Tuesday, October 19, 2010

Ribuan Pelanggan Telkomsel Ketiban Pulung

Ribuan pelanggan Telkomsel tercatat ketiban pulung karena telah menjadi korban kesalahan penagihan (billing system) pada layanan data 3G Telkomsel Flash.

"Ada 12 ribuan yang kena dan itu paket time based. Bukan unlimited seperti yang dibicarakan, dan hanya Kartu Halo saja," kata Aulia E Marinto, Deputy VP Corporate Secretary Telkomsel, kepada detikINET di Jakarta, Kamis (14/10/2010).

Seperti diketahui, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menerima aduan konsumen bahwa billing system Telkomsel sempat bermasalah. Kesalahan penghitungan terjadi karena tarif kelebihan kuota yang seharusnya Rp 1/kb tapi ditagih Rp 5/kb.

"Kasus ini sudah berlangsung beberapa bulan. Kami sudah memberi tahu ke tim Telkomsel, namun belum ada tindak lanjut," keluh Heru Sutadi, salah satu anggota komite BRTI.

Telkomsel yang selama ini bungkam, akhirnya mengakui telah terjadi kesalahan. Ricardo Indra, GM Corporate Communication Telkomsel mengklaim sudah memulihkan kembali sistim tagihannya dan berjanji akan mengembalikan kerugian kepada pelanggan.

"Kami berterimakasih atas informasi dari pelanggan terkait dengan kelebihan penagihan pelanggan kartu Halo yang berlangganan Telkomsel Flash," ujarnya.

Menurut dia, Telkomsel sudah melakukan pengecekan dan telah menerapkan solusi pada sistim penagihan tersebut. Saat ini, kata Indra, sistem penagihan telah berfungsi secara normal dan penagihan sudah sesuai dengan harga yang ditawarkan.

"Seiring kembali normalnya sistem penagihan, Telkomsel juga melakukan adjustment secara otomatis kepada seluruh pelanggan yang terkena kelebihan penagihan tersebut.  Karena yang kena pelanggan postpaid, maka pengembalian melalui pemotongan tagihan pada periode berikutnya," pungkas Indra.

14 Okt 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/10/14/195109/1465387/328/ribuan-pelanggan-telkomsel-ketiban-pulung/

SMS Spam KTA: Ada 'Mafia' di Belakang SMS Spam?

Pembaca detikINET yang resah mengirimkan keluhannya soal SMS Spam, terutama yang menawarkan Kredit Tanpa Agunan (KTA). Ada yang takut, 'mafia' ikut berperan di belakang ini.

Keluhan pembaca itu diterima detikINET lewat berbagai cara, mulai dari email di redaksi [at] detikinet.com hingga di fitur komentar. Satu pertanyaan serupa yang muncul berkali-kali adalah: "Dari mana pengirim bisa mendapatkan nomor saya?"

"Apa ada mafia penjualan nomor ponsel? Menkominfo pernah membahas/mengatur hal beginian kagak?" ujar seorang pembaca, sebut saja namanya Yati, lewat email, Kamis (29/7/2010).

Pembaca lainnya, Nuraidah, mengatakan pernah 'nekat' menghubungi Customer Service operator. Namun jawabannya, operator tak mampu memblokir pesan itu karena tidak dikirimkan dari nomor singkat.

"Sekali waktu saya juga pernah menghubungi nomor telepon sales yang ada di SMS tersebut dan menanyakan dari mana mereka mendapat database nomor-nomor kami. Dan mendapat jawaban bahwa mereka mengambil nomor dengan cara acak," Nuraidah melanjutkan.

Pembaca detikINET lainnya mencurigai adanya 'permainan' pada data pelanggan kartu kredit. "Biang keladi ini semua adalah data dari asosiasi kartu kredit yang diumbar ke mana-mana," tulis seorang pembaca yang tak mau menyebutkan namanya.

29 Juli 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/07/29/150257/1409479/328/ada-mafia-di-belakang-sms-spam

Turunkan Tarif Interkoneksi Demi Konsumen

Telekomunikasi saat ini sudah bukan lagi barang mewah bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan harga sekitar Rp 200 ribu, Burhan di Kecamatan Beringin, Deli Serdang sudah bisa memperoleh telepon genggam baru yang dijual jadi satu dengan nomor telepon (bundling) dan siap pakai. Belum lagi di kalangan masyarakat kelas menengah atas, kebutuhan komunikasinya tidak saja hanya berupa voice tetapi sudah merambah pada kebutuhan komunikasi data dan video.

Sebenarnya pertumbuhan industri seluler di Indonesia sudah mulai melambat dari sekitar 40% pada tahun 2005-2009 menjadi hanya sekitar 9% pada tahun 2010-2014. Dengan jumlah pemegang nomor atau pemilik telepon seluler (baik aktif maupun tidak) saat sebesar lebih dari 210 juta (baik paska atau pra bayar dan aktif atau tidak), ternyata masih menguntungkan bagi penyelenggara jasa telepon seluler. Buktinya iklan pulsa murah dari 11 operator yang ada, masih terus menghiasi berbagai media di Indonesia.

