Thursday, February 18, 2010

Tata Ruang "Food Estate" di Merauke Belum Jelas

PERTANIAN

Masalah tata ruang pada lahan 1,5 juta hektar yang akan digunakan sebagai pusat pengembangan pertanian tanaman pangan (food estate) di Merauke, Papua, hingga kini belum jelas karena pemerintah pusat belum menerima usulan dari Pemerintah Provinsi Papua. Juga belum ada tim terpadu yang dibentuk di level pusat yang bisa memastikan proyek ini berhasil.

”Jika memang ada wilayah hutan yang berubah untuk food estate, sebelumnya harus ada tim terpadu yang di dalamnya ada menteri dalam negeri, menteri pekerjaan umum, menteri lingkungan hidup, menteri kehutanan, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), hingga perguruan tinggi. Tim ini yang harus mengkaji seluruhnya,” ujar Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Jakarta, Selasa (16/2), seusai menghadiri Rapat Koordinasi Tata Ruang Nasional dan Food Estate Merauke.

Menurut dia, pada tahap awal harus ada usulan dari Papua terkait dengan kawasan yang akan digunakan sebagai food estate yang ditetapkan melalui sebuah peraturan daerah. Setelah itu, tim terpadu mengkaji usulan tersebut, kemudian dibuat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

”Jika amdal sudah ada, harus dibawa ke DPR untuk mendapatkan persetujuan mengenai perubahan status lahan hutan menjadi food estate. Jadi, masih lama sebelum bisa ditawarkan kepada investor. Tim terpadunya saja belum terbentuk,” ungkap Zulkifli.

Secara terpisah, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan, pemerintah masih harus memastikan agar proyek food estate ini tidak mengganggu lahan hutan lindung dan hutan konservasi. Pemerintah hanya ingin memanfaatkan lahan yang tidak terpakai untuk pengembangan pertanian tanaman pangan.

”Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Amdal harus mantap, sesuai dengan target emisi karbon dioksida yang harus diturunkan 26 persen,” ujarnya.

Hatta menegaskan, pemerintah tidak ingin pengalaman di Kalimantan Tengah pada era Orde Baru terulang lagi. Pemerintah Orde Baru menetapkan lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah sebagai lahan sawah baru, tetapi gagal karena kondisi lahan yang terlalu asam.

Terdapat 1,5 juta hektar lahan di Merauke yang cocok dikembangkan sebagai kawasan ekonomi yang fokus pada lahan pertanian tanaman pangan.

Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia sekaligus anggota Komisi IV DPR, Siswono Yudo Husodo, di Jakarta, Selasa, mengingatkan, pengembangan food estate di Merauke dan wilayah lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman jangan sampai memarjinalkan petani.

”Konsep food estate harus mendorong petani memiliki lahan garapan yang lebih luas agar pendapatan mereka meningkat dan kehidupan lebih baik,” katanya. (MAS/OIN)

Tiras dan Royalti, Pokok Masalah Perbukuan

Menulis Buku untuk Personal Branding

Tiras buku yang kecil menjadi penyebab rendahnya royalti yang diterima para penulis buku. Hal ini berdampak pada kurangnya minat para intelektual Indonesia untuk menulis buku.

”Sejauh ini, tiras buku umumnya adalah 3.000 eksemplar. Untuk buku yang bagus, buku-buku itu baru habis setelah enam bulan. Dan, penerbit rata-rata memberikan royalti 10 persen brutto dikurangi pajak penghasilan 10 persen atau 15 persen neto,” ujar Firdaus Umar dari Penerbit Mutiara Sumber Widya Jakarta dan Angkasa, Bandung, kepada Kompas, Selasa (16/2) di Jakarta.

Dalam hal penerbitan buku, umumnya penerbit menangani semua seluk-beluk penerbitan sejak naskah disetujui, digarap tata letak dan sampul, pencetakan, hingga distribusi. Penerbit pula yang menentukan harga buku. ”Jika buku baru itu dijual Rp 50.000, misalnya, penulis akan mendapatkan royalti Rp 4.250 per buku, yaitu 10 persen dari harga buku dikurangi pajak penghasilan 10 persen,” kata Firdaus Umar.

