Friday, November 20, 2009

HUTAN Di Brasil: Wilayah Kontestasi Politik Terpanas


Menteri Lingkungan Brasil Carlos Minc menuduh lembaga pemerintah lain yang tidak mematuhi hukum-hukum lingkungan demi proyek-proyek pembangunan Amazon. Kondisi itu pula yang, menurut Reuters dan Associated Press (1/6), menyebabkan mundurnya Menteri Lingkungan Marina Silva setahun sebelumnya. Ket.Foto: Hamparan luas lahan tanaman kedelai terlihat di dekat kota Santarem,Para, Brasil, Desember 2004. Menurut para aktivisling kungan, pertanian kedelaimembuat harga lahanhasil penggundulan hutan membubung tinggi.

Jalan raya itu konon akan memudahkan dan mengefisienkan akses transportasi petani dan peternak ke pasar. Namun, Minc mengingatkan, pengaspalan jalan raya BR-319 yang menembus jantung Amazon dari kota Manaus dan Porto Velho itu adalah bencana lingkungan karena melewati wilayah preservasi terbaik dari Amazon. Karena proses yang bertubi-tubi, pemerintah menunda sementara kontrak pembangunan BR-319, sampai 13 wilayah konservasi dibentuk.

Minc juga mengeluhkan usulan perubahan regulasi kehutanan yang melonggarkan upaya-upaya perlindungan lingkungan. Hal itu termasuk penambahan area untuk perubahan tata guna lahan dan mengurangi persyaratan untuk menghutankan kembali wilayah-wilayah hutan yang telah gundul.

Politik-ekonomi

Terkait dengan itu, Koordinator Kebijakan Publik Greenpeace di Brasilia, Rabu (4/11), mengatakan, kabar baik tentang menurunnya tingkat deforestasi tiga tahun terakhir ini tampaknya tak akan bertahan lama,
seiring dengan meningkatnya harga agrokomoditas, seperti kedelai dan daging sapi, yang membuat lesunya ekonomi dalam negeri.

”Deforestasi di Amazon berkelindan dengan siklus ekonomi. Kalau pertumbuhan turun, kegiatan deforestasi juga menurun, pun sebaliknya,” ujar Sergio Leitao, Direktur Kampanye Greenpeace, di Sao Paulo, Selasa (3/11).

Situasi itu digunakan Kongres Brasil yang dipengaruhi oleh sektor agrobisnis dan agroenergi untuk mencuri kesempatan mengubah peraturan dalam Forest Code.

Proposal yang diusulkan itu menambah persentase penggundulan dari 20 persen menjadi 50 persen di properti hutan yang menjadi otoritas petani di Amazon dan mengizinkan Legal Reserve—yakni kawasan yang menurut hukum boleh digunakan untuk kegiatan ekonomi, tetapi spesies lokalnya harus dilindungi—ditanami spesies asing, seperti pohon sawit untuk produksi bahan bakar dan eucalyptus untuk industri bubur kertas (pulp) dan arang.

Wilayah yang sudah kehilangan hampir 18 persen kawasan hutannya karena penebangan dan kebakaran hutan 40 tahun terakhir—lebih besar dari luas Perancis—mengalami kerusakan karena pembalakan dan kegiatan yang bersifat saling memangsa.

”Perubahan yang sedang didiskusikan kongres akan melegalisasi deforestasi 36 persen di tangan sektor swasta,” ujar Nilo.

Situasi itu berpotensi mendorong migrasi lebih besar, perampasan tanah, dan konflik hak-hak atas tanah di Amazon. Jutaan hektar hutan akan dilegalkan untuk ditebang dan dibakar demi kepentingan-kepentingan jangka pendek.

Forest Code 1965

Forest Code yang merupakan produk hukum tahun 1965 telah mengalami amandemen beberapa kali terkait perubahan arah politik-ekonomi di negeri itu. Forest Code mengatur wilayah yang membutuhkan perlindungan penuh (Permanent Protected Areas) di hutan publik maupun swasta untuk melindungi kawasan penyimpan air.

Wilayah yang tersisa boleh digunakan untuk kepentingan ekonomi, termasuk penebangan selektif, tetapi tak boleh dibabat bersih dan diubah tata guna lahannya (land clearing). Izin dari pemerintah dibutuhkan untuk penebangan selektif maupun land clearing di lahan milik swasta. Sampai tahun 1996, regulasi itu menetapkan bahwa Legal Reserve di Amazon sedikitnya meliputi 50 persen dari seluruh properti di pedalaman.