Dari 11 operator seluler yang ada,  pasar GSM mayoritas dikuasai oleh 3 operator besar yaitu Telkomsel, Indosat dan XL. Sedangkan pasar CDMA dikuasai oleh 2 operator yaitu Bakrie Telecom (BTel/Esia) dan Telkom Indonesia (Flexi). Dengan menguasai lebih dari 90 juta pelanggan pada tahun 2010 ini, Telkomsel menjadi operator dominan di bisnis seluler yang diikuti oleh Indosat (40 juta pelanggan) dan XL (36 juta pelanggan). Sisanya diperebutkan oleh Flexi (16 juta pelanggan), Esia (11,5 juta pelanggan) serta sisa 6  operator lainnya.

Bagi operator bisnis seluler masih menguntungkan. Lalu bagaimana dengan konsumen? Berbagai upaya tengah dilakukan oleh operator dan regulator, termasuk merevisi biaya
interkoneksi agar biaya berkomunikasi lebih murah. Apakah pengaturan biaya interkoneksi juga akan menguntungkan konsumen dan operator dalam berkompetisi? Intinya tarif atau biaya interkoneksi harus diatur agar industri sehat dan konsumen tidak minggat.

Kompetisi Di Industri Seluler

Paska berlakunya Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika No. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 tentang Interkoneksi dan hilangnya biaya roaming membuat tarif telekomunikasi memang terjun bebas mendekati 30% - 40%. Tentunya ini menguntungkan konsumen. Biaya interkoneksi merupakan biaya yang dibebankan akibat adanya saling keterhubungan antar jaringan telekomunikasi yang berbeda. Siapa yang membayar? Tentu konsumen.

Untuk itu harus dihindari operator dominan menjadi penghambat kompetisi dengan
mendorong Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), sebagai regulator bersama
Kementerian Negara Kominfo, menetapkan biaya interkoneksi setinggi mungkin. Alasan lain yang dipakai operator dominan biasanya karena mereka sudah malakukan investasi jaringan yang mahal, maka biaya investasi tersebut harus diperhitungkan dalam penentuan tarif interkoneksi.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa interkoneksi antar penyelenggara jaringan merupakan salah satu syarat terjadinya end to end connectivity seperti yang tertuang
dalam WTO Refference Paper. Untuk itu seharusnya interkoneksi merupakan hak dan kewajiban penyelenggara jaringan, bukan merupakan salah satu cara untuk memperoleh pendapatan maupun untuk melakukan kompetisi. Biaya interkoneksi merupakan patokan tarif yang digunakan supaya kompetisi sesama operator sehat, mengingat tarif interkoneksi merupakan unsur penting pembentukan harga tarif off net.

Semakin rendah biaya interkoneksi, maka operator telekomunikasi non dominan akan semakin mudah berkompetisi dengan operator dominan dengan cara memainkan tarif on net nya (sesama pelanggan di 1 operator). Sulit bagi operator non dominan untuk bersaing dengan operator dominan, jika biaya interkoneksinya masih tetap tinggi. Tarif interkoneksi merupakan salah satu unsur terpenting dalam penetapan tarif retail dan sama sekali di luar kontrol operator. Apapun usaha operator untuk melakukan efisiensi operasinya, tidak akan dapat mempengaruhi tarif interkoneksi yang harus dibayarkan operator tersebut kepada operator lainnya. Dengan kata lain operator tujuan panggilan memegang monopoli atas akses dan harga interkoneksinya. Semakin dia dominan maka akan semakin banyak pelanggan operator non dominan yang menelpon ke pelanggan dominan. Sehingga penerimaan biaya interkoneksi operator dominan akan semakin besar dan operator dominan bisa menjual pulsa lebih murah secara on net pada pelanggannya karena ada kompensasi pendapatan dari biaya interkoneksi (off net) yang lebih besar dari yang diterima oleh operator non dominan.

Sebaliknya karena jumlah pelanggannya lebih kecil, maka operator non dominan akan menerima lebih sedikit pendapatan dari interkoneksi. Akibatnya biaya on net operator
non dominan harus diatas harga on net operator dominan agar tetap untung. Sebagai dampak murahnya tarif on net operator dominan, maka pelanggan dari operator non dominan pasti akan pindah ke operator dominan yang menawarkan tarif on net lebih murah. Jadi yang menjadi alat kompetisi di industri telekomunikasi sebenarnya adalah tarif on net bukan off net atau tarif interkoneksi.

