Sunday, August 8, 2010

Indonesia Optimistis Penerapan REDD Plus

Di tengah kompleksitas persiapan dan penerapannya, Indonesia optimistis bisa merealisasikan konsep pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi hutan, konservasi stok karbon dari hutan, serta peningkatan stok karbon dari hutan.
Optimisme tersebut ditegaskan Staf Ahli Menteri Kehutanan Wandojo Siswanto dalam paparannya terkait persiapan Indonesia untuk penerapan konsep pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi hutan, konservasi stok karbon dari hutan, serta peningkatan stok karbon dari hutan (REDD+) dalam pertemuan pleno acara Pertemuan ke-9 Kemitraan Hutan Asia (AFP) dan Dialog AFP 2010, Tantangan Kepemerintahan terkait Hutan Setelah Kopenhagen: Perspektif Asia-Pasifik pada Kamis (5/8) di Nusa Dua, Bali.
Acara yang berlangsung dua hari hingga Jumat (6/8) ini dihadiri sejumlah lembaga nonpemerintah internasional dan nasional, perwakilan pemerintah pusat dan daerah, serta sejumlah akademisi.
Kompleksitas persiapan dan pelaksanaan REDD+ terungkap dalam dua sesi pleno yang menampilkan peneliti internasional dari Center for International Forestry Research (CIFOR), Daju Resosudarmo; Moray McLewish dari World Resources Institute; Lex Hovani dari The Nature Concervancy untuk kasus Kabupaten Berau; Wilistra Dani yang menangani Kalimantan Forest and Climate Partnership; dan Meine van Noordwijk dari World Agroforestry Center.
Menurut Daju yang memaparkan hasil penelitiannya bersama Elena Petkova, sekarang REDD+ menjadi isu penting. Lebih dari 40 negara sedang mempersiapkan strategi nasional REDD+ dan lebih dari 100 demonstrasi REDD+ sedang dilakukan untuk mendapatkan model yang pas.
Optimistis
Wandojo, yang juga menjadi koordinator kelompok kerja perubahan iklim pada Kementerian Kehutanan, seusai pleno menegaskan, ”Kami optimistis bisa siap setelah 2012, tetapi tentu menunggu kesepakatan pada Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim(UNFCCC) terhadap REDD+ setelah tahap pertama Kyoto Protokol berakhir tahun 2012.”
Di sisi lain, dia mengakui, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan agar Indonesia siap. ”Pertama adalah komitmen kita akan tata ruang. Kita belum punya tata ruang yang aman karena selalu berubah. Kalau mau (menerapkan REDD+), harus ditetapkan target secara nasional. Tidak semua hutan kita tebang. Yang kedua adalah pengelolaan terhadap hutannya sendiri di mana harus bisa memberikan insentif bagi masyarakat di sekitarnya kalau ditetapkan sebagai hutan konservasi,” tutur Wandojo. Juga perlu diatur siapa yang bertanggung jawab akan benefit yang didapat, apakah pemerintah pusat, daerah, pengusaha, atau masyarakat lokal.
Saat ini Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan sejumlah lembaga internasional baru melakukan percobaan di tujuh lokasi, ditambah satu kabupaten, yaitu Kabupaten Berau, dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Kebijakan terputus-putus
Sejumlah penyaji mengungkapkan kompleksitas masalah REDD+ di Indonesia, antara lain terputus-putusnya kebijakan akibat adanya otonomi daerah. Ketika kebijakan nasional dibuat oleh pemerintah pusat, izin mengelola hutan untuk berbagai kepentingan justru dikeluarkan pemerintah kabupaten. Akibatnya, terjadilah tumpang tindih izin. ”Kami sedang mengumpulkan izin-izin untuk dikaji,” tutur Wandojo.
Selain itu juga muncul inkonsistensi kebijakan. Ketika pemerintah pusat menyatakan moratorium, menyusul kesepakatan melalui letter of intent dengan Norwegia dan menurunkan emisi karbon 26 persen pada 2020, ternyata kebijakan sektor pertambangan dan pertanian berbeda. (ISW)
06 Agustus 2010