Setelah deforestasi di Amazon mencapai puncaknya tahun 1996, Presiden Hernando Cardoso menambah amandemen Forest Code dengan dekrit yang meningkatkan Legal Reserve sampai 80 persen. Dekrit MP 2166 itu merupakan ketetapan yang seharusnya didukung kongres agar menjadi definitif dan terintegrasi penuh dalam Forest Code.

”Namun, itu tak pernah terjadi,” ungkap Nilo. ”Perlindungan Amazon dan ekosistem lain di Brasil terus dilanggar.”

Hal itu disebabkan insentif pemerintah tidak kompatibel dengan Forest Code dan reforma lahan. Kesulitan lain adalah implementasi hak atas tanah karena banyaknya pendudukan tanah oleh pendatang dan kemungkinan pengambilalihan sehingga pemilik lahan memilih mengabaikan Forest Code.

Forest Code terus menghadapi tantangan dari sektor agribisnis yang punya lobi kuat di parlemen. ”Tahun 2001 muncul versi baru Dekrit MP 2166 yang merekonfirmasi Legal Reserve 80 persen di hutan-hutan Amazon dan 20 persen di ekosistem hutan lainnya di Brasil,” sambung Nilo.

Untuk mengakomodasi kebutuhan lobi pedesaan, MP 2166 mendefinisikan Legal Reserve di sabana-sabana (padang rumput tanpa pohon yang sangat luas) di Amazon boleh 35 persen (sebelumnya 50 persen sampai tahun 1996). Sabana terluas terdapat di Mato Grosso, meliputi sekitar 50 persen wilayah itu. Mato Grosso merupakan penghasil kedelai dan produk daging sapi terbesar di Brasil.

”Praktik peternakan sangat tidak produktif,” ujar Penasihat Senior The Nature Conservacy Bidang Kebijakan Konservasi di Kawasan Amerika Selatan Fernanda Viana de Carvalho. ”Di Negara Bagian Para rata-rata 0,9 kawanan ternak per hektar, rata-rata nasional 1,6.”

Sampai hari Rabu (4/11), kongres membatalkan pembahasan usulan perubahan Forest Code itu. ”Untuk sementara, kita merasa lega,” ujar Nilo.

Namun, Mario Manthovani dari SOS Atlantic Forest mengingatkan kemungkinan pembalasan dari kelompok yang menghendaki perubahan Forest Code. ”Di sini, orang bisa dibunuh karena persoalan ini. Pengusiran suku asli dari hutan mereka juga selalu menggunakan kekerasan,” ujar Mario.

Konflik kepentingan

”Pandangan menteri lingkungan tak bisa sejalan dengan menteri-menteri pembangunan (ekonomi),” ujar Osvaldo Stella Martins, Koordinator Peneliti dari Amazon Environmental Research Institute (IPAM), di Brasilia, Kamis (5/11).

Data resmi Lembaga Penelitian Ruang (INPE) pun bisa digunakan secara berbeda. ”Datanya sangat ilmiah, tetapi kebijakan yang dihasilkan bergantung pada kepentingan politik masing-masing,” ujar Jean Pierre Ometto, peneliti INPE.

Tajamnya konflik kepentingan di antara lembaga-lembaga memperlihatkan terkotak-kotaknya pemahaman tentang masalah hutan dan lingkungan. Hal itu terlihat jelas saat berbincang dengan para pejabat bidang komunikasi Departemen Pertanian, Edit Silva; dari Kementerian Pertambangan dan Energi, Fernando Henrique C Teixertrense; dan dari Kementerian Lingkungan, Ronie Lima.

Edit tidak menyangkal bahwa sektor pertanian (dan peternakan) sebagai penyumbang terbesar deforestasi. Akan tetapi, lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan pangan adalah soal serius dan rumit karena tekanan kependudukan. ”Sekitar 25 juta orang hidup dari hutan. Bagaimana mereka harus hidup,” tanya Edit.

”Memang kebutuhan pangan penting,” tukas Ronie. ”Namun, selama pola konsumsi dan produksi tak berubah, semua upaya menahan laju emisi karbon dioksida (CO) dengan mengurangi deforestasi sampai 80 persen tak ada artinya.”

Fernando mengungkapkan, kebutuhan lahan untuk perkebunan tebu, bahan dasar produksi etanol untuk energi bersih. Namun, disadari, hal itu akan berkonflik dengan kebutuhan lahan untuk pangan manusia dan ternak. ”Namun, dengan teknologi baru, produksi tebu bisa efektif di lahan kecil,” ujar Fernando.

