Negara-negara Eropa mendesak negara berkembang berjanji menurunkan emisi, sementara Indonesia menginginkan pendanaan dari luar ditambah.
Indonesia yang masih disebut sebagai pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia, setelah China dan Amerika Serikat, 80 persen emisinya adalah dari kerusakan hutan dan lahan.
Pemimpin Komisi Eropa Jose Manuel Barroso mendesak Indonesia memperkuat kampanye dua jalur untuk merangkul negara maju dan negara berkembang berbuat lebih untuk menyelamatkan kesepakatan.
Demikian ujar Barroso dalam konferensi pers bersama seusai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Brussels, Belgia, Senin (14/12).
”Indonesia bisa memberi tahu negara berkembang lain, termasuk negara berkembang yang pesat ekonominya, bahwa mereka harus berbuat lebih,” ujar Barroso tanpa menyebut India dan China. ”Kami juga akan mengatakan hal sama kepada negara-negara maju,” ujarnya. Dengan kekisruhan negosiasi saat ini, dia mengingatkan kemungkinan gagal ada kesepakatan berarti. Untuk menembus kebuntuan, solusinya adalah ”bertanya kepada setiap orang sebagai upaya mencari kemungkinan lain”.
Presiden COP-15 Connie Hedegaard minta bantuan Rachmat Witoelar dan Menteri Jerman memfasilitasi pertemuan agar terus berjalan. Pasalnya, sidang pleno terancam buntu karena negara berkembang terus menekan negara maju berkomitmen dengan angka penurunan emisi.
Penundaan pleno
Pada Senin sore di Kopenhagen terjadi penundaan sidang pleno. Delegasi Afrika menolak melanjutkan persidangan bila Presiden Pertemuan Para Pihak Ke-15 tidak mendahulukan pembahasan keberlanjutan Protokol Kyoto-sudah krusial sejak awal.
Protokol itu merupakan satu-satunya kesepakatan berkekuatan hukum yang mewajibkan negara maju menurunkan emisi gas rumah kaca, penyebab pemanasan global, dalam jumlah besar. ”Kami datang dengan posisi jelas, yakni ada kesepakatan mengikat dan melanjutkan Protokol Kyoto seperti kesepakatan di Bali,” kata salah satu wakil kelompok Afrika, Victor, kepada wartawan. Periode pertama Protokol Kyoto berakhir pada 2012.
Ada upaya negara maju ”membunuh” protokol Kyoto karena sejumlah negara maju mendorong negosiasi ke satu hasil keputusan yang menggabungkan dua jalur pembahasan, berarti menggantikan Protokol Kyoto.
Dalam persidangan, menurut wakil delegasi RI, Presiden COP-15 mendahulukan pembahasan draf teks soal Aksi Kerja Sama Jangka Panjang (LCA), yang banyak membahas kepentingan negara-negara maju. Adapun pembahasan Protokol Kyoto memberi peluang bagi negara berkembang menekan negara maju dengan komitmennya.
”Sikap Indonesia sama, kedua jalur harus berjalan bersamaan dengan dua hasil. Bukan penggabungan atau menggantikan Protokol Kyoto,” kata juru bicara delegasi RI, Tri Tharyat. Posisi Indonesia sama dengan Afrika dan kelompok G-77 plus China.
Dukungan kepada Afrika bermunculan. ”Ini bukan soal menghalangi persidangan. Ini soal kesiapan negara maju menjamin akan berbuat sesuatu untuk membantu keberlanjutan Afrika dan seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif Oxfam International Jeremy Hobbs. (GSA/DAY/AFP/ISW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB
BRUSSEL, KOMPAS - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10444938/negara.afrika.desak.hasil.mengikat
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Tuesday, December 15, 2009
Matahari dan Pemanasan Bumi Saling Menguatkan
Terjangan radiasi Matahari lebih dari 60 tahun lalu telah menyebabkan lapisan es di puncak gunung di Swiss meleleh lebih cepat daripada saat ini walaupun sekarang pun terekam ada kenaikan temperatur. Demikian hasil penelitian sejumlah ilmuwan yang dipaparkan pada Senin (14/12).