Pengembangan Pangan: Jangan Anggap Remeh Batas Wilayah Adat

Belum lagi program Merauke Integrated Food and Energy Estate, yaitu pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar hayati, dilaksanakan, benih sengketa tanah mulai muncul. Warga Desa Sanggase, Distrik Okabat, Merauke, resah.
Mereka berpendapat, seharusnya PT Medcopapua Industri Lestari yang beroperasi di Buepe bernegosiasi dengan mereka, bukan dengan kelompok masyarakat di Buepe.
Tokoh masyarakat Sanggase, Kristianus Nasimhe (50), mengatakan, warga Buepe sebenarnya masih berkerabat dengan warga Sanggase. Namun, mereka bukan pemilik tanah ulayat di kawasan Buepe. ”Dulu mereka orang yang datang dan mencari makan di tempat itu,” kata Nasimhe.
Konflik itu dalam tradisi masyarakat Malind Anim disebut ehyon atau batas hak ulayat. Bagi Nasimhe, warga Buepe yang disebut timan anem atau orang bagian darat hanya memiliki hak pakai, sedangkan warga Sanggase yang disebut dengan duhanem atau orang bagian laut adalah pemilik hak ulayat di Buepe.
Hingga saat ini penyelesaian persoalan itu belum tuntas. Sementara itu, Sekretaris Korporat Medco Group Widjajanto mengaku belum tahu persoalan tersebut dan masih harus mengecek ke lapangan.
Menurut relawan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, Leo Moiwend (32), bagi masyarakat Malind dan juga Papua, persoalan tanah penting. Pada masa lalu, persoalan tanah merupakan salah satu pemicu utama perang antarsuku atau keluarga di Papua.
”Kami memiliki keyakinan roh nenek moyang telah membagi dan menetapkan wilayah-wilayah itu yang ditandai dengan tanda alam, seperti sungai atau dusun sagu,” papar Leo.
Ketika upacara adat dilangsungkan, para tetua masyarakat menuturkan kembali batas-batas wilayah melalui lagu tradisional yang disebut yaguli. Melalui tradisi tutur itulah pemahaman atas batas-batas wilayah itu diturunkan kepada generasi berikut.
Menurut Moiwend, ada bahaya besar jika pengembangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) tidak menghiraukan gagasan masyarakat adat itu. Ia khawatir pembukaan kebun besar-besaran akan mengubah, bahkan merusak, tanda alam tapal batas wilayah masing-masing marga. Jika itu terjadi, akan muncul benih konflik yang tidak hanya menguras tenaga, energi , dan dana, melainkan juga nyawa.
Sekretaris Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke Harmini menegaskan, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan perangkat hukum untuk menjamin kelestarian dan keberadaan hak ulayat itu. Menurutnya, ada jaminan tanah ulayat itu tidak boleh diperjualbelikan.
Kepastian luas
Pemerintah harus bekerja ekstra keras terkait hal itu. Pasalnya, hingga kini belum ada kepastian tentang luas wilayah yang akan dikembangkan untuk MIFEE. Sejauh ini, menurut rekomendasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional tersedia 1.282.833 hektar yang dapat dimanfaatkan untuk MIFEE.
Lahan itu akan dikembangkan melalui tiga tahap, yaitu jangka pendek (2010-2014) seluas 423.000 ha lebih, jangka menengah (2015-2019) seluas 632.000 ha lebih, dan pengembangan jangka panjang (2020-2030) seluas 227.000 ha lebih.
Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, ada angka lain yang diajukan Pemerintah Provinsi Papua untuk tahap pertama, yaitu 550.000 ha lebih. Selain itu ada angka lain, yaitu 760.000 ha, yang diperoleh tim gabungan dari Provinsi Papua dan nasional.
Adanya perbedaan itu disebabkan lahan gambut sedalam satu meter kemungkinan akan dimasukkan sebagai wilayah yang turut dikembangkan. Menurut Bayu, angka ketigalah yang kemungkinan akan digunakan untuk tahap pertama. ”Swasta belum bisa bergerak jika belum ada kepastian angka yang akan dikembangkan,” kata Bayu.
Ditemui terpisah, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan, hutan primer dan lahan gambut sama sekali tidak boleh diganggu. Ia menegaskan, pemerintah daerah harus hati-hati dalam mengembangkan lahan yang dimiliki. ”Jangan sampai lahan itu justru terdegradasi,” kata Zulkifli.
Kementerian Kehutanan, menurut Zulkifli, akan bersikap cermat dan hati-hati dalam mengkaji pengajuan lahan yang akan disampaikan. Dia memperkirakan, jumlah lahan yang akan dikembangkan mungkin tidak akan lebih dari 500.000 ha seperti yang diajukan tim dari Provinsi Papua. ”Kurang dari itu malah bisa,” kata dia menambahkan.
Hingga saat ini pihaknya belum mendapat pengajuan apa pun tentang luasan yang akan dikembangkan untuk MIFEE di Merauke. Pemerintah Provinsi Papua belum memaparkan kajian mereka. Dengan demikian, hingga saat ini Kementerian Kehutanan belum dapat memberi kepastian luas lahan yang dapat dikembangkan untuk proyek itu.
Hanya saja, di akar rumput saat ini warga mulai gelisah. Mereka telah didatangi para pengusaha dan elite pemerintahan setempat yang berminat mengelola atau menggunakan tanah mereka. Sebagian warga setempat telah melakukan kesepakatan dan melepas hak atas tanah itu. Ketidaktahuan masyarakat atas hak mereka atas tanah dimanfaatkan para spekulan tanah yang nantinya akan mengenyam keuntungan besar ketika MIFEE benar-benar digelar.
Pada bulan Agustus, pemerintah berencana meluncurkan desain besar program tersebut, artinya program itu bakal dilaksanakan. Meskipun menurut Bayu Krisnamurthi konflik pertanahan di Merauke selama ini tidak banyak, selayaknya pemerintah mengkaji kembali persoalan di atas agar masyarakat asli tidak makin dirugikan program pemerintah itu.
06 Agustus 2010

