Thursday, December 3, 2009

30 Bank Di Dunia Masuk Daftar Pengawasan

Badan Stabilitas Keuangan yang dibentuk menteri-menteri keuangan dalam G-20 telah membuat daftar berisi 30 lembaga keuangan dan bank bertaraf internasional yang perlu mendapatkan perhatian khusus.

Hal ini dilakukan untuk mencegah kegagalan keuangan global akibat kekacauan yang berpotensi dilakukan oleh bank dan lembaga keuangan itu.

”FSB (Financial Stability Board/Badan Stabilitas Keuangan) telah memasukkan 30 bank dan lembaga keuangan sebagai sumber krisis sistemik karena wilayah kerjanya yang mendunia sehingga tergolong dalam perusahaan yang too big too fail (terlalu besar untuk gagal). Perilaku pemegang saham dan kebijakan manajemennya masuk dalam pengawasan,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (2/12).

Pada laporan Financial Times ada 24 bank dan 6 lembaga asuransi multinasional yang masuk dalam daftar FSB. Mereka tersebar di Inggris, Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.

Ke-24 bank itu adalah Bank of America Merrill Lynch (BAC), Citigroup, Goldman Sachs, JPMorgan Chase, Morgan Stanley, Royal Bank of Canada, Barclays, HSBC, Royal Bank of Scotland, Standard Chartered, Credit Suisse, dan UBS AG. Selain itu juga ada BNP Paribas, Société Générale (Perancis), BBVA (Spanyol), Santander (Spanyol), Mitsubishi UFJ, Mizuho, Nomura, dan Sumitomo Mitsui (Jepang).

Lalu ada Banca Intesa dan UniCredit (Italia), kemudian Deutsche Bank (Jerman), serta ING Group (Belanda). Adapun enam kelompok usaha asuransi adalah Aegon, Allianz, Aviva, Axa, Swiss Re, dan Zurich.

”Dalam pengawasan FSB, bank dan lembaga keuangan itu harus memiliki living will (keinginan untuk hidup). Sebab, kalau ada kesulitan, mereka harus menyelesaikan sendiri masalahnya sebelum meminta bantuan kepada pemerintah masing-masing,” ujar Sri Mulyani.

Secara terpisah, Pejabat Sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan, stabilitas sistem keuangan domestik akan tetap terjaga.

Hal itu ditandai dengan rasio kecukupan modal yang rata-rata ada di level 17,7 persen dan kredit berkinerja rendah yang kurang dari 5 persen. BI juga memberlakukan Giro Wajib Minimum sekunder sebesar 2,5 persen sejak 24 Oktober 2009. (OIN)

Keamanan Nasional dan Keamanan Alam

Kalangan pertahanan di banyak negara mulai memusatkan perhatian pada dampak perubahan iklim atas keamanan nasional.

Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman membahasnya dalam rangka kajian tentang keamanan nasional masing-masing untuk 10-15 tahun mendatang. Mereka mengkaji dampak perubahan iklim di sejumlah wilayah dunia yang potensial mengganggu kepentingan nasional Amerika dan Eropa.

Kemarau panjang Gurun Darfur di Sudan, pencairan gumpalan es di Kutub Utara, dan konflik permukiman Arab-Palestina masing-masing dinilai dapat memacu pertambahan jumlah imigran gelap dari Afrika ke Amerika Utara dan Eropa, mengubah nilai strategis alur laut Kutub Utara, dan mengganggu pasokan minyak-gas dari Timur Tengah.

Militer dan iklim

KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7-17 Desember 2009, akan ikut menyinggung perkaitan peran militer dengan perubahan iklim, mengingat departemen pertahanan di mancabenua umumnya adalah pengelola terbanyak atas markas, pangkalan, daerah latihan, dan hutan.

Tentara adalah pengguna energi fosil terbesar untuk kendaraan tempur, kapal perang, dan pesawat terbang. Karena itu, perubahan iklim dan keamanan nasional menyatu sebagai masalah keamanan nasional dan keamanan alam.

Perubahan iklim dan keamanan nasional tidak lepas dari dampak perubahan iklim global dan keamanan internasional. Baik penanganan iklim global maupun keamanan nasional hanya dapat ditangani dalam kerangka lima tataran kebijakan sekaligus: global, regional, nasional, provinsial, dan lokal. Dalam era global, tidak ada kedaulatan mutlak.