Penelitian mereka tentang dampak radiasi Matahari pada gletser Alpen membawa pada ”penemuan mengejutkan”. Penemuan tersebut adalah pada tahun 1940-an, terutama pada musim panas 1947, volume es yang meleleh adalah terbanyak sejak diukur dari 95 tahun lalu.
Penelitian yang dilakukan Zurich’s Federal Institute of Technology (ETHZ) ini juga mencatat kenaikan temperatur yang mempercepat proses melelehnya es pada tingkat yang tak terduga sebagai akibat pemanasan global. ”Yang baru adalah paradoks tersebut dapat dijelaskan dengan adanya radiasi,” ujar Matthias Huss, salah seorang peneliti.
Penelitian tersebut dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters sebagai laporan dari penelitian besar yang dilakukan terkait dampak perubahan iklim dan peran radiasi Matahari dalam model iklim.
Dari penelitian ditemukan bahwa level radiasi Matahari pada tahun 1940-an adalah 8 persen lebih tinggi daripada radiasi rata-rata. Hal itu mengakibatkan salju meleleh sekitar 4 persen. (AFP/ISW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB
Geneva, Senin - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10441561/matahari.dan.pemanasan.bumi.saling.menguatkan
Penelitian mereka tentang dampak radiasi Matahari pada gletser Alpen membawa pada ”penemuan mengejutkan”. Penemuan tersebut adalah pada tahun 1940-an, terutama pada musim panas 1947, volume es yang meleleh adalah terbanyak sejak diukur dari 95 tahun lalu.
Penelitian yang dilakukan Zurich’s Federal Institute of Technology (ETHZ) ini juga mencatat kenaikan temperatur yang mempercepat proses melelehnya es pada tingkat yang tak terduga sebagai akibat pemanasan global. ”Yang baru adalah paradoks tersebut dapat dijelaskan dengan adanya radiasi,” ujar Matthias Huss, salah seorang peneliti.
Penelitian tersebut dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters sebagai laporan dari penelitian besar yang dilakukan terkait dampak perubahan iklim dan peran radiasi Matahari dalam model iklim.
Dari penelitian ditemukan bahwa level radiasi Matahari pada tahun 1940-an adalah 8 persen lebih tinggi daripada radiasi rata-rata. Hal itu mengakibatkan salju meleleh sekitar 4 persen. (AFP/ISW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB
Geneva, Senin - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10441561/matahari.dan.pemanasan.bumi.saling.menguatkan
Pemanfaatan Panas Bumi Terus Dipacu
Pemerintah terus memacu produksi listrik dari sumber panas bumi atau geotermal. Salah satu kebijakan terbaru adalah pemerintah menugasi PT PLN untuk membeli listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan harga yang dianggap ”atraktif” atau menarik.
”Meskipun ada kebijakan-kebijakan baru, target yang harus dicapai masih pesimistis,” kata Direktur Eksekutif Bimasena Michael Sumarijanto dalam lokakarya mengenai panas bumi, Senin (14/12) di Jakarta.
Bimasena merupakan kelompok masyarakat pertambangan dan energi yang independen dan netral. Menurut Sumarijanto, pesimistis itu salah satunya karena lemahnya kontrol Departemen Kehutanan terhadap lahan yang akan digunakan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), lahan itu ternyata sudah dirambah penduduk dan lahannya sudah dikonversi. ”Tidak mudah memanfaatkan lahan yang sudah dikuasai penduduk,” ujarnya. Di sisi lain, dalam implementasi kebijakan pemerintah soal energi panas bumi, ternyata sejumlah institusi pemerintah belum satu suara.
Kepala Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar membacakan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh tertanggal 4 Desember 2009 tentang ”Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari PLTP”.
”Atraktif”
Sukhyar menyebutkan, patokan harga itu cukup ”atraktif”, yakni harga patokan tertinggi 9,7 sen dollar AS per kwh untuk pembelian listrik oleh PT PLN.
