Friday, April 9, 2010

Konversi ke Lahan Pangan di Merauke agar Dilakukan Bertahap

Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta meminta pembangunan Merauke Integrated Food and Energy Estate dilakukan bertahap agar tidak mengorbankan hutan alam Papua.

Hutan savana di Merauke dinilai sebagai ekosistem yang rapuh sehingga pembangunan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) harus dilakukan hati-hati agar tidak mengulang kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah.

Hal itu disampaikan Gusti di Jakarta, Kamis (1/4), seusai menerima kajian Greenomics Indonesia tentang potensi kerusakan hutan alam Papua terkait rencana pembukaan lahan 1,2 juta-1,6 juta hektar untuk proyek MIFEE. Ia menyatakan akan menerima semua masukan masyarakat terkait proyek MIFEE dan membicarakannya dengan kementerian terkait.

”Kami mendukung MIFEE. Namun, lebih baik MIFEE dilakukan bertahap. Kalau mau membuka hutan, buka dulu kawasan hutan konversi dan kawasan tidak berhutan yang luasnya berkisar 360.000 hektar. Pembukaan itu akan aman, baik dari aspek lingkungan maupun dari aspek hukum dan status kawasan hutan. Jangan langsung membuka hutan 1,6 juta hektar untuk MIFEE karena pasti pembukaan hutan 1,6 juta hektar akan mengenai kawasan hutan produksi, yang kemungkinan separuhnya berupa hutan alam,” kata Gusti.

Harus ada kajian strategis 

Menteri menyatakan, pembukaan hutan untuk proyek MIFEE membutuhkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) daerah. Ia menekankan, amdal baru bisa disusun jika Pemerintah Kabupaten Merauke sudah menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

”Mungkin kita harus carikan dana untuk menyusun KLHS. KLHS harus disusun dahulu karena kita harus memastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan Merauke untuk proyek itu. Ekosistem hutan savana seperti di Merauke adalah ekosistem yang rapuh. Jangan sampai kasus lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah terulang,” kata Gusti.

”Pembukaan lahan gambut telanjur dilakukan, sementara amdal justru belum pernah dilakukan. Sampai sekarang, kerusakan lingkungan di sana tidak terpulihkan dan lahan itu berulang kali terbakar,” ujarnya.

Hasil kajian

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi menyatakan, kajiannya yang diserahkan kepada Menteri Lingkungan Hidup menunjukkan luasan Hutan Produksi Konversi (HPK) dalam kondisi tidak berhutan di Merauke luasannya hanya 366.000 hektar.

Elfian meminta MIFEE dilakukan bertahap dengan memanfaatkan terlebih dahulu 366.000 hektar HPK yang tidak berhutan itu.

”Jika dalam perkembangannya MIFEE menunjukkan ada kemajuan daerah, luasannya bisa ditambah lagi dengan membuka 139.000 hektar hutan produksi tidak berhutan. Namun, pembukaan 139.000 hektar hutan produksi itu harus disetujui terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, jika MIFEE ingin dibuka tanpa mengonversi
hutan alam, luasan maksimalnya hanya 505.000 hektar,” kata Elfian.

Elfian menyebutkan, jika luasan MIFEE mencapai 1,6 juta hektar, berarti ada 1,1 juta hektar hutan alam yang dikorbankan untuk MIFEE. Selain terancam MIFEE, kelestarian hutan alam Papua di Merauke juga terancam oleh rencana pembangunan industri kayu.

Menurut dia, salah satu investor MIFEE telah mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) seluas 169.400 hektar di Merauke. Elfian menyatakan, rencana kerja pemegang IUPHHK menunjukkan, 78.728 hektar hutan primer alami akan ditebang habis.

”Ada perusahaan lain yang bukan merupakan investor MIFEE, tetapi juga memegang IUPHHK seluas 206.800 hektar. Dan, mereka berencana menebang 120.939 hutan alami primer. Kami berharap Kementerian Kehutanan tidak mengesahkan rencana kerja itu dan menetapkan 199.667 hektar hutan primer dalam konsensi IUPHHK kedua perusahaan itu sebagai kawasan hutan yang harus dipertahankan,” kata Elfian. (ROW)

03 April 2010

Pertamina Belum Siap Ikuti UU No 32/2009

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada April ini dikhawatirkan akan menimbulkan kriminalisasi terhadap kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS minyak dan gas bumi.

Aturan itu juga bisa berdampak pada penurunan produksi migas nasional. Menurut Manajer Humas PT Pertamina EP Mohamad Harun, akhir pekan lalu di Jakarta, pihaknya belum siap mengikuti aturan yang termuat dalam UU Lingkungan Hidup.