Ia mengatakan, selama ini penerbit rata-rata menerbitkan 3.000 buku per judul. Jika buku tersebut habis terjual, misalnya, penulis akan mendapatkan royalti Rp 12.750.000. ”Jumlah itu baru bisa dicapai setelah sekian lama dan penulis akan mendapatkan laporan setiap enam bulan. Dari penerbit, toko buku mendapatkan potongan 30 persen. Dengan demikian, penerbit mengantongi 60 persen dari harga buku,” kata Firdaus Umar.

Kecilnya royalti dan tiras itulah yang sering kali menyurutkan niat para penulis untuk membuat buku. Dan, untuk sejumlah penerbit, kini lebih baik mengalihkan penerbitan pada buku agama atau buku terjemahan.

”Sulitnya mendapatkan naskah asli lokal ataupun nasional ini perlu diangkat dalam Konferensi Kerja Ikatan Penerbit Indonesia. Masalah ini harus dipecahkan,” ujar Firdaus.

Dampak

Sementara itu, Wandi S Brata, Direktur Penerbit Gramedia Pustaka Utama, mengemukakan, memang rupiah yang diperoleh dari buku itu kecil dan tidak menarik bagi orang-orang miopi.

”Tetapi, kita sering lupa, buku ini merupakan personal branding atau pembangun citra. Pendapatan memang tidak seberapa, tetapi dengan hadirnya buku itu, sang penulis akan dianggap sebagai ahlinya. Dampak lebih lanjut, sang penulis akan sering diundang untuk berbicara mengenai apa yang ditulis. Hasil sampingan ini bisa jauh lebih besar dari royalti buku,” ujarnya.

Secara terpisah, Heruprajogo Moektijono, ayah siswa SMA Tobi Moektijono, yang menulis buku Kumpulan Soal-soal Matematika Unik, di Jakarta, Senin (15/2), mengatakan, minat baca masyarakat yang masih rendah membuat buku-buku serius, seperti buku matematika, tidak terlalu diminati pasar. Jika berbicara soal pendapatan, buku dengan genre itu sebenarnya tidak terlalu menguntungkan. ”Saya sengaja memilih penerbit besar supaya lebih mudah pemasarannya dan percaya laporan penjualannya. Honor yang didapat hitungannya 10 persen dari harga jual setiap buku,” ujarnya

Menurut Heruprajogo, sebenarnya honor dari penerbitan buku anaknya tidak sebanding dengan biaya untuk menghasilkan soal-soal unik matematika ala Tobi. ”Tapi, yang penting ilmu yang dimiliki anak saya bisa disebarluaskan agar anak-anak lain menyukai matematika,” ujarnya.(TON/ELN)

Monday, February 15, 2010

Mengenal Jenis-jenis Panel Surya

Energi matahari, energi  natural yang tidak akan habis dan kita dapat memakainya dimana pun berada.  Di saat hari yang cerah, energi matahari yang menyinari bumi menghasilkan rata-rata 1 kilowatt per meter persegi area bumi, berarti dalam satu jam energi matahari yang menyinari bumi mampu mensuplai energy yang dibutuhkan di seluruh dunia untuk 1 tahun.

Jika energi matahari dapat diserap diatas 1% dari luas permukaan bumi, maka akan menutupi konsumsi energi listik yang dibutuhkan untuk seluruh dunia. Permukaan bumi  disinari matahari dengan jumlah volume yang sangat besar. Tidak seperti minyak bumi, batu bara dan energi fosil lainnya, energi matahari ramah lingkungan, untuk pemakaiannya tidak menghasilkan emisi gas buang CO2 yang dapat merusak lingkungan, oleh karena itu teknologi panel surya sangat mendukung penyediaan energi alternatif pada saat krisis energi dan mendukung pencegahan pemanasan global di dunia.

Teknologi panel surya telah dikembangkan secara luas dan potensial. Setelah dikembangkan dimensi ketebalan dari panel surya jadi semakin tipis dan tanpa menghilangkan fungsinya untuk mendapatkan energi yang alami dan efisien. Setelah berinovasi sejak dari setengah abad yang lalu,  SHARP terus prioritaskan pengembangan teknologi panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik yang bersih dan ramah lingkungan.