Patokan harga tertinggi listrik dari PLTP 9,7 sen dollar AS atau berkisar Rp 900 per kilowattjam (kwh), menurut Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) Surya Darma, memberikan rasa optimis terhadap pencapaian target peningkatan kapasitas PLTP pada 2014 menjadi 4.700 megawatt (MW). Adapun kapasitas terpasang saat ini 1.196 MW. ”Rasa optimis itu didasari karena PT Pertamina sudah mempersiapkan pembangunan PLTP yang cukup signifikan,” kata Surya Darma.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar, yang juga hadir sebagai narasumber lokakarya tersebut, menyatakan, saat ini masih terjadi kekurangan tenaga ahli di bidang panas bumi. Setidaknya, untuk mempersiapkan kapasitas listrik 4.700 MW dari PLTP, masih dibutuhkan sekitar 4.000 ahli yang terdidik.
Menurut Surya, upaya untuk memacu produksi listrik dari panas bumi ini untuk menunjukkan pula komitmen Indonesia dalam mengembangkan energi ramah lingkungan. (NAW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:43 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10431795/pemanfaatan.panas.bumi.terus.dipacu
”Meskipun ada kebijakan-kebijakan baru, target yang harus dicapai masih pesimistis,” kata Direktur Eksekutif Bimasena Michael Sumarijanto dalam lokakarya mengenai panas bumi, Senin (14/12) di Jakarta.
Bimasena merupakan kelompok masyarakat pertambangan dan energi yang independen dan netral. Menurut Sumarijanto, pesimistis itu salah satunya karena lemahnya kontrol Departemen Kehutanan terhadap lahan yang akan digunakan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), lahan itu ternyata sudah dirambah penduduk dan lahannya sudah dikonversi. ”Tidak mudah memanfaatkan lahan yang sudah dikuasai penduduk,” ujarnya. Di sisi lain, dalam implementasi kebijakan pemerintah soal energi panas bumi, ternyata sejumlah institusi pemerintah belum satu suara.
Kepala Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar membacakan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh tertanggal 4 Desember 2009 tentang ”Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari PLTP”.
”Atraktif”
Sukhyar menyebutkan, patokan harga itu cukup ”atraktif”, yakni harga patokan tertinggi 9,7 sen dollar AS per kwh untuk pembelian listrik oleh PT PLN.
Patokan harga tertinggi listrik dari PLTP 9,7 sen dollar AS atau berkisar Rp 900 per kilowattjam (kwh), menurut Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) Surya Darma, memberikan rasa optimis terhadap pencapaian target peningkatan kapasitas PLTP pada 2014 menjadi 4.700 megawatt (MW). Adapun kapasitas terpasang saat ini 1.196 MW. ”Rasa optimis itu didasari karena PT Pertamina sudah mempersiapkan pembangunan PLTP yang cukup signifikan,” kata Surya Darma.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar, yang juga hadir sebagai narasumber lokakarya tersebut, menyatakan, saat ini masih terjadi kekurangan tenaga ahli di bidang panas bumi. Setidaknya, untuk mempersiapkan kapasitas listrik 4.700 MW dari PLTP, masih dibutuhkan sekitar 4.000 ahli yang terdidik.
Menurut Surya, upaya untuk memacu produksi listrik dari panas bumi ini untuk menunjukkan pula komitmen Indonesia dalam mengembangkan energi ramah lingkungan. (NAW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:43 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10431795/pemanfaatan.panas.bumi.terus.dipacu
Dana Listrik Terpenuhi, Separuh Kebutuhan Berasal dari China
Sumber pendanaan untuk proyek pembangkit listrik 10.000 megawatt dipastikan mencapai 100 persen. Nilai total keseluruhan pendanaan adalah 5,56 miliar dollar AS plus Rp 23,2 triliun atau sekitar Rp 78 triliun hingga Rp 79 triliun.
”Komitmen pendanaan untuk pembangkit sudah mencukupi untuk total 9.500 megawatt. Jadi, boleh dikatakan untuk pembangkit 10.000 MW misi sudah terpenuhi (mission accomplished),” ujar Wakil Direktur PT Perusahaan Listrik Negara Rudiantara seusai penandatanganan enam nota kesepahaman perjanjian kredit pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap dan transmisi di Jakarta, Senin (14/12).