Keamanan nasional dan keamanan alam Indonesia, misalnya, tidak bisa lepas dari semburan buangan gas industri berat di Asia timur laut yang banyak menggunakan batu bara. Sebaliknya, hampir tiap tahun kepentingan nasional Malaysia dan Singapura terganggu oleh sebaran asap dari pembakaran liar di sejumlah kabupaten dan provinsi Sumatera.

Sebagai negara anggota G-20, pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu sepakat menetapkan kebijakan keamanan nasional dan keamanan alam dengan menyertakan pakar ilmu lingkungan, hukum, politik, ekonomi, energi, sains, dan teknologi.

Tak kalah penting adalah penyertaan pakar antropologi, budaya, dan sejarah. Bagaimanapun, pola pemakaian energi dan bahan bakar mengandung unsur- unsur budaya lokal. Penggunaan bahan bakar fosil dan nonfosil amat berbeda dari lokasi ke lokasi dan dari waktu ke waktu.

Sejumlah pakar strategi militer di Amerika Utara, Eropa, dan Asia belum lama ini mengajukan tiga skenario besar menghadapi perubahan iklim global akibat pemanasan global.

Skenario pertama, sebagai yang ”paling mungkin” adalah apabila suhu rata-rata global naik 1,3 derajat celsius per tahun hingga tahun 2040. Krisis yang diperkirakan terjadi adalah pertentangan di dalam dan antarnegara akibat migrasi besar-besaran. Karena berkurangnya hujan, lahan, hutan, dan air, akan meluaslah berbagai penyakit, seperti paru- paru, tenggorokan, dan pernapasan. Negara dan pemerintahan yang tak sanggup menanggung beban konflik sosial yang terjadi di dalam negeri akan mengalami kekacauan, bahkan disintegrasi, politik, dan ekonomi.

Skenario kedua, yang ”parah” adalah jika kenaikan suhu global mencapai 2,6 derajat celsius per tahun hingga tahun 2040. Krisis yang terjadi adalah kian gencarnya migrasi intranegara dan antarnegara yang bertetangga, perubahan besar-besaran terhadap pola pertanian dan pengairan, serta menjangkitnya pandemik seperti flu A-H1N1 dan flu burung. Sengketa dan kekerasan sekitar sumber daya alam dapat memicu perang suku, perang etnik, dan konflik antarumat beragama. Semua pihak akan mencari dukungan untuk mencari pembenaran menurut ajaran suku, adat, dan Tuhan masing-masing.

Perubahan lahan pantai di negeri Belanda, di sepanjang Sungai Nil antara Mesir dan Sudan, antara India dan Banglades serta di negara pulau seperti Maladewa dan Pasifik Selatan, dapat berubah secara drastis pandangan diri manusia tentang jati diri dan mengenai hubungan diri dengan alam sekitar.

Skenario ketiga, ”malapetaka besar” adalah kenaikan suhu  dunia sebesar 5,6 derajat celsius per tahun menjelang tahun 2100. Malapetaka besar terjadi jika pusat-pusat ekonomi kuat, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan RRC, mengandalkan keamanan energinya dari pemakaian energi fosil dengan gas
buangan yang amat banyak. Apabila sepanjang abad ke-21 keempat kutub ekonomi besar ini tidak mengurangi pemakaian energi fosil, masyarakat dan negara-negara lain akan menempuh teror internasional dengan menggunakan ideologi sekuler maupun agama. Atau menempuh perang asimetris melalui penyelundupan senjata pemusnah massal, migrasi ilegal, perluasan obat bius, atau perang biokimia.

Menyesatkan

”Perubahan iklim global” mengandung makna yang agak menyesatkan. Tidak semua benua, samudra, gunung, dan lahan di dunia menjadi korban yang sama parahnya dari pemanasan global yang disebabkan pola konsumsi energi perekonomian negara-negara besar.

Namun, melalui suatu kerja sama nasional, regional, dan global yang berkesinambungan, pemerintah dan masyarakat ASEAN bisa melakukan pemetaan lokal, provinsial, nasional, regional, dan global melalui kerja sama KTT ASEAN, APEC, Asia Timur, dan medan-medan internasional yang bermitra.

