Sunday, October 11, 2009

CUACA: Dari El Nino 1997 ke El Nino 2009


Gejala penyimpangan iklim, yang dikenal dengan El Nino, dirasakan di Indonesia lewat musim kemarau yang lebih panjang. Selain itu, juga ditandai dengan kebakaran hutan, kabut asap, turunnya kualitas udara, rusaknya siklus hidrologi, berjangkitnya penyakit pernapasan, dan berbagai dampak lain. Ket.Foto:Anak-anak bermain di Waduk Lalung, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, yang sebagian dasarnya mulai mengering karena kemarau, Selasa (29/9). Musim kemarau saat ini berlangsung lama karena pengaruh El Nino.

Bencana El Nino kuat pernah terjadi di Indonesia pada 1971-1972, yang, kala itu, mengakibatkan langkanya pangan dan rakyat harus mengantre untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok. El Nino 1982-1983 mengakibatkan kebakaran hutan hebat di Kalimantan dan menelan kerugian sampai 9 miliar dollar AS.

El Nino terbesar sepanjang sejarah berlangsung pada September 1997-Februari 1998. Kala itu hampir 264.000 hektar hutan terbakar, kabut asap menerjang Sumatera, Kalimantan, Malaysia, dan Singapura. El Nino juga menyebabkan gagal panen di mana-mana, ada sekitar 1,5 juta orang terserang penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan merenggut 527 nyawa. Kerugian saat itu mencapai Rp 5,96 triliun.

Tidak heran apabila El Nino 1997-1998 dikategorikan sebagai bencana nasional. Bahkan Presiden Soeharto saat itu harus meminta maaf kepada Pemerintah Malaysia dan Singapura, yang menerima kiriman asap dari kebakaran hutan di Indonesia.

El Nino, bersama beragam krisis multidimensional lainnya, akhirnya mengantarkan Indonesia pada era reformasi, Mei 1998.

Belajar dari pengalaman El Nino 1997-1998, tentunya antisipasi Indonesia menghadapi El Nino 2009-2010 haruslah jauh lebih baik lagi.

”Kolam panas”

El Nino akan terjadi apabila ”kolam panas” (warm pool) di wilayah Samudra Pasifik-Ekuator bergerak ke arah timur. Artinya, temperatur muka laut di Samudra Pasifik Timur naik rata-rata 0,5 derajat sampai 2,0 derajat celsius. Di situ banyak turun hujan dan, sebaliknya, wilayah Indonesia dilanda kekeringan.

Pada puncak El Nino 1997-1998 kenaikan rata-rata temperatur muka laut di Samudra Pasifik Timur mencapai 2,5 derajat celsius. Adapun pada El Nino 1982-1983 kenaikan rata-rata temperatur muka laut adalah 2,3 derajat celsius dan pada El Nino 1971-1972 kenaikan rata-rata temperatur muka laut di Samudra Pasifik timur adalah 2,1 derajat celsius.

Sampai pertengahan Juli 2009 temperatur muka laut Lautan Pasifik rata-rata telah naik mencapai 1 derajat celsius dan kecenderungannya akan naik terus.

Kemarau panjang memang sudah terjadi. Bandara Pekanbaru dan Pontianak sudah diselimuti asap kebakaran hutan dan lahan.

Sejumlah lembaga riset iklim internasional membuat prakiraan bahwa El Nino hadir di Indonesia dengan kenaikan rata-rata temperatur Laut Pasifik bisa mencapai 2,3 derajat celsius. Berarti, yang akan hadir adalah El Nino kuat. Lembaga itu antara lain NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Amerika Serikat, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (National Aeronautics and Space Administration/NASA), NCEP, SCRIPPS-San Diego, Lamont Doherty Earth Observatory-USA, badan meteorologi Inggris (UKMO), dan badan meteorologi Perancis (Meteo FRANCE).

Melihat kondisi ini, sudah sepantasnya Indonesia lebih antisipatif menyambut datangnya bencana penyimpangan iklim tahun ini. Data awal meteorologi dan cuaca harus lebih disebarluaskan secara cepat melalui media internet, televisi, dan layanan pesan singkat (SMS). Begitu juga data arah dan kecepatan angin, harus segera dikirimkan sampai ke kecamatan-kecamatan dengan berbagai media informasi.