Dengan kondisi industri telekomunikasi seperti di atas, maka operator dominan akan memegang kendali atau monopoli atas akses dan harga interkoneksinya. Kenyataan ini patut diduga menyebabkan operator dominan akan mempertahankan tarif interkoneksi setinggi mungkin agar non dominan mati pelan-pelan. Meskipun saat ini BRTI sedang menggodok perubahan biaya interkoneksi, namun penurunan yang direncanakan hanya sekitar 4% - 6% belum dapat membuat konsumen lebih tersenyum dan kompetisi di industri telekomunikasi adil.

Apa yang Harus Dilakukan Regulator?

Dalam menetapkan tarif interkoneksi, BRTI seharusnya menggunakan azas bahwa interkoneksi merupakan syarat terjadinya end to end connectivity, bukan sarana untuk melakukan kompetisi. Jadi BRTI harus memastikan bahwa penurunan tarif interkoneksi, yang saat ini sedang dibahas, harus seefisien mungkin. Jangan hanya turun 4% - 6%. Minimal harus turun sebesar 10% agar konsumen diuntungkan dan muncul persaingan yang sehat antar operator. Secara global memang telah terjadi trend penurunan tarif interkoneksi.

Dalam menghitung tarif interkoneksi, patut diduga BRTI hanya menggunakan data dari operator dominan. Seharusnya BRTI juga menggunakan data dari beberapa operator non dominan yang ada supaya adil. Sehingga nantinya kebijakan yang dikeluarkan oleh BRTI berguna buat semua operator dan konsumen.

Selain persoalan biaya interkoneksi, persaingan di industri telekomunikasi akan semakin sehat jika jumlah operator hanya sekitar 3-4 saja tidak 11 seperti saat ini. Konsumen juga berharap selain ada penurunan biaya interkoneksi, kualitas sambungan juga harus meningkat. Salam.

Penulis: Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. (vit/vit)
18 Okt 2010
Source:http://www.detiknews.com/read/2010/10/18/084700/1467432/103/turunkan-tarif-interkoneksi-demi-konsumen
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
comment: Untuk menurunkan tarif bisa dengan membuat nomer telpon itu adalah milik individual bukan milik perusahaan penyelenggara.(portable number: bisa gonta ganti operator dengan nomor yg sama. ). Di amerika sudah dijalankan. Pengguna telpon bisa gonta ganti provider tanpa harus ganti nomer. Saya pernah baca disalah satu tabloid HP, kalo di indonesia sudah ada rencana...tapi ya biasalah di indonesia, semua tinggal rencana. Provider2 besar pasti sudah lobby untuk katakan tidak pada penerapan teknologi tersebut. Sekali lagi ya korbannya konsumer lah.

BI Tutup 500 Merchant 'Gestun' Kartu Kredit

Bank Indonesia (BI) bekerjasama dengan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) telah menutup 500 merchant karena melakukan praktek Gesek Tunai (Gestun) kartu kredit yang dilarang sesuai dengan ketentuan bank sentral.

Demikian disampaikan oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Difi Ahmad Johansyah ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Selasa (19/10/2010).

"Sehubungan dengan adanya praktek Gestun (gesek tunai), BI dan AKKI terus memantau fenomena yang ada. Dalam hal ini  AKKI yang didukung oleh 19 anggotanya telah menutup 500 merchant Gestun," ujar Difi.

Menurut Difi, BI dan AKKI berkomitmen untuk melanjutkan menutup merchant-merchant jenis itu agar industi kartu kredit tetap sehat dan merchant berperilaku atau bertindak dapat sesuai PKS (Perjanjian Kerja Sama) dengan bank-nya.

"BI-AKKI mengimbau agar masyarakat menghubungi penerbit kartu secara langsung jika menemui kesulitan pembayaran dan menemukan praktek merchant Gestun," ungkapnya.

Dihubungi secara terpisah, Board of Executive AKKI Dodit W. Probojakti mengatakan praktek Gestun marak terjadi sejak setahun belakangan ini. Praktek tersebut telah menyebabkan kenaikan rasio kredit bermasalah (NPL).

"Hal ini menyebabkan tingkat rasio kredit bermasalah (NPL) kartu kredit meningkat," ujar Dodit ketika berbincang melalui sambungan telepon.

Dodit menceritakan, dari sekian banyak merchant yang ditutup tersebut sebagian besar merupakan toko emas. Menurutnya banyak toko emas yang melakukan praktek Gestun di berbagai daerah.

"Bahkan saat ini, toko elektronik penjual telepon genggam juga sudah banyak yang melakukan transaksi terlarang ini," ungkapnya.

Untuk diketahui, PBI No.11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) disebutkan bahwa Acquirer (bank penerbit) wajib menghentikan kerja sama dengan merchant atau pedagang yang merugikan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau Pemegang Kartu, antara lain Pedagang diketahui telah melakukan kerjasama dengan pelaku kejahatan (fraudster), memproses penarikan atau gesek tunai (cash withdrawal transaction) Kartu Kredit, atau memproses tambahan biaya transaksi (surcharge).