Peran Indonesia

Perguruan tinggi dan lembaga penelitian—negeri dan swasta—di seluruh Tanah Air dapat menyusun kajian berlanjut tentang kedudukan dan peran Indonesia dalam tatanan ekonomi, politik, dan militer Asia Pasifik khususnya dan di dunia pada umumnya.

Pola konsumsi energi dan bahan bakar alternatif ”dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote” hendaknya disusun dan dimutakhirkan secara berkala. Pola energi alternatif di wilayah padat penduduk seperti Jawa dapat tersambung secara efisien dan wajar dengan wilayah jarang penduduk, tetapi kaya sumber alam seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua.

Akhirnya, keamanan nasional Indonesia terpulang pada pengamanan alam di seluruh wilayah Indonesia. Meski bineka dalam ragam pola konsumsi lokal, tetap ika dalam komitmen bersama mengedepankan keamanan alam Indonesia.

Rabu, 2 Desember 2009 | 02:36 WIB

Penulis: Juwono SudarsonoGuru Besar Universitas Indonesia, Jakarta

"Diet Karbon" Melalui Hemat Energi

Green Festival 2009 ingin memopulerkan istilah ”diet karbon” sebagai bagian gaya hidup adaptif dan merupakan langkah mitigasi terhadap dampak pemanasan global. Diet karbon, salah satunya, bisa dilakukan melalui langkah hemat energi.

”Diet karbon untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global,” kata Ketua Panitia Green Festival 2009 Nugroho Ferry Yudho, Selasa (1/12) di Jakarta.

Nugroho mengatakan, Green Festival atau Greenfest menunjang hal-hal aplikatif yang dapat dilakukan setiap orang. Diet karbon melalui hemat energi dapat dilakukan dengan menghemat listrik, yang hingga kini sebagian besar masih diproduksi dengan bahan bakar fosil.

Diet karbon melalui hemat listrik banyak ragamnya. Mengganti komputer personal dengan komputer jinjing yang dapat menyimpan arus listrik, menurut Nugroho, bisa menghemat listrik sampai 80 persen.

Posisi standby televisi, pengatur suhu (AC), komputer, atau alat-alat elektronik lainnya masih menggunakan listrik 5 watt. Akan berbeda halnya jika dimatikan atau dicabut koneksi listriknya. Tindakan menghemat listrik seperti ini menjadi salah satu diet karbon.

Diet karbon tidak hanya dengan cara menghemat penggunaan energi atau listrik. Namun, diet karbon juga dapat diwujudkan dalam hal memproduksi energi atau listrik secara ramah lingkungan.

”Masyarakat agar menerapkan energi alternatif yang ramah lingkungan dan pemerintah perlu didorong menciptakan sistem insentif yang menarik,” kata Nugroho.

Dia mencontohkan, listrik dari sel surya semestinya mendapatkan insentif pemerintah. Dalam hal ini, listrik sel surya yang tidak digunakan seharusnya dapat dibeli PLN dengan sistem meteran yang berputar terbalik atau mundur. ”Meteran mundur itu untuk mengurangi jumlah beban listrik yang dibeli dari PLN,” kata Nugroho.

Listrik dari sel surya secara otomatis dihasilkan pada siang hari. Saat ini listrik sel surya itu biasanya disimpan terlebih dahulu ke dalam baterai.

Pada malam hari listrik dari baterai itu digunakan. Persoalan yang sering dihadapi, panel surya yang memiliki usia pakai sampai 25-30 tahun diimbangi baterai yang hanya dua tahun. Harga baterai pun relatif mahal.

Berbeda halnya jika produksi listrik dengan sel surya itu tanpa baterai atau langsung dipakai untuk keperluan pada siang hari, seperti untuk pendingin ruang atau sistem komputer. Penghematan biaya tanpa baterai cukup signifikan.

Menjadi persoalan manakala produksi listrik dengan sel surya melebihi kapasitas penggunaan, sedangkan baterai tidak disediakan. Menurut Nugroho, semestinya pemerintah menyediakan insentif berupa meteran mundur itu tadi. Artinya, listrik dari sel surya bisa masuk jaringan PLN dan PLN harus membelinya.

