Friday, December 4, 2009

Areal Hutan di Papua Susut 8,5 Juta Hektar

Areal hutan di Papua menyusut dari 31,5 juta hektar pada awal tahun 2000 menjadi 23 juta hektar saat ini. Hal itu antara lain akibat penggunaan hutan untuk kebutuhan pembangunan permukiman dan jalan, pertanian, perkebunan, industri hak pengelolaan hutan, serta ruang wilayah pemekaran kabupaten.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Marthen Kayoi di Jayapura, Papua, Kamis (3/12), mengemukakan, pemekaran kabupaten/kota turut punya andil dalam penyusutan jumlah luas hutan tersebut, mengingat setiap daerah baru mengakomodasi kebutuhan aktivitas pembangunan wilayah. Contohnya, pemekaran beberapa kabupaten di kawasan Pegunungan Tengah Papua mengoyak kawasan Taman Nasional Lorentz.

”Setiap pembangunan dan kegiatan ekonomi, seperti pemekaran daerah, pasti membutuhkan ruang dan ruang yang tersedia luas di Papua adalah hutan,” kata Marthen.

Provinsi Papua saat ini terdiri dari 29 kabupaten/kota. Sebelum tahun 2007, jumlah kabupaten/ kota masih 20. Dari sembilan kabupaten hasil pemekaran, tiga tahun belakangan ini tujuh di antaranya terletak di kawasan Pegunungan Tengah Papua, yakni Puncak, Nduga, Yalimo, Mamberamo Tengah, Dogiyai, Lanny Jaya, dan Intan Jaya. Dari jumlah itu, lima kabupaten bersentuhan dengan Taman Nasional Lorentz, yakni Puncak, Nduga, Yalimo, Memberemo Tengah, dan Lanny Jaya.

Menurut Regional Manager Forest Governance Integrity Programme Wilayah Asia Pasifik pada Transparency International Indonesia, Agustinus Taufik, hutan Papua merupakan hutan tropis yang menjadi benteng hayati terakhir bagi paru-paru dunia.

Papua, lanjutnya, memiliki kawasan hutan konservasi seluas 4,8 juta hektar yang terdiri dari 5 kawasan suaka alam berstatus cagar alam (Pegunungan Waylan, Kumbe, Pegunungan Cycloops, Pombo, dan Enarotali), 4 kawasan suaka margasatwa (Mamberamo Foja, Pulau Dolok, Danau Bian, dan Pegunungan Jayawijaya), serta 4 kawasan pelestarian alam (Taman Nasional Lorenz, Taman Nasional Wasur, Teluk Youtefa, dan Taman Wista Alam Nabire).

”Namun, wilayah dan kawasan yang seharusnya dilindungi itu sejak beberapa tahun lalu justru mendapat tekanan berupa perambahan untuk pertanian, permukiman, pembangunan infrastruktur, dan tak jarang illegal logging,” ujar Agustinus. (ich)

Jumat, 4 Desember 2009 | 03:14 WIB

Jayapura, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/0314432/areal.hutan.di.papua.susut.85.juta.hektar

Korupsi di Sektor Kehutanan Berakibat Rp 20 Triliun Pemasukan Hilang Setiap Tahun

Komisi Pemberantasan Korupsi diminta memprioritaskan penanganan kasus korupsi di sektor kehutanan. Itu karena potensi pemasukan tahunan yang hilang akibat korupsi dan salah kelola di sektor kehutanan mencapai Rp 20 triliun per tahun.

Hal itu disampaikan Wakil Direktur Program Human Rights Watch (HRW) Joe Saunders dan peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, dalam konferensi pers di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (3/12). Sebelumnya, mereka menyampaikan hasil penelitian tentang korupsi di sektor kehutanan itu kepada pimpinan KPK.

HRW menyampaikan penelitian berjudul Dana Liar: Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada Hak Asasi Manusia. ICW menyampaikan penelitian tentang korupsi dalam pemberantasan illegal logging.