Marina vs Dilma

Persoalan lingkungan tampaknya akan menajam dalam pemilu tahun 2010. Menteri Lingkungan Marina Osmarina da Silva yang mundur dari Partai Buruh akan menjadi calon presiden dari Partai Hijau.

Sementara itu, Presiden Luiz Inácio ”Lula” da Silva yang memenangi dua kali pemilu—menurut konstitusi, tak boleh ikut pemilu lagi—memilih Dilma Rousseff, Head of Staff lembaga kepresidenan, sebagai calon penggantinya dari Partai Buruh.

”Dilma bertanggung jawab atas revolusi pembangunan dengan konsep primitif,” ujar Osvaldo. ”Masalah lingkungan selalu ia pandang dalam perspektif ekonomi,” sambung Cláudio Angelo, editor sains harian terbesar di Sao Paulo, Folha de São Paulo.

Namun, perseteruan dua perempuan itu tampaknya tak akan lama. Menurut Gabriela Goes, mahasiswa tingkat akhir Jurusan Politik Universitas Brasilia,

Marina yang didukung kelompok lingkungan dan Dilma yang didukung partai-partai beraliran kiri tengah akan berkoalisi menghadapi lawan yang tangguh, José Serra, yang didukung partai-partai beraliran kanan tengah.

(MARIA HARTININGSIH)

Jumat, 20 November 2009 | 04:50 WIB

Di Rimba Beton Amazon


”Katanya mau ke Amazon?” Pertanyaan itu akhirnya dilontarkan di Belem pada hari terakhir tugas kami (Jumat, 6/11) setelah berdiskusi dengan 17 narasumber di tempat-tempat terpisah di Sao Paulo, Brasilia, dan Belem di Brasil, untuk mengetahui lebih jauh masalah deforestasi di Amazon dalam kaitannya dengan perubahan iklim.

Kami bahkan sudah siap dengan perlengkapan untuk masuk ke kelebatan hutan hujan tropis terbesar di dunia itu, sesuai dengan penjelasan pejabat bidang komunikasi dan media Kedutaan Besar Inggris di Jakarta sebagai pihak pengundang.

”Anda sedang berada di tengah hutan Amazon,” tukas Bruno Cabral (30) di tengah kekecewaan. Bruno masih kuliah di jurusan hukum universitas swasta di Belem dan penerjemah Portugis-Inggris paruh waktu.

Obrolan yang terpotong-potong itu—karena harus menemui berbagai narasumber yang sudah ditentukan—justru memberikan gambaran yang mengaitkan antara deforestasi di Amazon dengan pengalaman subyektif Bruno sebagai warga Belem.

”Daerah ini,” ia menunjuk wilayah jalan utama di Belem yang sedang kami lewati dalam perjalanan ke lembaga riset Imazon, ”sekitar 20 tahun lalu adalah sungai dengan hutan bakau yang tebal. Saya sering memancing ikan di situ.”

Sebagai warga, Bruno pun takjub melihat perubahan yang begitu cepat di Belem. ”Inilah Amazon, lengkap dengan McDonald’s-nya,” ujar Bruno, terdengar sarkastis, ketika menyebut restoran cepat saji asal Amerika Serikat yang menu utamanya burger daging sapi itu.

Secara sepintas, Bruno menceritakan tentang empat keluarga tuan tanah yang berpengaruh besar pada perkembangan ekonomi dan politik di Belem, termasuk pengembangan kota yang rakus dan tidak terencana.

”Hutan yang paling dekat kota sudah rusak. Yang di seberang sungai hutannya masih jauh lebih bagus,” Bruno menunjuk hutan lebat di seberang Sungai Para, salah satu cabang Sungai Amazon, dari 8-The Heron Mangrove.

Kota Belem yang berdiri tahun 1616 adalah koloni bangsa Eropa pertama di Amazon. Ibu kota Negara Bagian Para—gerbang Amazon—itu kini berpenduduk sekitar 2,09 juta orang. Belem berada di tepi muara Amazon, di bagian utara Brasil, terletak sekitar 100 kilometer di hulu Laut Atlantik.

Gambar besar

Sekilas kisah Bruno memperlihatkan gambaran besar deforestasi di Amazon, yang tampaknya senantiasa terkait dengan politik kekuasaan. Belem hanya salah satu dalam sejarah kota di Brasil yang dibangun dengan cara ”memakan” hutan.