Pengembangan Pangan; Alam dan Identitas Masyarakat Malind

Apakah sagu tidak lebih bernilai dibandingkan dengan beras, jagung, atau kedelai? Bagi masyarakat lain mungkin saja sagu tak berasa, seperti umumnya tepung, bahkan lengket seperti pati kanji; tetapi tidak bagi Priska Mahuze (35). Sagu adalah simbol keluarga yang memberi nama Mahuze pada dirinya. Ket.Gbr:KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO. Priska Mahuze, warga Dusun Wendu, Merauke, tengah memeras serpihan batang sagu yang telah ditumbuknya. Hasil perasan itu kemudian diendapkan untuk diambil pati sagunya .
Bagi masyarakat suku Malind- Anim, penduduk Merauke, setiap keluarga memiliki simbol, citra, atau totem berbeda-beda. Gebze disimbolkan dengan pohon kelapa, Samkakai dicitrakan dengan kanguru, Kaize dengan kasuari, Basik-basik dengan babi, atau Balagaize dengan burung elang. Ketika mereka memahami dunia manusia adalah mikrokosmos dan semesta adalah makrokosmos, maka tujuan hidup adalah hidup sesuai dengan gambaran atau citra totem mereka.
Oleh karena itu, air mata Priska Mahuze menetes ketika buldoser menerjang kebun sagu kecil di ujung jalan masuk ke kampungnya di Wendu, Distrik Semangga, Merauke. Bukan semata-mata karena sumber pangan bagi keluarganya digerus, tetapi citra dirinya seolah ditumbangkan, tak dianggap berarti.
Masyarakat Malind-Anim dalam hidup sehari-hari memperlakukan dengan hormat citra diri atau totem. Karena itu, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi jika simbol-simbol itu punah. Proses identifikasi dalam sistem sosial mereka akan rusak.
Menurut Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yaleka Maro Johanes Wob (52), tempat sakral seperti dusun sagu atau rumpun kelapa di mana kanguru atau kasuari bersarang adalah pintu gerbang yang menghubungkan dua dunia, yaitu yang imanen dan yang transenden, antara yang kelihatan dan yang tak kelihatan. Oleh karena itu, tempat di mana totem-totem itu ada harus dijaga karena menjadi lintasan roh nenek moyang yang dalam gagasan masyarakat Malind-Anim menuturkan nilai kehidupan.
Keberadaan tempat sakral bagi masyarakat Malind-Anim sangat penting karena, dalam praktik hidup, dua dunia itulah yang harus dihidupi dengan seimbang. Wujudnya, relasi yang baik dengan sesama. Pada akhirnya praktik hidup seimbang itulah yang menempatkan seorang menjadi Animha atau manusia sejati.
Hanya saja sikap terbuka masyarakat Malind-Anim serta kemurahan hati mereka kerap dimanfaatkan orang. Hadirnya gagasan pengembangan pangan dan bahan bakar hayati dalam skala luas tidak hanya mengancam kelestarian totem atau citra diri mereka, tetapi perlahan-lahan juga berdampak pada keberadaan mereka.
Minim pemahaman