”Setiap tahun, potensi kerugian negara akibat korupsi dan salah kelola di sektor kehutanan mencapai Rp 20 triliun. Bahkan, tahun 2006 angkanya lebih besar dari semua pengeluaran negara untuk sektor kesehatan nasional dan daerah,” kata Joe.

Nilai kehilangan tahunan ini, menurut Joe, juga setara dengan perhitungan Bank Dunia terhadap anggaran yang cukup untuk memberikan layanan dasar kepada 100 juta penduduk miskin selama dua tahun.

Potensi kerugian negara itu, kata Joe, terjadi karena tak transparannya sistem pendataan di sektor kehutanan dan perkebunan sehingga masyarakat tak bisa mengontrolnya. Faktor lain karena lemahnya penegakan hukum. ”Faktor kedua ini yang mendorong kami datang ke KPK. Apalagi, KPK memiliki kemampuan untuk mengejar pelaku sampai ke pemodal,” kata dia.

Febri mengatakan, dari penelitian ICW, sebagian besar kasus pembalakan liar yang ditangkap kejaksaan dan polisi adalah aktor kelas bawah (operator, sopir, atau petani), yaitu sebanyak 76,10 persen. Aktor kelas atas (penegak hukum, pejabat kehutanan, kontraktor, direktur, atau cukong) yang ditangkap hanya 23,9 persen. Itu pun sebagian besar aktor kelas atas, sekitar 71,43 persen, divonis bebas.

Febri berharap KPK menjerat aktor kelas atas dalam kasus pembalakan liar ini. (aik)

Jumat, 4 Desember 2009 | 03:18 WIB

Jakarta, kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/03183253/rp.20.triliun.pemasukan.hilang.setiap.tahun

8.000 Rumah Biogas Dibangun

Pemerintah Kerajaan Belanda melalui kedutaan besarnya di Indonesia memberikan bantuan Rp 16 miliar untuk pembangunan 8.000 unit reaktor biogas rumah. Biogas rumah atau ”biru” tersebut memanfaatkan kotoran sapi.

Pembangunan biogas rumah yang ramah lingkungan tersebut untuk mendorong penggunaan energi terbarukan, sekaligus mengurangi konsumsi bahan bakar fosil.

Programme Manager Indonesia Domestic Biogas dari Hivos, lembaga swadaya masyarakat yang mengoordinasi pengembangan program ”Biru di Indonesia”, Robert de Groot, mengatakan, biogas rumah tersebut sasarannya adalah para peternak sapi perah di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

”Setiap peternak yang mau membangun biogas rumah akan mendapat subsidi Rp 2 juta,” kata Robert de Groot.

Kepala Divisi Ekonomi dan Perdagangan Kedutaan Besar Belanda Renate Th Pors menambahkan, peternak menjadi sasaran program karena bahan bakunya yang berupa kotoran sapi melimpah. Sebagian kotoran dimanfaatkan untuk kepentingan mereka sendiri.

”Pemberian subsidi diharapkan bisa mendorong minat peternak untuk membangun biogas rumah serta merawatnya dengan baik,” ujarnya.

Kubah beton


Robert mengatakan, program Biru dikembangkan menggunakan reaktor kubah beton karena lebih kokoh dan tahan dibandingkan plastik yang sudah banyak digunakan selama ini. Desain tersebut sudah diaplikasikan di Nepal dan mampu bertahan di iklim subtropis hingga 20 tahun.

Biaya pembuatan reaktor bervariasi tergantung dari jumlah kepemilikan sapi. Untuk peternak dengan kepemilikan sapi 3-4 ekor, misalnya, dapat membuat reaktor biogas berkapasitas 6 meter kubik dengan biaya Rp 6,3 juta.

”Karena telah disubsidi Rp 2 juta, peternak tinggal menambah Rp 4,3 juta saja dan dapat dimanfaatkan selamanya,” ujar Robert de Groot.