Oleh karena itu, ujar Harun, pihaknya meminta penundaan pemberlakuan aturan baru itu agar bisa memperbaiki dan menambah fasilitas sesuai aturan yang ada.

”Kami mengomunikasikan tahapan-tahapan yang akan kami lakukan untuk mematuhi UU Lingkungan Hidup. Saat ini kami masih memperbaiki dan menambah fasilitas yang ada,” katanya.

Untuk menyesuaikan dengan aturan baru yang ada, kebutuhan investasi diperkirakan akan bertambah, yang pada akhirnya membebani cost recovery.

Sejauh ini, lanjut Harun, pihaknya masih menjalankan kegiatan operasi migas. Namun, jika nanti diperingatkan, pihaknya siap untuk menghentikan sementara kegiatan operasi.

Jika berhenti beroperasi, potensi penurunan produksi minyak PT Pertamina EP mencapai 61.000 barrel per hari.

Atas dasar itu, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) meminta agar para KKKS migas tidak dikriminalisasi. Hal ini terkait dengan pemberlakuan UU Nomor 32 Tahun 2009.

Memberatkan sektor hulu

Menurut Kepala BP Migas Priyono, salah satu kendala pencapaian target produksi migas di masa mendatang adalah UU No 32 Tahun 2009, khususnya ketentuan yang terkait perizinan, baku mutu, jaminan pemulihan lingkungan, ancaman pencabutan izin usaha operasi migas, dan ancaman pidana bagi pelanggar.

”Hal ini akan sangat memberatkan sektor hulu migas karena secara potensial bisa mengakibatkan penurunan signifikan produksi migas nasional serta peningkatan biaya operasi yang bisa ditagihkan ke negara atau cost recovery yang cukup tinggi,” kata Priyono menambahkan.

Oleh karena itu, ujar Priyono, pihaknya akan meningkatkan koordinasi dengan aparat penegak hukum di daerah. ”Jangan segera dikenakan tindak pidana. Koordinasi dengan kejaksaan dan kepolisian dilakukan agar jangan sampai tindakan-tindakan penegakan hukum di daerah itu menunda produksi perminyakan,” ujarnya.

Jadi, kalau standar baku mutu belum sesuai dengan yang ditetapkan, perlu persiapan untuk mengadakan peralatan pendukung.

”Industri migas butuh waktu untuk persiapan dalam rangka mengikuti aturan. Kami telah meminta penundaan pemberlakuan aturan itu, dan saat ini masih dalam proses,” kata dia.

Priyono menjelaskan, meski terimbas dampak krisis ekonomi global, sektor hulu migas Indonesia masih melampaui target penerimaan negara yang ditetapkan di dalam APBN tahun 2009, yaitu menghasilkan 19,646 miliar dollar AS. Ini berarti sekitar 105 persen dari target APBN sebesar 18,815 miliar dollar AS. (EVY)

05 April 2010

PLT Angin 10 MW di Sukabumi Pasok PLN

Pembangkit listrik tenaga bayu atau angin yang beroperasi selama ini di Indonesia masih dalam tahap riset. Pengembangan ke tahap komersial dirintis di Taman Jaya Ciemas, Kabupaten Sukabumi. Pembangkit yang akan dibangun berkapasitas 10 megawatt. Pembangkit ini diproyeksikan terhubung dan memasok listrik pada jaringan kelistrikan pembangkit listrik nasional tahun ini.

Poempida Hidayatulloh, Ketua Komite Tetap Energi Berbasis Lingkungan Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia, mengatakan hal itu pada seminar ”Towards the First Commercial Wind Farm in Indonesia” di Jakarta, Rabu (31/3).

Untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga angin di Jampang Kulon yang berjarak sekitar 70 km dari Sukabumi itu, kata Yusuf Rahimi, Komisaris Viron Energy—perusahaan pembangun dan pengelola pembangkit tersebut, nota kesepakatan (MOU) telah ditandatangani antara pihaknya dan PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten.

Pada tahap pertama, pembangkit dengan total kapasitas 10 MW yang terdiri dari 5 unit yang berdaya 2 MW akan dibangun. Pembangunan nantinya akan dilanjutkan dalam beberapa tahap hingga total kapasitas yang terbangun mencapai 100 MW.

Tahap studi kelayakan pembangkit itu melibatkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan dan Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Institusi ini tahun lalu telah merintis pembangunan pembangkit listrik tenaga angin di lokasi yang sama berkapasitas 25 kW dan sebatas untuk riset. Tahun ini, kapasitasnya akan ditingkatkan menjadi 100 kW dengan melibatkan PT Dirgantara Indonesia dan LIPI.