Johanes Wob, Sekretaris Dewan Adat Wilayah V: Ha-Anim, mengatakan, masyarakat Malind-Anim tidak anti terhadap perubahan atau pembangunan. Hanya saja selama ini, tutur Wob, mereka jarang diajak terlibat dalam proses perundingan yang bermartabat serta memenuhi mekanisme hak dan kewajiban sesuai kebutuhan mereka.
Hal itu terbukti ketika di kampung-kampung masyarakat umumnya tidak mengetahui tentang program pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar hayati berskala luas yang disebut MIFEE. Padahal, lahan mereka menjadi bagian dari program itu.
Saat ini mereka mengaku kerap bertemu orang asing yang tiba-tiba saja datang ke kampung mereka dan menegosiasikan lahan milik masyarakat adat. Pengalaman itu pula yang dialami warga Salor, Merauke, yaitu Paulinus Gebze (45) dan keluarga Tarsis Mahuze (50). Tanpa pengetahuan memadai, akhirnya Paulinus Gebze sepakat melepas 600 ha lahan miliknya kepada seorang elite lokal dengan uang Rp 20 juta serta sembilan sepeda motor yang kemudian dibagikan kepada kerabatnya.
Ia tidak mengetahui nilai tanah akan terus bertambah, sedangkan nilai sepeda motor akan terus menurun. Namun, pemahaman itu datang terlambat, lahannya telah berpindah tangan. Demikian juga dengan Tarsis Mahuze.
Beruntung, ia hanya menyewakan tanahnya untuk setahun. Meskipun nilai sewa hanya Rp 1.500.000 per hektar, tetapi ia tidak kehilangan tanah itu. Posisi tidak berimbang itu membuat masyarakat Malind-Anim tidak berdaya.
Untuk itulah diperlukan penguatan basis masyarakat agar mereka tidak terus menjadi korban dalam arus ekonomi dan politik global. Baik Paulinus Gebze dan Tarsis Mahuze sadar, kehilangan tanah akan berdampak buruk bagi masa depan mereka.
”Saya tentu akan dicaci maki keturunan saya karena menjual lahan itu. Saya mungkin bisa menikmatinya, tetapi anak-cucu saya tidak akan menikmati apa-apa. Karena itu, tanah yang lain tidak akan saya serahkan. Biar nanti kalau anak-anak sudah mampu, mereka saja yang urus,” kata Gebze.
Dalam pemahaman masyarakat Malind-Anim wilayah tempat tinggal selalu diidentikkan dengan jalur lintasan roh nenek moyang dan merujuk pada totem masing-masing keluarga. Leo Moiwend (32), warga Malind, menjelaskan, jika Mahuze melintasi satu wilayah, ia akan menurunkan keturunan bernama Mahuze. Ketika ia melintas dan berhenti pada satu titik baru, lintasan itu akan menjadi wilayah keluarga Mahuze lain. Apabila tanah tempat totem itu berada hilang, citra diri yang tergambar dalam totem pun perlahan terkikis.
”Suatu saat mungkin ada yang mengaku fam-nya Mahuze, tetapi tidak pernah tahu pohon sagu seperti apa dan di mana tempatnya,” kata Leo menambahkan.
Itulah yang oleh Johanes Wob dilihat sebagai kasus ketidakberimbangan. Wujudnya dapat berupa terganggunya basis hidup dan hilangnya identitas, entah berupa kampung atau tanah. Untuk itu, menurutnya, pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang terkait hidup bersama perlu dikembangkan.(B Josie Susilo Hardianto)
06 Agustus 2010

