Monday, November 22, 2010

Survey IDM terhadap churn rate di Indonesia

Kartu hangus di Indonesia bisa mencapai 26% dalam setahun, sementara yang terjadi di ASEAN rata-ratanya mencapai 15%. Tingginya churn rate, dipacu oleh murahnya harga pulsa kartu perdana bila dibandingkan dengan pulsa isi ulang. Angka ini bisa ditekan bila operator mau menjual kartu perdana dengan harga lebih tinggi dari isi pulsanya atau menjual kartu perdana tanpa pulsa ke toko.

Berikut adalah kutipan hasil survey IDM terhadap churn rate yang terjadi di dunia telekomunikasi Indonesia dari indemon.bloghi.com.

Tingkat Kepuasan Berdasarkan Tariff dan Performance

Pada awal bulan Juli 2007 ini, Indonesia Development Monitoring Research telah melakukan penelitian Kepuasan Pelanggan pengguna telepon selular. Survei dilakukan di 33 provinsi dengan melibatkan 1227 responden yang terbagi dalam dua kategori, pelanggan pra-bayar dan pasca-bayar.

Dalam survey ini ada dua dimensi pengukuran yang dinilai yaitu Performance dan Tariff. Masing-masing dimensi terbagi lagi dalam beberapa atribut. Pada dimensi performance ada 4 atribut yang dinilai, atribut itu adalah No Service, Dropped Call, Static, dan Circuit Full

Sedangkan pada dimensi Tariff ada 3 atribut yang dinilai yaitu SMS tariff, voice call tariff, dan Starter-pack tariff.

Metodologi

Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia di propinsi sebagai penguna jasa telekomunikasi seluler yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.

Dalam survei ini jumlah sampel ditetapkan sebanyak 1227 orang. Dengan metode multistage random sampling, dan memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sebesar +/- 3.7% pada tingkat kepercayaan 97 persen. Sampel berasal dari 60 Kota yang dilayani oleh operator seluler yang terdistribusi secara proporsional.

Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu kota (20 responden).

Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 17% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.

Judul Penelitian

Mengukur tingkat kepuasan pengguna telepon seluler terhadap tingkat tariff operator seluler dalam persaingan di sektor telekomunikasi seluler di Indonesia

Keterangan:

Tsel : Telkomsel

Isat : Indosat

Xlcom : Excelcomindo Pratama

Hcp 3 : Hutchison CP Telecommunications

Pendapat Responden mengenai tingkat kepuasan terhadap tariff SMS dari setiap operator seluler jenis Kartu Pra bayar

Berdasarkan hasil survey, Reponden masing-masing produk yang telah menjawab kepuasan atas tarif SMS jenis kartu pra bayar saat ini.
  • Reponden pengguna produk Telkomsel yaitu 71% puas 
  • Reponden pengguna produk Indosat yaitu 64% puas
  • Reponden pengguna produk XL yaitu 54% puas
  • Reponden pengguna produk 3 yaitu 38% puas
Pendapat Responden mengenai tingkat kepuasan terhadap tariff SMS dari setiap operator seluler jenis Kartu Pasca bayar

Berdasarkan hasil survey, Reponden masing-masing produk yang telah menjawab kepuasan atas tarif SMS jenis kartu pasca bayar saat ini.
  • Reponden pengguna produk Telkomsel yaitu 78% puas 
  • Reponden pengguna produk Indosat yaitu 75% puas
  • Reponden pengguna produk XL yaitu 69% puas
  • Reponden pengguna produk 3 yaitu 11,5% puas
Pendapat Responden mengenai ada tidaknya kerugian yang dilakukan terhadap Tariff SMS maupun Voice Call dari setiap operator seluler jenis Kartu Pra bayar

Berdasarkan hasil survey, Reponden masing-masing produk yang telah menjawab kerugian atas tarif SMS dan voice call saat ini.
  • Reponden pengguna produk Telkomsel yaitu 91% merasa tidak dirugikan 
  • Reponden pengguna produk Telkomsel yaitu 9% merasa dirugikan 
  • Reponden pengguna produk Indosat yaitu 82% merasa tidak dirugikan
  • Reponden pengguna produk Indosat yaitu 18% merasa dirugikan
  • Reponden pengguna produk XL yaitu 80% merasa tidak dirugikan
  • Reponden pengguna produk XL yaitu 20% merasa dirugikan
  • Reponden pengguna produk 3yaitu 73% merasa tidak dirugikan
  • Reponden pengguna produk 3 yaitu 27% merasa dirugikan
Pendapat Responden mengenai Kewajaran terhadap Starterpack tariff dari setiap operator seluler pada jenis kartu Pra bayar.

Berdasarkan hasil survey, Reponden masing-masing produk yang telah menjawab kewajaran atas tarif starterpack saat ini.
  • Reponden pengguna produk Telkomsel yaitu 77% merasa wajar 
  • Reponden pengguna produk Telkomsel yaitu 23% merasa tidak wajar
  • Reponden pengguna produk Indosat yaitu 81% merasa wajar
  • Reponden pengguna produk Indosat yaitu 19% merasa tidak wajar
  • Reponden pengguna produk XL yaitu 71% merasa wajar
  • Reponden pengguna produk XL yaitu 15% merasa tidak wajar
Selisih 14% merupakan Netral/Biasa saja
  • Reponden pengguna produk 3yaitu 90% merasa wajar 
  • Reponden pengguna produk 3 yaitu 10% merasa tidak wajar
Pendapat Responden mengenai Perbandingan tingkat Tariff terhadap Performance layanan dari setiap operator

