengasaman karena laut menyerap CO2, dengan bukti-bukti bahwa pertumbuhan karang telah melambat karena perubahan kimiawi di laut," katanya.

Sebagai salah satu pengawasan dampak berbahaya dari perubahan iklim, hal mendesak masyarakat global dapat menyelesaikan perbedaan mereka dan menyetujui sebuah kerangka kerja yang kuat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dunia, demikian siaran pers tersebut.

Kamis, 1 Oktober 2009 | 17:43 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/10/01/17430825/terumbu.karang.di.ambang.kehancuran

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...