Jenis - jenis panel surya :

Monokristal (Mono-crystalline)

Merupakan panel yang paling efisien yang dihasilkan dengan teknologi terkini & menghasilkan daya listrik persatuan luas yang paling tinggi. Monokristal dirancang untuk penggunaan yang memerlukan konsumsi listrik besar pada tempat-tempat yang beriklim ekstrim dan dengan kondisi alam yang sangat ganas. Memiliki efisiensi sampai dengan 15%. Kelemahan dari panel jenis ini adalah tidak akan berfungsi baik ditempat yang cahaya mataharinya kurang (teduh), efisiensinya akan turun drastis dalam cuaca berawan.

Polikristal (Poly-crystalline)


Merupakan panel surya yang memiliki susunan kristal acak karena dipabrikasi dengan proses pengecoran. Type ini memerlukan luas permukaan yang lebih besar dibandingkan dengan jenis monokristal untuk menghasilkan daya listrik yang sama. Panel suraya jenis ini memiliki efisiensi lebih rendah dibandingkan type monokristal, sehingga memiliki harga yang cenderung lebih rendah.

Thin Film Photovoltaic


Merupakan panel surya ( dua lapisan) dengan struktur lapisan tipis mikrokristal-silicon dan amorphous dengan efisiensi modul hingga 8.5% sehingga untuk luas permukaan yang diperlukan per watt  daya yang dihasilkan lebih besar daripada monokristal & polykristal.  Inovasi terbaru adalah Thin Film Triple Junction PV (dengan tiga lapisan) dapat berfungsi sangat efisien dalam udara yang sangat berawan dan dapat menghasilkan daya listrik sampai 45% lebih tinggi dari panel jenis lain dengan daya yang ditera setara.

Sumber: http://sharptenagasurya.com/?opt=about

Tuesday, February 9, 2010

Jurus Baru Melumat Metana

Bioproses

Pemanasan global akibat akumulasi gas-gas di atmosfer, di antaranya metana, menimbulkan efek lanjutan, yaitu perubahan iklim dan kondisi lingkungan bumi yang memburuk. Selama ini perhatian banyak dipusatkan untuk menekan gas karbon.

Padahal, metana-lah yang menjadi penyebab terbesar pemanasan global. Maka, belakangan sasaran mulai diarahkan pada gas yang satu ini.

Sumber gas metana atau CH ada di mana-mana, bukan hanya dari rawa atau lahan basah. Gas metana juga bisa muncul akibat aktivitas manusia, mulai dari toilet di rumah tangga, lahan pertanian, dan peternakan, hingga tempat pembuangan sampah. Namun, penghasil metana paling menonjol adalah sektor pertanian dan peternakan.

Seperti dilaporkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006, dari industri peternakan tercatat emisi gas penyebab efek rumah kaca paling dominan adalah metana (37 persen), sedangkan karbon dioksida (CO) hanya 9 persen. Masih menurut FAO, dalam lingkup global pun industri peternakan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) tertinggi, yaitu 18 persen, bahkan melebihi emisi gas yang berasal dari sektor transportasi, yang hanya 13 persen.

Mulai bangkit

Volume metana yang melingkupi permukaan bumi mungkin belum seberapa. Di perut bumi dan dasar laut kutub utara terkubur 400 miliar ton gas ini, atau 3.000 kali volume yang ada di atmosfer. Namun, lambat laun gas dari permafrost ini mulai bangkit dari kuburnya akibat dieksploitasi untuk sumber energi. Selain itu, pencairan es juga terjadi di kutub karena pemanasan global.

Kondisi ini jelas memperburuk efek GRK karena potensi gas metana 25 kali lipat dibandingkan CO. Kalkulasi tersebut berdasar pada dampak yang ditimbulkannya selama seabad terakhir. Namun, penghitungan jumlah rata-rata metana dalam 20 tahun terakhir meningkat 72 kali lebih besar dibandingkan dengan CO.