”Sebelum dibangun sekitar 50 tahun lalu, kota Brasilia adalah bagian dari hutan Amazon,” ujar Arnaldo Carneiro Filho, peneliti pada Socio-Environmental Institute (ISA), di Brasilia, Rabu (4/11) siang.

Kata Arnaldo, antara tahun 1945 dan tahun 2000, hutan di Amazon telah memberikan ”bagian-bagian tubuhnya” bagi pembangunan ratusan kota di Brasil. Jalan besar dan kecil sepanjang 300.000 kilometer yang menerabas Amazon mulai dibangun sejak akhir tahun 1960-an.

”Brasil adalah juara utama deforestasi di Amerika Latin. Selain Amazon, hutan Atlantik di Brasil pun hanya tersisa 5-6 persen,” ujar Arnaldo. ”Padahal, 60 persen penduduk bermukim di kawasan itu,” sambung Mario Manthovani dari organisasi nonpemerintah, SOS Atlantic Forest, di gedung parlemen di Brasilia, Rabu (4/11) pagi.

Selama 15 tahun terakhir, Mario dan kawan-kawannya bekerja menyelamatkan sisa hutan yang merupakan pemasok air bersih dan sumber keragaman hayati.

Hutan Atlantik atau Mata Atlaantica membujur di sepanjang pantai Atlantik Brasil dari Rio Grande utara ke selatan terus sampai ke bagian timur Uruguay dan Provinsi Misiones di timur laut Argentina.

Adapun luas seluruh hutan Amazon mencakup Brasil, Peru, Bolivia, Kolombia, Ekuador, Guyana, Suriname, dan Venezuela. Luasnya sekitar 6,7 juta kilometer persegi, hampir dua kali luas Uni Eropa, dengan 60-65 persennya berada di Brasil. Menurut Kiko Brito dari Greenpeace di Sao Paulo, luas Amazon di Brasil sekitar 72 persen dari 8,51 juta kilometer persegi luas negeri itu.

Hutan Amazon sangat penting dalam ekosistem dunia karena sepertiga dari seluruh spesies di dunia terdapat di hutan rimba Amazon. Berbagai obat kanker berasal dari spesies tumbuhan yang hanya terdapat di Amazon.

Hutan hujan tropis terbesar di dunia itu menghasilkan 15-20 persen air bersih dunia, berasal dari Sungai Amazon yang panjangnya sekitar 6.400 kilometer, terbesar kedua di dunia, meliuk dari Pegunungan Andes terus turun sampai ke Samudra Atlantik.

Sejarah kerusakan

”Peternakan, pertanian, khususnya kedelai, dan pembalakan adalah ancaman terbesar di Amazon di samping kegiatan pertambangan,” ujar Dr Jean Pierre Ometto, peneliti pada Lembaga Nasional Penelitian Ruang (INPE). ”Sekitar 70 persen wilayah hutan yang gundul berwujud padang rumput peternakan sapi.”

Brasil adalah pengekspor produk daging sapi (termasuk produk susu dan kulit) terbesar di dunia, khususnya setelah kasus penyakit sapi gila di negara maju. Begitu dikemukakan Kiko Bruno dari Greenpeace, Sao Paulo. Empat korporasi besar dalam negeri, JBS, Bertin, Marfrig, dan Minerva, menguasai 70 persen pangsa pasar produk daging dunia.

”Antara tahun 1990 dan 2003, pertumbuhan produksi daging meningkat 7 persen setahun. Itu sangat tinggi,” ujar Paulo Bareto, peneliti senior dari Imazon.

Hutan yang dihancurkan sejak tahun 1970-an berjumlah 700.000-750.000 kilometer persegi. ”Tekanan terhadap Amazon juga berasal dari pembangunan dam untuk pusat listrik tenaga air yang merupakan 90 persen sumber listrik Brasil. Jumlahnya sekitar 205, termasuk yang masih rencana,” papar Arnaldo.

Menurut Jean Pierre, persoalan terbesar adalah soal kepemilikan lahan. Ini juga terkait dengan spekulasi lahan yang, menurut Penasihat Senior TNC Bidang Kebijakan Konservasi di Kawasan Amerika Selatan Fernanda Viana de Carvalho, nilainya mencapai 1,3 miliar reis per tahun atau sekitar 450 juta dollar AS. Hutan yang masih bagus pun, seperti di Xingu, terancam segala bentuk kegiatan eksploitatif.

Mario menambahkan, sekitar 70 persen lahan hutan dikuasai orang-orang yang punya ”hak istimewa” meskipun secara teori itu adalah hutan publik. Sedangkan menurut Paulo, 50-80 persen properti di hutan dikuasai swasta.