Untuk reaktor biogas berukuran 6 meter kubik, dibutuhkan kotoran sapi sebanyak 45 kilogram per hari. Ini dapat menghasilkan 1,5 meter kubik gas per hari atau setara dengan penggunaan kompor selama enam jam per hari tanpa henti. Dalam program ini, volume reaktor biogas terbesar yang ditawarkan berukuran 12 meter kubik dengan biaya konstruksi hingga sebesar Rp 8,8 juta.

Dalam kesempatan itu, Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Ratna Ariati mengatakan, pemerintah sangat mendukung program Biru tersebut. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006, pemerintah menargetkan penggunaan energi terbarukan pada tahun 2015 bisa mencapai 15 persen dari keseluruhan konsumsi energi nasional.

”Saat ini penggunaannya belum mencapai 1 persen. Kami berharap pemanfaatan energi terbarukan dapat dimulai dari skala masyarakat terkecil, yakni keluarga. Lembang merupakan salah satu potensi besar karena setidaknya terdapat 6.000 peternak sapi perah di daerah ini,” ujarnya.

Teja Harjaya, biogas engineer CV Khasanah Bahari, yang menjadi pelaksana konstruksi program Biru ini mengatakan, setelah diolah dalam reaktor, biogas yang dihasilkan dari kotoran hewan sama sekali tidak berbau seperti layaknya bahan gas pada umunnya. Pihaknya memberi garansi ketahanan konstruksi hingga tiga tahun pada para konsumen.

”Kami juga berharap, pembuatan konstruksi reaktor biogas rumah tangga mendapat Standar Nasional Indonesia (SNI). Dengan demikian, masyarakat bisa lebih percaya dan tertarik,” katanya. (GRE)

Jumat, 4 Desember 2009 | 03:46 WIB

Bandung, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/03465356/8.000.rumah.biogas.dibangun

Menata Lingkungan Hidup Harus Kembali Kepada Kearifan kepada Alam

Bencana gempa di berbagai daerah yang sudah dan masih mengintai, ancaman banjir, dan fenomena perubahan iklim global memberikan pemahaman bahwa alam tidak bisa dikuasai. Alam harus menjadi mitra dan sahabat dalam menjalankan perintah Tuhan di bumi ini.

Tentunya ini bertentangan dengan konsep kosmologi sains modern yang memahami alam hanya sebagai obyek. Obyek untuk diteliti, dieksploitasi, bahkan dihancurkan. Itulah paradigma Cartesianisme, yang menganut logika oposisi biner, subyek-obyek, hitam-putih.

Akibatnya, alam rusak oleh keserakahan manusia. Atas nama keuntungan ekonomi, sumber daya alam dieksploitasi. Iklim terus berubah, dan bencana alam terjadi di mana-mana. Bukan alamnya yang marah, melainkan manusia berada di posisi yang bertentangan dengan aturan alam yang sudah ada semenjak alam ini diciptakan (hukum alam). Jangan marah jika banjir karena hutan dirusak dan pembangunan perumahan tidak memerhatikan aspek keseimbangan lingkungan.

Lihatlah di Jawa Barat, betapa banyak hutan rusak. Bandung yang dulu dikenal sejuk kini mulai terasa panas. Padahal, dulu Bandung disebut Parijs van Java, kota tempat para inohong Belanda berwisata, menikmati keindahan alam Bandung yang sejuk, segar, sehat, dan tentunya membuat betah untuk tinggal.

Kini, kalau kita perhatikan wilayah utara Bandung, pembangunan perumahan yang serampangan membuat daerah resapan air itu pun rusak. Tangkubanparahu akan dimanfaatkan tanpa memerhatikan keseimbangan lingkungan. Lihat juga sungai yang mengalir di Jabar. Bisa dihitung dengan jari, sungai yang masih bersih. Limbah pabrik dan rumah tangga yang tidak dikelola telah merusak ekosistem alam. Maka, jangan marah jika bencana siap mengintai setiap saat.