Hadir pada kesempatan itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Direktur Utama PLN Fahmi Muchtar, Dirut PT Bank Mandiri Agus Martowardojo, Dirut Gatot M Suwondo, Dirut BCA DE Sutijoso, Dirut BRI Sofjan Basyir, serta Duta Besar China untuk Indonesia Zhang Qiyue.
”Sebagian dari pendanaan itu dari China. Dari total kebutuhan dana Rp 78 triliun, China sudah memberikan komitmen untuk memberikan pendanaan senilai 4 miliar dollar AS (atau sekitar Rp 40 triliun),” kata Rudiantara.
Dijelaskan, hingga akhir November 2009, China sudah mencairkan 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 10 triliun.
”Sisanya dicairkan bergantung pada perkembangan proyeknya,” kata Rudiantara.
Enam MoU tersebut diarahkan untuk pendanaan proyek PLTU 3 Jawa Timur-Tanjung Awar-awar berkapasitas 2 x 350 MW; PLTU Kepulauan Riau, Tanjung Bale Karimun (2 x 7 MW); dan PLTU 1 Riau,
Bengkalis, berkapasitas (2 x 10 MW).
Selain itu, juga untuk proyek PLTU 2 Riau, Selat Panjang (2 x 7 MW); PLTU 1 Kalimantan Barat, Parit Baru (2 x 50 MW), dan tiga proyek transmisi, yakni transmisi Jawa-Bali, transmisi luar Jawa Bali, serta transmisi gardu induk gas insulated switchgear dan kabel bawah tanah di Pulau Jawa.
Hal ini adalah rangkaian penandatanganan perjanjian pendanaan proyek listrik terakhir untuk 10.000 MW tahap pertama.
Untuk proyek transmisi, ada tiga perjanjian kredit. Pertama, sindikasi Bank Mandiri dan BCA untuk 26 proyek transmisi di Jawa senilai Rp 2,6 triliun. Kedua, sindikasi BNI dan BRI untuk 20 proyek di luar Jawa Rp 1,9 triliun. Ketiga, BCA membiayai tiga proyek gas dan kabel bawah tanah di Jawa Rp 327 miliar.
Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perhatian pemerintah tidak terbatas pada pembangunan pembangkit listrik, tetapi juga infrastruktur berupa transmisinya.
Menurut Dirut BNI Gatot Suwondo, perbankan menilai proyek listrik memiliki prospek bisnis yang baik dan risiko yang relatif kecil. ”Perbankan juga mendukung program pemerintah membangun sumber-sumber energi,” kata Gatot. (OIN/FAJ)
Selasa, 15 Desember 2009 | 09:53 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/09533417/dana.listrik.terpenuhi
”Komitmen pendanaan untuk pembangkit sudah mencukupi untuk total 9.500 megawatt. Jadi, boleh dikatakan untuk pembangkit 10.000 MW misi sudah terpenuhi (mission accomplished),” ujar Wakil Direktur PT Perusahaan Listrik Negara Rudiantara seusai penandatanganan enam nota kesepahaman perjanjian kredit pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap dan transmisi di Jakarta, Senin (14/12).
Hadir pada kesempatan itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Direktur Utama PLN Fahmi Muchtar, Dirut PT Bank Mandiri Agus Martowardojo, Dirut Gatot M Suwondo, Dirut BCA DE Sutijoso, Dirut BRI Sofjan Basyir, serta Duta Besar China untuk Indonesia Zhang Qiyue.
”Sebagian dari pendanaan itu dari China. Dari total kebutuhan dana Rp 78 triliun, China sudah memberikan komitmen untuk memberikan pendanaan senilai 4 miliar dollar AS (atau sekitar Rp 40 triliun),” kata Rudiantara.
Dijelaskan, hingga akhir November 2009, China sudah mencairkan 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 10 triliun.
”Sisanya dicairkan bergantung pada perkembangan proyeknya,” kata Rudiantara.