Pengembangan Pangan: Arus di Belakang Gelora MIFEE

Tahun 2008, ketika gelombang krisis pangan menghantam dunia dan memicu melonjaknya harga komoditas di pasar dunia—beras, misalnya, dari 300 dollar AS per ton menjadi 1.000 dollar AS per ton—banyak negara mulai sadar untuk mengurangi ketergantungan pangan mereka dari impor. Banyak negara maju dan kaya serta korporasi lintas negara mulai mencari wilayah baru untuk berinvestasi dalam bidang pertanian pangan dan energi.
Meskipun di dalam negeri Pemerintah Indonesia mampu membuat harga relatif stabil, menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, krisis tersebut mendorong para pengambil keputusan membuat langkah serius di bidang pangan. Apalagi sebelum itu, pada 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memperingatkan, kecukupan pangan dan energi harus menjadi perhatian serius dan mendapat prioritas strategis.
Lalu tercetuslah gagasan mencari wilayah pengembangan pangan baru yang diproyeksikan tidak hanya mencukupi kebutuhan pangan lokal, tetapi juga nasional, bahkan ekspor.
Dari situ diliriklah Merauke. Wilayah di timur Indonesia itu pada masa pemerintahan kolonial Belanda (1939-1958) memang pernah dikembangkan menjadi lumbung pangan untuk wilayah Pasifik Selatan melalui proyek Padi Kumbe-Kurik.
Di tingkat lokal, gagasan menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan sebenarnya telah bergulir sejak tahun 2000 ketika Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze menggagas pengembangan pertanian padi berskala luas, atau dikenal dengan Merauke Integrated Rice Estate (MIRE).
Bak bertemu jodoh, pengembangan lanjut program itu ternyata cocok dengan niat pemerintah pusat mengembangkan wilayah pertanian baru. Lahirlah program pertanian pangan dan energi berskala luas atau Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Pengembangan usaha itu melibatkan swasta dan dikelola dengan model perkebunan. Basisnya tetap pada beras, jagung, kedelai, tebu, dan sawit. Dengan potensi efektif lahan—berdasarkan kajian Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional—mencapai 1,283 juta hektar, Merauke dinilai amat potensial.
Prospek ekonominya menurut Bayu Krisnamurthi sangat menjanjikan. Ia mencontohkan, China dan Filipina masih kerap mengimpor bahan pangan, demikian pula dengan Indonesia. Bayu mengatakan, setiap tahun Indonesia mengimpor 3 juta ton gula mentah. ”Mengapa tidak, pabrik-pabrik di sini nantinya membeli gula mentah itu dari Merauke,” kata Bayu.
Sekretaris Korporasi Medco Group Widjajanto mengatakan, pihaknya melihat pula peluang itu. Selain beroperasi di Buepe, Merauke, dalam bidang kayu serpih, korporasi itu tengah mengembangkan penelitian tebu di Kurik. PT Bangun Tjipta Sarana pun tak tinggal diam. Perusahaan itu sejak beberapa tahun lalu menanam jagung seluas 200 hektar di Kurik, Merauke. Meskipun—menurut Siswono Yudo Husodo, pemilik PT Bangun Tjipta Sarana—saat ini kegiatan itu terhenti karena kendala infrastruktur, ia berpendapat program itu layak diteruskan.
Minat investor yang kuat dan didorong peluang ekonomi yang lebar membuat pemerintah getol dengan program tersebut. Dukungan yang diberikan, antara lain, diwujudkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menempatkan Merauke sebagai kawasan andalan dengan unggulan di sektor pertanian. Bahkan, program itu telah menjadi bagian dari program Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010.
”Agustus nanti, direncanakan akan diluncurkan mini MIFEE di Merauke,” kata Sekretaris Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke Harmini. (JOS)
06 Agustus 2010