”Sekitar 94 persen deforestasi adalah ilegal dan menginvasi hutan suku asli yang luasnya hanya sekitar 6 persen,” sambung Arnaldo, yang bersama ISA melakukan pemantauan demi hak-hak suku asli yang populasinya tinggal sekitar 700.000.

Penggundulan hutan di Amazon punya sejarah panjang, dimulai tahun 1940-an ketika Presiden Getúlio Vargas meluncurkan program nasional pembangunan di lembah Sungai Amazon.

”Sebagian besar deforestasi terjadi pada akhir tahun 1960-an ketika pemerintah militer Brasil mulai melakukan pembangunan besar-besaran, termasuk pembangunan kota, dam, dan trans- Amazon, serta mengembangkan agribisnis karena mulai awal tahun 1970-an itu Brasil mulai mendekat ke Amerika,” ungkap Arnaldo.

Pembangunan membutuhkan banyak tenaga kerja. Migrasi besar-besaran dari berbagai wilayah meruyak. Pembangunan trans- Amazon telah membuka kesempatan lebih besar bagi perambah untuk merangsek ke bagian hutan yang makin dalam.

Konflik perebutan lahan memanas, khususnya oleh kaum migran dari selatan. Mereka adalah pemodal, yang punya akses ke lembaga-lembaga keuangan, untuk mengembangkan agribisnis.

”Mereka adalah agen penting dalam perubahan tata guna lahan di wilayah selatan Brasil, khususnya di Mato Grosso,” ungkap Arnaldo.

Para petani besar itu merespons pasar komoditas dunia yang secara politik didorong menjadi infrastruktur baru pembangunan. Mereka difasilitasi untuk melakukan perluasan kegiatan pertanian (dan peternakan) serta deforestasi sampai saat ini.

”Mulai tahun 1969, rezim militer membuka hutan Amazon di Manaus untuk asembling produk-produk korporasi transnasional, seperti Honda, CD, dan lain-lain,” sambung Arnaldo. Kegiatan ekonomi di Manaus memberi sumbangan terbesar kelima pada produk domestik bruto (PDB) Brasil.

Dalam ”The Roles and Movements of Actors in the Deforestation of Brazilian Amazonia” pada jurnal Ecology and Society Vol 13 (Juni 2008), Dr Philip M Fearnside dari National Institute for Research in the Amazon (INPA) mengungkapkan sembilan aktor deforestasi terkait bagaimana mereka membalak hutan, di mana wilayah kegiatannya, dan bagaimana interaksi satu sama lain.

Para aktor itu mencakup dari yang paling miskin (migran tanpa lahan dan migrasi yang disponsori negara) sampai yang kaya (petani dan peternak bermodal besar), mulai dari kelompok oportunis (pemodal besar penambang emas) hingga mereka yang tanpa harapan (penyerobot tanah), dari kapitalis pasar bebas (pedagang lintas batas narkotika dan obat terlarang, para operator penggergajian kayu dan pembalak) sampai mereka yang hanya punya sedikit alternatif hidup (para budak utang).

Kelompok-kelompok itu adalah produk dari migrasi yang, menurut Fearnside, ”melibatkan tak hanya pergerakan manusia, tetapi juga pergerakan investasi.”

Jumat, 20 November 2009 | 04:53 WIB

Oleh Maria Hartiningsih

KONSERVASI: Brasil, Pelopor Pemantauan Deforestasi

”Deforestasi di Amazon adalah urusan orang Brasil. Rakyat tak boleh membiarkan pemerintah minta uang dari luar negeri, apalagi utang, untuk perlindungan dan konservasi hutan.”

Pernyataan keras itu datang dari Sérgio Leitão, Direktur Kebijakan Politik Greenpeace, di Sao Paulo, Selasa (3/11), tentang mekanisme pendanaan di dalam negeri, khususnya Amazon Fund, sebagai upaya mengurangi deforestasi.

Amazon Fund, prakarsa Pemerintah Brasil untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan, merupakan alternatif Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Begitu dinyatakan Sergio Wergellin, Kepala Divisi Lingkungan Bank Nasional untuk Ekonomi dan Pembangunan Sosial Brasil (BNDES), di Sao Paulo, Selasa (3/11) petang.

Sasaran utama Amazon Fund adalah penggalangan dana untuk proyek-proyek melawan deforestasi dan mendorong konservasi serta penggunaan yang berkelanjutan dari ekosistem Amazon. ”Sekitar 20 persen dari Amazon Fund digunakan untuk mendukung pengembangan dari pengawasan hutan dan sistem pemantauan di ekosistem Brasil lainnya serta di hutan-hutan tropis di negara lain,” ujar Sergio.