Berdasarkan hasil survey, Reponden masing-masing produk yang telah menjawab perbandingan tingkat tarif terhadap performance
  • Reponden pengguna produk Telkomsel yaitu 75% merasa tidak mahal 
  • Reponden pengguna produk Telkomsel yaitu 20% merasa mahal
Selisih 5% merasa netral/biasa saja
  • Reponden pengguna produk Indosat yaitu 80% merasa tidak mahal 
  •  Reponden pengguna produk Indosat yaitu 18% merasa mahal
Selisih 2% merasa netral/biasa saja
  • Reponden pengguna produk XL yaitu 70% merasa tidak mahal 
  • Reponden pengguna produk XL yaitu 14% merasa mahal
Selisih 16% merasa netral/biasa saja
  • Reponden pengguna produk 3yaitu 90% merasa tidak mahal 
  • Reponden pengguna produk 3 yaitu 10% merasa mahal
Pendapat Responden mengenai tingkat Kepuasan terhadap Performance dari setiap operator seluler jenis Kartu Pasca bayar

Berdasarkan hasil survey, Reponden masing-masing produk yang telah menjawab kepuasan atas performance jenis kartu pasca bayar saat ini.
  • Reponden pengguna produk Telkomsel yaitu 79% puas 
  • Reponden pengguna produk Indosat yaitu 78% puas
  • Reponden pengguna produk XL yaitu 51% puas
  • Reponden pengguna produk 3 yaitu 12% puas
Pendapat Responden mengenai tingkat Kepuasan terhadap Performance dari setiap operator seluler jenis Kartu Pra bayar

Berdasarkan hasil survey, Reponden masing-masing produk yang telah menjawab kepuasan atas performance jenis kartu pra bayar saat ini.
  • Reponden pengguna produk Telkomsel yaitu 71% puas 
  • Reponden pengguna produk Indosat yaitu 63% puas
  • Reponden pengguna produk XL yaitu 52% puas
  • Reponden pengguna produk 3 yaitu 39% puas


Kesimpulan

1. Pasar selular Indomesia sangatlah atraktif. Dalam 5 tahun ke depan bisnis telepon selular di Indonesia masih akan terus berjaya. Menurut prediksi Indonesia Development Monitoring Research , jumlah pelanggan telepon diperkirakan akan mencapai 80,7 juta. Puncak pertumbuhan terjadi pada 2006 ke 2007, yakni dari 67,2 juta ke 72,7 juta pelanggan. Pada tahun 2008, jumlah pelanggan selular diperkirakan bakal menjadi 80 ,7juta. Fakta ini menunjukan atraktifnya bisnis selular di Indonesia, potensi pasarnya masih sangat besar.

2. Berdasarkan hasil survey diatas, responden yang secara umum dapat disimpulkan bahwa responden yng merupakan konsumen dari 4 perusahaan telekomunikasi Indonesia yaitu Telkomsel, Indosat, Excelcomindo Pratama, Hutchison CP Telecommunications (3) merasa puas atas layanan dan tarif yang dirasakan selama ini masih dalam kewajaran dan cenderung tariff yang disajikan para operator tidak mahal dan dari pendapat responden ,responden tidak ada yang merasa dirugikan dengan tariff yang dikenakan para operator, ini dapat dibuktikan terutama pada penguna jasa telekomunikasi seluler prabayar.

3. Churn Rate dan Tingkat Kepuasan Pelanggan

Persaingan bisnis telekomunikasi sangatlah ketat. Para operator berlomba-lomba untuk menambah jumlah customer basenya. Dalam enam bulan terakhir perang penjualan Kartu Perdana Murah yang dilakukan para operator cukup marak. Kondisi ini mendorong peningkatan churn rate (kartu hangus), akibatnya kartu perdana kini menjadi semacam Calling Card, hanya digunakan ketika pulsa masih ada dan bila sudah tidak ada pulsanya, kartu akan dibuang kemudian beralih ke kartu lain. Churn rate di Indonesia bisa mencapai 26% dalam setahun, sementara yang terjadi di Asean rata-ratanya mencapai 15%.Tingginya churn rate, dipacu oleh murahnya harga pulsa kartu perdana bila dibandingkan dengan pulsa isi ulang. Angka ini sebetulnya bisa ditekan bila operator mau menjual kartu perdana dengan harga lebih tinggi dari isi pulsanya atau menjual kartu perdana tanpa pulsa ke toko. Akan tetapi tuntutan persaingan menyebabkan mereka terpaksa tidak melakukan hal semacam itu.

14 Agt 2008
Source:http://persaingantelekomunikasi.wordpress.com/2009/04/27/survey-idm-terhadap-churn-rate-di-indonesia/

Hasnul, Memerdekakan Telekomunikasi

Perang belum usai. Inovasi, strategi, hingga aksi ”sikut menyikut” bergantian diluncurkan oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi. Tarif pun ditekan serendah-rendahnya; ditandai iklan-iklan yang merasuki. Namun tampaknya, soal ”perang” ini tak ada keberatan karena tarif semakin murah.

Empat tahun silam, tidak banyak orang berani menelepon interlokal misalnya dari Jakarta ke Padang. Tidak sampai satu menit, mungkin biayanya Rp 50.000. Bila sering ke wartel, terlihat jelas di layar monitor, ongkos pembayaran percakapan yang terkuras cepat seiring dengan bertambahnya waktu.

Kini, komunikasi lebih mudah sekaligus murah. Baik tarif telepon, pesan singkat, maupun data juga makin murah. Tanpa disadari, dibanding empat tahun silam, tagihan telepon tinggal 30-50 persennya. Penghematan biaya yang dapat dialihkan membeli keperluan lainnya.

Si penabuh genderang perang itu adalah Hasnul Suhaimi, yang sejak September 2006 menjabat Chief Executive Officer PT XL Axiata, Tbk. Sikap tak pernah berpuas diri serta strateginya untuk terus mereposisi organisasi telah memicu perang itu.

”Data percakapan di India tahun 2006 membuka mata saya. Saya terkejut sebab di sana tiap orang rata-rata berbicara 500 menit per bulan. Sementara di XL saat itu tiap orang hanya 43 menit per bulan. Jauh bedanya,” kenang Hasnul.