Enam MoU tersebut diarahkan untuk pendanaan proyek PLTU 3 Jawa Timur-Tanjung Awar-awar berkapasitas 2 x 350 MW; PLTU Kepulauan Riau, Tanjung Bale Karimun (2 x 7 MW); dan PLTU 1 Riau,
Bengkalis, berkapasitas (2 x 10 MW).
Selain itu, juga untuk proyek PLTU 2 Riau, Selat Panjang (2 x 7 MW); PLTU 1 Kalimantan Barat, Parit Baru (2 x 50 MW), dan tiga proyek transmisi, yakni transmisi Jawa-Bali, transmisi luar Jawa Bali, serta transmisi gardu induk gas insulated switchgear dan kabel bawah tanah di Pulau Jawa.
Hal ini adalah rangkaian penandatanganan perjanjian pendanaan proyek listrik terakhir untuk 10.000 MW tahap pertama.
Untuk proyek transmisi, ada tiga perjanjian kredit. Pertama, sindikasi Bank Mandiri dan BCA untuk 26 proyek transmisi di Jawa senilai Rp 2,6 triliun. Kedua, sindikasi BNI dan BRI untuk 20 proyek di luar Jawa Rp 1,9 triliun. Ketiga, BCA membiayai tiga proyek gas dan kabel bawah tanah di Jawa Rp 327 miliar.
Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perhatian pemerintah tidak terbatas pada pembangunan pembangkit listrik, tetapi juga infrastruktur berupa transmisinya.
Menurut Dirut BNI Gatot Suwondo, perbankan menilai proyek listrik memiliki prospek bisnis yang baik dan risiko yang relatif kecil. ”Perbankan juga mendukung program pemerintah membangun sumber-sumber energi,” kata Gatot. (OIN/FAJ)
Selasa, 15 Desember 2009 | 09:53 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/09533417/dana.listrik.terpenuhi
Tuesday, December 8, 2009
Hadapi Perubahan Iklim Perlu Perubahan Gaya Hidup
Malapetaka di Depan Mata
Malapetaka akibat pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim mengancam semua makhluk tanpa kecuali. Sebagai salah satu upaya menghindarkan petaka tersebut, mulai hari ini, Senin (7/12), utusan lebih dari 190 negara mulai berunding dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark.
Pada Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC) ini akan berlangsung negosiasi untuk mencapai kesepakatan baru sebagai pengganti skema Protokol Kyoto yang akan berakhir masa berlakunya pada 2012. Sebanyak 145 negara meratifikasi Protokol Kyoto yang disetujui pada 1997.
Fenomena pemanasan global, menurut pakar agroklimatologi yang juga reviewer emisi karbon negara-negara maju dalam Annex I, Rizaldi Boer, sudah terjadi di Indonesia.
Pendapat senada dinyatakan Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian di Jakarta, Sabtu (5/12).
Menurut Edvin, pemanasan global di antaranya terlihat dari perubahan suhu permukaan di seluruh wilayah di Indonesia.
Berdasarkan data dari BMKG tentang perubahan suhu minimum dan maksimum yang terpantau pada 1980-2002 di 33 stasiun pemantau, kenaikan tertinggi perubahan suhu maksimum di Denpasar, Bali, sebesar 0,087 derajat celsius per tahun. Sementara kenaikan tertinggi perubahan suhu maksimum ada di Polonia, Medan, Sumatera Utara, sebesar 0,172 derajat celsius.
”Besarannya berbeda di setiap kota,” ujar Edvin. Kenaikan suhu merupakan kecenderungan yang sedang dihadapi dunia.
Sejumlah bukti ilmiah menunjukkan, kenaikan suhu global pada abad ke-21 diperkirakan 2-4,5 derajat celsius akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Di Indonesia, perubahan itu terasa pada panjang pendeknya musim hujan atau kemarau. Secara umum, perubahan iklim berdampak pada musim hujan memendek, sebaliknya musim kemarau semakin panjang.
Di bidang pertanian, hal itu berdampak langsung pada hasil panen. ”Gagal panen dalam sepuluh tahun terakhir kian sering,” kata Rizaldi, yang juga dosen sekaligus Direktur Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim Kawasan Asia Pasifik (CCROM SEAP) IPB.