Mengenai peran pemerintah dalam menangani masalah energi, menurut peneliti pada Balai Besar Teknologi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Herliyani Suharta, sangat memungkinkan. Herliyani menunjukkan, ketika pemerintah menilai penggunaan minyak tanah tidak lagi efisien, nyatanya substitusi dengan gas tabung hijau itu kini berhasil.

”Sekarang masyarakat tidak lagi menggunakan minyak tanah untuk memasak, tetapi memakai gas,” kata Herliyani.

Di antara keragaman berbagai lapisan masyarakat, Herliyani mengingatkan, ada masyarakat tertentu yang tidak bisa mengakses bahan bakar gas tabung kecil itu. Mereka menggunakan biomassa atau kayu-kayuan untuk bahan bakar memasak.

”Kalau biomassa mudah ditemui dan melimpah, tidak menjadi persoalan. Tetapi, bagaimana kalau masyarakat yang menggunakan biomassa itu berada di lingkungan yang gersang dan tumbuhan pun sulit hidup?” kata Herliyani.

Penggunaan biomassa dari tanah gersang menimbulkan kerusakan lingkungan. Untuk mengurangi risiko itu, Herliyani merancang sebuah tungku yang dapat menghemat penggunaan biomassa, tetapi manfaat panas yang diperoleh akan sama.

”Kalau pemerintah dapat merealisasikan tabung gas, semestinya bisa pula membuat tungku yang dirancang mampu menghemat 80 persen biomassa ini,” kata Herliyani.(NAW)

Rabu, 2 Desember 2009 | 02:47 WIB

Friday, November 27, 2009

Edan! 1,1 Juta Hektar, Laju Kerusakan Hutan Indonesia


Laju kerusakan hutan Indonesia mencapai 1,1 juta hektar per tahun.

"Sementara kemampuan pemerintah melakukan rehabilitasi hanya 500 ribu hektare per tahun," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta di Banjarmasin, Jumat (27/11).

Kondisi tersebut, dikhawatirkan akan mempercepat dampak pemanasan global yang mengancam kehancuran alam di Indonesia maupun dunia.

Hatta mengatakan, saat ini suhu dunia naik hingga empat derajat, akibatnya permukaan laut naik hingga 80 sentimeter.

Bila kondisi ini dibiarkan berlangsung, maka sebanyak 30-40 juta penduduk Indonesia terancam menjadi korban dampak pemanasan global diantaranya banjir, bencana alam dan dampak lainnya.

"Untuk itu kami meminta seluruh warga Indonesia melakukan penanaman pohon, minimal satu orang satu pohon untuk menahan laju pemanasan global tersebut," katanya.

Kementerian Lingkungan Hidup juga telah melakukan koordinasi dengan kementerian lainnya untuk melakukan perbaikan lingkungan dalam segala segi, baik menteri kehutanan, pertambangan, kelautan dan perkebunan.

Untuk melakukan koordinasi, dia bersama stafnya harus rela mendatangi satu per satu lembaga kementerian terkait, agar bisa mendapatkan dukungan penuh dalam perbaikan lingkungan.

"Kadang teman-teman menteri egonya juga tinggi, sehingga saya harus rela mendatangi satu persatu," katanya.

Sementara itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang juga melakuakan kunjungan kerja ke Banjarmasin, mengatakan, untuk menahan laju kerusakan hutan tersebut pihaknya telah memperketat izin penebangan pohon baik untuk industri, pertambangan maupun perkebunan.

"Masa depan Indonesia bukan kepada harga kayunya, tetapi pada hutannya yang hijau sehingga bisa untuk wisata alam sekaligus paru-paru dunia," katanya.

Rehabilitasi hutan menjadi prioritas dalam program seratus hari kerja Menhut. Untuk menjalankan program itu, pada 2009 ini pemerintah menyiapkan dana reboisasi (DR) sebesar Rp 2 triliun dan 2010 menjadi Rp 2,6 triliun.

Dana tersebut, akan terus ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan industri kayu, akan diambilkan kayu dari hutan tanaman rakyat.