Tim dibentuk. Seorang perempuan yang bukan manajer memimpin tim beranggota 14 orang. ”Saya tunjuk dia sebagai ketua tim, mengepalai beberapa manajer karena dia menguasai materi yang didapatnya di lapangan. No problem, tak ada masalah dengan struktural perusahaan,” kata Hasnul yang ditemui akhir Agustus 2010.

Dua bulan tim bekerja, keluarlah angka tarif Rp 1 untuk percakapan satu detik.

Dunia telekomunikasi Indonesia gempar. XL terus melaju. Januari 2008, Excelcomindo malah melansir tarif Rp 0,1 per detik. Kini di XL, rata-rata percakapan per orang sudah 500 menit per bulan. Sementara operator pesaingnya 300 menit per orang per bulan.

Jejak keberhasilan strategi XL yakni adanya lonjakan pelanggan. Tahun 2006, hanya 9,5 juta pelanggan yang tertarik bergabung. Pada akhir tahun 2007 menjadi 10,2 juta pelanggan. Sementara hingga semester I tahun 2010, jumlah pelanggan XL telah 35,2 juta orang.

Reorganisasi

Diakui Hasnul, saat dia mulai berkarya di XL, organisasi sudah rapi bahkan terlalu rapi. Masalahnya, dalam dunia yang berubah cepat, organisasi yang terlalu rapi malah menyusahkan.

”Marketing misalnya, tak boleh tertata rapi. Harus dinamis. Masak pernah ada marketing saya yang tidak tahu tarif Telkomsel dan Indosat. Ya saya minta dia ke lapangan lagi,” kata Hasnul. ”Bagaimana XL meningkatkan diri bila tak tahu posisinya,” ujar Hasnul.

Namun dia meluruskan, dalam sebuah perusahaan tetap harus ada organisasi yang ”rapi”, seperti divisi pembangunan dan operasional.

XL bertransformasi di zaman Hasnul. Dimulai dari hal sederhana, seperti diubahnya tata letak (lay-out) kantor. Lantas, mutasi karyawan dari bagian sumber daya manusia ke jaringan (network). Kerja tim juga ditanamkan dalam keseharian kerja karyawan sebagai strategi utama melawan kompetitor.

Struktur yang boleh dibuat lentur langsung diobrak-abrik. Birokrasi dipangkas. Direktur keuangan dibolehkan mendatangi marketing, untuk menanyakan langsung penyebab berkurangnya penjualan. ”Nah, orang marketing juga bisa protes langsung. Marketing misalnya bisa bilang tak cukup ada budget sehingga pemasaran kurang. Budget ditambah, dan penjualan naik,” ujar Hasnul.

Alasan serupa mendasari mutasi orang jaringan pada divisi sales. ”Ini supaya orang jaringan mengerti, bila pekerjaan mereka buruk, bila jaringan lemah, maka bagian sales akan susah jualan produk,” kata Hasnul.

Rotasi akhirnya menjadi prasyarat pemimpin di XL. Untuk menjadi seorang manajer umum, seorang pegawai diharuskan telah bekerja di dua direktorat. Bila terlalu lama di posisinya, pegawai itu sangat hebat di bidangnya, tetapi tak mengerti hal lain. Atau, dapat kehilangan daya dobraknya lagi.

Terobosan

Hasnul juga memimpin XL dalam merancang dan melontarkan terobosan-terobosan. Kebijakan pemerintah per Maret 2008, tentang penggunaan menara bersama, telah didahului Excelcomindo dengan menyewakan menaranya untuk pelanggan Axis di Sumatera sejak Desember 2007.

Langkah XL untuk menyewakan menara pada masa itu sempat dianggap gila. ”Di sebuah ruang diskusi, saya juga pernah menantang. Apa Pertamina berani di tiap SPBU mereka, selain menjual bensin Pertamina, juga menjual Shell, Total, atau Petronas. Analogi itu kan sama langkah kami menyewakan menara XL untuk operator lain,” kata Hasnul sembari terkekeh.

Tujuh puluh persen manajer Excelcomindo, yang dimintai pendapatnya oleh Hasnul, ketika ide itu digulirkan, menolak rencana awal penyewaan menara. Para manajer itu mengkhawatirkan munculnya ”perang terbuka”. Bagaimana mungkin, memberi amunisi pesaing?

Menara, base transfer tranceiver-ringkasnya jaringan telekomunikasi, merupakan senjata pamungkas bagi sebuah perusahaan telekomunikasi untuk memenangi persaingan. Barang siapa memiliki jaringan yang luas, akan mampu memenangi hati calon pelanggan.

”Tetapi saya tantang bagian penjualan, berani tidak bersaing meski menara juga dipakai Axis? Mereka bilang siap, tetapi sebenarnya mau tak mau mereka pasti bilang siap ke saya,” kata Hasnul sambil tertawa. Sejurus kemudian, dia menekankan motivasi tinggi pun diberikan ke bagian penjualan.

Tenaga pemasaran Excelcomindo memang harus bekerja ekstra keras setelah salah satu keunggulan mereka dilepas ke pesaing. Di lapangan, kerja divisi pemasaran memang sudah ekstra keras. Tak sedikit terjadi perusakan spanduk antaroperator hanya untuk sedikit lebih unggul dari pesaing.

Terlepas dari segala hambatan, alhasil, tantangan yang disodorkan Hasnul ke internal perusahaan membuahkan hasil. Pelanggan baru tetap diraih Excelcomindo karena penjualan yang makin tangguh. Di sisi lain, kantong XL makin bertambah berkat penyewaan 7.000-8.000 unit menara tahun 2010.