Kearifan lokal

Manusia modern telah melupakan nilai hidup yang telah lama diajarkan nenek moyang. Nilai hidup itu bernama kearifan lokal. Pada level diskursus filsafat, kearifan lokal adalah salah satu model filsafat abadi (perenial). Disebut filsafat perenial karena konsep dasarnya sudah ada semenjak manusia berfilsafat.

Adapun saat ini karena dominasi filsafat modern yang melupakan nilai-nilai tradisional, keberadaannya menjadi kurang mendapatkan perhatian. Saatnya manusia menyadari bahwa paradigma sains modern yang materialistik sudah tidak bisa menjawab persoalan.

Dalam konsep filsafat perenial, alam dan manusia dipahami sebagai makro dan mikro kosmos. Keduanya memiliki akar sama, produk kreatif Tuhan. Karena berasal dari Tuhan, tak ada yang berhak merusak satu sama lain. Makro dan mikro hanya soal peran. Keduanya harus saling menjaga, melindungi, dan membangun harmonisasi. Merusaknya berarti mengingkari hakikat awal penciptaan. Makro dan mikro harus saling melengkapi. Namun, karena manusia diberi kewenangan untuk mengelola alam, yang dibolehkan adalah memanfaatkan dan tetap menjaga keberlangsungannya.

Wacana soal hubungan makro dan mikro kosmos menjadi perhatian para intelektual dunia dewasa ini. Agama dan nilai tradisional yang semula dipinggirkan oleh sains modern kini mulai mendapatkan tempat dan ikut mewarnai. Muncullah berbagai upaya mencari titik temu di antara sains, agama, dan nilai tradisional masyarakat.

Dalam level praktis, mengakar dari semenjak nenek moyang, kearifan lokal jangan dipandang sebelah mata. Dalam konteks keseimbangan alam, kearifan lokal yang berkembang mengajarkan arti penting menjaga alam. Konsep hutan larangan dan berbagai adat istiadat di masyarakat banyak memberikan informasi kepada kita bahwa alam itu diyakini harus dijaga sepenuhnya.

Konsep huluwotan (sumber mata air), tempatnya jin atau makhluk gaib lainnya, adalah strategi pencegahan cerdas yang dilakukan nenek moyang kita. Namun, kini manusia lebih jahat daripada jin sehingga tidak takut dengan berbagai pemali (larangan dalam masyarakat Sunda). Akibatnya, alam pun dirusak.

Dalam tradisi Sunda, misalnya, ada pepatah yang menyatakan mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (memetik yang seharusnya perlu dipetik saja, mengambil harus memberitahu). Pepatah ini bukan hanya soal jangan mencuri, melainkan juga harus memerhatikan alam, bukan hanya kepada pemiliknya, manusia, melainkan juga kepada pencipta awalnya, yaitu Tuhan. Jadi, ketika memanfaatkan alam, tanaman ataupun sumber daya alam harus diperhatikan keseimbangan ekologis, kelanjutannya (jangan mengambil yang masih kecil atau yang baru tumbuh), dan kelestariannya.

Secara global, soal ini menjadi isu perubahan iklim global (climate change), yaitu ketika dunia ini sudah mulai rusak akibat rusaknya lingkungan. Hutan rusak oleh industri kertas yang serakah, laut rusak oleh sampah dan limbah nuklir, sungai dan air semakin rusak karena dimanfaatkan tanpa memerhatikan keseimbangannya.

Pendosa besar

Sudah saatnya kembali memerhatikan nilai agama dan kearifan lokal sebagai prinsip kearifan kepada alam. Ada beberapa prinsip kearifan kepada alam yang bisa dirumuskan.