Dampak kelautannya, iklim ekstrem mengganggu pelayaran dan nelayan karena badai tropis kian sering. Gelombang tinggi juga kian sering mengganggu nelayan. Nelayan sekarang melaut rata-rata tinggal 200 hari setahun dibandingkan dengan 10 tahun lalu yang bisa 365 hari setahun.
”Nelayan harus tambah ongkos alat dan bahan bakar karena ikan-ikan berenang kian dalam,” kata Direktur Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono.
Memendeknya musim hujan berbanding terbalik dengan musim kering. Interval kedatangan El Nino pun kian sering menjadi sekali dalam 3-4 tahun, yang semula 7 tahun rentangnya. El Nino akan diikuti musim kering yang panjang yang berpotensi timbulkan kebakaran hutan.
Malapetaka global
Berdasarkan perkiraan sejumlah ahli, suhu Bumi saat ini meningkat 0,5 derajat celsius dari level 150 tahun silam. Kenaikan akan terus meningkat jika tak ada kemauan negara maju menurunkan laju emisi.
Kenaikan muka laut sudah terasa di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kota Semarang, Belawan (Medan), dan Jakarta merupakan kota terdampak kenaikan muka laut itu, berkisar 5-9,37 milimeter per tahun pada tahun 1990-an. Berdasarkan skenario Panel Internasional Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), kenaikan suhu Bumi hingga 6 derajat celsius berpotensi menaikkan muka laut hingga 1 meter pada tahun 2100. Puluhan juta penduduk di seluruh dunia akan terancam migrasi karena banjir, kekurangan air, dan iklim ekstrem.
Kondisi Jakarta
Sementara itu, Jakarta hingga kini masih berpredikat sebagai salah satu kota besar penghasil polusi udara terbesar di dunia. Emisi karbon yang dihasilkan kendaraan bermotor dan industri juga besar. Untuk itu, sejak enam tahun terakhir, Jakarta mulai berbenah.
”Perang melawan dampak buruk perubahan iklim dilakukan dengan dua strategi, yaitu adaptasi dan mitigasi. Adaptasi yaitu bagaimana kita berupaya membenahi lingkungan yang mengalami kerusakan dan mitigasi atau pencegahan,” kata Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Peni Susanti, Minggu.
Menurut dia, beberapa upaya adaptasi, misalnya, dengan penanaman bakau di lahan seluas 344 hektar di pesisir Jakarta Utara, khususnya di kawasan Kapuk. Sementara upaya mitigasi, antara lain, dengan penerapan uji emisi kendaraan bermotor, pemberlakuan hari bebas kendaraan bermotor rutin setiap bulan, kampanye pengelolaan sampah dan mengurangi pembuangan sampah tidak pada tempatnya, serta pembuatan sumur resapan maupun lubang biopori.
Gubernur DKI Fauzi Bowo dalam pertemuan The Asia Pacific Weeks 2009 di Berlin, Jerman, awal Oktober lalu, menekankan, ada banyak hal yang diprogramkan DKI untuk turut melawan dampak perubahan iklim. Program besar yang telah dicanangkan adalah penggunaan bahan bakar gas untuk bus transjakarta dan sebagian bajaj.
Akhir 2009, Jakarta juga menjajaki kemungkinan melebarkan pelayanan bus jalur khusus ke Bekasi dan Tangerang. Pertemuan antarpemerintah wilayah terkait mulai dilakukan. Semua ini dilakukan, kata Fauzi, untuk menyediakan angkutan umum yang nyaman untuk mengurangi emisi karbon.
Perubahan gaya hidup
Anggota Forum Pengembangan Kota Berkelanjutan, Nana Firman, mengingatkan, semua orang sebenarnya berkontribusi pada isu perubahan iklim karena pada setiap aktivitasnya setiap manusia mengeluarkan emisi karbon. ”Mobilitas kita dengan kendaraan itu mengeluarkan emisi karbon karena memakai bahan bakar fosil, bensin. Juga ketika kita membeli barang dan menggunakan barang-barang elektronik. Bahan bakar pembangkit listrik juga bahan bakar fosil, batu bara,” ujarnya.