Kini operator-operator besar telah menjangkau lebih dari 90 persen populasi disertai tarif murah. Maka, kini era kualitas layanan harus menjadi fokus utama. Hal ini pula yang sedang dicoba XL untuk menyiapkan diri di masa mendatang, tentu dengan tetap memanfaatkan optimalisasi kerja tim.

Saat duduk di tampuk pimpinan Excelcomindo, mungkin Hasnul Suhaimi bertindak luas dan simpel seturut nalurinya untuk mereorganisasi struktur manajemen. Namun, tak disadarinya, reorganisasi itu telah memerdekakan telekomunikasi Indonesia dengan tarifnya yang murah.

08 Okt 2010
Source:http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/10/08/09100020/Hasnul..Memerdekakan.Telekomunikasi

Sunday, November 21, 2010

Dimana Frekuensi LTE?

wimax vs lte
Euphoria 4G
Rame-rame orang membicarakan jaringan telekomunikasi Fourth Generation (4G) ujung-ujungnya terhenti pada isu spektrum yang bisa dialokasikan. Seperti diketahui pada awalnya ada tiga kandidat standar teknologi 4G yaitu Ultra Mobile Broadband (UMB), WiMAX dan Long Term Evolution (LTE). Sejak Ultra Mobile Broadband (UMB) yang diinisiasi Qualcomm di-halt pada November 2008 lalu, tinggal dua kandidat 4G yang tersisa, yaitu WiMAX dan LTE. Dua kubu ini masih terus bersaing untuk merebut pasar, pendukung, operator dan regulasi. Untuk kasus di Indonesia, keduanya bakal tidak mudah dapat diimplementasikan dengan baik karena alokasi frekuensinya yang minim dan satunya lagi belum ditetapkan pemerintah.
Baik LTE maupun WiMAX menggunakan akses ganda yang relatif baru dibanding yang digunakan pada teknologi sebelumnya seperti TDMA dan CDMA. Teknologi baru tersebut yaitu OFDMA. Teknologi ini memanfaatkan akses ganda berdasarkan carrier frekuensi yang berpindah-pindah dan saling ortogonal satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu untuk menghasilkan performansi yang baik dan mudah dalam perencanaan radionya dibutuhkan bandwidth frekuensi yang lebih lebar. Menurut berbagai analisa setidaknya dibutuhkan 20 MHz per operator untuk teknologi OFDMA. Sedangkan spektrum WiMAX di Indonesia yang IEEE 802.16d hanya diberikan 15 MHz per blok. Maka mengakuisisi frekuensi untuk penggelaran teknologi 4G akan sangat mahal karena butuh bandwidth yang lebar.
Kasus Amerika Serikat
Verizon Wireless, salah satu operator terbesar di Amerika Serikat telah memastikan akan bergerak menuju 4G dengan Long Term Evolution (LTE). Operator tersebut telah memperoleh hak penggunaan blok spektrum di 700 MHz. Harga spektrum tersebut tidaklah murah yaitu sekitar $9,36 milyar atau 41,54 trilyun rupiah (dengan kurs IDR terhadap USD 10490).  Menurut President Verizon, penggelaran LTE akan dilaksanakan pada semester kedua 2010. Cakupan layanannya akan melingkupi 20 sampai dengan 30 wilayah negara bagian di Amerika Serikat yang diperkirakan bakal tercapai pada akhir 2013. Dari sisi pelanggan Verizon akan menggandeng terminal LG yang menggunakan OS Android.
Berbeda dengan Verizon, Sprint yang mendapatkan frekuensi di 2,5 GHz bersiap menggelar layanan WiMAX dengan merk Xohm. Belum diketahui kapan dilaksanakan penggelaran akan dilakukan. Bila jadi bergabung dengan Clearwire mereka akan mendapatkan cakupan nasional dengan total spektrum sebesar 120 MHz. Ini akan memungkinkan pengguna dapat mengunduh data antara 6 sampai dengan 15 Mbps.
AT&T yang juga mendapatkan spektrum di 700 MHz yang berencana menggelar LTE pada 2011. Hingga saat ini AT&T masih memasarkan layanan pita lebar melalui teknologi HSPA dan HSPA+ dan tidak terlalu buru-buru melompat ke LTE. Sementara ini dijanjikan LTE akan mampu membawa data dengan kecepatan 170 Mbps, sedangkan dengan HSPA data yang mampu dibawa adalah 20 Mbps.
Dimana frekuensi LTE?
Terus di frekuensi yang mana spektrum LTE di Indonesia akan dialokasikan? Kalau kita lihat peta pemanfaatan frekuensi di Indonesia hampir semua spektrum yang digunakan untuk telekomunikasi telah digunakan. Berikut ini adalah yang saya ingat:
  • frekuensi 450 MHz ditempati sistem CDMA
  • frekuensi 800 MHz digunakan sistem CDMA
  • frekuensi 900 MHz digunakan sistem GSM
  • frekuensi 1800 MHz digunakan sistem GSM
  • frekuensi 1900 MHz digunakan sistem CDMA dan 3G
  • frekuensi 2,3 GHz untuk sistem BWA,
  • frekuensi 2,4 GHz untuk ISM,
  • frekuensi 2,5 GHZ untuk BWA,
  • frekuensi 3,3 GHz di BWA dan
  • frekuensi 3,4 – 3,7 GHz untuk sistem satelit.
Mungkin frekuensi 700 MHz masih dapat dialokasikan untuk LTE. Tapi di sana masih ada pengguna lain yaitu operator televisi siaran.
Penulis: Hazim Ahmadi