Bila itu terjadi, ancaman kepunahan spesies di muka bumi akan membayang, seperti yang pernah terjadi pada masa Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM) 55 juta tahun lalu dan pada akhir periode Permian sekitar 251 juta tahun lalu.

Lepasnya gas metana dalam jumlah besar mengakibatkan turunnya kandungan oksigen di muka bumi ini hingga mengakibatkan punahnya lebih dari 94 persen spesies di muka bumi.

Dr Kirk Smith, profesor kesehatan lingkungan global dari Universitas California, Amerika Serikat, mengingatkan adanya ancaman gas ini. Saat ini dunia memfokuskan strategi pada pengurangan emisi CO tetapi sedikit yang berkonsentrasi pada pengurangan emisi metana. Padahal, metana tergolong gas berbahaya, bukan hanya menimbulkan efek GRK yang nyata, melainkan juga membantu terbentuknya lapisan ozon di permukaan tanah yang membahayakan bagi kesehatan manusia.

Kandungan metana yang tinggi akan mengurangi konsentrasi oksigen di atmosfer. Jika kandungan oksigen di udara hingga di bawah 19,5 persen, akan mengakibatkan aspiksi atau hilangnya kesadaran makhluk hidup karena kekurangan asupan oksigen dalam tubuh. Meningkatnya metana juga meningkatkan risiko mudah terbakar dan meledak di udara. Reaksi metana dan oksigen akan menimbulkan CO dan air.

Pelumat metana

Upaya menekan emisi metana ke atmosfer belakangan mulai gencar dilakukan di negara yang memiliki lahan padi sawah terbesar, yaitu India dan China. Indonesia pun tak ketinggalan.

Salah satu caranya adalah dengan menerapkan sistem budidaya yang disebut dengan System of Rice Intensification (SRI). Pola budidaya padi tersebut bertujuan untuk mengurangi pemberian air pada lahan sawah. Karena diketahui, dengan kondisi air terbatas, produksi gas metana oleh mikroba anaerob berkurang.

Sistem bercocok tanam ini diperkenalkan pertama kali oleh misionaris dari Perancis, Henri de Laulanie, di Madagaskar tahun 1983. Pola bertanam padi ini lalu dikembangkan Prof Norman Ufhop dan akhirnya disebarkan ke Asia, seperti India, Pakistan, Sri Lanka, Banglades, China, Vietnam, dan Indonesia.

Pada SRI, dengan mengurangi air dan benih berkisar 40 sampai 80 persen, panen padi justru dapat meningkat 50 hingga 70 persen dibandingkan cara konvensional yang berkisar 4 hingga 5 ton per hektar. Kini, lebih dari 13.000 petani sudah menerapkan SRI pada lahan sekitar 9.000 hektar.

”Bila SRI diaplikasikan pada seluruh sawah di Indonesia yang luasnya 11 juta hektar, selain tercapai peningkatan produksi padi, emisi metana juga dapat diturunkan dalam jumlah sangat signifikan,” kata peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), I Made Sudiana.

Upaya menekan emisi metana dari lahan persawahan juga ditempuh Sudiana dengan mencari mikroba yang berperan dalam melepaskan metana ke atmosfer dan yang mengoksidasi metana. Di lahan persawahan konvensional yang tergenang air ditemukan mikroba metanogen yang anaerob atau bekerja dalam kondisi tanpa udara. Bakteri ini menghasilkan gas metana.

Emisi gas metana di sawah pada sistem SRI ternyata juga dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang ada dalam usus cacing tanah (Aporrectodea caliginosa, Lumbricus rubellus, dan Octolasion lacteum), yaitu saat cacing tanah membuat lubang untuk meningkatkan aerasi tanah sawah.

Dalam penelitiannya bersama peneliti dari Universitas Tokyo dan Otsuka di Sukabumi ditemukan, komunitas mikroba pesaingnya, yaitu metanotropik yang mengonsumsi atau mengoksidasi gas metana, menjadi metanol. Maka, untuk menekan emisi gas metana yang dihasilkan metanogen harus ditambahkan gipsum (CaSO. 2HO) yang dapat menstimulasi pertumbuhan metanotropik—kompetitornya.