Diyakini, hutan tropis di dunia diperkirakan mampu menyerap sekitar 100 miliar ton karbon, setara dua kali jumlah karbon di atmosfer. Pengurangan deforestasi karena konservasi dan pengelolaan hutan berkelanjutan diyakini membawa manfaat klimatik.

Namun, laju deforestasi tampaknya harus diimbangi dengan penurunan emisi di sektor lain. Inter Press Service (13/11) melaporkan, antara 1994 dan 2007, emisi karbon dioksida (CO) di Brasil meningkat 40 persen, berasal dari kenaikan emisi di sektor industri sebesar 56 persen dan energi 54 persen.

”Kita seharusnya punya target penurunan emisi, tetapi dasarnya harus konkret. Harus ada transformasi di sektor ekonomi, perubahan pola konsumsi dan produksi, serta riset mendalam untuk masalah lapangan kerja,” ujar Paulo Barreto dari Imazon, Belem.

Tak sepi kritik

Usulan Amazon Fund pertama kali dipaparkan dalam Konferensi Para Pihak Ke-12 (COP-12) Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim di Nairobi dan diumumkan dalam COP-13 di Bali.

Amazon Fund merupakan dana privat, dikelola BNDES yang memiliki divisi lingkungan dan menjadi anggota Prakarsa Finansial (FI)—Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP).

Pemerintah Norwegia telah memberikan dukungan dengan sumbangan satu miliar dollar AS dalam tujuh tahun (sampai tahun 2015). ”Bulan April sudah dicairkan 120 juta dollar,” ujar Sergio. Selain itu, Greenpeace, menurut Sérgio Leitão, juga menyumbang 500.000 dollar AS. Target sumbangan diharapkan mencapai 20 miliar dollar AS tahun 2020.

Namun, Amazon Fund tak sepi kritik. ”Amazon Fund tak mampu menyelesaikan semua masalah di Amazon,” ujar Sérgio Leitão. Deforestasi tak hanya menyangkut soal teknis konservasi, tetapi juga mencakup persoalan ekonomi, sosial, dan politik.

Penurunan laju deforestasi di Brasil terkait dengan tiga hal penting, antara lain, larangan menjual produk pertanian (dan peternakan) yang berasal dari kawasan deforestasi di Amazon.

Menurut Kiko Bruno, Greenpeace melakukan advokasi pada masyarakat, korporasi pengguna produk kedelai dan daging (juga produk susu dan kulit sapi), produsen, dan pemerintah sejak tahun 2002. Advokasi itu memberi tekanan pada pasar global untuk menolak produk-produk yang berasal dari deforestasi ilegal di hutan hujan.

Dua hal lain yang menyumbang pada penurunan deforestasi adalah larangan pemberian pinjaman bagi produsen yang melanggar hukum lingkungan dan tindakan keras pemerintah terhadap praktik-praktik deforestasi di 43 kotamadya.

Osvaldo Stella Martins dari Amazon Environmental Research Institute (IPAM) juga merasa kecewa. ”Kami mengajukan proposal, tetapi tampaknya para analisnya lebih tahu pasar modal dibandingkan soal lingkungan. Tak ada transparansi.”

Proposal itu menyangkut peningkatan produktivitas dari 270 lahan kecil (di bawah 200 hektar) yang melibatkan sekitar 300.000 orang. ”Menteri Lingkungan Carlos Minc mengumumkan, proposal IPAM disetujui, tetapi kami tidak diberi tahu. Kabarnya, ada dua proposal disetujui dan akan diumumkan dalam COP-15 Kopenhagen,” ujarnya.

IPAM banyak dikritik karena menerima uang untuk proyek-proyek deforestasi dari korporasi yang dikenal sebagai ”juara pencemar”. Misalnya kelompok Hotel Marriott untuk proyek di Surui dan Proyek Juma yang melibatkan Coca-Cola.

Pionir pemantauan

Brasil adalah satu-satunya negara yang melakukan pemantauan deforestasi secara mendetail berbasis bulanan. ”Brasil adalah pionir dalam pemantauan deforestasi. Datanya menjadi dasar bagi banyak organisasi untuk riset-riset lebih mendalam,” ujar Paulo.

Badan yang berperan penting dalam pemantauan (dan modelling) adalah Lembaga Nasional Penelitian Ruang (INPE), berdiri tahun 1971, di bawah koordinasi Kementerian Sains dan Teknologi.