Peta Bahaya Kebakaran Hutan dan Peta Risiko Kebakaran Hutan, yang sudah kita miliki, agar segera diperbanyak dan disebarluaskan. Di samping itu, stasiun-stasiun Bumi satelit
NOAA yang dimiliki berbagai instansi harus dioperasikan maksimal guna memantau hot spot, lokasi-lokasi hutan yang terbakar.

Satuan-satuan pemadam kebakaran hutan, Manggala Agni, berikut perlengkapannya, disiagakan dan mulai mengadakan latihan-latihan. Yang lebih penting lagi, stok pangan harus tersedia. Jangan sampai, bencana El Nino akan menggairahkan para spekulan pangan dunia untuk mengeruk keuntungan akibat kegagalan panen yang bakal dialami Indonesia.

”Janganlah kita seperti keledai, masuk lubang yang sama.”

Penulis: Indroyono Susilo, Mantan Komandan Satgas Operasi Pemadaman Kebakaran Hutan dari Udara, 1997

PERUBAHAN IKLIM: Aksi Prioritas untuk Air dan Energi

Aksi berbagai pihak untuk menanggapi persoalan lingkungan terkait air dan energi menjadi prioritas utama. Air dan energi merupakan dua isu perubahan iklim yang perannya cukup vital dalam kehidupan manusia.

Demikian terungkap dalam forum bertajuk ”Berubahnya Iklim dan Agama-agama di Indonesia” yang berlangsung di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hingga Kamis (8/10) malam. Hadir dalam forum tersebut, perwakilan dari sejumlah institusi perguruan tinggi, media, dan institusi agama, seperti Uskup Semarang Mgr I Suharyo, Rektor Universitas Sanata Dharma Wiryono Priyotamtama, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga M Amin Abdullah, Lhatiful Kuluq, Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Basis GP Sindhunata, Pendeta F Borrong, dan sekitar 20 orang lain.

Dalam kesepakatan yang diambil melalui pleno setelah diskusi kelompok, semua peserta sepakat bahwa air dan energi harus diprioritaskan dan perlu ditanggapi oleh lembaga asal setiap peserta forum. Disepakati bahwa langkah jangka pendek pertama adalah melakukan penyadaran profetik tentang air dan energi.

Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sony Keraf dalam forum itu mengatakan, ”Apakah kita akan membiarkan orang-orang pada akhirnya harus mati karena krisis iklim? Kita harus menyadarkan masyarakat betapa kritisnya kondisi saat ini sehingga sudah mengancam keselamatan umat manusia.”

Penyadaran yang dilakukan perlu bersifat profetik karena krisis iklim akibat proses perubahan iklim yang sekarang berlangsung sudah menjadi ancaman terhadap kehidupan manusia, ”Menjadi persoalan hidup-mati,” lanjut Sony.

Air dalam arti luas

Persoalan air, menurut Rama Kirjito, salah seorang peserta yang dikenal luas akan perjuangannya menentang penambangan pasir di lereng Merapi, ”Air yang dimaksud di sini adalah air dalam arti luas, bukan hanya air bersih, melainkan juga udara yang sebenarnya juga mengandung uap air dan juga awan sebagai salah satu unsur cuaca yang akan menjadi hujan. Ini semuanya harus mendapat perhatian.” ujarnya.

Peserta forum datang dari lembaga-lembaga yang bidang aktivitasnya beragam. Misalnya, para peserta dari Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma memiliki kegiatan mengembangkan biogas di sebuah desa atau Prof Dr Ir Y Budi Widianarko dari Universitas Soegijapranata yang aktif dalam Yayasan Obor Tani yang mengembangkan perkebunan dengan membangun embung sendiri.

Dalam kata pengantarnya yang dibacakan Wakil Rektor I Universitas Sanata Dharma Dr Fr Ninik Yudianti, ditegaskan forum tersebut bukan semata-mata arena curah gagasan, tetapi bagaimana peserta forum dapat mengambil langkah konkret secara bersama.

”Melalui langkah konkret, suatu koalisi benar-benar akan terwujud. Komitmen bersama sangatlah diperlukan,” katanya.(ISW)

PERBAIKAN KOTA: Konsep Megapolitan Sudah Ketinggalan Zaman

Konsep megapolitan dinilai sudah ketinggalan zaman dalam pembangunan urban. Pakar European Urban Knowledge Network, Mart Grijsel, yang ditemui seusai Kongres International Urban Development Association di Taipei, Jumat (9/10), menjelaskan, pembangunan urban di Eropa dan beberapa negara maju sudah melangkah ke arah megaregional.