JUMAT, 27 NOVEMBER 2009 | 18:19 WIB



Wednesday, November 25, 2009

Ikat Diri ke "Crane", Enam Aktivis Greenpeace Dibawa Polisi



Sebanyak enam relawan Greenpeace, lima di antaranya warga asing, dibawa ke Polda Riau di Pekanbaru, menyusul aksi lembaga pemerhati lingkungan hidup itu di areal pelabuhan PT Indah Kiat Pulp and Paper, Rabu (25/11) pagi di Perawang, Kabupaten Siak, Riau. Ket.Foto: GREENPEACE/JOHN NOVIS
Sebanyak enam relawan Greenpeace, lima di antaranya warga asing, dibawa ke Polda Riau di Pekanbaru, menyusul aksi lembaga pemerhati lingkungan hidup itu di areal pelabuhan PT Indah Kiat Pulp and Paper, Rabu (25/11) pagi di Perawang, Kabupaten Siak, Riau.

Aksi Greenpeace itu melibatkan 12 aktivis dengan cara mengikatkan diri pada empat alat pengangkat (crane) peti kemas di pelabuhan anak perusahaan Sinar Mas Group itu sehingga seluruh kegiatan bongkar muat menjadi terhenti.

Menurut Hikmat Soerya Tanuwijaya, juru bicara Greenpeace Indonesia, enam relawan Greenpeace yang dibawa ke Polda Riau itu masing-masing adalah Asish Fernandes dari India, Asti Rowesley dari Swiss, Valerie Philip dari Australia, Benoit Calvi dari Belgia, Stepanie Goodwin dari Kanada, dan Bustar Maitar, juru kampanye Greenpeace Indonesia dan Asia Tenggara.

Bustar Maitar yang dihubungi lewat telepon genggamnya mengatakan sedang berada di Markas Polsek Perawang bersama lima aktivis Greenpeace asing lainnya. "Kami masih belum tahu ditangkap polisi atas tuduhan apa. Katanya kami akan dibawa ke Polda Riau di Pekanbaru," ujar Bustar Maitar yang dihubungi lewat telepon genggamnya.

Bustar mengatakan, aksi Greenpeace di lokasi pabrik PT Indah Kiat merupakan protes terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak tegas terhadap komitmen menjaga emisi rumah kaca. Faktanya, Grup Sinar Mas masih juga memakai kayu alam untuk keperluan industrinya dan merusak hutan gambut untuk dijadikan hutan tanaman industri. "Kami meminta SBY mendengar dan melihat protes kami," ujar Bustar.

Komitmen


Humas Sinar Mas, Nurul Huda, yang dihubungi secara terpisah mengatakan mengerti tuduhan Greenpeace terkait aksi yang dilakukan di Perawang. Namun, menurutnya, Sinar Mas sudah mencoba untuk mengurangi dampak rumah kaca dari kegiatan operasional pabrik.

"Kami bukan mau membela diri. Namun, kami juga memiliki komitmen untuk menjaga lingkungan. Faktanya kami sudah menyediakan 72.000 hektar lahan Giam Siak Kecil untuk dijadikan kawasan konservasi yang diakui oleh Badan PBB UNESCO dengan nama Cagar Biosfer Giam Siak Kecil," katanya.

"Kami juga menyediakan 16.000 hektar lahan gambut di Semenanjung Kampar untuk dijadikan kawasan konservasi permanen. Kalau tuduhan tentang penggunaan kayu alam, sejak tahun lalu kami tidak pernah lagi menebang kayu alam. Kalaupun masih ada kayu alam, itu merupakan sisa terakhir kayu tahun 2007 yang sempat berperkara hukum," kata Nurul lagi.

Sampai pukul 11.00 tadi, tiga aktivis Greenpeace masih belum dapat diturunkan dari Crane pelabuhan PT Indah Kiat. Meski sudah dibujuk untuk turun, mereka memilih untuk bertahan.

Sejak awal November 2009, Greenpeace memang getol mengampanyekan pelestarian alam untuk iklim dunia yang lebih baik di masa depan. Lebih dari setengah bulan, Greenpeace melakukan aksi di hutan gambut Semenanjung Kampar, Pelalawan, Riau, yang dirusak oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper.

Sedikitnya, 15 aktivis Greenpeace asing dan dua wartawan asing yang ikut aksi di Semenanjung Kampar dideportasi dari Riau untuk dipulangkan ke negara masing-masing.

RABU, 25 NOVEMBER 2009 | 11:26 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Sahnan Rangkuti



Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...