”Karena kita berkontribusi dan kita menyadari dampaknya, kita harus bertanggung jawab. Untuk itu, kita harus ada niat yang disusul dengan upaya. Upaya ini adalah upaya mengubah perilaku,” ujarnya.
Beberapa perilaku yang bisa diubah demi mengurangi emisi karbon antara lain memilih kendaraan yang lebih kecil emisinya, misal menggunakan kendaraan umum, atau bahkan tanpa mengeluarkan emisi seperti naik sepeda atau jalan kaki.
Ia menyadari, ”Masih banyak PR yang harus dikerjakan karena kesadaran kita bahwa kita berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim masih sangat rendah.”
(GSA/NEL/ISW)
Senin, 7 Desember 2009 | 03:15 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/07/0315599/malapetaka.di.depan.mata
Malapetaka akibat pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim mengancam semua makhluk tanpa kecuali. Sebagai salah satu upaya menghindarkan petaka tersebut, mulai hari ini, Senin (7/12), utusan lebih dari 190 negara mulai berunding dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark.
Pada Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC) ini akan berlangsung negosiasi untuk mencapai kesepakatan baru sebagai pengganti skema Protokol Kyoto yang akan berakhir masa berlakunya pada 2012. Sebanyak 145 negara meratifikasi Protokol Kyoto yang disetujui pada 1997.
Fenomena pemanasan global, menurut pakar agroklimatologi yang juga reviewer emisi karbon negara-negara maju dalam Annex I, Rizaldi Boer, sudah terjadi di Indonesia.
Pendapat senada dinyatakan Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian di Jakarta, Sabtu (5/12).
Menurut Edvin, pemanasan global di antaranya terlihat dari perubahan suhu permukaan di seluruh wilayah di Indonesia.
Berdasarkan data dari BMKG tentang perubahan suhu minimum dan maksimum yang terpantau pada 1980-2002 di 33 stasiun pemantau, kenaikan tertinggi perubahan suhu maksimum di Denpasar, Bali, sebesar 0,087 derajat celsius per tahun. Sementara kenaikan tertinggi perubahan suhu maksimum ada di Polonia, Medan, Sumatera Utara, sebesar 0,172 derajat celsius.
”Besarannya berbeda di setiap kota,” ujar Edvin. Kenaikan suhu merupakan kecenderungan yang sedang dihadapi dunia.
Sejumlah bukti ilmiah menunjukkan, kenaikan suhu global pada abad ke-21 diperkirakan 2-4,5 derajat celsius akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Di Indonesia, perubahan itu terasa pada panjang pendeknya musim hujan atau kemarau. Secara umum, perubahan iklim berdampak pada musim hujan memendek, sebaliknya musim kemarau semakin panjang.
Di bidang pertanian, hal itu berdampak langsung pada hasil panen. ”Gagal panen dalam sepuluh tahun terakhir kian sering,” kata Rizaldi, yang juga dosen sekaligus Direktur Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim Kawasan Asia Pasifik (CCROM SEAP) IPB.
Dampak kelautannya, iklim ekstrem mengganggu pelayaran dan nelayan karena badai tropis kian sering. Gelombang tinggi juga kian sering mengganggu nelayan. Nelayan sekarang melaut rata-rata tinggal 200 hari setahun dibandingkan dengan 10 tahun lalu yang bisa 365 hari setahun.
”Nelayan harus tambah ongkos alat dan bahan bakar karena ikan-ikan berenang kian dalam,” kata Direktur Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan Subandono Diposaptono.
Memendeknya musim hujan berbanding terbalik dengan musim kering. Interval kedatangan El Nino pun kian sering menjadi sekali dalam 3-4 tahun, yang semula 7 tahun rentangnya. El Nino akan diikuti musim kering yang panjang yang berpotensi timbulkan kebakaran hutan.