”Kegiatan ini penting untuk mengetahui berapa banyak perubahan tata guna lahan yang sedang terjadi, di mana, penyebabnya, apa dampak kebijakan publik, dan perkiraan masa depan,” ujar Jean-Pierre bOmetto, peneliti di INPE.

INPE mengembangkan aplikasi pemantauan untuk mendeteksi deforestasi dengan tingkat ketepatan yang tinggi, real time deforestation monitoring system (DETER).Gambar dari satelit dengan resolusi tinggi sangat dibutuhkan untuk memperkirakan total area deforestasi dan mengidentifikasi pembabatan bersih di lahan-lahan kecil (di bawah 100 hektar).

”Kondisi iklim regional banyak bergantung pada apa yang terjadi di Amazon,” sambung Jean-Pierre. Ia menambahkan, INPE mulai mengembangkan program-program prioritas pada tahun 1980-an, khususnya China-Brazil Earth Resources Satellite Program (CBERS), Amazon Research Program (AMZ), dan Center for Weather Forecast and Climatic Studies (CPTEC).

”Lembaga ini mencoba menjadi jembatan antara sains dan pemerintah dalam pembuatan kebijakan,” ujar Carlos Nobre, Direktur CPTEC-INPE.

Ia mengatakan, mekanisme Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sangat membutuhkan data akurat, membutuhkan sistem seperti yang dikembangkan INPE. ”Identifikasi butuh sistem, supaya tahu persis, misalnya berapa kandungan karbon dalam lahan gambut,” sambung Carlos.

Data INPE sangat penting bagi IBAMA, Lembaga Pemerintah untuk Masalah Lingkungan dan Sumber Daya Alam Terbarukan, yang tahun ini berusia 20 tahun. IBAMA mengurus semua hal terkait dengan hutan, termasuk menangkap para kriminal hutan dan lingkungan.

”Tidak ada pengampunan bagi mereka,” ujar Pedro Ferraz Cruz, analis lingkungan IBAMA.

Dengan dana lebih dari 20 juta reis atau sekitar 6,5 juta dollar AS dan anggaran 900 juta reis per tahun untuk semua kegiatannya, IBAMA cukup efektif.

Pada tahun 2007, IBAMA memenangi kasus pertama di pengadilan untuk menghentikan ekspor kayu mahoni. IBAMA berperan dalam menghentikan pabrik proses kedelai oleh Cargill, korporasi multinasional bidang benih asal Amerika Serikat.

IBAMA menangkap pembalak dan menghentikan rencana pembangunan pusat listrik tenaga air di kawasan sensitif. Karena itu, banyak upaya dilakukan untuk melemahkan IBAMA. ”Ancaman tak pernah berhenti,” kata Pedro.

Melengkapi semua kegiatan itu, dibentuk Forestry Service yang bertanggung jawab atas Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dan Registrasi Nasional Hutan Publik (CNFP) untuk kepentingan Konsesi Kehutanan.

”Sampai Juli 2009, sekitar 211 juta hektar hutan diregistrasi, 93 persennya di Amazon” ujar Marco Conde.

Hanya hutan publik yang diseleksi dalam Perencanaan Tahunan Konsesi Hutan, dapat ditawarkan dalam konsesi.

Persyaratan mendapatkan kontrak penggunaan selama lima sampai 40 tahun sangat ketat, khususnya tahu prosedur Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Konsesi ini tak memberikan hak kepemilikan, menambang, penggunaan sumber air, perdagangan ikan dan satwa liar, atau perdagangan karbon.

Undang-undang tahun 2006 menguatkan kompetensi Forest Service dalam menciptakan dan bertanggung jawab atas Sistem Informasi Hutan Nasional (SNIF) untuk mengumpulkan, menghasilkan, mengorganisasikan, menyimpan, memproses dan menyebarkan data, informasi, serta pengetahuan tentang hutan dan kehutanan.

Semua itu penting untuk ”mendamaikan” penggunaan hutan dan konservasi, begitu dinyatakan Johan C Zweede, Direktur Eksekutif Institut Hutan Tropis yang melatih prosedur Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. (MH)

Jumat, 20 November 2009 | 04:51 WIB

Wednesday, November 18, 2009

Pembangunan Broadband Harus Merata

Jakarta - Ketersediaan infrastruktur jaringan telekomunikasi broadband antara wilayah barat dan kawasan timur Indonesia dinilai masih belum merata.