”Dengan begitu, pertumbuhan mikroba metanogen tertekan,” kata Sudiana, yang meraih doktor bidang dinamika populasi mikroba dari Universitas Tokyo, Jepang.

Lebih lanjut di laboratorium milik Puslit Biologi LIPI di Cibinong, Sudiana berhasil mengisolasi tiga gen pada mikroba metanotropik. Isolasi berlangsung selama dua bulan. Inokulan yang ditemukan tahun lalu itu disebut Metrop 09 dan menjadi koleksi kultur lembaga riset ini.

Inokulan Metrop masih memerlukan pengujian stabilitas selama setahun ini untuk memastikan respons gen tidak berubah jika berada di lingkungan yang berbeda.

”Nantinya inokulan tersebut dapat dikembangbiakan dan diaplikasikan pada pupuk hayati sebagai mikroba konsorsium,” ujar Sudiana.

Dengan pupuk hayati plus itu, akan dihasilkan tanaman yang berproduktivitas tinggi, tetapi minim produksi metana.

Penulis: Yuni Ikawati
Jakarta, 09 Februari 2010
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/09/03284297/jurus.baru.melumat.metana

Orang Asing dalam Properti Kita

Berita tentang kemungkinan diizinkannya orang asing memiliki properti di Indonesia menimbulkan harapan baru di kalangan pengusaha. Sepanjang tahun 2008-2009 masih ada pemilik properti yang terimbas krisis. Namun, kalau dibuka, menurut Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa, akan masuk investasi asing sebesar 3 miliar-6 miliar dollar AS per tahun.

Namun, benarkah properti menarik untuk asing dan benarkah rencana ini menarik bagi pelaku usaha di sini.

Pembeli asing dalam industri properti kita sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Di daerah Karawang dan Bekasi, Jawa Barat, banyak orang India dan Korea tinggal di sejumlah kawasan itu. Mereka mengatakan sebagai pemilik rumah. Namun, kalau hal itu ditanyakan kepada pengembang, didapat jawaban bahwa orang-orang asing yang sudah tinggal 10 tahun lebih itu membeli properti tersebut atas nama perusahaannya.

Di Bali juga banyak properti dibangun oleh orang-orang Italia, Perancis, Australia, dan Brasil. Hanya, tanah dan bangunan itu diatasnamakan orang-orang tertentu. Hal yang sama kita temui di Batam dan Bintan, banyak properti di sana dimiliki oleh orang-orang Singapura dan Hongkong.

Di Kepulauan Mentawai yang ombaknya bagus untuk selancar, turis-turis asing tinggal di atas kapal. Tentu saja bukan karena lebih nyaman, melainkan karena tidak mudah membangun atau memiliki properti yang memadai bagi turis-turis yang rutin berada di sana.

Kalau hal ini dibiarkan, tentu saja negara kehilangan kesempatan memperoleh penghasilan dari pajak karena begitu banyak peluang yang terlewatkan dan luput dari perhatian.

Terbiasa membuat peraturan

Bahwa asing tidak dilarang memiliki properti, hal itu sebenarnya sudah diketahui. Namun, kita memang terbiasa membuat peraturan yang menghambat daripada membuka.

Dalam ketentuan yang lama disebutkan, orang asing yang diperkenankan membeli properti adalah mereka ”yang berkedudukan di Indonesia”. Kalimat ”yang berkedudukan di Indonesia” ini begitu ditelusuri ternyata lebih banyak menyatakan ”no” daripada ”yes”.

Mengapa tidak dipendekkan saja menjadi ”Orang yang diperkenankan membeli properti”, titik?

Selain itu, hak pakai yang diberikan terbatas hanya 25 tahun. Bagi pembeli yang melihat properti sebagai instrumen investasi, ketentuan itu tentu kurang menarik jika dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku di negara-negara di kawasan yang sama.

Di Malaysia dan Singapura, mereka bisa diberikan hingga 99 tahun, bahkan ada yang diberikan hak selama 900 tahun.