Pengembangan Pangan; Di Balik Gempita MIFEE

Bagi para pengusaha seperti Siswono Yudo Husodo, pemilik PT Bangun Tjipta Sarana, dan Arifin Panigoro, pemilik Medco Group, langkah Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze layak diacungi jempol. Siswono berpendapat, Gluba Gebze mampu mengangkat potensi Merauke dan membuat daerah yang dinilai masih asli itu terbuka terhadap dunia luar. Ket.Gbr:KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO. Anak-anak yang tinggal di muara Sungai Byang, Merauke, belum mengenyam pendidikan dasar. Di kampung mereka hingga saat ini belum ada sekolah dasar.
Bahkan, semangat bupati menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan mereka dukung. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu PT Bangun Tjipta Sarana menancapkan bendera usaha di wilayah itu. Demikian juga dengan Medco. Setidaknya hingga saat ini terdapat 36 perusahaan yang tertarik berinvestasi di wilayah itu.
Jika melintasi Serapu di Distrik Semangga ke arah Kumbe, banyak lahan pertanian dibuka. Beberapa di antaranya merupakan sawah percontohan untuk proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar nabati berskala luas.
Demikian juga di beberapa distrik lain, seperti Kurik dan Salor. Petak-petak sawah percontohan dibuka. Hal itu menampakkan betapa getolnya Pemerintah Kabupaten Merauke mendorong perwujudan program itu. Apalagi, pada Agustus pemerintah pusat berniat meluncurkan desain besar program itu.
Kendala
Meski demikian, tampaknya program itu akan segera menemui kendala. Salah satunya adalah kesiapan warga terlibat aktif dalam program itu. Di Onggari, misalnya, meski warga telah diperkenalkan dengan pola pertanian sawah, mereka belum mampu mandiri mengembangkannya.
Menurut tokoh masyarakat, Onggari Martinus Ndiken (60), pemerintah telah membantu warga membuka 100 hektar lahan yang kemudian dibagikan kepada warga untuk dikerjakan. Namun, menurut Martinus, warga belum mengelola lahan karena tidak yakin akan mampu menggarap. Modal pun menurut Martinus belum tersedia.
Di salah satu desa transmigrasi di Semangga, sebuah distrik di pinggiran Kota Merauke, petani-petani di desa itu juga belum mendengar program pengembangan pertanian berskala luas tersebut.
Bahkan, mereka terkejut ketika mendengar dalam proyek percontohan pengelolaan sawah di Merauke dihasilkan padi tujuh ton per hektar. ”Selama ini kami hanya mampu menghasilkan paling banyak lima ton gabah per hektar,” kata Nurhadi (40), petani asal Brebes, Jawa Tengah, yang sejak tahun 1983 menjadi transmigran di Merauke.
Selama ini ia juga hanya mampu menanami lahannya dengan padi sekali dalam setahun. ”Pasokan air tawar tidak mencukupi,” tutur Nurhadi.
Jika memaksakan diri menanam dua kali dalam setahun, petani harus menyediakan pupuk dalam jumlah besar. Itu menurut dia juga sulit karena, selain modal harus besar, pasokannya pun selalu terbatas.
Minim sarana
Selain itu, sebagaimana dikemukakan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, minimnya daya dukung infrastruktur, seperti jalan dan listrik, membuat para investor mulai menimbang kembali rencana mereka berinvestasi di Merauke.
Namun, pemilik PT Bangun Tjipta Sarana, Siswono Yudo Husodo, tetap optimistis dengan misi perusahaannya di Merauke. Apalagi di Merauke pengembangan pertanian pangan dapat dilakukan dengan mekanisasi tingkat tinggi yang tidak dapat diterapkan di wilayah lain di Indonesia.
Potensi itu menurut dia dapat menekan biaya produksi. Meskipun saat ini kinerja usahanya di Merauke terhenti karena persoalan infrastruktur, pihaknya tetap berminat mengembangkan usaha di wilayah tersebut. ”Untuk sementara, traktor-traktor disimpan di gudang,” tutur Siswono.
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengakui tersedianya infrastruktur yang memadai menjadi salah satu persoalan. Apalagi, tak ada dana khusus dari APBN dan APBD yang disediakan untuk itu.
Sejauh ini, pihaknya telah mengajak para investor turut memikirkan persoalan itu. Memang, pengembangan MIFEE akan jauh lebih cepat, tutur Bayu, jika infrastruktur disediakan pemerintah. Faktanya, pemerintah tampak tidak sanggup menyediakan. Jembatan Sungai Kumbe yang roboh pun hingga saat ini belum dibenahi. Banyak jalan ke wilayah-wilayah yang akan dikembangkan sebagai kawasan sentra produksi pertanian rusak. Jika hujan turun, jalan tanah liat itu sulit melintasi.
Kelestarian lingkungan
Di sisi lain, Menteri Kehutanan juga telah mewanti-wanti agar pengembangan program itu tidak merusak keragaman hayati dan kawasan hutan di wilayah itu. ”Prinsipnya, pembangunan berkelanjutan, ramah lingkungan, dan menjaga betul lingkungan agar tidak terdegradasi,” tutur Menteri.
Ia pantas gelisah jika mengingat kelakuan buruk investor di beberapa tempat yang hanya ingin meraup untung dengan hanya mengambil kayu dari lahan konsesi lalu pergi begitu saja dengan meninggalkan lahan kosong tak terurus.
Di Merauke, deretan lahan seperti itu tampak jelas di kawasan Serapu. Beberapa papan nama perusahaan berdiri tegak di pinggiran lahan yang kosong melompong ditumbuhi semak belukar.
Bagi masyarakat adat Malind-Anim yang menghuni Merauke, sikap-sikap seperti itu menyakitkan hati mereka. Dalam pandangan kosmologis mereka, tanah tidak hanya menjadi sumber hidup, tetapi juga terikat erat dengan identitas diri. Jika ruang kosmologis itu rusak, rusak pula tatanan hidup masyarakat adat Malind-Anim.
Melihat semua persoalan itu, tampaknya pemerintah harus berpikir ulang untuk melanjutkan program tersebut. Meski memiki potensi besar, persiapan dan penguatan sumber daya manusia tidak dapat dilakukan dengan ala kadarnya. (JOS)
06 Agustus 2010

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...