Sementara itu, untuk pembangunan PLTB 10 MW, dijelaskan Poempida yang juga Direktur Viron Energy, akan menggandeng Suzlon Energy dari India dan perusahaan lokal Adhi Karya. PLTB ini akan menyerap investasi 14 juta dollar AS dan kandungan lokalnya 30 persen.

Dengan potensi angin 7,3 meter per detik, pembangkit ini nantinya akan menghasilkan listrik 28 gigawatt jam per tahun. ”Daya listrik ini akan disalurkan pada grid PLN terdekat,” ujarnya.(YUN)

01 April 2010

Wednesday, April 7, 2010

XL Bangun 120 Titik Jaringan Kereta Api

Operator telekomunikasi XL Axiata memperluas kerja samanya dengan PT Kereta Api (KA) dengan menyediakan 120 titik jaringan Multi Protocol Label Switching (MPLS) di sepanjang pulau Jawa dan Sumatera.

Perluasan kerja sama ini ditandatangani oleh Direktur Network XL Dian Siswarini dan Direktur Komersial PT KA Sulistyo Wimbo Hardjito, dan disaksikan oleh Presiden Direktur XL Hasnul Suhaimi dan Direktur Utama PT KA Ignasius Jonan.

"Dengan layanan solusi korporat dari XL ini, PT KA bisa segera mengembangkan jaringan online antarstasiun dan kantor cabang, yang antara lain dapat dimanfaatkan bagi penyediaan layanan pemesanan dan pembayaran tiket secara elektonik," kata Dian dalam keterangannya, Rabu (7/4/2010).

Baik XL dan PT KA telah cukup lama menjalin kerja sama. Sejak 1996, XL membangun jaringan menara telekomunikasi dan infrastruktur kabel optik di sepanjang jalur milik PT KA. Kerja sama ini juga terus ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya kebutuhan kedua belah pihak.



07 April 2010
source:http://www.detikinet.com/read/2010/04/07/181217/1334123/328/xl-bangun-120-titik-jaringan-kereta-api

Nunggak Biaya Airtime Indosat Pilih Tempuh Jalur Hukum

Operator seluler yang ternyata juga ikut didemo besar-besaran oleh para pengusaha wartel adalah Indosat. Namun, meski para pendemo diterima dengan baik, Indosat keukeuhuntuk menanggapi tuntutan soal biaya air time ini lewat jalur hukum.

"Ya, kita terima dengan baik para pendemo, itu kan bagian dari aspirasi mereka sebagai warga negara dan sudah berizin pula," kata Group Head of Corporate Communication Indosat, Adita Irawati, saat dikonfirmasi detikINET, Kamis (18/3/2010).

Sebelumnya diberitakan, dari enam operator hanya XL Axiata yang didemo oleh ratusan pengusaha wartel yang tergabung dalam Forum Penyelamatan Wartel.

Namun kabar itu dibantah oleh XL. Sebab selain mendemo XL, para pengusaha wartel ternyata juga mendatangi kantor BRTI, Indosat, Kementerian Kominfo, Telkomsel dan Telkom.

Para pengusaha Wartel itu menuntut kewajiban dari para operator seluler untuk menyelesaikan pembayaran air time Wartel sesuai surat keputusan Dirjen Postel No 10/2008.

Biaya air time yang dimaksud adalah dana bagi hasil untuk penggunaan jasa telepon dari Wartel ke ponsel sejak April 2005 hingga Januari 2007.

Dalam berita sebelumnya disebutkan bahwa jumlah totalnya mencapai Rp 54 miliar untuk semua operator.

Indosat sendiri ketika dimintai komentarnya soal tuntutan ini malah mengaku bingung. Sebab, kata Adita, ‎nilai tuntutan yang disampaikan kepada Indosat tidak disampaikan dengan jelas.

"​Justru nilainya tidak pernah bisa disampaikan dengan jelas. Pada dasarnya kita akan bayar kalau nilai yang disampaikan jelas dengan dasar perhitungan yang jelas,"ujarnya.

Kewajiban para operator seluler untuk menyelesaikan pembayaran air time, ini menurut para asosiasi Wartel (APWI) sudah tertuang dalam surat keputusan Dirjen Postel no 1982/djpt3/10/2008 tertanggal 15 Oktober.

"Soal substansinya, ya kita tetap konsisten lewat jalur hukum saja, bersama ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia)," tegas Adita.



18 Maret 2010
source:http://www.detikinet.com/read/2010/03/18/182710/1320696/328/indosat-pilih-tempuh-jalur-hukum

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...