Padahal, menurut Menkominfo Tifatul Sembiring, pembangunan infrastruktur merupakan langkah penting untuk meningkatkan persentase penggunaan telekomunikasi (teledensitas).

Dilihat dari data yang dirilis Depkominfo, teledensitas Indonesia masih terbilang rendah. Penetrasi telepon kabel PSTN   baru 3,78%, fixed wireless access (FWA) 7,7, seluler  60,18%, dan Internet masih 13,34%.

"Itu sebabnya kami terus mendorong pembangunan infrastruktur telekomunikasi di wilayah timur agar bisa seimbang dengan ketersediaan infrastruktur di wilayah barat seperti Pulau Jawa dan Sumatra," ujarnya usai peresmian SKKL Jakabare dan Satelit Palapa D di kantor pusat Indosat, Jakarta, Selasa (17/11/2009).

Langkah para operator yang mau membangun infrastruktur broadband di kawasan timur dinilai sejalan dengan program pemerintah dalam meningkatkan teledensitas melalui peningkatan ketersediaan infrastruktur telekomunikasi.

Operator yang akan lebih dulu memulai pembangunan backbone di kawasan timur Indonesia adalah Telkom melalui pembangunan tahap pertama Palapa Ring dengan nama Mataram-Kupang Cable System. Pembangunan yang menelan biaya Rp 500 miliar ini mencakup rute Mataram-Kupang, Manado-Sorong, dan Fakfak-Makassar sepanjang 1.041 kilometer.

Sedangkan Indosat baru saja mengoperasikan Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Jakabare yang akan menghubungkan Indonesia dengan Singapura dan Satelit Palapa D. Jakabare merupakan jaringan kabel laut sepanjang lebih dari 1.300 kilometer, meliputi pulau Jawa, Kalimantan, Batam, dan Singapura.

Sementara Satelit Palapa-D yang diluncurkan dari Xichang, China pada 31 Agustus lalu sudah diserahterimakan oleh kontraktor pada Indosat 28 Oktober lalu. Satelit Palapa-D  menelan investasi sebesar US$ 220 juta dan diperkirakan akan break event point alias impas setelah tujuh tahun mengangkasa.

Tifatul berharap, pembangunan infrastruktur tak hanya melalui jalur Singapura dan Malaysia saja. Ia meminta operator juga akan mulai membuka jalur internasional melalui Hong Kong.
( rou / faw ) 

Selasa, 17 November 2009
Source:http://www.detikinet.com/read/2009/11/17/181800/1243591/328/pembangunan-broadband-harus-merata

Rp 500 Miliar untuk Kick Off Palapa Ring


Jakarta - Pembangunan kabel serat optik bawah laut sepanjang 1.041 kilometer di rute Mataram-Kupang, Manado-Sorong, dan Fakfak-Makassar, yang menjadi tahap pertama kick off Palapa Ring, memakan investasi Rp 500 miliar.

Investasi itu digelontorkan Telkom melalui proyek yang dinamakan Mataram-Kupang Cable System. Untuk pembangunannya yang akan dimulai pada 30 November 2009 mendatang, Telkom telah menunjuk vendor penyedia jaringan Huawei Marine.

"Kami menginvestasikan dana Rp 500 miliar untuk membangun backbone tersebut. Penyedia jaringan yang ditunjuk adalah Huawei Marine," ungkap Chief Operating Officer Telkom, Ermady Dahlan, di Jakarta, Rabu (18/11/2009).

Upaya Telkom memperkuat backbone tak lain didorong oleh transformasi bisnis layanan yang dikembangkan perusahaan. Bila pada masa lalu layanan Telkom lebih banyak berbasis suara, maka dewasa ini telah berubah menjadi Telecommunication, Information, Media dan Edutainment (TIME).

Oleh Telkom, perubahan itu disebut New Wave. "Wilayah timur Indonesia tentu juga ingin menikmati juga New Wave ini," tukas Ermady.

New Wave yang dimaksud adalah lini bisnis di luar telekomunikasi dasar berbasis seluler atau kabel. Bisnis ini identik dengan penggunaan internet dan solusi teknologi informasi.

Pada 2008 lalu, bisnis New Wave Telkom tumbuh 51%. Sedangkan sumbangan terhadap total revenue meningkat menjadi 8,9% pada kuartal ketiga 2009 dibandingkan pada periode sama 2008 yang hanya 6,3 %.
( rou / rou ) 

rabu, 18/11/2009
source:http://www.detikinet.com/read/2009/11/18/025840/1243705/328/rp-500-miliar-untuk-kick-off

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...