”Pembangunan urban di Eropa Barat sudah masuk tahap megaregional. Konsep megapolitan sudah dilampaui di sana,” kata Mart.

Mart menekankan pentingnya pembagian peran yang saling menunjang di antara megapolitan yang ada. Hal itu sudah dilakukan di antara negara-negara Eropa Barat. Semisal, Rotterdam menjadi pelabuhan peti kemas terbesar. Bisnis perkapalan besar dijalankan di Denmark dan lain-lain.

Saat ini, konsep megapolitan Jakarta yang mencakup Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok tidak kunjung terwujud. Padahal, pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda sudah mengatur megapolitan dengan mengatur kesatuan wilayah Batavia yang membawahi Tangerang, Karawang, Bekasi, hingga Buitenzorg (kini Bogor).

Pengaturan wilayah masa itu didasarkan pada kesatuan ekologi yang sangat penting demi menjamin keberlangsungan pembangunan dengan mengurangi kerusakan dampak lingkungan serta polusi.

Presiden International Urban Development Association (INTA) Budiarsa Sastrawinata mengatakan, pihaknya siap membantu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan daerah terkait untuk membangun megapolitan.

”Kalau diminta, kami siap membantu berdasar pengalaman dan kerja sama yang dimiliki INTA di 60 negara. Kami memiliki pengalaman negara maju hingga negara-negara Afrika,” kata Budiarsa yang sudah hampir dua tahun memimpin INTA.

Pembagian peran dan pembangunan yang saling menunjang merupakan kunci keberhasilan megapolitan. Budiarsa mengatakan telah menghubungi arsitek dan pakar urban senior, Pingki Pangestu, untuk membicarakan kemungkinan pengembangan Megapolitan Jakarta dengan Gubernur Fauzi Bowo.

Menurut Budiarsa, pembangunan Megapolitan Jakarta sudah mendesak untuk dilakukan. Daerah-daerah terkait antara Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi tidak dapat berjalan sendiri-sendiri.

Iklim global

Perubahan iklim global berdampak negatif terhadap seluruh negara di dunia. Kerusakan lingkungan salah satunya karena pertumbuhan industri tidak ramah lingkungan dan penataan kota dengan tingkat polusi tinggi. Kerusakan ini hanya bisa dilawan dengan kesepakatan bersama untuk mengembangkan sistem perekonomian rendah karbon.

Pernyataan ini menjadi kesimpulan dalam diskusi panel yang digelar di awal The Asia Pacific Weeks 2009 di Berlin, Jerman, Jumat (9/10).

Asisten Direktur sekaligus Kepala Divisi Integrasi Keuangan Sekretariat ASEAN Alladin D Rillo mengatakan, tingkat pertumbuhan ekonomi negara ASEAN umumnya cukup baik. Bahkan, dalam menghadapi krisis ekonomi dan finansial dunia yang datang bertubi, ASEAN cukup tanggap untuk mengantisipasinya. Hanya saja tidak semua lapisan masyarakat di Asia Tenggara menikmati pertumbuhan ekonomi.

Menanggapi persoalan itu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyatakan, ada ketimpangan tingkat kualitas hidup yang amat lebar karena ketidakseimbangan pembangunan di negara-negara Asia, seperti di Indonesia. Pembangunan masih dilakukan semata demi menarik keuntungan, lingkungan dan masyarakat kecil jadi korban. Menerapkan pembangunan berbasis pelestarian lingkungan kini sedang ditingkatkan meskipun tentu saja masih banyak kekurangan.

”Untuk atasi masalah global sekaligus persoalan diri sendiri, menjadi perlu bekerja sama karena akan lebih mudah mendapatkan dana, informasi, dan asistensi,” kata Fauzi.

Secepatnya, setiap negara harus sepakat menerapkan sistem perekonomian rendah karbon dengan mengubah pola pikir bahwa banting setir industri dan penataan kota berbasis lingkungan tidaklah mahal. (Iwan Santosa dari Taipei, Taiwan, dan Neli Triana dari Berlin, Jerman)

Suburnya Industri Rokok, Sehari Rp 330 Miliar "Dibakar"

Prevalensi perokok di Indonesia semakin hari semakin meningkat dan memprihatinkan. Menurut data yang diperoleh Kompas.com dari panitia acara Deklarasi Generasi Muda Bangsa Indonesia Tanpa Rokok, Minggu (11/10) di Gedung Kebangkitan Nasional Stovia, peningkatan tertinggi perokok di Indonesia terjadi pada kelompok remaja umur 15-19 tahun, yaitu dari 7,1 persen pada 1995 menjadi 17,3 persen pada 2004, atau naik 144 persen selama sembilan tahun.