Selain itu, di negara-negara yang menghendaki datangnya investasi asing itu, kebijakan properti sejalan dengan kebijakan lainnya, seperti keimigrasian, izin usaha, keamanan, ketentuan pencegahan pencucian uang, serta perbankan dan keuangan.

Orang-orang yang melakukan investasi biasanya memerlukan izin tinggal, status kewarganegaraan, dan seterusnya. Di sini, wacana seperti itu masih belum seragam.

”Debottlenecking mindset”

Ada banyak alasan yang perlu diperhatikan mengapa orang asing mau membeli properti di suatu negara. Selain karena kebutuhan akan tempat tinggal, misalnya untuk menyekolahkan anak, mengurus kesehatan atau berobat, penempatan bekerja, atau pedagang, juga untuk kebutuhan investasi.

Banyak pedagang asing yang sering bolak-balik membawa produk-produk buatan Indonesia ke luar negeri memilih mempunyai rumah sendiri di sini dengan cara-cara ilegal daripada harus tinggal di hotel.

Namun, di lain pihak, properti Indonesia sebenarnya juga menarik bagi investor di kawasan ASEAN. Harga properti Indonesia di jalan-jalan utama dengan kualitas setara rata-rata masih berkisar 20 persen dari harga yang berlaku di Singapura.

Sebagai perbandingan, harga properti bintang lima di Singapura sudah mencapai Rp 150 juta per meter persegi. Di sini, dengan kelas yang sama, maksimal hanya Rp 30 juta per meter persegi. Selain itu, kenaikan harga properti sungguh menarik. Jadi, sebenarnya potensinya ada.

Bagi kaum pensiunan Jepang, biaya hidup yang tinggi di negaranya juga telah mendorong mereka mencari lokasi tempat tinggal di negeri lain. Indonesia termasuk tempat yang mereka minati, tetapi mereka selalu gagal mendapatkannya sehingga memilih Filipina dan Thailand.

Pengalaman-pengalaman yang ada menunjukkan masih banyak debottlenecking mindset yang harus diselesaikan untuk mengawal peraturan pemerintah baru, yang memungkinkan masuknya investasi-investasi baru di sektor properti.

Debottlenecking mindset itu ada pada sejumlah sektor di pemerintahan, parlementer, yaitu DPR dan DPRD, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), pengusaha, serta kalangan masyarakat. Pertama, ketentuan baru itu harus cukup menarik bagi investor. Hak pakai tidak perlu diberi embel-embel lain yang terkesan mengada-ada, misalnya disebutkan ”dapat diperpajang dua kali masing-masing 20 tahun” setelah sekian tahun.

Kedua, debottlenecking mindset pada departemen-departemen terkait, seperti keimigrasian, ketenagakerjaan, serta keuangan dan perbankan.

Ketiga, debottlenecking mental blok. Debottlenecking ini menyangkut ketakutan-ketakutan atau nasionalisme yang berlebihan, yang mengakibatkan selalu berpikir bagaimana caranya menahan daripada mendorong, misalnya saja beredar gagasan agar asing dibatasi boleh membeli properti di atas Rp 1,5 miliar, dan hanya boleh membeli rumah baru.

Mindset yang terakhir beredar di tengah kekhawatiran bahwa kebutuhan masyarakat untuk memiliki rumah masih tinggi, yaitu 800.000 unit. Sementara itu, data dari Panangian Simanungkalit and Associates menunjukkan, jumlah rumah baru yang dibangun baru mencapai 257.365 unit pada 2010.

Kita perlu memahami bahwa pasar properti tidak hanya ditentukan oleh ”kebutuhan” atau keinginan membeli saja, tetapi juga pada kesiapan membeli atau daya beli.

Daripada mempersoalkan hal-hal yang sudah ada mekanisme pasarnya sendiri, mengapa kita tidak membatasi pada hal-hal strategis saja, seperti larangan membeli properti di daerah-daerah strategis, perbatasan, atau wilayah yang dapat merusak kekayaan alam?

Penulis: Rhenald Kasali Guru Besar ManajemenUniversitas Indonesia
Senin, 8 Februari 2010 | 02:30 WIB
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/08/02301271/orang.asing.dalam.properti.kita

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...