Pertama, dalam konsep pembangunan, bukan alam yang menyesuaikan dengan kehendak manusia, melainkan manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan alam. Alam diciptakan Tuhan dengan prinsip kausalitas, kada, dan kadar. Alam diciptakan Tuhan berikut potensinya.

Pembangunan tak boleh merusak alam. Jika memerhatikan prinsip awal kearifan kepada alam, tidak ada istilah pembangunan permukiman dan kota di wilayah rawan gempa. Demikian juga, desain bangunan yang dibuat tentunya akan menyesuaikan dengan potensi gempa. Bangsa Jepang terbukti mampu membuat model bangunan yang tahan gempa. Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya terbukti memiliki kecerdasan lokal dalam memahami bencana gempa.

Prinsip berikutnya adalah alam tidak pernah menghancurkan manusia, tetapi manusialah yang merusak alam. Karena itu, sebaiknya dikembangkan sikap peduli terhadap alam di seluruh lapisan masyarakat. Perusak alam, dalam perspektif teologi kearifan kosmologis, adalah pendosa besar. Salah satu pembuktian iman kepada kada dan kadar adalah dengan tidak merusak alam.

Prinsip ketiga dalam konsep kearifan alam adalah bahwa makro dan mikro kosmos, yaitu lingkungan, tumbuhan, hewan, dan manusia, harus harmonis dalam satu kesatuan. Sebagai sebuah siklus kehidupan, semuanya, pada hakikatnya, tetap. Menggunakan teori efek kupu-kupu, alam ini adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Membunuh seekor ulat di belah bumi barat akan merusak ekosistem belahan bumi lain.

Alam kita telah rusak, jangan terus menambah kerusakan. Kini, bukan hanya soal kita, melainkan generasi anak cucu ke depan. Haruskah kita mewariskan kerusakan?

Penulis: IU RUSLIANA Dosen Teologi dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN SGD Bandung

Jumat, 4 Desember 2009 | 16:41 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/1641459/.kearifan.kepada.alam

Penegakan Hukum Lingkungan di Jateng Lemah

Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi karena ulah industri menunjukkan kelemahan penegakan hukum. Aspek lingkungan sering terabaikan demi peningkatan pendapatan asli daerah berorientasi mekanisme pasar.

"Sejauh ini, penegakan hukum masih tataran konsep, belum riil," ujar pengajar Hukum Lingkungan Universitas Diponegoro FX Adji Samekto dalam Seminar Dampak Industri Unggulan terhadap Kerusakan dan Perubahan Lingkungan di Unika Soegijapranata, Kota Semarang, Kamis (3/12).

Menurut Adji, industri yang sudah terbukti merusak lingkungan seharusnya diperlakukan represif secara hukum. Adapun perusahaan yang sudah memiliki kesadaran untuk memperbaiki lingkungannya cukup mendapat perlakuan responsif. Kelemahan penegakan hukum membuat kerusakan oleh kalangan industri tidak teratasi. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi seharusnya berjalan tanpa harus merusak lingkungan.

Mengutip data Badan Lingkungan Hidup Jateng tahun 2008, peneliti pengembangan industri dari Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata Vincent Didiek AW menuturkan, terdapat 644.955 industri di Jateng yang terdiri atas 1.062 industri besar, 2.773 industri menengah, dan 641.120 industri kecil. Padahal, instalasi pengolahan air limbah (IPAL) tercatat baru 296 unit.

Vincent menambahkan, hal ini menunjukkan sebagian besar industri belum mempunyai IPAL sehingga limbah akan dibuang melalui sungai, udara, dan tempat sampah. Kondisi ini akan menimbulkan biaya sosial berupa kerusakan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Tak heran, jika terdapat 3.029.991 meter kubik limbah cair yang dibuang di sungai pada tahun yang sama. (ilo)

Jumat, 4 Desember 2009 | 17:51 WIB

SEMARANG, KOMPAS -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/17512133/penegakan.hukum.lingkungan.lemah

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...