Inilah Alokasi Frekuensi Operator GSM Indonesia

Meskipun tiap operator GSM telah memiliki alokasi frekuensi masing-masing, masih banyak dijumpai kasus dimana operator menggunakan frekuensi yang bukan haknya.
Ini masalah serius; sebab bagi operator, frekuensi adalah sarana poduksi seperti halnya tanah bagi petani. Bagi seorang petani, output produksi dan dengan demikian penghasilannya akan ditentukan oleh seberapa luas tanah yang dimilikinya –dengan asumsi pengolahan lahan produksi tersebut menggunakan metode yang sama.
Demikian juga dengan operator: semakin lebar alokasi frekuensi yang dimikinya semakin tinggi potensi jumlah pelanggan yang dapat dilayaninya -dan dengan demikian revenue dari operator tersebut.
Oleh karena itu, pemakaian frekuensi milik operator tertentu oleh operator lain akan mengurangi potensi revenue yang dapat dihasilkan oleh operator pemilik. Maka, masalah ini tidak bisa ditoleransi dan wajar apabila setiap operator akan mengawasi penggunaannya secara ketat.
Namun, di lapangan, operator-operator sering kebobolan: operator-operator ini baru menyadari, setelah sekian waktu, frekuensi miliknya telah dipakai operator lain. Di pihak lain, operator yang memakai frekuensi yang bukan miliknya merasa tidak melakukan pelanggaran.
Kerap terjadi juga, katakanlah operator A, melayangkan surat pemberitahuan kepada operator B mengenai frekuensi miliknya yang dipakai oleh operator B tanpa menyadari bahwa sang operator A itu sendiri memakai frekuensi milik operator B.
Frekuensi-frekuensi yang bermasalah ini biasanya frekuensi-frekuensi pada batas spektrum masing-masing operator, sama halnya area perbatasan suatu negara potensial menjadi sumber konflik teritorial antar negara.
Akar Masalah
Beberapa faktor penyebab masalah yang dapat disebutkan di sini antara lain: kurangnya atau tidak mudahnya mengakses informasi resmi dari Regulator, identifikasi kanal frekuensi yang tidak seragam dan kurangnya komunikasi dan koordinasi lintas operator dan juga antara Regulator dan operator.
Pertama, kurangnya atau tidak mudahnya mengakses informasi resmi dari Regulator berkenaan alokasi frekuensi per operator. Jika informasi resmi tersedia, para operator, dalam hal ini teknisi di lapangan, akan dengan mudah melakukan pengecekan alokasi frekuensi per operator; dengan demikian, pemakaian frekuensi secara ilegal, dengan alasan apapun, dapat dicegah atau dengan mudah diidentifikasi.
Contohnya, ketika meriset tulisan ini tidak ada informasi apapun mengenai alokasi resmi frekuensi per operator GSM yang didapatkan dari situs web Regulator. Dengan mesin pencari Google, juga sama nihilnya yang menunjukkan bahwa tidak ada satu pun informasi yang sama disediakan oleh operator atau para praktisi GSM itu sendiri.
Kedua, identifikasi kanal frekuensi yang tidak seragam. Seperti diketahui, satuan frekuensi adalah Hertz; oleh karena alokasi frekuensi GSM berada pada kisaran miliaran Hertz maka alokasinya sering didahului dengan prefiks Mega (seperseribu miliar) sehingga menjadi Mega Hertz, disingkat MHz. Misalnya, alokasi frekuensi untuk GSM900 memaksudkan alokasi frekuensi pada spektrum 900-an MHz dan GSM1800 memaksudkan alokasi frekuensi pada spektrum 1800-an MHz.
Pada prakteknya, para teknisi GSM di lapangan bekerja tidak dengan menggunakan alokasi frekuensi dalam satuan MHz tapi dengan bilangan bulat positif yang disebut sebagai Absolute Radio Frequency Channel Number atau disingkat ARFCN. Ini merupakan lingua franca bagi para praktisi GSM. Dengan menggunakan ARFCN, frekuensi operator mudah diingat dan lebih praktis, terutama ketika menggunakan peralatan ukur. Masih lebih gampang misalnya menyebutkan alokasi frekuensi untuk Operator A dari kanal 51 sampai 87 dibandingkan dari 945.2 MHz sampai 952.4 MHz; atau memasukkan angka 51 ke dalam peralatan dibandingkan harus mengingat dan memasukkan 945.2 MHz.
Permasalahan bertambah apabila pihak Regulator hanya mengalokasikan frekuensi dalam satuan MHz tapi tidak dalam nomor kanal ARFCN padanannya sehingga para teknisi harus melakukan mapping frekuensi sendiri dari MHz ke ARFCN yang bisa saja berbeda dalam hal metode per-mapping-an dengan operator lain sehingga menghasilkan alokasi ARFCN yang berbeda pula terutama untuk kanal-kanal ARFCN pada frekuensi batas.
Belakangan dalam artikel ini akan dibahas langkah-langkah dalam melakukan mapping frekuensi dari MHz ke nomor kanal ARFCN.
Alokasi Frekuensi Operator GSM di Indonesia
Alokasi frekuensi GSM yang dipakai di Indonesia sama dengan yang dipakai di sebagian besar dunia terutama Eropa yaitu pada pita 900 MHz, yang dikenal sebagai GSM900, dan pada pita 1800 MHz, yang dikenal sebagai GSM1800 atau DCS (Digital Communication System), seperti yang ditunjukkan di Gambar 1 berikut:
Alokasi frekuensi GSM yang dipakai di sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia
Gambar 1: Alokasi frekuensi GSM yang dipakai di sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia
Frekuensi downlink adalah frekuensi yang dipancarkan oleh BTS-BTS untuk berkomunikasi dengan handphone-handphone pelanggan dan juga menghasilkan apa yang disebut sebagai coverage footprint operator sedangkan frekuensi uplink adalah frekuensi yang digunakan oleh handphone-handphone pelanggan agar bisa terhubung ke jaringan.
Untuk uplink, alokasi frekuensi GSM900 dari 890 MHz sampai 915 MHz sedangkan untuk downlink dari 935 sampai 960 MHz. Perhatikan, dalam frekuensi MHz, baik uplink maupun downlink memiliki alokasi frekuensi yang berbeda, namun dengan penomoran kanal ARFCN keduanya sama karena kedua-duanya adalah pasangan kanal dupleks yang dipisahkan selebar 45 MHz.
Lebar pita spektrum GSM900 sendiri adalah 25 MHz dan penomoran kanal ARFCN-nya dimulai dari 0 dan seterusnya; dengan lebar pita per kanal GSM adalah 200 kHz (0.2 MHz) maka jumlah total kanal untuk GSM900 adalah 25/0.2 = 125 kanal. Namun tidak semua kanal ini dapat dipakai: ada dua kanal yang harus dikorbankan sebagai system guard band pada kedua ujung batas spektrum masing-masing yaitu ARFCN 0 di batas bawah dan ARFCN 125 untuk batas atas. Jadi ARFCN efektif yang dipakai untuk GSM900 adalah ARFCN 1 sampai 124.
Untuk GSM1800 (DCS) alokasi frekuensi uplink-nya dari 1710 MHz-1785 MHz sedangkan downlink dari 1805 MHz sampai 1880 MHz dimana alokasi frekuensi antara uplink dan downlink terpisah selebar 95 MHz. Dengan demikian, berbeda dengan GSM900, GSM1800 memiliki lebar pita kurang lebih 3 kali lebih lebar dibanding GSM900. untuk GSM1800 penomoran kanal ARFCN-nya dimulai dari 511 dan berakhir 886 (375 kanal total, 3 kali lebih banyak dari GSM900) dimana 511 dikorbankan sebagai system guard band pada ujung bawah dan 886 dipakai sebagai system guard band pada ujung atas.
Di Indonesia, ada lima operator GSM (Telkomsel, Indosat, XL, Axis dan Three) yang mengantongi ijin operasi. Alokasi frekuensinya ditunjukkan oleh Gambar 2 dan 3 (Data diberikan oleh “sumber yang dapat diandalkan”). Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar-Gambar tersebut, hanya tiga operator yang mendapat alokasi frekuensi untuk pita GSM900 sedangkan untuk pita GSM1800 semua operator kebagian.
Alokasi frekuensi pita GSM900 di Indonesia
Gambar 2: Alokasi frekuensi pita GSM900 di Indonesia
Alokasi frekuensi pita GSM1800 di Indonesia
Gambar 3: Alokasi frekuensi pita GSM1800 di Indonesia
Tabel 1 berikut menunjukkan total alokasi frekuensi yang dimiliki masing-masing operator GSM di tanah air. Terlihat bahwa Telkomsel dan Indosat memiliki jumlah frekuensi terbanyak sedangkan Three paling sedikit, dengan rasio 3:1.
Jumlah frekuensi yang dimiliki masing-masing operator
Table 1: Jumlah frekuensi yang dimiliki masing-masing operator
Mapping Frekuensi ke Nomor Kanal ARFCN
Oleh karena ada bermacam-macam pita spektrum GSM yang dipakai di seluruh dunia, penjelasan langkah-langkah mapping frekuensi berikut akan mengacu pada alokasi frekuensi sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 1.
Langkah-langkahnya dapat diringkaskan sebagai berikut (berlaku untuk alokasi frekuensi uplink maupun downlink):
    1) Tentukan frekuensi yang merupakan batas bawah dari pita spektrum
    2) Tentukan nomor kanal ARFCN untuk frekuensi batas bawah tersebut
    3) Gunakan rumus berikut untuk melakukan mapping:
    ARFCN = kanal ARFCN untuk frekuensi batas bawah + (frekuensi MHz – frekuensi batas bawah dalam MHz)/lebar pita per kanal dalam MHz (0.2 MHz)
Untuk GSM900 rumus di atas dapat ditulis ulang sebagai berikut:
    Uplink……: ARFCN = 0 + (fMhz – 890)/0.2
    Downlink: ARFCN = 0 + (fMHz – 935)/0.2
Sedangkan untuk GSM1800:
    Uplink……: ARFCN = 511 + (fMhz – 1710)/0.2
    Downlink: ARFCN = 511 + (fMHz – 1805)/0.2
Dimana fMHz adalah kanal frekuensi dalam MHz yang akan dicarikan nomor kanal ARFCN-nya.
Contoh 1 (GSM900): Cari nomor kanal ARFCN untuk frekuensi 900.2 MHz (uplink); sesuai penjelasan sebelumnya:
    1) Frekuensi batas bawah GSM9000 = 890 MHz
    2) Nomor kanal ARFCN untuk frekuensi 890 MHz = 0
    3) Menggunakan rumus:
    ARFCNuplink = 0 + (900.2-890)/0.2 = 0 + 10.2/0.2 = 51.
Pasangan nomor kanal ARFCN dupleks downlink-nya adalah sebagi berikut:
Karena diketahui frekuensi uplink = 900.2 MHz; maka, frekuensi downlink-nya = frekuensi uplink + 45 MHz = 900.2 + 45 = 945.2 MHz. Dengan frekuensi batas bawah downlink = 935 MHz, maka:
    ARFCNdownlink = 0 + (945.2-935)/0.2 = 0 + 10.2/0.2 = 51.
Jadi frekuensi 900.2 dan 945.2 MHz akan memiliki nomor kanal ARFCN 51.
Contoh 2 (GSM1800): Cari nomor kanal ARFCN untuk frekuensi 1745.2 MHz (uplink); sesuai penjelasan sebelumnya:
    1) Frekuensi batas bawah GSM9000 = 1710 MHz
    2) Nomor kanal ARFCN untuk frekuensi 1710 MHz = 511
    3) Menggunakan rumus:
    ARFCNuplink = 511 + (1745.2-1710)/0.2 = 511 + 35.2/0.2
                = 511 + 176 = 687
Pasangan nomor kanal ARFCN dupleks downlink-nya adalah sebagi berikut:
Karena diketahui frekuensi uplink = 1745.2 MHz; maka, frekuensi downlink-nya = frekuensi uplink + 95 MHz (bukan 45 MHz seperti GSM900) = 1745.2 + 95 = 1840.2 MHz. Dengan frekuensi batas bawah downlink = 1805 MHz, maka:
    ARFCNdownlink = 511 + (1840.2-1805)/0.2
                  = 511 + 35.2/0.2 = 511+ 176 = 687
Jadi frekuensi 1745.2 dan 1840.2 MHz akan memiliki nomor kanal ARFCN 687.
Alokasi Frekuensi Operator GSM Dalam ARFCN
Mengikuti langkah-langkah ini, alokasi frekuensi operator GSM di Indonesia sebagaimana yang ditunjukkan oleh Tabel 2 and 3 dapat di-mapping-kan ke nomor kanal ARFCN sebagai berikut:
Alokasi frekuensi GSM900:
Mapping frekuensi GSM900 MHz-Nomor Kanal ARFCN Operator GSM Indonesia
Tabel 2: Mapping frekuensi GSM900 MHz-Nomor Kanal ARFCN Operator GSM Indonesia
Jika langsung di-mapping-kan dari alokasi frekuensi awal, Indosat akan memiliki kanal ARFCN 0 sampai 50, Telkomsel 50 sampai 87.5 dan XL 87.5 sampai 125.
Namun dengan hasil ini, paling tidak ada 3 masalah yang akan muncul: pertama, seperti dijelaskan sebelumnya, kanal 0 dan kanal 125 harus dikorbankan sebagai system guard band (pada kebanyakan peralatan kanal ARFCN 0 dan kanal 125 secara otomatis dihilangkan); kedua, dua operator tidak bisa memiliki kanal ARFCN yang sama dan ketiga tidak ada nomor kanal ARFCN dalam bilangan pecahan desimal (fractional decimal); nomor kanal ARFCN harus dalam bilangan cacah (positive ineteger plus zero).
Sehingga, untuk menghindari potensi tiga masalah tersebut, alokasi frekuensinya dikoreksi sebagai berikut: Indosat kanal ARFCN 1 sampai 49, Telkomsel kanal ARFCN 51-87 dan XL 88 sampai 124, seperti ditunjukkan oleh Tabel 2 pada baris “Koreksi ARFCN”.
Perhatikan, kanal ARFCN 50 harus dikorbankan oleh Indosat dan Telkomsel untuk menjadi guard band mereka sehingga ARFCN 50 tidak bisa digunakan oleh salah satu atau kedua operator ini. Karena tidak ada ARFCN 87.5 maka Telkomsel harus mundur menjadi 87 dan XL 88.
Alokasi frekuensi GSM1800:
Mapping frekuensi GSM1800 MHz-Nomor Kanal ARFCN Operator GSM Indonesia
Tabel 3: Mapping frekuensi GSM1800 MHz-Nomor Kanal ARFCN Operator GSM Indonesia
Jika langsung di-mapping-kan dari alokasi frekuensi awal, XL akan memiliki kanal ARFCN 511 sampai 548.5; Indosat 548.5-573.5, 711-786; Telkomsel 573.5-611, 686-711, 786-836; Axis 611-686 dan Three 836 sampai 886.
Seperti dijelaskan pada bagian GSM900, untuk menghindari permasalahan legal dan teknis, alokasi nomor kanal ARFCN-nya dikoreksi menjadi seperti Tabel 3 pada baris “Koreksi ARFCN”, yaitu: XL ARFCN 512 (511, system lower guard band) sampai 548; Indosat 549-573, 712-785; Telkomsel 574-610, 687-710, 787-835; Axis 612-685 dan Three 837 sampai 885 (886, system upper guard band). Menarik, dari Keputusan Direktur Jenderal Pos Dan Telekomunikasi No. 73/DIRJEN/2001 tertanggal 10 Mei 2001 telah ditetapkan kanal ARFCN 611, 711, 786 dan 861 sebagai guard band. Tiga guard band pertama telah masuk pada koreksi pada Tabel 3 di atas kecuali ARFCN 861 yang sebenarnya tidak perlu, pada kondisi alokasi saat ini, karena baik ARFCN 860 and 862 (frekuensi tetangga dari 861) adalah milik Three sendiri.
Tabel 4 berikut meringkaskan beberapa ARFCN yang sering bermasalah karena ketidakjelasannya alokasi frekuensi.
ARFCN-ARFCN yang sering bermasalah
Table 4: ARFCN-ARFCN yang sering bermasalah
Koordinasi Lintas Operator
Faktor ketiga yang menyumbang pada permasalahan alokasi frekuensi ini, seperti disinggung di atas, adalah kurangnya koordinasi lintas operator dan juga koordinasi antara operator dan Regulator itu sendiri. Oleh karena itu, koordinasi lintas operator mendesak untuk diadakan. Operator perlu duduk bersama membahas isu yang ada untuk kemudian menghasilkan kesepakatan yang disetujui semua pihak. Langkah ini penting untuk memberikan kepastian kepada tiap-tiap operator terutama para teknisi yang berniat baik yang bekerja di lapangan.
Apa yang telah dipaparkan di artikel ini merupakan langkah awal dalam mencari kesepakatan dan kepastian itu.
******
Copyright (c) Julitra Anaada 2009