Tak hanya itu, konsumsi rokok di Indonesia pada 2008 mencapai 240 miliar batang atau setara dengan 658 juta batang rokok per harinya, yang berarti uang senilai Rp 330 miliar "dibakar" oleh para perokok di Indonesia dalam satu harinya.

Dengan sumber daya ekonomi yang sudah terbatas, 63 persen laki-laki dewasa dari 20 persen penduduk termiskin di Indonesia, melalui konsumsi rokoknya, telah menyumbang 12 persen penghasilan bulanannya kepada industri rokok.

Bahkan, menurut data Susenas 2006 menunjukan bahwa pengeluaran untuk membeli rokok adalah 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu (2,3 persen), 2 kali lipat pengeluaran untuk ikan (6,8 persen), dan 17 kali lipat pengeluaran membeli daging (0,7 persen).

Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau FA Moeloek mengingatkan pemerintah bahwa usaha mengatasi kemiskinan tidak akan berhasil dilakukan oleh apabila permasalahan rokok dan tembakau tersebut tidak diselesaikan.

Menurutnya, pemerintah harus segera mengatur masalah tersebut, salah satunya melalui UU pengaturan tembakau. "Pengentasan kemiskinan tidak mungkin terjadi kalau masalah tembakau ini belum diselesaikan. Kalau pemerintah mau entaskan kemiskinan atur rokok ini secara baik melalui undang-undang atau yang lainnya," katanya saat jumpa pers di Gedung Kebangkitan Nasional Stovia, Jakarta, Minggu.

Indosat Juga Dapatkan Tambahan Frekuensi 3G

PT Indosat Tbk (Indosat) juga mendapat tambahan frekuensi 3G seperti halnya Telkomsel setelah dikeluarkan Keputusan Menteri Kominfo nomor 268/KEP/M.KOMINFO/9/2009. Dalam KM itu, ditetapkan alokasi tambahaan blok pita frekuensi radio bagi penyelenggara jaringan bergerak seluler IMT 2000 pada pita frekuensi 2.1 GHz untuk Indosat pada rentang frekuensi 1955-1960 MHz berpasangan dengan 2145-2150 MHz.

"Kami gembira atas tambahan frekuensi 3G yang diberikan pemerintah. Kami akan gunakan untuk meningkatkan kapasitas layanan 3G kepada pelanggan serta menjawab kebutuhan pasar broadband yang terus tumbuh secara signifikan, agar pelanggan dan masyarakat luas dapat menikmati kualitas layanan Indosat yang lebih handal," kata Presiden Direktur Indosat, Harry Sasongko, Selasa (8/9) di Jakarta.

Sebelumnya sesuai dengan mekanisme yang ditawarkan pemerintah beberapa waktu lalu Indosat telah menyatakan minatnya untuk menambah alokasi frekuensi 3G (second carrier) dan telah mengirimkan surat tanggapan atas penawaran dari pemerintah dengan harga sesuai dengan yang dit awarkan pemerintah.

Hingga saat ini layanan 3.5G Indosat dapat dinikmati 26 kota yaitu Jabodetabek, Banda Aceh, Medan, Batam, Palembang, Bandung, Cirebon, Semarang, Purwokerto, Yogyakarta, Solo, Cilacap, Cepu, Salatiga, Kudus, Jepara, Magelang, Surabaya, Malang, Kediri, Jember, Denpasar, Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin, Makassar.

Dengan diberikannya tambahan frekuensi 3G ini akan semakin memberikan keleluasaan bagi Indosat untuk terus meningkatkan kapasitas di kota-kota tersebut dengan terus memper luas cakupan layanan 3.5G di daerah yang lain di seluruh Indonesia.

SELASA, 8 SEPTEMBER 2009 | 18:27 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Haryo Damardono

JAKARTA, KOMPAS.com - http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/09/08/18274562/indosat.juga.dapatkan.tambahan.frekuensi.3g..

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...