Selain praktek gesek tunai (Gestun) ilegal oleh merchant-merchant, praktek yang marak kini adalah pemalsuan identitas nasabah kartu kredit. Semenjak diberlakukannya chip dalam kartu kredit, fraud dalam bentuk pemalsuan identitas nasabah justru meningkat namun pemalsuan kartu kredit turun drastis.
(dru/qom)

19 Okt 2010
Source:http://www.detikfinance.com/read/2010/10/19/074816/1468442/5/praktek-gestun-kartu-kredit-mulai-resahkan-perbankan?f9911023 

Praktek 'Gestun' Kartu Kredit Mulai Resahkan Perbankan

Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) kini dipusingkan oleh meningkatnya penyalahgunaan kartu kredit yang menggunakan cara klasik. Bank sentral dan AKKI mencatat dalam setahun terakhir banyak nasabah kartu kredit yang bekerjasama dengan merchant untuk menarik uang tunai.

Board of Executive AKKI Dodit W. Probojakti mengungkapkan pada dasarnya kartu kredit bisa digunakan untuk menarik uang tunai melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM).

"Kartu kredit digunakan untuk belanja dan bisa juga untuk menarik uang tunai melalui ATM. Namun biasanya opsi yang kedua yakni menarik uang tunai melalui ATM dilakukan untuk keadaan darurat atau emergency untuk itu bunganya lebih mahal hingga 4%," ujarnya ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Selasa (19/10/2010).

Ia menceritakan, saat ini banyak nasabah yang bekerjasama dengan merchant (penyedia jasa layanan kartu kredit) di berbagai toko untuk menarik dana tunai.

"Dengan modus seakan-akan membeli barang yang ternyata semu. Jadi nantinya tercatat dalam mesin pembaca kartu kredit (EDC) untuk pembelian barang ritel padahal tidak," jelasnya.

"Karena bunga yang didapatkan lebih rendah maka merchant akan memberikan dana cash atau tunai kepada pengguna kartu kredit. Nantinya merchant akan meminta ganti kepada bank yang mengeluarkan kartu kredit tersebut," imbuh Dodit.

Padahal lanjut Dodit, tidak ada transaksi barang apapun dalam kegiatan tersebut. "Istilah ini biasa disebut Gestun atau singkatan dari Gesek Tunai," kata Dodit.

Nasabah nantinya menurut Dodit akan mendapatkan bunga yang rendah dibandingkan dengan melalui ATM dan merchant akan mendapatkan keuntungan berupa dana cash yang dilebihkan dalam transaksi semu Gestun tersebut.

"Keuntungannya, di satu sisi volume penjualan (sales volume) naik, merchant mendapat fee, nasabah dapat dana tunai secara cepat dan mudah," jelas Dodit.

"Dan nasabah bisa melakukan ini sebagai upaya untuk gali lubang tutup lubang. Jika ini terus berkembang nantinya akan menjadi bom waktu yang
menyebabkan tingkat rasio kredit bermasalah (NPL) kartu kredit membengkak," tuturnya.

Hal ini, sambung Dodit akan merugikan bank dalam jangka waktu yang lama karena meningkatnya rasio kredit bermasalah (NPL) itu.

Sebenarnya, lanjut Dodit, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebuah merchant yang ditunjuk oleh bank tidak dibolehkan untuk melakukan transaksi berupa penarikan dana tunai.

Sebagaimana diketahui, PBI No.11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) disebutkan bahwa Acquirer (bank penerbit) wajib menghentikan kerja sama dengan merchant atau pedagang yang merugikan Prinsipal, Penerbit, Acquirer dan/atau Pemegang Kartu, antara lain Pedagang diketahui telah melakukan kerjasama dengan pelaku kejahatan (fraudster), memproses penarikan atau gesek tunai (cash withdrawal transaction) Kartu Kredit, atau memproses tambahan biaya transaksi (surcharge).

"Maka dari itu AKKI bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) untuk menghimbau kepada bank penyedia jasa kartu kredit untuk mendata kembali merchant yang bekerjasama dan menghimbau masyarakat untuk melaporkan kepada Bank Indonesia, AKKI atau kepada bank-nya masing-masing jika kedapatan adanya Gestun," papar Dodit.

BI dan AKKI berharap dengan adanya kesadaran masyarakat maka modus Gestun dapat teratasi disamping upaya pencegahan dengan mengecek langsung atau sidak antara BI, AKKI dan bank penyelenggara.

19 Okt 2010
Source:http://www.detikfinance.com/read/2010/10/19/074816/1468442/5/praktek-gestun-kartu-kredit-mulai-resahkan-perbankan?f9911023

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...