Friday, November 19, 2010

Koneksi 3G yang Tidak Bohong

Koneksi internet paling kencang di dunia memang bukan Jepang, melainkan Korea Selatan. Tapi, Jepang benar-benar contoh sukses penerapan teknologi 3G. Di sela-sela acara Media Tour Fuji Xerox bersama para jurnalis Asia Pasifik di Jepang, 16-19 November 2010, Kompas sempat iseng mencoba berbagai koneksi internet yang tersedia.

Dalam uji tes koneksi internet di Hotel Royal Park, Tokyo, koneksi internet di ruangan hotel tersebut, yang diberikan secara gratis, kecepatan transfer data mencapai 8,32 Mbps untuk download dan 9,20 Mbps untuk upload. Ya, untuk upload justru lebih tinggi dibanding untuk download, berbeda dengan kebiasaan di Indonesia yang terbiasa mencekik lebar pita untuk upload data.

Nilai ping ke server speedtest yang digunakan untuk tes yang berada di Tokyo menunjukkan angka fantastis yaitu hanya 7ms, seolah server hanya ada di samping komputer kita yang digunakan untuk tes. Bukti test bisa dilihat di http://www.speedtest.net/result/1032198443.png.

Koneksi yang ditest lewat fasilitas speedtest.net ini terdeteksi menggunakan provider Softbank, salah satu provider layanan data papan atas di Jepang. Tokyo memang kota utama di Jepang, yang terhubung langsung ke jaringan backbone internasional.

Lalu bagaimana dengan layanan data di daerah sub-urban di Jepang? Kompas kembali iseng mencoba koneksi di Hakone, Prefektur Kanagawa. Kota kecil di pegunungan yang biasa dikunjungi turis untuk melihat Gunung Fuji dari dekat ini hanya memiliki cacah jiwa 13.339 (data 2010 dikutip dari Wikipedia).

Dari hasil tes, angkanya justru mencengangkan yaitu untuk download menunjukkan 10,01 Mbps dan untuk upload 9,36 Mbps. Terdeteksi koneksi menggunakan NTT Docomo, namun biayanya tidak gratis yaitu sekitar Rp 60.000 per hari (tarif dari hotel). Bukti tes bisa dilihat di http://www.speedtest.net/result/1035476167.png.

Hasil ping menunjukkan nilai di atas tes di Tokyo yaitu 18ms, hal ini bisa dimaklumi karena server yang digunakan untuk tes koneksi ini menggunakan server Speedtest dengan lokasi di Tokyo, yang berjarak lebih dari 80 km dari Hakone.

Dengan koneksi seperti itu, untuk download atau mengunduh file mp3 sebesar 5MB hanya dibutuhkan waktu sekitar 4 detik. Untuk unduh klip video 35MB, hanya dibutuhkan waktu 11 detik. Jika ingin mengunduh file film sebesar 800MB, maka hanya dibutuhkan waktu kira-kita 11 menit. Untuk upload atau unggah email 1 MB hanya dibutuhkan waktu 1 detik, untuk unggah foto 8MB hanya dibutuhkan waktu 7 detik, sedangkan unggah video 35MB, dibutuhkan waktu hanya 30 detik.

Itu berarti, lebih kenceng dibanding kita memindahkan foto-foto koleksi kita dari kamera ke komputer menggunakan card reader dengan kabel USB versi 2, apalagi jika menggunakan kabel USB versi 1. Tentu saja, untuk menonton film di internet atau menonton video di Youtube, seperti kita nonton televisi konvensional yang tak lagi putus-putus.

Di Jepang, tampaknya biaya berlangganan televisi kabel dianggap lebih mahal dibanding internet. Karena itu, hotel-hotel di Jepang terbiasa tidak jor-joran menyediakan stasiun tv kabel seperti hotel-hotel di Indonesia umumnya, dan sebagai gantinya melengkapi kamar hotel dengan sebuah PC yang terhubung ke internet broadband.

Saatnya menuntut 

Jika pengalaman ini ditarik ke kondisi Indonesia, kalau sampai dibilang Indonesia adalah negeri para pembual untuk hal-hal yang berbau politik dan bisnis, rasanya kita sulit membantahnya. Ya, kali ini kita terpaksa membandingkan bagaimana Indonesia dan Jepang mendefinisikan koneksi 3G di negara masing-masing.

Indonesia, dengan banyaknya provider telepon seluler GSM dan CDMA yang menyediakan layanan data, telah lama mengampanyekan dan mengklaim menggunakan teknologi 3G, bahkan 3,5 G, atau bahkan sedang uji coba 4G. Hiruk pikuk perang layanan data ini begitu intensif sehingga di setiap pameran teknologi informasi dan pameran komputer, diobral berbagai perangkat koneksi internet, terutama modem, dengan koneksi 3G atau 3,5G.

Di tingkat penggunaan telepon seluler, sekarang hampir tak ada anak muda yang menggunakan telepon seluler yang bukan 3G karena kampanye soal telepon seluler berbasis 3G yang bisa video call sukses dilakukan. Padahal, koneksi yang didapat masih berkisar maksimal di bawah ratusan kbps, jauh dari janji-janji koneksi 3G yang harusnya bisa mencapai sekian mbps.

International Telecommunication Union (ITU) memang tak mendefinisikan berapa kecepatan internet sebuah provider jika mengklain diri sebagai penyedia layanan 3G. Tapi, setidaknya kita sepakat bahwa koneksi internet 3G di Indonesia harusnya tak hanya sekadar setara GPRS semata yang hanya 56-114 kbps, atau parahnya kurang dari angka GPRS itu.

Seberapa cepat koneksi internet kita di rumah atau di kantor? Sudahkah memenuhi ekspektasi awal ketika kita membeli paket data tersebut? Ayo share data kecepatan internet Anda, salah satunya dengan memanfaatkan tes di www.speedtest.net.

Share bisa Anda lakukan di blog dan juga di berbagai forum agar penyelenggara internet di negeri kita sadar dan mau memperbaiki diri untuk Indonesia yang lebih baik. Jangan eksploitasi lagi konsumen dengan janji-janji manis! Saatnya konsumen menuntut!

19 Nov 2010
Source:http://tekno.kompas.com/read/2010/11/19/10371754/Koneksi.3G.yang.Tidak.Bohong..-8

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...