Malapetaka global
Berdasarkan perkiraan sejumlah ahli, suhu Bumi saat ini meningkat 0,5 derajat celsius dari level 150 tahun silam. Kenaikan akan terus meningkat jika tak ada kemauan negara maju menurunkan laju emisi.
Kenaikan muka laut sudah terasa di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Kota Semarang, Belawan (Medan), dan Jakarta merupakan kota terdampak kenaikan muka laut itu, berkisar 5-9,37 milimeter per tahun pada tahun 1990-an. Berdasarkan skenario Panel Internasional Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), kenaikan suhu Bumi hingga 6 derajat celsius berpotensi menaikkan muka laut hingga 1 meter pada tahun 2100. Puluhan juta penduduk di seluruh dunia akan terancam migrasi karena banjir, kekurangan air, dan iklim ekstrem.
Kondisi Jakarta
Sementara itu, Jakarta hingga kini masih berpredikat sebagai salah satu kota besar penghasil polusi udara terbesar di dunia. Emisi karbon yang dihasilkan kendaraan bermotor dan industri juga besar. Untuk itu, sejak enam tahun terakhir, Jakarta mulai berbenah.
”Perang melawan dampak buruk perubahan iklim dilakukan dengan dua strategi, yaitu adaptasi dan mitigasi. Adaptasi yaitu bagaimana kita berupaya membenahi lingkungan yang mengalami kerusakan dan mitigasi atau pencegahan,” kata Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Peni Susanti, Minggu.
Menurut dia, beberapa upaya adaptasi, misalnya, dengan penanaman bakau di lahan seluas 344 hektar di pesisir Jakarta Utara, khususnya di kawasan Kapuk. Sementara upaya mitigasi, antara lain, dengan penerapan uji emisi kendaraan bermotor, pemberlakuan hari bebas kendaraan bermotor rutin setiap bulan, kampanye pengelolaan sampah dan mengurangi pembuangan sampah tidak pada tempatnya, serta pembuatan sumur resapan maupun lubang biopori.
Gubernur DKI Fauzi Bowo dalam pertemuan The Asia Pacific Weeks 2009 di Berlin, Jerman, awal Oktober lalu, menekankan, ada banyak hal yang diprogramkan DKI untuk turut melawan dampak perubahan iklim. Program besar yang telah dicanangkan adalah penggunaan bahan bakar gas untuk bus transjakarta dan sebagian bajaj.
Akhir 2009, Jakarta juga menjajaki kemungkinan melebarkan pelayanan bus jalur khusus ke Bekasi dan Tangerang. Pertemuan antarpemerintah wilayah terkait mulai dilakukan. Semua ini dilakukan, kata Fauzi, untuk menyediakan angkutan umum yang nyaman untuk mengurangi emisi karbon.
Perubahan gaya hidup
Anggota Forum Pengembangan Kota Berkelanjutan, Nana Firman, mengingatkan, semua orang sebenarnya berkontribusi pada isu perubahan iklim karena pada setiap aktivitasnya setiap manusia mengeluarkan emisi karbon. ”Mobilitas kita dengan kendaraan itu mengeluarkan emisi karbon karena memakai bahan bakar fosil, bensin. Juga ketika kita membeli barang dan menggunakan barang-barang elektronik. Bahan bakar pembangkit listrik juga bahan bakar fosil, batu bara,” ujarnya.
”Karena kita berkontribusi dan kita menyadari dampaknya, kita harus bertanggung jawab. Untuk itu, kita harus ada niat yang disusul dengan upaya. Upaya ini adalah upaya mengubah perilaku,” ujarnya.
Beberapa perilaku yang bisa diubah demi mengurangi emisi karbon antara lain memilih kendaraan yang lebih kecil emisinya, misal menggunakan kendaraan umum, atau bahkan tanpa mengeluarkan emisi seperti naik sepeda atau jalan kaki.
Ia menyadari, ”Masih banyak PR yang harus dikerjakan karena kesadaran kita bahwa kita berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim masih sangat rendah.”
(GSA/NEL/ISW)
Senin, 7 Desember 2009 | 03:15 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/07/0315599/malapetaka.di.depan.mata
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...